Sebagai apa? Kiana diam-diam menahan napas untuk mendengar ucapan Glade."Asisten pribadi saya," tukas Glade kemudian. Dia benar-benar tidak suka ide itu tapi dia terpaksa melakukannya. Alasannya hanya satu, suaminya ada di rumah besok. Hanya dia yang akan pergi karena Ghazlan ada pekerjaan dari rumah."Saya bisa tinggal di rumah saja, Mbak. Lagi pula saya juga tidak kenal mama mertua mbak Glade," elak Kiana penuh sesal. Apa yang perlu dia lakukan kalau mereka bertemu? Kenal saja tidak!"Tidak bisa! Kamu harus ikut!""Alasannya, Mbak?"Muka normal Glade berubah tajam. "Kamu pikir saya rela meninggalkan suami saya di rumah hanya bersama kamu?""Maksudnya, Mbak?" Kiana berpikir bahwa Glade mengetahui kejadian sore tadi."Tadi sore kamu ngapain pulang sama suami saya?" sungut Glade.Benar kan? Kiana jadi paham kenapa Glade bersikeras membawanya."Saya tidak..,""Ya, kamu pasti akan mengatakan kalian tidak melakukan apapun. Alasan klasik. Kamu harusnya menunggu supir selesai memperbaiki m
Bak orang yang linglung, Kiana mundur hingga dia kehilangan pijakannya. Ratri hanya menggelengkan kepalanya sementara Glade menyeringai kecil sembari menghampiri wanita yang berjalan ke arah mereka. Wanita dengan penampilan sederhana tetapi terlihat tegas itu menyambut Glade dengan senyum lebarnya."Terimakasih, Sayang, karena kamu bisa meluangkan waktu untuk datang ke sini," tukasnya.Glade segera memeluk wanita tersebut sembari menjawab, "Sama-sama, Ma. Aku pasti selalu bisa meluangkan waktu untuk mama."Mama? Kiana mengulang dalam hati. Jadi wanita yang usianya diperkirakan setengah abad lebih tersebut ternyata mama mertua Glade. Pantas saja wibawanya sangat terasa ketika ucapan peringatan itu terlontar dari bibirnya."Siapa yang kamu bawa?""Ini asisten rumah tangga, Mbak. Mama pasti butuh banyak bantuan untuk melayani tamu kan nanti malam?" ucap Glade sembari memperkenalkan Kiana. "Ayo, sapa nyonya rumah ini!"Seolah tidak sadar dirinya menjadi bahan olok-olok Ratri karena penye
Ghazlan yang sadar jika intonasi suaranya terlalu tinggi, bergegas membawa Kiana menyingkir dari sana. Mereka berhenti di ruang belakang yang lumayan jauh dari tempat acara."Maaf," tukas Ghazlan dengan nada pelan. "Saya memang bodoh, Pak. Kalau saya nggak bodoh, saya mana mungkin bisa ada di sini?" jawab Kiana.Ghazlan merasa bersalah karena ucapannya pasti menyinggung Kiana. Siapapun pasti tidak akan mau dikatakan bodoh oleh orang lain. "Maaf. Bukan maksud saya berkata begitu. Hanya saja saya tidak suka kamu diperlakukan begini. Kemana kamu tidak mengelak?""Saya tidak berani melawan istri anda, Pak," ucap Kiana."Kalau begitu diamlah di sini. Biar saya saja yang memberitahu Glade." Ghazlan kembali ke tempat acara untuk mencari istrinya. Begitu melihat istrinya, dia ingin mengatakan sesuatu tapi Silvina memintanya untuk menemui salah satu rekan kerja papanya. "Nanti kita bicara," tukas Ghazlan pada Glade."Iya, Mas."°°°Ghazlan tidak sedang ingin basa-basi. Sungguh! Orang-orang y
Ghazlan meletakkan sendoknya. Sikapnya teramat tenang untuk seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu. "Kalau Kiana hamil juga nggak masalah, Ma. Dia punya suami."Mulut Silvina terbuka sesaat lalu kembali mengatup. "Mama kira dia hamil di luar nikah. Kalau tahu dia hamil, mama nggak akan suruh-suruh dia kemarin.""Kan aku sudah bilang sama mama kemarin. Mama punya asisten rumah tangga sendiri kenapa nyuruh Kiana?" tanya Ghazlan. Dia menoleh ke arah datangnya Glade. "Kiana dimana?""Aku suruh istirahat. Habis ini kita pulang ya, Mas?" pinta Glade. Ada sesuatu yang harus dia lakukan. Dia ingin memastikan apakah Kiana benar-benar hamil. Melihat tatapan mendesak dari Glade, akhirnya Ghazlan mengiyakan. "Iya. Lagi pula aku juga ada tugas di kampus hari ini."Sekilas Ghazlan bisa menangkap kegembiraan dari mata istrinya. Tentu saja. Ghazlan juga akan senang jika Kiana berhasil hamil. Mereka tak perlu lagi melakukan inseminasi untuk kedua kalinya. "Kamu perhatian sekali pada asisten ru
"Nanti kalau Mbak Glade melihatnya, saya lagi yang kena marah, Pak," tukas Kiana. Sejujurnya dia senang mendapat perhatian dari Ghazlan tapi kemarahan Glade lebih menakutkan."Kamu nggak mau cuci muka? Saya bawakan sarapan," ucap Ghazlan sembari memperlihatkan bungkus plastik di tangannya. "Oh, iya. Terimakasih atas makanannya, Pak. Saya akan menghabiskannya," ucap Kiana yang tanpa basa-basi merebut bungkusan tersebut dari tangan Ghazlan. Tak lupa dia juga menutup pintu bermaksud mengusir pria itu. Di luar sana, Ghazlan yang bisa geleng-geleng kepala. "Padahal aku mau melihatnya makan."Kiana tidak bisa mendengar gumaman tersebut. Dia memilih untuk meletakkan bungkusannya di atas meja makan sementara dia kembali ke kamarnya. Namun, baru melangkah ke pintu kamar, mualnya tiba-tiba datang. Kiana bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Sayangnya tidak ada yang keluar. Wanita itu terdiam cukup lama di depan wastafel dengan keringat lumayan deras. "Ternyata hamil itu ng
"Pak Ghazlan?" gumam Kiana. Ghazlan memberi isyarat untuk diam. Telunjuknya mengarah pada Anita yang berjalan mondar-mandir mencari Kiana. Kiana menyadari posisinya, sungguh. Tapi kenapa seolah Ghazlan memberikan kesempatan untuknya berpikir macam-macam? "Tapi kenapa kita harus sembunyi, Pak?"Mereka bersembunyi di balik dinding rumah Kiana, menenggelamkan diri di antara pot-pot bunga kecil yang sama sekali tidak bisa menghilangkan jejak mereka. "Iseng saja," ucap Ghazlan santai. Dia menyeringai kecil, benar-benar ciri khasnya yang tidak bisa diubah. Kiana baru mengetahui bahwa Ghazlan bisa seceria itu. Padahal waktu bertemu pertama kali, kesan yang didapat Kiana adalah muka serius yang tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Tapi sekarang, Ghazlan seolah mudah ditebak.Suara Anita terdengar menjauh. Ghazlan mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang pada Kiana. Kiana bergerak dengan kikuk. "Kita mau ngapain, Pak?""Nggak ngapa-ngapain. Jalan-jalan ada di sini. Kamu udah per
"Apa perlu kita bawa ke dokter?""Bawa saja, Mas. Nanti kalau ada apa-apa gimana dengan bayinya?" "Telepon saja dokter Saras, Glade.""Nggak usah dekat-dekat, Mas. Ingat, aku sedang marah sama kamu.""Ya Tuhan, kamu masih membahas masalah kemarin?"Samar-samar Kiana mendengar percakapan antara Glade dan Ghazlan. Wanita itu membuka matanya, agak berat entah kenapa. "Kiana, kamu sudah sadar?" tanya Glade yang langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Kiana. Begitu dia mendapat kabar dari Anita bahwa Kiana pingsan, seketika dia berlari ke rumah belakang. Melihat kerumunan para asisten rumah tangganya, Glade merasakan dunianya runtuh. Dia sangat berharap kehamilan Kiana bisa berhasil agar tidak ada lagi pembicaraan masalah kehamilan di rumah mertuanya. "Saya nggak apa-apa, Mbak," ucap Kiana sebelum Glade menanyakan kondisinya. Helaan nafas lega terdengar dari mulut Glade. "Kenapa kamu bisa pingsan? Sebaiknya kita pergi ke dokter supaya kita tahu apa yang terjadi.""Nggak perlu, Mbak. S
Ghazlan menoleh dengan sengit, "Apa saya nggak boleh membawanya ke rumah sakit?"Anita mengerjap kebingungan. Dia tidak bisa melihat niat baik Ghazlan karena sikap Ghazlan yang terlalu bertolakbelakang. "Tuan mau menggendong Bu Kia?""Lalu saya harus melemparnya?" sengit Ghazlan. Dia berdiri dengan kedua lengan memeluk Kiana. "Siapkan mobil!""Ba-baik, Pak," ucap Anita gelagapan. Dia berlari ke bangunan depan untuk mencari supir Ghazlan yang seharusnya sudah bersiap. Dia mendapati pria berpakaian serba hitam tersebut berdiri di samping mobilnya. "Buka pintunya!" tegur Anita. Butuh dua detik untuk pria itu menyadari perintah tersebut. Dia membuka pintu segera setelah melihat Ghazlan yang sedang memeluk Kiana setengah Kiana berlari. Anita membantu Ghazlan untuk memposisikan kepala Kiana, lalu dia sendiri keluar dari pintu samping. Asisten rumah tangga keluarga Ghazlan itu menunggu sampai kendaraan berwarna putih metalik tersebut menghilang dari pandangannya."Semoga tidak ada sesuatu