Untunglah Tari bisa beralasan bahwa ia hanya sekedar mengingat Evan saja bukan berarti ia tahu kalau lelaki itu ada di sini.
"Mana Ibu tahu, Nduk! Kan kamu tahu sendiri kalau Ibu cuma sibuk kerja," ucap Tari beralasan.
Luna tak curiga, memang di mana ibunya itu bisa bertemu dengan Evan? Nomer teleponnya juga sudah lama diblokir, ia sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya meski ucapan Dewi waktu di mall itu sedikit mengusiknya, ia bilang Evan ada di Jakarta, benarkah?
"Ah, emang apa peduliku?! Jakarta ini luas, dia bisa berada di mana aja." Luna membatin.
"Bu, kenapa gak tidur? Gak usah dipikirin soal Evan, gak perlu dibahas lagi ya," katanya ketika baru saja naik ke atas kasur usai membersihkan diri di kamar mandi.
"Ibu cuma kangen si Mbah," jawab Tari sambil mengusap matanya, ada titik bening yang perlahan jatuh.
Luna turut duduk di samping ibunya, bersandar di bahu ibunya yang tengah memeluk lutut. Sejujurnya ia juga meras
"Stop!" teriak Erica pada lelaki itu."Kenapa? Dia kan cowoknya?!" Tunjuk lelaki itu pada Evan yang terjatuh di lantai."Kak, Kakak salah paham! Bukan dia," kata Erica lalu membantu Evan berdiri.Keributan yang terjadi diketahui juga oleh Richard dan Pak Bayu, selaku Ayah Erica, mereka pun menemui ketiganya. Kejadian itu tentu saja menarik atensi semua orang yang berada di sana, apalagi malam ini restoran cukup ramai, banyak mata memandang ke arah mereka."Van, are you okay?" tanya Richard yang hanya dibalas anggukan Evan, ia sibuk mengusap rahang pipinya yang terasa nyeri."Apa-apaan ini?" hardik Bayu."Papi? Kok Papi ada di sini?" Lelaki yang baru saja memukuli Evan bingung."Richo! Kamu bikin ulah apalagi?" Bayu geram terhadap anak lelakinya itu."Sorry Pih, aku pikir Erica ---" Kadung malu, ia tidak bisa menuntaskan ucapannya, mengusap-usap tengkuknya salah tingkah."Makanya apa-apa tuh tanya dulu, jangan main asal p
Richo membawa Luna ke kantin rumah sakit, ia menawarkan makanan pada perempuan hamil itu, raut wajah Luna terlihat pucat, mungkin penyebabnya bisa jadi karena Luna lemas belum makan, untuk itu Richo berinisiatif mengajaknya makan di kantin rumah sakit, kantin khusus untuk dokter dan karyawan. "Udah, gak usah ngerasa gak enak. Ambil aja yang kamu mau," kata Richo ketika mereka berada di depan meja-meja prasmanan. "Apa mau aku yang ambilin?" tawarnya kerena Luna diam tak menggubris. "Eh, enggak perlu. Aku bisa sendiri kok," tolak Luna mengambil piring yang sudah dibawa Richo. "Tapi kamu juga ikut makan ya?!" Luna tak enak kalau hanya dirinya yang makan. Sebelum menjawab, lelaki yang memakai jas putih dokter itu melirik jam tangannya. "Udah hampir jam makan siang sih, oke lah!" Senyum Richo setuju. Jam makan siang memang sekitar satu jam lagi jadi kantin ini masih sepi, hanya beberapa dokter dan karyawan saja yang datang untuk mengambil kopi dan minuman lainnya. Keduanya memilih te
Sangat terpaksa Evan menemani Erica untuk makan siang, sialnya lagi hanya berdua. Seperti sudah dirancang oleh mereka, begitu keduanya tiba, seorang pelayan mengantar mereka ke meja yang sudah dipesan, bukankah itu sudah terlihat sangat jelas? "Mau kamu apa? Ini pemaksaan namanya," ketus Evan, raut wajahnya menampakkan kekesalan dengan rahang yang mengeras. "Tapi kamu sendiri bersedia kan?!" goda Erica, ia begitu santai menanggapi Evan, kemarahan Evan sama sekali tidak membuat Erica takut. Evan mendengkus, memutar bola matanya malas. "Saya mau pergi!" Setengah badannya sudah terangkat. "Kalau gitu, aku telepon Pak Richard ya!" Erica mengangkat teleponnya. "I don't care!" acuh Evan yang benar saja meninggalkan tempat duduknya. "Berarti bisnis sama Papi aku batal ya! Oke kalau itu mau kamu," sahut Erica mengintimidasi, tampak sekali arogansinya. Kedua tangan Evan mengepal di samping badannya, ia teringat pesan Richa
*Flashback 9 tahun yang laluLuna aktif membantu para mahasiswa di puskesmas, semenjak kejadian salah mengalungkan bunga, ia menjadi pusat perhatian Richo dan sampai saat itu, Luna tidak mengetahui kalau ia memberikan pada orang yang salah. "Stok obat asam urat mana?" tanya seorang mahasiswi pada Aldi yang dikira Richo oleh Luna. "Oh iya, belum diturunin, masih di dalam mobil," jawabnya teringat. "Ya udah ambil sana, pasien nungguin nih," titah Wenny, Aldi pun bergerak. "Gila, panasnya nyengat banget, parkiran tadi jauh lagi, item dah gue." Aldi mendumal, ia menutupi mata dengan tangannya karena silau, matahari begitu terik. Pada saat bersamaan, Luna datang membawakan makanan yang sudah disiapkan untuk makan siang para mahasiswa itu. Ia berjalan melewati Aldi. "Eh tunggu!" Aldi menahan langkah Luna. "Saya?!" Luna menunjuk dirinya sendiri. "Iya kamu, siapa lagi emang?" Suara Aldi meninggi, Luna m
Luna dan Richo terjatuh dari sepeda, mobil itu pun ikut berhenti, membantu kedua remaja yang tertimpa sepeda onthel yang lumayan berat itu. "Aduh ... Kalian ini, bawa sepeda tuh nyantai, jangan ngebut begitu," omel Pak Katno, Luna kenal dengannya. "Pak, anter kita Pak! Temen saya harus minum obat sekarang juga," mohon Luna mencengkram tangan Pak Katno, juragan kayu di desa mereka. Atensi Pak Katno langsung tertuju pada Richo yang masih tergeletak dengan wajah yang kian membengkak dan dipenuhi ruam merah. "Ya ampun, ini harus ke dokter. Ayo saya anterin." Pak Katno membantu Richo berdiri. "Klinik jauh, Pak! Temen saya ini harus cepet-cepet minum obat, anterin aja pulang," sahut Luna berpendapat, untuk sekarang cari cara tercepat agar keadaan Richo bisa jauh lebih baik. "Rumahnya di mana?" Pak Katno pun tampak panik. "Rumah Pak RW, yang dipakai mahasiswa KKN," jelas Luna menuntun sepeda Bude Pur yang tak mungkin ia
Kesalahpahaman itulah yang mendekatkan Luna dengan Richo, mereka menjadi berteman baik hingga sebuah rasa muncul di hati masing-masing. Namun tentu saja kesenjangan sosial di antara mereka menjadi penghalang, Luna seorang gadis desa dari keluarga sederhana, ayahnya sempat menjadi narapidana karena melakukan KDRT, sementara ibunya seorang TKW yang bekerja di Malaysia, ia dibesarkan oleh seorang nenek yang hanya penjual nasi pincuk. Latar belakang keluarganya saja sudah berbanding terbalik dengan keluarga Richo Mahendra putra Hendrawan, putra sulung dari pengusaha kaya raya dan terkenal Bayu Hendrawan, sering disebut keluarga cemara karena kerap terlihat begitu harmonis di depan publik. Status mereka yang berbeda jauh itu sudah jelas ditentang keras oleh keluarganya ketika kedua orang tua Richo mendengar kabar hubungan putranya itu dengan Luna. "Nanti sore kita ketemu di pantai ya! Ada yang mau aku kasih ke kamu," kata Richo pada Luna ketika keduanya bertemu di puskesmas. "Kasih apa?
Seperti ada saja cara Erica untuk membuat ia dengan Evan semakin dekat dengan memanfaatkan papinya. Seperti hari ini, Bayu mengundang Richard sekeluarga untuk makan malam bersama di rumahnya. "Oh ya, saudara Bapak juga diajak sekalian, kemarin dia yang bawa dokumen sampai akhirnya kita deal kontrak kerja sama ini," kata Bayu melalui panggilan telepon. "Oh tentu saja, Pak. Dia juga sudah seperti anak saya sendiri jadi dia bagian dari keluarga saya," sahut Richard, tak mungkin ia menolak perintah rekan bisnisnya itu. "Baik, kalau begitu saya tunggu besok malam," ucap Bayu kemudian mengakhiri panggilan telepon tersebut. "Pih, gimana?" tanya Erica, sejak tadi dia mengikuti sesi telepon papinya itu. "Udah, tenang aja. Dia juga pasti dateng," jawab Bayu yang memang memanjakan putri bungsunya itu. "Tapi kalau cuma makan malem gak seru, Pih. Apalagi makan sekeluarga, gimana aku bisa ngobrol berdua aja sama dia." Erica cemberut, hembusan nafas berat keluar dari bibirnya yang mungil itu.
Waktu persalinan semakin dekat, Rachel sudah memberikan Luna cuti sampai waktu melahirkan tapi pagi ini Luna memaksa untuk datang, ia ingin memberikan tugas untuk Chika agar ia masih bisa belajar meski Luna tidak bisa datang selama beberapa minggu ke depan. Pembantu membukakan pintu ketika Luna menekan bel, "loh, Bu guru? Kata Bu Rachel ---" "Iya Bi, saya cuma sebentar. Saya cuma mau kasih tugas aja untuk Chika," potong Luna yang sudah tahu maksud pembicaraan perempuan itu. "Kalau gitu silakan masuk Bu, Non Chika ada di kamarnya, kebetulan saya mau ke minimarket depan sebentar, ada yang harus dibeli. Bu guru bisa tolong jaga Luna dulu?!" tanyanya yang justru meminta bantuan Luna. "Iya Bi, saya pulang kalau Bibi sudah dateng," sahut Luna yang dibalas ucapan terima kasih sebelum pembantu rumah itu pergi. "Bu guru ..." pekik Chika kegirangan, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu, meski sesekali Chika meminta maminya untuk melakukan video call dengan gurunya itu tapi bertemu lan