"Siapa?" tanya Kiana waspada. Tidak ada yang terlihat di depannya kecuali kegelapan. Hanya ada secercah cahaya dari bawah lampu di depan sana."Saya," ucap Ghazlan."Pak Ghazlan?""Iya, saya.""Kenapa bapak ada di sini?" tanya Kiana. Dia berdiri, terkesiap karena suara langkah kaki yang berkecipak dengan air terdengar mendekat. "Boleh saya pinjam ruang tamu?"Beberapa saat Kiana bisa melihat penampakan wajah Ghazlan yang basah. Pria itu menyeringai sembari menyapu rambut depannya yang kebasahan. Kiana meringsut ke pintu, membukanya. Dia menunduk begitu tatapannya beradu dengan pria yang resmi menjadi suami sirinya itu. "Bapak butuh sesuatu?""Sebenarnya butuh handuk. Boleh saya pinjam?"Kiana memutar tubuhnya ke belakang. Dia sudah berjalan untuk naik ke kamarnya ketika Anita muncul dengan wajah bingung. "Ada tamu, Bu Kia?" tanyanya."Pak Ghazlan minta handuk.""Handuk?" Spontan saja mata Anita mendelik. "Untuk apa? Kenapa tiba-tiba minta handuk, Bu Kia?""Mengeringkan rambutnya, M
"Apa? Saya tidak melakukan apapun," ucap Ghazlan. Dia mundur beberapa langkah agar Anita tidak berpikir yang bukan-bukan. "Dari sudut pandang kamu, saya memang terlihat mencium Kiana. Tapi dari sudut pandang saya..,""Apa, Mas? Kamu mencium Kiana?"Suara itu berasal dari suara Glade yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Wanita itu menatap marah pada Kiana. Saat itu juga dia membuang payung yang dia pegang lalu berjalan ke arah wanita yang telah dia biayai kehidupannya.Plak!"Dasar tidak tahu diri!" umpat Glade. Napasnya sudah memburu sebelum Ghazlan menjelaskan.Anita menutup mulutnya, sementara Kiana menyentuh permukaan kulit wajahnya yang memanas. Tamparan itu cukup keras. Dia bahkan belum pernah merasakan tamparan sekejam itu selama hidupnya. "Sayang, bukan seperti itu. Kamu salah paham," tegas Ghazlan. Dia menarik tubuh istrinya untuk menjauhi Kiana. "Apanya yang salah? Aku dengar sendiri kalau kamu mencium Kiana. Kamu yang bilang, Mas! Bukan aku!" sungut Glade mengge
"Kiana, tunggu! Please! Maafkan aku. Aku nggak bermaksud secara begitu sama kamu," bujuk Tere. Begitu dia melontarkan pertanyaan, Kiana langsung bangkit karena tersinggung. Tere juga yang salah karena tidak bisa melihat situasi.Kiana menoleh, tatapannya menohok, "Kamu kan yang paling tahu apa alasanku untuk menerima pekerjaan yang bahkan nggak terpikirkan olehku. Kenapa kamu bisa setega itu mengajukan pertanyaan begitu?""Aku minta maaf, Kia. Mungkin ini karena hormon kehamilanku, aku jadi bicara ngawur. Yuk, masuk! Aku nggak mau kamu pergi dalam keadaan marah," tukas Tere memelas. Hati Kiana yang terlalu baik tidak bisa mengatakan tidak untuk bujukan Tere. Mereka kembali masuk dengan permintaan maaf berkali-kali dari Tere. Persahabatan mereka yang tidak sekedar pertemanan biasa sudah membuat Kiana kembali ceria. Dia menceritakan apa yang perlu dia ceritakan dan meninggalkan insiden yang membuat Tere akan berpikiran buruk. "Kapan hari perkiraan lahir bayi kamu, Re?" tanya Kiana. D
"Saya bosnya Kiana, Pak. Anda siapanya?" tanya Ghazlan dengan sopan namun tersirat ketegasan untuk melepaskan Kiana. Hari meradang. Dia menyingkirkan tangan pria asing di depannya itu. "Bos? Ah, yang memberikan gaji di muka?"Ghazlan melirik Kiana untuk memastikan bahwa wanita itu mengatakannya. Terlihat Kiana mengangguk pelan namun dia ragu karena takut kalau Ghazlan salah menduga. "Benar sekali. Saya mengakui kinerja Kiana yang setiap hari meningkat makanya saya memberikan gaji di muka. Terakhir kali saya ingin bertanya, siapa bapak?" tanya Ghazlan. Secara tidak langsung dia menarik Kiana untuk lebih dekat padanya. Kiana setengah meringkuk di samping Ghazlan karena perlindungan pria itu sangat dia butuhkan. Sang supir kini hanya menyaksikan apa yang majikannya lakukan. "Saya ayahnya. Kamu nggak berhak memotong pembicaraan kami," tegas Hari. "Saya berniat membawa anak saya untuk pulang.""Kalau begitu kembalikan uang yang telah saya berikan pada Kiana. Saya tahu kalau uang terseb
Sebagai apa? Kiana diam-diam menahan napas untuk mendengar ucapan Glade."Asisten pribadi saya," tukas Glade kemudian. Dia benar-benar tidak suka ide itu tapi dia terpaksa melakukannya. Alasannya hanya satu, suaminya ada di rumah besok. Hanya dia yang akan pergi karena Ghazlan ada pekerjaan dari rumah."Saya bisa tinggal di rumah saja, Mbak. Lagi pula saya juga tidak kenal mama mertua mbak Glade," elak Kiana penuh sesal. Apa yang perlu dia lakukan kalau mereka bertemu? Kenal saja tidak!"Tidak bisa! Kamu harus ikut!""Alasannya, Mbak?"Muka normal Glade berubah tajam. "Kamu pikir saya rela meninggalkan suami saya di rumah hanya bersama kamu?""Maksudnya, Mbak?" Kiana berpikir bahwa Glade mengetahui kejadian sore tadi."Tadi sore kamu ngapain pulang sama suami saya?" sungut Glade.Benar kan? Kiana jadi paham kenapa Glade bersikeras membawanya."Saya tidak..,""Ya, kamu pasti akan mengatakan kalian tidak melakukan apapun. Alasan klasik. Kamu harusnya menunggu supir selesai memperbaiki m
Bak orang yang linglung, Kiana mundur hingga dia kehilangan pijakannya. Ratri hanya menggelengkan kepalanya sementara Glade menyeringai kecil sembari menghampiri wanita yang berjalan ke arah mereka. Wanita dengan penampilan sederhana tetapi terlihat tegas itu menyambut Glade dengan senyum lebarnya."Terimakasih, Sayang, karena kamu bisa meluangkan waktu untuk datang ke sini," tukasnya.Glade segera memeluk wanita tersebut sembari menjawab, "Sama-sama, Ma. Aku pasti selalu bisa meluangkan waktu untuk mama."Mama? Kiana mengulang dalam hati. Jadi wanita yang usianya diperkirakan setengah abad lebih tersebut ternyata mama mertua Glade. Pantas saja wibawanya sangat terasa ketika ucapan peringatan itu terlontar dari bibirnya."Siapa yang kamu bawa?""Ini asisten rumah tangga, Mbak. Mama pasti butuh banyak bantuan untuk melayani tamu kan nanti malam?" ucap Glade sembari memperkenalkan Kiana. "Ayo, sapa nyonya rumah ini!"Seolah tidak sadar dirinya menjadi bahan olok-olok Ratri karena penye
Ghazlan yang sadar jika intonasi suaranya terlalu tinggi, bergegas membawa Kiana menyingkir dari sana. Mereka berhenti di ruang belakang yang lumayan jauh dari tempat acara."Maaf," tukas Ghazlan dengan nada pelan. "Saya memang bodoh, Pak. Kalau saya nggak bodoh, saya mana mungkin bisa ada di sini?" jawab Kiana.Ghazlan merasa bersalah karena ucapannya pasti menyinggung Kiana. Siapapun pasti tidak akan mau dikatakan bodoh oleh orang lain. "Maaf. Bukan maksud saya berkata begitu. Hanya saja saya tidak suka kamu diperlakukan begini. Kemana kamu tidak mengelak?""Saya tidak berani melawan istri anda, Pak," ucap Kiana."Kalau begitu diamlah di sini. Biar saya saja yang memberitahu Glade." Ghazlan kembali ke tempat acara untuk mencari istrinya. Begitu melihat istrinya, dia ingin mengatakan sesuatu tapi Silvina memintanya untuk menemui salah satu rekan kerja papanya. "Nanti kita bicara," tukas Ghazlan pada Glade."Iya, Mas."°°°Ghazlan tidak sedang ingin basa-basi. Sungguh! Orang-orang y
Ghazlan meletakkan sendoknya. Sikapnya teramat tenang untuk seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu. "Kalau Kiana hamil juga nggak masalah, Ma. Dia punya suami."Mulut Silvina terbuka sesaat lalu kembali mengatup. "Mama kira dia hamil di luar nikah. Kalau tahu dia hamil, mama nggak akan suruh-suruh dia kemarin.""Kan aku sudah bilang sama mama kemarin. Mama punya asisten rumah tangga sendiri kenapa nyuruh Kiana?" tanya Ghazlan. Dia menoleh ke arah datangnya Glade. "Kiana dimana?""Aku suruh istirahat. Habis ini kita pulang ya, Mas?" pinta Glade. Ada sesuatu yang harus dia lakukan. Dia ingin memastikan apakah Kiana benar-benar hamil. Melihat tatapan mendesak dari Glade, akhirnya Ghazlan mengiyakan. "Iya. Lagi pula aku juga ada tugas di kampus hari ini."Sekilas Ghazlan bisa menangkap kegembiraan dari mata istrinya. Tentu saja. Ghazlan juga akan senang jika Kiana berhasil hamil. Mereka tak perlu lagi melakukan inseminasi untuk kedua kalinya. "Kamu perhatian sekali pada asisten ru