"Tidak, ah ... Maksudku iya, tapi itu dulu," jawab Evan cukup sedih mengingat kisah cintanya itu. "Katakan dengan jelas," perintah Richard tegas. "Duduklah, cerita saja," titah Rachel dengan suara yang lembut, berbanding terbalik dengan suaminya. Evan menurut, menarik kursi yang berhadapan dengan Rachel, tepat di sebelah kiri Richard yang kursinya berada di tengah sebagai kepala keluarga. Ia menundukan kepalanya, bingung harus mengatakannya mulai dari mana karena sebenarnya dia juga belum terlalu lama mengenal Luna tapi entah kenapa perasaannya teramat dalam pada perempuan itu. Sempat ia menyangkalnya sebagai rasa kasihan tapi semakin hari ia semakin yakin kalau bukan itu, ini perasaan cinta. Seandainya Luna tidak hamil dan dia tidak tahu tentang kisah hidupnya, Evan yakin akan tetap jatuh cinta padanya. Dia perempuan pertama yang ia temui di Yogya yang mampu menggetarkan hatinya. "Kenapa diam?" Suara berat dan dalam milik Richard membuat Evan mengangkat kepalanya. "Kamu kenal Bu
"Terima kasih," ucap Luna yang hanya dibalas anggukan Evan tanpa menoleh sedikit pun. Lelaki tampan itu menghela nafas lega, baru saja jantungnya serasa mencelos, ia pikir Luna menganalinya tadi. Evan begitu ketakutan sampai ritme jantungnya berdebar sangat cepat, hari ini ia selamat tapi apakah ia bisa terus menyembunyikan identitasnya seperti ini? Sampai kapan? Ah, entahlah! Yang jelas untuk saat ini Luna pasti tidak siap, ia juga tidak berani kalau muncul tiba-tiba lagi di depannya, ia tidak siap untuk kehilangan Luna lagi. "Loh, dia ninggalin saladnya di sini," ucap Luna ketika hendak meninggalkan dapur tak sengaja melihat mangkuk salad yang dibuat lelaki yang mengaku supir tadi. "Ke mana dia?" Luna mencoba mencarinya sambil membawa mangkuk berisi salad itu, barangkali ia lupa sampai meninggalkannya di dapur. Luna berkeliling tapi lelaki itu tak ditemukan, di garasi juga tidak ada. Luna mencarinya di sana karena barangkali supir itu sedang
Untunglah Tari bisa beralasan bahwa ia hanya sekedar mengingat Evan saja bukan berarti ia tahu kalau lelaki itu ada di sini."Mana Ibu tahu, Nduk! Kan kamu tahu sendiri kalau Ibu cuma sibuk kerja," ucap Tari beralasan.Luna tak curiga, memang di mana ibunya itu bisa bertemu dengan Evan? Nomer teleponnya juga sudah lama diblokir, ia sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya meski ucapan Dewi waktu di mall itu sedikit mengusiknya, ia bilang Evan ada di Jakarta, benarkah?"Ah, emang apa peduliku?! Jakarta ini luas, dia bisa berada di mana aja." Luna membatin."Bu, kenapa gak tidur? Gak usah dipikirin soal Evan, gak perlu dibahas lagi ya," katanya ketika baru saja naik ke atas kasur usai membersihkan diri di kamar mandi."Ibu cuma kangen si Mbah," jawab Tari sambil mengusap matanya, ada titik bening yang perlahan jatuh.Luna turut duduk di samping ibunya, bersandar di bahu ibunya yang tengah memeluk lutut. Sejujurnya ia juga meras
"Stop!" teriak Erica pada lelaki itu."Kenapa? Dia kan cowoknya?!" Tunjuk lelaki itu pada Evan yang terjatuh di lantai."Kak, Kakak salah paham! Bukan dia," kata Erica lalu membantu Evan berdiri.Keributan yang terjadi diketahui juga oleh Richard dan Pak Bayu, selaku Ayah Erica, mereka pun menemui ketiganya. Kejadian itu tentu saja menarik atensi semua orang yang berada di sana, apalagi malam ini restoran cukup ramai, banyak mata memandang ke arah mereka."Van, are you okay?" tanya Richard yang hanya dibalas anggukan Evan, ia sibuk mengusap rahang pipinya yang terasa nyeri."Apa-apaan ini?" hardik Bayu."Papi? Kok Papi ada di sini?" Lelaki yang baru saja memukuli Evan bingung."Richo! Kamu bikin ulah apalagi?" Bayu geram terhadap anak lelakinya itu."Sorry Pih, aku pikir Erica ---" Kadung malu, ia tidak bisa menuntaskan ucapannya, mengusap-usap tengkuknya salah tingkah."Makanya apa-apa tuh tanya dulu, jangan main asal p
Richo membawa Luna ke kantin rumah sakit, ia menawarkan makanan pada perempuan hamil itu, raut wajah Luna terlihat pucat, mungkin penyebabnya bisa jadi karena Luna lemas belum makan, untuk itu Richo berinisiatif mengajaknya makan di kantin rumah sakit, kantin khusus untuk dokter dan karyawan. "Udah, gak usah ngerasa gak enak. Ambil aja yang kamu mau," kata Richo ketika mereka berada di depan meja-meja prasmanan. "Apa mau aku yang ambilin?" tawarnya kerena Luna diam tak menggubris. "Eh, enggak perlu. Aku bisa sendiri kok," tolak Luna mengambil piring yang sudah dibawa Richo. "Tapi kamu juga ikut makan ya?!" Luna tak enak kalau hanya dirinya yang makan. Sebelum menjawab, lelaki yang memakai jas putih dokter itu melirik jam tangannya. "Udah hampir jam makan siang sih, oke lah!" Senyum Richo setuju. Jam makan siang memang sekitar satu jam lagi jadi kantin ini masih sepi, hanya beberapa dokter dan karyawan saja yang datang untuk mengambil kopi dan minuman lainnya. Keduanya memilih te
Sangat terpaksa Evan menemani Erica untuk makan siang, sialnya lagi hanya berdua. Seperti sudah dirancang oleh mereka, begitu keduanya tiba, seorang pelayan mengantar mereka ke meja yang sudah dipesan, bukankah itu sudah terlihat sangat jelas? "Mau kamu apa? Ini pemaksaan namanya," ketus Evan, raut wajahnya menampakkan kekesalan dengan rahang yang mengeras. "Tapi kamu sendiri bersedia kan?!" goda Erica, ia begitu santai menanggapi Evan, kemarahan Evan sama sekali tidak membuat Erica takut. Evan mendengkus, memutar bola matanya malas. "Saya mau pergi!" Setengah badannya sudah terangkat. "Kalau gitu, aku telepon Pak Richard ya!" Erica mengangkat teleponnya. "I don't care!" acuh Evan yang benar saja meninggalkan tempat duduknya. "Berarti bisnis sama Papi aku batal ya! Oke kalau itu mau kamu," sahut Erica mengintimidasi, tampak sekali arogansinya. Kedua tangan Evan mengepal di samping badannya, ia teringat pesan Richa
*Flashback 9 tahun yang laluLuna aktif membantu para mahasiswa di puskesmas, semenjak kejadian salah mengalungkan bunga, ia menjadi pusat perhatian Richo dan sampai saat itu, Luna tidak mengetahui kalau ia memberikan pada orang yang salah. "Stok obat asam urat mana?" tanya seorang mahasiswi pada Aldi yang dikira Richo oleh Luna. "Oh iya, belum diturunin, masih di dalam mobil," jawabnya teringat. "Ya udah ambil sana, pasien nungguin nih," titah Wenny, Aldi pun bergerak. "Gila, panasnya nyengat banget, parkiran tadi jauh lagi, item dah gue." Aldi mendumal, ia menutupi mata dengan tangannya karena silau, matahari begitu terik. Pada saat bersamaan, Luna datang membawakan makanan yang sudah disiapkan untuk makan siang para mahasiswa itu. Ia berjalan melewati Aldi. "Eh tunggu!" Aldi menahan langkah Luna. "Saya?!" Luna menunjuk dirinya sendiri. "Iya kamu, siapa lagi emang?" Suara Aldi meninggi, Luna m
Luna dan Richo terjatuh dari sepeda, mobil itu pun ikut berhenti, membantu kedua remaja yang tertimpa sepeda onthel yang lumayan berat itu. "Aduh ... Kalian ini, bawa sepeda tuh nyantai, jangan ngebut begitu," omel Pak Katno, Luna kenal dengannya. "Pak, anter kita Pak! Temen saya harus minum obat sekarang juga," mohon Luna mencengkram tangan Pak Katno, juragan kayu di desa mereka. Atensi Pak Katno langsung tertuju pada Richo yang masih tergeletak dengan wajah yang kian membengkak dan dipenuhi ruam merah. "Ya ampun, ini harus ke dokter. Ayo saya anterin." Pak Katno membantu Richo berdiri. "Klinik jauh, Pak! Temen saya ini harus cepet-cepet minum obat, anterin aja pulang," sahut Luna berpendapat, untuk sekarang cari cara tercepat agar keadaan Richo bisa jauh lebih baik. "Rumahnya di mana?" Pak Katno pun tampak panik. "Rumah Pak RW, yang dipakai mahasiswa KKN," jelas Luna menuntun sepeda Bude Pur yang tak mungkin ia