POV NaraLima bulan telah berlalu semenjak peristiwa di rumah orang tua Azlan. Aku menjauh dari hiruk pikuk masalah, memilih fokus pada janin yang akan kulahirkan.Tak lagi aku merengek akan cintanya Azlan, tak ada lagi drama bermanja meminta perhatian. Semua kujalani seorang diri, bahkan ketika Azlan datang pun aku memilih mengurung diri.Entah apa maunya lelaki itu, menyuruhku untuk sadar diri, tetapi dia masih saja menghendaki tubuhku. Dengan dalih aku masih sah sebagai istri, membuat dia menuntut untuk dilayani.Bodo amat dengan dalihnya itu. Sengaja kutunjukkan sikap tak acuh, menghindari bertemu, bahkan untuk kontrol ke dokter pun aku lakukan sendiri. Hasil pemeriksaan selalu aku letakkan di atas buffet, Lastri--asisten rumah tangga yang akan memberikan pada Azlan.Nama yang tercantum sudah berganti menjadi nama Elina Ayu Pratiwi, bukan lagi Nara Paramitha. Sehingga setiap aku check up, nama itulah yang terdengar.Lagi-lagi tuntutan pekerjaan, aku harus merelakan apa yang akan m
Aku terduduk dan masih dalam sedu sedan tangis yang menyesakkan. Kupeluk lutut dan membenamkan wajah ke dalamnya.Gerakan bayi dalam perut menyadarkan, bahwa ia tak nyaman dengan posisiku. Kembali kuelus perut. "Maafkan Ibu, Nak. Jika kelak kamu besar, Ibu harap kamu akan tetap menghargaiku sebagai wanita yang melahirkanmu. Jangan pernah jijik dengan masa lalu ibu, ya?"Derai air mata kembali membasahi pipi. Dadaku semakin sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit. Melepas anak ini ke tangan Elina dan Azlan adalah keputusan yang tepat. Ia tak akan malu menjadi anak orang terhormat, ia akan terjamin kehidupannya. Mungkin, dengan melihat anak ini sukses kelak, itu akan menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku.Entahlah, orientasiku saat ini bukan lagi harta seperti awal yang dijanjikan. Bayi ini semakin hari semakin mengubah cara berpikirku. Aku sendiri kurang menyadari, bagaimana setiap perubahan terjadi pada diri ini.Saat bayi menendang atau menggeliat, ada desir
"Kenapa kamu diam, Ra?""Boleh aku habiskan makan malamku?" Sengaja kualihkan pembicaraan.Rasanya tak perlu membahas sesuatu yang akan menyakitkan hati.Azlan meletakkan mangkuk berisi sup ikan itu, kemudian berdiri dan menatap langit.Perlahan aku mulai menyendok sup hangat, menikmatinya dengan perasaan yang campur aduk. "Dulu aku memang merasa sebatas nyaman saja saat bersamamu, Ra. Namun saat kamu menghukumku, aku merasa sangat tersiksa. Ada yang sakit di dalam sini," tutur Azlan seraya memukul dadanya.Aku yang mendengar dan melihatnya seperti itu, seketika mengurungkan suapan ke mulut. Kuletakkan kembali mangkuk ke atas meja.Pandanganku kembali ke Azlan. Dia masih bicara tanpa melihatku, entah ekspresi apa yang ingin dia sembunyikan dariku."Aku memang bodoh, Ra. Terlambat menyadari perasaan ini, tapi aku juga takut akan menyakiti hati lain. Aku bingung, apa yang harus kulakukan?"Azlan berbalik dan menatapku, lalu berjalan mendekat dan kembali jongkok di hadapanku."Apa aku s
Pagi ini kusambut hari dengan wajah penuh keceriaan. Sibuk di dapur menyiapkan sarapan, layaknya seorang istri melayani suami. Nasi goreng cornet telah tersedia di meja, aromanya menguar menggugah selera. Dua gelas jus jeruk juga telah tersedia, menemani lezatnya nasi goreng kesukaan Azlan.Sesaat ingatanku kembali saat Azlan empat hari bersamaku. Hampir tiap pagi minta dibuatkan nasi goreng yang sama. Kebersamaan yang kuanggap penuh cinta, meskipun pada kenyataannya hanyalah palsu belaka.Kutarik kursi, lalu duduk dan menghela napas. Masih terngiang permintaan Azlan semalam. Meskipun aku hanya diam tak menjawab, tetapi otakku berpikir keras. Apakah aku mampu hidup sebagai istri yang disembunyikan?Azlan mencintaiku, bahkan tidak ingin melepasku walaupun bayi ini telah lahir. Namun, apa aku tidak akan tersiksa saat melihat anak yang kulahirkan harus memanggil 'Mama' pada wanita lain?Mungkin saja aku terlalu overthinking akan masa depan. Hanya saja, kurasa ini wajar bagi seorang ibu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.17, tetapi kabar dari Azlan tak juga ada. Kontak Flora hanya centang satu saat kukirim pesan, nomor seluler pun tak bisa dihubungi. Kekhawatiranku semakin bertambah saat kontak Azlan juga tidak aktif. Beberapa kali mencoba menghubungi, tapi tidak terhubung sejak sore tadi.Kaki ini mulai lelah karena sejak tadi bolak balik mengecek ke halaman depan, berharap mobil Azlan muncul dari balik pagar besi. Nyatanya, penantian yang sangat lama malah membuatku semakin tidak karuan rasanya."Non Nara menunggu Den Azlan?" tanya Bik Lastri yang melihatku sejak tadi mondar-mandir."Iya," sahutku singkat."Mungkin Den Azlan nggak datang, Non.""Dia dah janji mau datang," jawabku tanpa melepas pandangan dari pagar."Non Nara istirahat saja dulu, nanti biar saya yang membukakan pintu Den Azlan."Aku abaikan saran dari Bik Lastri. Pikiranku masih terlampau sibuk menduga. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka? Cemas melanda akibat kekhawatiran yang berlebih.Kembal
Bulan ini kehamilanku dinyatakan genap 28 minggu atau tepat tujuh bulan. Perut semakin membulat besar, kaki juga semakin bengkak. Ditambah pinggang rasanya sering panas, membuat tidurku juga gelisah setiap malam.Biasanya Azlan seminggu dua atau tiga kali datang untuk menjenguk keadaanku. Dia terkadang menyempatkan waktu saat jam makan siang atau sepulang dari kantor. Perhatian Azlan semakin bertambah, dia dengan telaten mengompres kakiku yang bengkak.Kedatangan Azlan membuktikan bahwa perasaannya kepadaku benar-benar tulus, bukan sandiwara lagi. Bahkan ketika dia bersamaku, ponsel akan selalu dimatikan. Bayi dalam kandungan juga seolah turut bahagia, apalagi ketika Azlan mengelus dan mengajaknya bicara.Aku pun sudah tidak merasa cemburu dengan Elina lagi. Bagiku, perhatian Azlan selama masa kehamilan itu sudah lebih dari cukup. Yaach ... walaupun pernah hampir lima bulan menjauh dari Azlan, tetapi nyatanya hubungan kami malah jauh lebih baik.Baru saja Azlan memberi kabar, dia akan
POV AzlanEntah sudah berapa lama aku berdiri di depan ruang emergency. Setelah mengurus administrasi dan mencarikan persediaan kantong darah, aku kembali mematung di tempat ini. Kekhawatiran yang belum pernah aku rasakan, bahkan saat Elina angkat rahim pun tak seperti ini kecemasanku.Perasaan takut kehilangan Nara dan bayinya membuatku hampir gila. Bahkan ingin sekali aku timpakan hukuman berat pada Elina, karena dialah Nara sampai seperti sekarang. Kondisi wanita malang itu sedang kritis, banyak darah yang keluar akibat serangan brutal Elina.Entahlah, dari mana wanita itu tahu tempat tinggal Nara. Aku sendiri pun selama ini menolak untuk memberitahu keberadaan Nara. Semua aku lakukan agar semasa kehamilan, Nara terbebas dari berbagai tekanan.Aku sendiri pun tak tahu sejak kapan tumbuh perasaan semacam ini. Semakin ingin menolak, justru perasaan itu semakin kuat. Bukan semata-mata kenikmatan tubuh Nara, bukan pula sekedar kenyamanan saat bersamanya. Namun, ada hal yang lebih dari
POV Azlan"Nara hanyalah istri ....""Karena Nara hanya istri kedua? Terus dianggap pelakor begitu?" sahut Mama memotong kalimat Flora yang tampak ragu-ragu."Apa salahnya Azlan nikah lagi? Bukankah Azlan juga butuh keturunan? Aku jadi curiga, jangan-jangan kehamilan Elina kali ini juga bohong?" ujar Mama dengan ekspresi berpikir, lalu menatapku tajam.Duh, bagaimana aku harus menjaga rahasia kalau begini? Kali ini Elina jelas tak akan terselamatkan posisinya. Mama masti langsung akan memintaku untuk menceraikan wanita yang menemaniku lebih dari delapan tahun, bahkan sejak kami sama-sama masih kuliah.Apa yang harus aku lakukan sekarang? Membiarkan kebohongan terbongkar sama artinya dengan melempar Elina ke dasar jurang kelam."Azlan, jujur ke Mama. Apa kehamilan Elina yang sekarang juga bohong lagi?" Pertanyaan Mama penuh penekanan, bahkan tatapannya seolah hendak menelanku bulat-bulat.Aku masih mematung, tak tahu harus mengambil keputusan apa."Tentu saja bohong, Tante. Karena nia