Share

Bab 0005

"Selamat Pagi Pak Rahmat...," sapa Rena kepada Satpam kantornya.

Setiap pagi Rena selalu menyapa teman kantornya tanpa terkecuali sekuriti, gadis itu tidak pernah membeda-bedakan status seseorang dan selalu ramah pada semua karyawan di sana.

"Pagi juga Bu Rena..., " jawab Pak Rahmat, sedikit membungkukan tubuh sebagai tanda hormat.

Pagi itu Andra pergi ke Bank untuk mengganti ATM-nya yang tertelan dan memilih Cabang yang dia lewati dalam perjalanan ke kantor.

Namun semesta membawa Andra pada kebetulan yang unik karena pria itu datang ke Cabang di mana Rena bekerja.

Sekuriti memberikan nomor antrian nomor sembilan kepada Andra setelah menanyakan apa keperluan Andra, pria itu lantas duduk di kursi tunggu.

Pandangan Andra terpaku pada salah satu customer service yang menurutnya tidak asing selain wajahnya cantik natural, namun Andra tidak ingat pernah bertemu dengan gadis itu di mana.

Beberapa lama Andra sempat larut dalam lamunan menyantap sang customer service cantik kemudian terhenyak tatkala mendengar suara mesin antrian menyebutkan nomor antrian yang sedang dia pegang.

"Nomor sembilan ke meja tiga.” Suara mesin antrian memanggil.

Andra beranjak melangkahkan kaki panjangnya berjalan menuju meja tiga.

Semua mata wanita tertuju padanya mulai dari nasabah hingga karyawan yang ada di ruangan itu.

Bagaimana tidak?

Andra menggunakan pakaian formal berupa jas yang di dalamnya terdapat rompi juga dasi.

Hari ini pria itu akan bertemu klien dari Korea sehingga penampilannya harus maksimal mencerminkan sang Presiden Direktur.

"Selamat pagi Pak, Saya Rena! Silahkan duduk, ada yang bisa saya bantu?” Rena menyapa ramah.

Saat itu Rena masih belum mengenali pria di hadapannya.

"ATM saya tertelan mesin ATM, saya mau ganti ATM,” ujar Andra datar.

"Baik Pak, boleh saya minta KTP dan buku tabungannya?"

Andra mengeluarkan KTP lalu memberikan buku tabungan kepada Rena yang langsung terkejut setelah membaca kartu identitas sang nasabah sebab ternyata yang ada di hadapannya sekarang adalah nasabah prioritas di kantor pusat tempatnya bekerja, juga Presdir dingin yang membuatnya menunggu lama beberapa hari lalu.

Bukan Rena namanya bila tidak bisa bersikap profesional, bahkan ekspresi terkejut bisa ia tutupi dengan mudah.

"Tolong Bapak lengkapi terlebih dahulu data pada form ini.” Rena memberikan form aplikasi penggantian kartu ATM.

Tanpa berkata apapun, Andra langsung mengambil pena yang tertancap di meja dan mulai mengisi juga menandatangani form sesuai permintaan Rena.

"Apa mereka enggak tau kalau gue duit gue di sini sampe Triliunan? masa masih harus ngantri trus ngisi form hanya untuk ganti ATM?" gerutu Andra dalam hati.

Rena menatap wajah Andra yang tampak kesal, dia pun mencoba membuka pembicaraan.

"Pak Andra, untuk kedepannya Bapak tidak perlu mengantri, langsung saja masuk ke ruang prioritas dan nanti akan kami bantu keperluan Pak Andra,” tutur Rena ramah bersama senyum khasnya.

Andra sempat terkejut karena seolah Rena tahu apa yang sedang dia pikirkan tapi berusaha tetap tenang dengan terus menekuni mengisi form.

“Dia bisa baca isi pikiran gue?" Andra bertanya- tanya di dalam hati.

Andra tidak merespon bahkan enggan menatap Rena, kepalanya masih tertunduk sementara tangan yang memegang pena terus bergerak menandatangani bagian bawah kertas.

“Untung ganteng, Pak … jadi sombongnya aku maafin.” Yang hanya bisa Rena utarakan di dalam hati.

Andra memberikan form yang telah diisi kepada Rena sehingga bankir cantik itu bisa melakukan pekerjaannya mengetikan sesuatu pada komputer.

Sang nasabah prioritas dingin namun tampan yang duduk di depan Rena bisa melihat wajah cantiknya terkena pantulan cahaya dari layar komputer.

Rena yang merasa seperti sedang diawasi refleks melirik ke arah Andra membuatnya seketika mengalihkan pandangan menyapu sekitar ruangan.

"Ini kartu ATM Bapak yang baru, nanti Bapak bisa ganti pin di ATM di depan dan ATM Bapak sudah bisa langsung dipergunakan, terimakasih! Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya Rena sesuai SOP.

Lagi-lagi Andra tidak menjawab pertanyaan gadis cantik itu malah langsung pergi tanpa sepatah kata pun.

Rena hanya menghela napas panjang sembari tersenyum untuk mensugesti hatinya agar tetap bahagia.

"Rena makan siang dulu gih nanti gantian sama aku.” Mia yang duduk di meja customer service di sebelah Rena berujar sambil membereskan mejanya.

“Kamu aja duluan, aku nanti setelah tutup cabang,” tolak Rena secara halus.

"Memangnya kamu enggak lapar?” tanya Mia lagi.

"Tadi aku sarapan nasi kuning, jadi masih kenyang.”

"Ya udah aku duluan ya,” pamit Mia sambil mengedipkan satu matanya.

Rena membalas dengan menganggukan kepala, padahal Rena hanya ingin mengirit saja karena uang gajinya sudah ia kirimkan kepada keluarga di Bandung.

***

Sore hari sepulang kerja, sambil menunggu Mia menyelesaikan pekerjaannya—Rena menelepon ibu di Bandung.

"Hallo Bu, Ibu sehat? Bagaimana keadaan Bapak? Adik-adik apa kabar? Rena kangen, Bu!” sapa Rena membuka pembicaraan sambil menundukan kepalanya menahan linangan air mata.

"Iya Ren, semua kita disini sehat kecuali bapak yang kadang masih suka kumat sakit jantungnya ... Oh iya, uang yang kamu transfer udah masuk! Terimakasih banyak ya anak Ibu tersayang ... akhir minggu ini kamu pulangkan? Ibu udah rindu.” Suara ibu terdengar enak dari ujung panggilan sana.

"Maaf Bu, akhir minggu ini ada acara kantor jadi Rena enggak bisa pulang! Minggu depan Rena pulang ya Bu,” tutur Rena berbohong, padahal mulai malam ini hingga minggu malam nanti akan bekerja sampingan menjadi resepsionis di sebuah restoran mewah.

"Ya sudah, kamu baik-baik di sana! Jangan sampai lupa beribadah ya sayang, Ibu disini selalu berdoa semoga kamu selalu sehat dan diberikan kebahagian, Aamiin …,” kata Ibu dengan suara parau menahan tangis.

Ibu tidak mampu membendung air mata karena tau penderitaan si sulung yang harus bekerja keras di Ibu Kota menjadi tulang punggung keluarga setelah bapak pensiun dan sakit-sakitan.

"Aamiin Bu, doain Rena terus ya Bu ... Rena sayang Ibu.” Rena mengakhiri sambungan teleponnya.

Gadis cantik berbulu mata lebat itu memejamkan mata, diam-diam dalam hati berdoa untuk kesembuhan sang ayah.

Rena menyeka air mata yang jatuh kepipinya.

Tiba-Tiba dari belakang terdengar suara mengejutkannya, "Dooor...," teriak Mia sembari menepuk pundak Rena.

"Ya Tuhan Miaaaa ... Kaget tau!!" seru Rena menatap nyalang seraya menyimpan telapak tangan di dada.

"Jangan sedih donk! Kan ada aku ...," ujar Mia memberi semangat, merangkul pundak Rena.

"Siapa yang sedih, aku kelilipan tauuu!!" sanggah Rena berbohong.

Mia sangat mengerti perasaan Rena sekarang karena hanya dirinyalah tempat Rena mengeluarkan keluh kesah.

"Nanti malam kamu jadi ‘kan gantiin Citra teman aku yang sakit jadi resepsionis di Namas Dining? Cuma sampe hari minggu dan bayarannya gede loh!" Mia bertanya sambil menggesekan ibu jari dan telunjuknya kedepan wajah Rena.

"Jadi donk, aku butuh banget duitnya, Mi!"

"Ya udah nanti langsung dateng ke Restoran terus temui Manager Restoran namanya Pak Ryan, kamu bilang kalau kamu itu mau gantiin Citra, baju seragamnya ada di kosan aku, jadi sekarang kamu ke kosan aku dulu ya!" ajak Mia diakhir kalimatnya.

"Okkaayyy...," balas Rena mengangkat jempolnya.

Rena bersukur di akhir minggu ini bisa mendapat kerja sambilan, walau hanya menjadi resepsionis tapi setidaknya ia mempunyai penghasilan tambahan untuk biaya kuliah kedua adik.

Setelah mendapat seragam untuk menjadi Resepsionis nanti malam, Rena langsung pulang ke kosannya karena tidak ingin terlambat di hari pertama bekerja.

Sesampainya di kosan, Rena bergegas mandi lalu berdandan tipis tidak berlebihan tapi kelihatan cantik dengan poni dan rambut kuncir kuda.

Setelah mengecek penampilannya di depan cermin, Rena pun keluar dari kossan menuju jalan besar menunggu ojeg online yang baru saja dia pesan.

Beberapa menit kemudian Rena tiba di Restoran, Rena bertanya tentang pak Ryan sang Manager Restoran.

Salah satu pegawai Restoran yang baik hati bersedia mengantar Rena ke ruangan pak Ryan.

Saat itu Restoran sedang ramai untuk makan malam sedangkan Rena bekerja untuk menggantikan shift ke dua.

Sambil berjalan ke ruangan pak Ryan, Rena sempat terkesima melihat tatanan desain Restoran termewah di Jakarta ini, kursi yang dilapisi kain putih dengan pita merah dibelakangnya, Chandelier ditengah ruangan menjuntai cantik membuat silau mata siapa saja yang melihat, untuk satu menu saja belum tentu Rena mampu membayar.

Mungkin sekali makan disini bisa menghabiskan satu bulan gajinya.

Tok.. Tok...

Ceklek...

Rena membuka pintu.

“Sore, Pak.” Rena menyapa ramah.

"Masuk ... Kamu pengganti Citra ya? " tanya Pak Ryan memastikan.

"Iya Pak, perkenalkan saya Rena.” Rena memperkenalkan diri.

"Waw, kamu cantik sekali Rena ... Kamu kerja sama saya saja seterusnya di sini ya? Bayarannya besar loh.” Pak Ryan berujar diakhiri tertawa renyah.

Menurutnya wajah Rena yang cantik akan menjadi daya pikat tersendiri bagi restoran ini.

"Ah enggak Pak, saya hanya weekend ini saja menggantikan Citra yang sedang dirawat karena thypus,” tolak Rena pelan.

"Waah, sayang sekali yaa … ya sudah kamu baca dulu jobdesk kamu di meja Resepsionis di depan ... Kamu bertugas angkat telepon untuk reservasi atau bertanya informasi tentang restoran ini kemudian koordinasikan dengan supervisor kamu, namanya Dinda ... nanti dia yang akan menemani kamu di depan." Ryan memberi intruksi dengan lugas sehingga Rena mudah mengerti.

"Baik Pak terimakasih arahannya, saya akan bekerja semaksimal mungkin,” tutur Rena kemudian pamit dari ruangan pak Ryan.

Setelah mempelajari jobdesk dengan bantuan resepsionis sebelumnya juga Dinda sang supervisor, Rena langsung menguasai pekerjaan barunya.

Sedari tadi Rena sibuk mengangkat telepon dan beramah tamah dengan tamu yang baru datang.

Untuk masalah service, Rena memang jagonya karena di kantor setiap hari dituntut seperti itu.

Rena yang sibuk berkoordinasi dengan Dinda p dikejutkan oleh suara pria yang sangat dia kenal.

"Renaaa... Kamu ngapain disini? " tanya Dio dengan ekspresi terkejut yang berlebihan.

"Aduh Dio, aku lagi kerja nanti kita ngobrol ya! Kamu ngapain disini?" Rena balik bertanya.

"Aku mau ketemu nasabah... " jawab Dio tanpa perlu berpikir.

Dio memang bagian prioritas dan sering bertemu dengan nasabah-nasabah besar jadi tidak heran bila pria itu berada di Restoran semahal ini.

"Namanya siapa? Aku bantu cari meja nya... " tanya Rena membantu

"Nama nya Mr. Chung.. " Dio menjawab?

"Oh Meja tiga belas, dipojok baris ke 2 …,” jawab Rena sambil menunjukan arah menggunakan tangannya.

"Tapi kenapa kamu jadi Resepsionis gini Rena? Kamu masih kerja di Bank BUMN, kan?" cecar Dio lagi.

"Masih Dio... Ini hanya kerja sampingan, aku butuh uang, bapak aku sakit!" jawab Rena singkat karena beberapa tamu sudah mengantri dibelakang Dio

Rena mempersilahkan tamu dibelakang Dio tanpa memperdulikan Dio lagi dan pria itu pun masuk kedalam Restoran dengan masih diliputi kebingungan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status