"Nanti kalau Mbak Glade melihatnya, saya lagi yang kena marah, Pak," tukas Kiana. Sejujurnya dia senang mendapat perhatian dari Ghazlan tapi kemarahan Glade lebih menakutkan."Kamu nggak mau cuci muka? Saya bawakan sarapan," ucap Ghazlan sembari memperlihatkan bungkus plastik di tangannya. "Oh, iya. Terimakasih atas makanannya, Pak. Saya akan menghabiskannya," ucap Kiana yang tanpa basa-basi merebut bungkusan tersebut dari tangan Ghazlan. Tak lupa dia juga menutup pintu bermaksud mengusir pria itu. Di luar sana, Ghazlan yang bisa geleng-geleng kepala. "Padahal aku mau melihatnya makan."Kiana tidak bisa mendengar gumaman tersebut. Dia memilih untuk meletakkan bungkusannya di atas meja makan sementara dia kembali ke kamarnya. Namun, baru melangkah ke pintu kamar, mualnya tiba-tiba datang. Kiana bergegas ke kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya. Sayangnya tidak ada yang keluar. Wanita itu terdiam cukup lama di depan wastafel dengan keringat lumayan deras. "Ternyata hamil itu ng
"Pak Ghazlan?" gumam Kiana. Ghazlan memberi isyarat untuk diam. Telunjuknya mengarah pada Anita yang berjalan mondar-mandir mencari Kiana. Kiana menyadari posisinya, sungguh. Tapi kenapa seolah Ghazlan memberikan kesempatan untuknya berpikir macam-macam? "Tapi kenapa kita harus sembunyi, Pak?"Mereka bersembunyi di balik dinding rumah Kiana, menenggelamkan diri di antara pot-pot bunga kecil yang sama sekali tidak bisa menghilangkan jejak mereka. "Iseng saja," ucap Ghazlan santai. Dia menyeringai kecil, benar-benar ciri khasnya yang tidak bisa diubah. Kiana baru mengetahui bahwa Ghazlan bisa seceria itu. Padahal waktu bertemu pertama kali, kesan yang didapat Kiana adalah muka serius yang tidak sembarang orang bisa menyentuhnya. Tapi sekarang, Ghazlan seolah mudah ditebak.Suara Anita terdengar menjauh. Ghazlan mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang pada Kiana. Kiana bergerak dengan kikuk. "Kita mau ngapain, Pak?""Nggak ngapa-ngapain. Jalan-jalan ada di sini. Kamu udah per
"Apa perlu kita bawa ke dokter?""Bawa saja, Mas. Nanti kalau ada apa-apa gimana dengan bayinya?" "Telepon saja dokter Saras, Glade.""Nggak usah dekat-dekat, Mas. Ingat, aku sedang marah sama kamu.""Ya Tuhan, kamu masih membahas masalah kemarin?"Samar-samar Kiana mendengar percakapan antara Glade dan Ghazlan. Wanita itu membuka matanya, agak berat entah kenapa. "Kiana, kamu sudah sadar?" tanya Glade yang langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Kiana. Begitu dia mendapat kabar dari Anita bahwa Kiana pingsan, seketika dia berlari ke rumah belakang. Melihat kerumunan para asisten rumah tangganya, Glade merasakan dunianya runtuh. Dia sangat berharap kehamilan Kiana bisa berhasil agar tidak ada lagi pembicaraan masalah kehamilan di rumah mertuanya. "Saya nggak apa-apa, Mbak," ucap Kiana sebelum Glade menanyakan kondisinya. Helaan nafas lega terdengar dari mulut Glade. "Kenapa kamu bisa pingsan? Sebaiknya kita pergi ke dokter supaya kita tahu apa yang terjadi.""Nggak perlu, Mbak. S
Ghazlan menoleh dengan sengit, "Apa saya nggak boleh membawanya ke rumah sakit?"Anita mengerjap kebingungan. Dia tidak bisa melihat niat baik Ghazlan karena sikap Ghazlan yang terlalu bertolakbelakang. "Tuan mau menggendong Bu Kia?""Lalu saya harus melemparnya?" sengit Ghazlan. Dia berdiri dengan kedua lengan memeluk Kiana. "Siapkan mobil!""Ba-baik, Pak," ucap Anita gelagapan. Dia berlari ke bangunan depan untuk mencari supir Ghazlan yang seharusnya sudah bersiap. Dia mendapati pria berpakaian serba hitam tersebut berdiri di samping mobilnya. "Buka pintunya!" tegur Anita. Butuh dua detik untuk pria itu menyadari perintah tersebut. Dia membuka pintu segera setelah melihat Ghazlan yang sedang memeluk Kiana setengah Kiana berlari. Anita membantu Ghazlan untuk memposisikan kepala Kiana, lalu dia sendiri keluar dari pintu samping. Asisten rumah tangga keluarga Ghazlan itu menunggu sampai kendaraan berwarna putih metalik tersebut menghilang dari pandangannya."Semoga tidak ada sesuatu
"Kamu sudah berani, Mas?" hardik Glade sembari berjalan mendahului suaminya. Wanita itu berjalan menyusuri pintu ICU dan beralih ke jalanan depan gedung bertingkat tersebut. Tatapan marahnya sudah berada di ujung tanduk dan sudah siap dimuntahkan pada suaminya. Ghazlan menghela napas lelah, "Pembahasan ini sudah beberapa kali kamu ajukan. Jawabanku akan tetap sama. Aku hanya memenuhi semua kewajiban karena kamu yang menyuruhku, Glade. Aku nggak mungkin bilang kalau Kiana asisten rumah tangga seperti yang kamu bilang pada mamaku. Aku juga nggak mungkin bilang kalau dia bukan siapa-siapaku. Dokter bisa mencurigaiku sebagai pria aneh yang membawa wanita asing yang sedang hamil ke rumah sakit.""Kamu bisa bilang kalau dia saudara kamu kan?" sindir Glade geram."Iya kalau dia memang saudara. Kenyataannya dia istri siriku. Kamu serius mau bertengkar di sini? Ada banyak orang yang melihat kita!" tukas Ghazlan setengah menekannya.Glade mendengus sebal. Dia memang melihat beberapa orang sed
"TIDUR DI LUAR!" teriak Glade. Dia berniat menggoda tapi dia juga bersungguh-sungguh. Ghazlan berpura-pura merengut. "Kamu yakin?""Banget!""Baiklah. Aku tidur di kamar tamu. Kalau kamu butuh aku, aku ada di sana," ucap Ghazlan. Dia mengedipkan matanya untuk memberikan sentuhan terakhir. Dialihkan tubuh istrinya untuk menjauh darinya. Glade menolak untuk melihat suaminya. Meskipun dia ingin sekali menahan tapi dia bertekad untuk tidak melakukannya sebagai pembalasan. °°°"Kamu ada masalah sama istrimu?" tanya Silvina yang entah kenapa pagi-pagi sudah datang ke rumah Ghazlan dan tidak sengaja melihat pria itu keluar dari kamar tamu. "Em, biasalah, Ma. Namanya juga suami istri. Kalau nggak bertengkar ya pasti berselisih paham. Tapi kami baik-baik saja," tukas Ghazlan sembari menyesap kopinya. Silvina mengekorinya sampai ke dapur padahal Ghazlan hanya ingin mengambil kopi buatan asisten rumah tangga mereka. Mereka akhirnya duduk di meja bar, saling berhadapan. "Mama juga tahu kala
"Terserah," sahut Ghazlan. "Selama ini yang punya ide juga kamu bukannya aku, Glade. Jadi kamu juga harus bertanggungjawab." Ghazlan membuka pintu kamar dan menutupnya tanpa bicara lagi. Sementara istrinya meraung sejadi-jadinya tanpa suara. "Salahku juga," sesalnya. °°° Di luar pintu, Ghazlan masih berdiri di sana. "Memang. Harusnya kamu lebih baik sama aku, Sayang. Rasakan pembalasanku!" Pria itu tertawa tanpa suara. Jadi yang dilakukannya tadi hanya akting? Tentu saja. Ghazlan tidak sesensitif itu. °°° Kalau Silvina sudah tahu tentang kehamilan Glade, pasti orangtua Glade akan mengetahuinya juga. Sebelum Glade menjelaskan, wanita paruh baya itu sudah marah-marah karena tidak diberitahu lebih dulu. "Kalau mama berisik nanti cucu mama kesal," tukas Glade. [Habisnya kamu nggak mau cerita. Kapan kamu tes kehamilannya?] "Semalam, Ma." [Langsung garis dua tebal?] "Iyalah. Kalau satu garis mamanya negatif dong, Ma." [Coba kirim foto testpack kamu. Mama mau li
"Nggak apa-apa, Sayang. Kiana juga bukan orang lain," ucap Ghazlan dengan santai. Glade ingin sekali mengumpat pada suaminya. Dari awal dia sudah menekankan pada Kiana untuk tidak menginjak rumah utama sekalipun terdesak. Ghazlan juga sudah menyetujuinya termasuk Kiana. Tapi siapa sangka jika suaminya justru mengiyakan. "Mas," tekan Glade sekali lagi. Manik matanya menyiratkan protes."Kenapa kamu, Glade? Asisten rumah tangga mau masuk kok nggak boleh," sela Silvina."Bukannya begitu, Ma. Hanya saja kamar Kiana bukan di sini," elak Glade. Dia mencari cara agar Kiana tidak masuk ke dalam rumahnya. Harus ada batasan antara istri sah dan juga istri siri.Silvina kebingungan. Dia menunggu jawaban dari menantunya."Di belakang, Nyonya besar," ucap Anita akhirnya. "Nyonya Glade sudah membuatkan rumah untuk kami di belakang jadi Nyonya dan Tuan lebih punya privasi."Benar begitu, Glade?" tanya Silvina pada menantunya.Glade mengangguk setuju. Dia buru-buru menambahkan, "Soal Kiana biar aku