"Terserah," sahut Ghazlan. "Selama ini yang punya ide juga kamu bukannya aku, Glade. Jadi kamu juga harus bertanggungjawab." Ghazlan membuka pintu kamar dan menutupnya tanpa bicara lagi. Sementara istrinya meraung sejadi-jadinya tanpa suara. "Salahku juga," sesalnya. °°° Di luar pintu, Ghazlan masih berdiri di sana. "Memang. Harusnya kamu lebih baik sama aku, Sayang. Rasakan pembalasanku!" Pria itu tertawa tanpa suara. Jadi yang dilakukannya tadi hanya akting? Tentu saja. Ghazlan tidak sesensitif itu. °°° Kalau Silvina sudah tahu tentang kehamilan Glade, pasti orangtua Glade akan mengetahuinya juga. Sebelum Glade menjelaskan, wanita paruh baya itu sudah marah-marah karena tidak diberitahu lebih dulu. "Kalau mama berisik nanti cucu mama kesal," tukas Glade. [Habisnya kamu nggak mau cerita. Kapan kamu tes kehamilannya?] "Semalam, Ma." [Langsung garis dua tebal?] "Iyalah. Kalau satu garis mamanya negatif dong, Ma." [Coba kirim foto testpack kamu. Mama mau li
"Nggak apa-apa, Sayang. Kiana juga bukan orang lain," ucap Ghazlan dengan santai. Glade ingin sekali mengumpat pada suaminya. Dari awal dia sudah menekankan pada Kiana untuk tidak menginjak rumah utama sekalipun terdesak. Ghazlan juga sudah menyetujuinya termasuk Kiana. Tapi siapa sangka jika suaminya justru mengiyakan. "Mas," tekan Glade sekali lagi. Manik matanya menyiratkan protes."Kenapa kamu, Glade? Asisten rumah tangga mau masuk kok nggak boleh," sela Silvina."Bukannya begitu, Ma. Hanya saja kamar Kiana bukan di sini," elak Glade. Dia mencari cara agar Kiana tidak masuk ke dalam rumahnya. Harus ada batasan antara istri sah dan juga istri siri.Silvina kebingungan. Dia menunggu jawaban dari menantunya."Di belakang, Nyonya besar," ucap Anita akhirnya. "Nyonya Glade sudah membuatkan rumah untuk kami di belakang jadi Nyonya dan Tuan lebih punya privasi."Benar begitu, Glade?" tanya Silvina pada menantunya.Glade mengangguk setuju. Dia buru-buru menambahkan, "Soal Kiana biar aku
Kiana tidak merasa dirinya keterlaluan tapi Ghazlan seolah tertampar dengan ucapannya. Pria itu mengusap lengan istrinya berharap ketenangan, namun Glade menepisnya. Wanita itu justru mendelik sengit. "Pergilah!" usir Glade tanpa memandang Kiana. Kiana membalikkan tubuhnya lalu pergi. Apalagi yang dia harapkan kalau memang dia tidak ingin makan sesuatu? Anita dilema. Dia ingin mengejar Kiana untuk meminta maaf pada Glade, tapi dia takut kalau Glade salah mempersepsikan ucapannya. Tiga orang pelayan yang melayani mereka hanya saling melirik. Mereka pasti akan membicarakan di belakang majikannya karena semua penghuni rumah itu sudah tahu apa hubungan di antara majikannya dan juga Kiana. Yang paling mengejutkan tentu saja bentakan tersebut. Tidak ada yang berani membentak Glade. Menolak perintahnya saja sudah bisa diartikan cari masalah. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Ghazlan.Glade mendengus sebal, "Bagimu aku nggak apa-apa, Mas?""Bukan begitu maksudku, Glade."Glade yang awalnya sud
Kiana merasakan sesak di hatinya. Bukannya secara tidak langsung Kiana sedang diperingatkan untuk bersikap baik? "Iya, Pak," ucap Kiana pelan. Kepalanya tertunduk, menatap sandal rumah yang dia pakai. Warnanya tidak menarik tapi dia yakin sepasang sandal tersebut jauh lebih menarik dari pada ucapan Ghazlan.Tunggu! Bukannya Kiana ingin meminta maaf pada Glade tadi? Kemana perginya rasa bersalah itu?"Kembalilah dulu! Saya menyusul setelahnya," ucap Ghazlan lagi. Pria itu mulai memperhatikan Kiana yang bersikap malas untuk bangkit. Dia hanya melihat dan tidak melakukan apapun sampai akhirnya Kiana agak terseok karena sandalnya terlepas.Ghazlan refleks menahan tubuh Kiana dengan memeluk perutnya. Hanya seringan kapas karena Ghazlan takut melukai calon bayi mereka. "Maaf, saya hanya spontan," ucap Ghazlan sembari melepaskan pelukannya.Kiana terpaku. Apakah ini? Kenapa dia gugup? Kenapa jantungnya bergemuruh hebat? Apakah ini pertanda ada sesuatu?Sentuhan fisik yang secara langsung
"Ada masalah apa ya, Mbak?" tanya Kiana penasaran."Saya kurang tahu, Bu Kia. Katanya sih sempat bertengkar dengan Nyonya tapi nggak tahu apa masalahnya," ucap Anita. Sembari mengupas buah jeruk, dia memperhatikan wajah Kiana. "Bu Kia mau bertemu dengan Nyonya?""Mbak Glade ada di rumah, Mbak?" "Ada. Tumben banget pagi ini Nyonya di rumah, Bu Kia. Kalau mau bertemu sebaiknya sekarang sebelum Nyonya pergi," tukas Anita menyarankan."Kalau begitu, saya ke rumah utama dulu, Mbak.""Mau diantar?" tawar Anita."Nggak perlu, Mbak.""Kalau sudah selesai, Bu Kia harus kembali ya? Siapa tahu Nyonya besar tiba-tiba muncul," ucap Anita."Iya, Mbak. Tenang saja."Kiana melangkah ke rumah utama dengan memantapkan hati. Dia pikir tidak masalah kalau dia menanyakan perihal Ghazlan. Bukan karena dia ingin ikut campur tapi lebih pada rasa penasaran. Apakah semua ini terjadi karena dirinya.Kiana berpapasan dengan asisten rumah tangga yang berlalu-lalang. Entah kenapa tatapan mereka seolah mengejek pa
Anita menggeleng, "Saya juga bingung, Bu Kia. Tiba-tiba saja sudah ada di sini dan kata asisten rumah tangga yang lain, pakaian ini dari Tuan Ghazlan."Kiana tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana kalau Glade sampai tahu dan dia juga yang akan terkena getahnya? "Jangan diapa-apain dulu, Mbak. Saya tanya Pak Ghazlan dulu," ucap Kiana akhirnya. Terakhir kali Ghazlan mengirim pesan, dia sudah menyimpan nomor pria itu. Dia langsung menghubunginya dan menanyakan apa tujuannya mengirim semua pakaian-pakaian ini.[Saya hanya berinisiatif]°°°"Saya hanya berinsiatif," ucap Ghazlan seadanya. Satu jam sebelum dia mengirim pakaian-pakaian itu, dia sedang melihat blog seseorang yang lumayan terkenal di bidang parenting dan sebagainya. Ada satu kalimat yang membuatnya sadar bahwa ibu hamil juga membutuhkan perhatian terlebih masalah pakaian.Selama mengenal Kiana, dia hanya pernah sekali melihat wanita itu memakai pakaian santai di rumah. Jadi bisa diasumsikan bahwa wanita itu hanya mempunyai be
"Nggak bisa gitu, Mas!" tolak Glade kesal."Kenapa? Bukannya kamu sudah mencurigai aku? Sekalian saja kan kalau aku memperhatikan Kiana?" tantang Ghazlan murka."Nggak bisa, Mas. Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Kiana," tandas Glade marah. Dia memburu suaminya, menarik lengan suaminya hingga mereka saling berhadapan. "Kamu benar-benar mau menikahinya, Mas?""Ini yang paling aku benci dari kamu, Glade. Kamu bicara seolah aku ini memang benar menginginkan istri kedua. Ingat, kita membutuhkan jasa Kiana untuk melahirkan anak kita. Kalau kita uring-uringan terus, bagaimana jadinya kita?" Ghazlan terlalu frustasi untuk membahas masalah satu ini.Glade juga menginginkan hal yang sama tapi dia mencemburui sikap suaminya. "Tapi aku takut kamu menyukai Kiana, Mas."Sikap keras Ghazlan perlahan luluh. "Tidak akan. Kamu percaya sama aku. Selama kita baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.""Kamu yakin, Mas?" tanya Glade lagi. Manik matanya berkaca-kaca. Ucapan mamanya benar. Tidak ada
"Tapi, Ma? Aku periksa kehamilan kemarin di rumah sakit Medika bukan di rumah sakit lain. Kalau dipindah begitu saja nanti malah jadi ambigu penilaiannya. Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit Medika saja ya? Aku lebih nyaman diperiksa oleh dokter Saras," desak Glade. Dia mana mungkin pergi ke tempat lain kalau dia saja berbohong soal kehamilannya. Bagaimana ini? Ya Tuhan, Glade tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya tertuju pada Kiana yang juga menatapnya dari kaca spion tengah. Mereka sama-sama tidak bisa memikirkan jalan lain. "Memangnya kenapa? Sama-sama dokter bukannya tidak masalah? Apalagi dokter Joyceline jauh lebih berpengalaman dari dokter Saras. Dokter Joyceline juga yang merawat mama waktu hamil Ghazlan. Dokter keluarga mama juga ada di sana. Jadi, mama percaya sekali dengan semua dokter di rumah sakit itu, Sayang. Kamu jangan cemas! Mereka pasti akan memperlakukan kamu dengan baik apalagi kalau tahu kamu anak mama," jelas Silvina tetap pada pendiriannya. 'Bisa gila aku l
"Apa? Aku tanya sama Kiana bukan kamu!" bentak Ghazlan. Baby G terbangun dan menangis karena teriakan Ghazlan. Pria itu sadar akan kelalaiannya dan meminta maaf pada Kiana.Kiana mengambil alih Baby G. Gerakan cepatnya membuat GhazLan takjub. Kiana sangat cekatan. Tidak terlihat kalau wanita itu belum pernah menangani seorang bayi sekalipun. Ghazlan mendorong istrinya untuk keluar dari sana karena dia tidak ingin mengganggu Kiana. Pria itu langsung mengeluarkan uneg-unegnya."Lihatlah! Kamu memang dewasa tapi kamu nggak sedewasa Kiana. Kamu yang menginginkan dipanggil ibu tapi kenyataannya malah diam waktu Baby G nangis. Kamu sadar nggak sih, Glade? Kamu nggak mau belajar!" sentak Ghazlan kesal. Glade menatap sengit suaminya, "Lalu? Aku harus jadi babysitter gitu? Hei, Mas! Kita bisa membayar jasa babysitter. Ngapain sih susah-susah. Kamu banyak banget berubah sejak Kiana datang ke rumah kita. Kamu nggak pernah mendesakku untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Kamu nggak pernah sek
"Babysitter," tegur Glade dari arah kamar. Dia menahan kesal ketika Kiana datang-datang menyebut dirinya ibu. Babysitter yang sejak awal tidak bisa menangani Kiana, hanya melihat mereka dengan bingung."Ratri!" panggil Glade dengan kesal. Ratri berhasil menghampiri Glade, "Iya, Nyonya.""Urus mbaknya Baby G. Saya tidak mau ada rumor yang tersebar nantinya," ucap Glade yang tanpa tedeng aling-aling langsung mengatakan di depan wanita muda tersebut."Iya, Nyonya."Ratri lantas meminta sang babysitter untuk mengikutinya. Sementara Kiana mengambil alih Baby Galang. Baby Galang yang semula rewel tiba-tiba saja berhenti setelah didekap oleh Kiana. Rasa haru menyeruak dalam dada. Kiana menitikkan air matanya tanpa sadar. Wanita itu tidak mengerti kenapa dia harus menangisi keadaan yang membuatnya bahagia. "Jangan mendramatisir keadaan! Baby G hanya merespon karena kamu wanita yang melahirkannya. Setelah dia dewasa, kamu nggak akan pernah menjadi orang terpenting baby G," tukas Glade ketu
"Mbak Glade?" ucap Kiana dengan mata membulat penuh. "Dari mana mbak Glade tahu rumah saya?"Glade dengan tampang congkaknya langsung duduk di sofa ruang tamu. Sembari melihat-lihat keadaan rumah Kiana, dia mengatakan, "Apa yang saya tidak tahu?"Tere memberi isyarat pada Kiana, apa yang harus dia lakukan? Kiana memintanya untuk pergi karena Glade hanya punya urusan dengannya. Kiana lalu duduk di depan Glade. Dia tidak tahu reaksi apa yang harus dia perlihatkan pada mantan bosnya itu. Sudut bibir Glade terangkat. Entah mencela perumahan milik Kiana yang begitu mungil atau dia mengejek penampilan Kiana yang lebih sering memakai dress longgar. "Saya tidak tahu kalau Mbak Glade penasaran dengan tempat tinggal saya," ucap Kiana membuka pembicaraan."Bukan penasaran. Saya ingin mengajukan penawaran sama kamu. Kamu mau bekerja lagi di rumah saya? Sebagai babysitter Galang. Baby G nangis terus setiap malam dan saya lelah mendengarnya," ucap Glade geram. Dia seolah sedang mengatai anaknya
"Aku ibunya, Mas. Aku!" tegas Glade tidak bisa terbantahkan lagi. Matanya menatap garang pada suaminya yang tetap ngotot kalau Galang butuh Kiana. "Kamu tahu, Mas. Kalau kamu semakin mempersulit keadaan, aku nggak akan segan-segan membawa Galang pergi dari kamu!"Ghazlan mendesis pelan. "Selalu saja ancaman! Kalau kamu nggak mau aku mengungkit masalah Kiana, sebaiknya kamu cari cara agar Galang mau diam. Kamu ibunya kan? Kasihi dengan baik jangan cuma dilempar sama babysitter.""Oke. Nggak masalah! Aku bisa kok mengatasinya," jawab Glade geram. Dia meninggal sang suami untuk beralih ke kamar bayi mereka. Ruangan yang berada di samping kamar mereka dirubah sedemikian rupa agar Galang bisa nyaman tinggal di sana. Glade juga sudah membayar babysitter yang sudah bersertifikat dan dikelola oleh yayasan agar bisa mengasuh Galang selagi dia pergi. Namun pada kenyataannya, babysitter kondang juga tidak bisa menaklukkan Galang. Ada apa sebenarnya?"Kamu itu saya bayar mahal bukan untuk plonga
"Dimana?""Satu perumahan denganku, Kia. Harganya lumayan murah dan besar. Kamu bisa tinggal sama keluarga kamu nanti kalau misalkan udah nggak ada masalah lagi. Yuk! Aku udah janji untuk datang hari ini," jelas Tere. Kondisi Tere lebih baik ketimbang Kiana yang tidak bisa move on dari keluarga Ghazlan. Wajar karena orang yang menyewa rahim Tere bukan pasangan yang baru menikah dengan status memiliki segalanya.Kiana berpamitan dengan Munif lebih dulu sebelum dia memutuskan untuk pergi. Kiana jika memasukkan beberapa lembar uang ratusan ribu ke dalam amplop yang kemudian diserahkan pada wanita yang memiliki hati baik tersebut."Ini terlalu banyak, Nduk," ucap Munif. Hanya menyentuh permukaan luarnya saja dia tahu berapa puluh lembar isinya. "Kamu juga pasti butuh uang ini. Sebaiknya kamu simpan saja untuk keperluan kamu."Kiana menolaknya, "Saya masih punya beberapa simpanan uang, Bu. Bu Munif tenang saja."Munif ingin sekali menolaknya karena dia belum pernah mendapat uang banyak itu
Ghazlan menoleh pada Kiana, lalu beralih pada bayi laki-laki yang berada dalam dekapan Glade. Pria itu tidak bisa memilih. Mereka semua orang yang paling penting dalam hidupnya. Tapi ..."Maaf, Kiana," ucap Ghazlan akhirnya. Dia tidak berani menatap mata Kiana dan memilih untuk membawa bayi mereka pulang ke rumah. Kiana menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit dalam hatinya teramat menyiksa. Terlebih ketika bayi yang dia lahirkan diambil begitu saja. Terlepas dari perjanjian di antara mereka, Kiana hanya berharap mereka punya sedikit perasaan kasihan. "Bu Kia, saya mohon pamit," ucap Anita yang menatap Kiana berkaca-kaca. "Sejujurnya saya masih ingin membantu Bu Kia untuk mengemasi barang-barang tapi Nyonya meminta saya untuk segera menyusul. Saya minta maaf, Bu Kia. Selama saya bekerja dengan ibu, saya bahagia. Saya berharap Bu Kia bisa lebih bahagia dari sekarang dan melanjutkan hidup. Semoga ibu mendapatkan jodoh terbaik dari Tuhan agar bisa menemani Bu Kia. Tolong dimaafkan kalau say
Saras tersenyum bijak mendengar ucapan Kiana. "Bu Kia pasti selamat dan bisa melahirkan bayi ini tanpa kekurangan satu apapun. Jadi, semangat ya."Kiana menarik nafas panjang kalau menghembuskannya perlahan sesuai dengan instruksi Saras. Dia membutuhkan Ghazlan tapi kenapa pria itu justru tidak ada di saat dia menginginkannya. Kata orang peran suami adalah hal terpenting yang diinginkan seorang wanita jika melahirkan. Setetes air bening menetes dari kelopak mata sayu tersebut. 'Ayo, Sayang! Kita berjuang sama-sama. Ibu yakin kamu bisa melihat dunia ini. Yang kuat, yang semangat. Sama-sama kita berjuang! Kita tidak perlu siapapun lagi. Ibu janji akan menjadi orang pertama yang memeluk kamu nanti' batin Kiana.°°°Ghazlan berjalan terburu-buru bersama istrinya menyusuri lorong menuju ruang persalinan VVIP yang telah mereka siapkan. Glade sangat tidak sabar untuk menggendong anaknya dan mengatakan pada dunia bahwa dia berhasil mempunyai anak. Berbeda dengan pemikiran Ghazlan yang taku
"Bu Kia kenapa menangis? Perutnya sakit?" tanya Anita pada Kiana yang tidak ada angin tidak ada hujan terisak pelan. Kiana cepat-cepat menghapus air matanya. "Tidak, Mbak. Saya hanya lelah. Selama di rumah ini saya kan tidak pegang ponsel jadi mata saya agak kacau. Ini saya kembalikan, Mbak. Terimakasih ya.""Bu Kia mau tidur?" Kiana hanya mengangguk dan melangkah pergi. Hatinya sakit. Tuhan menciptakan hati bukan hanya untuk disakiti tapi pada kenyataannya dia selalu yang paling sakit. Keluarganya memperlakukannya dengan buruk dan berusaha untuk membuatnya menjadi anak yang tidak berbakti. Sekarang setelah dia mendapatkan kemudahan dalam keuangan, semuanya juga masih sama. Cinta tidak mau berpihak padanya. Dia harus bagaimana?"Em, jadi ini yang membuat Bu Kia sedih," gumam Anita setelah membuka aplikasi yang terakhir kali dilihat oleh majikannya.°°°H-7 kelahiran junior ...Kiana mengelus perutnya yang semakin aktif bergerak. Terakhir kali dia melakukan USG semuanya normal dan t
"Apa? Mencintai? Gila kamu, Ghazlan! Glade mau kamu singkirkan?" hardik Viona geram. Wajahnya semakin memerah. Dia tidak terima putri satu-satunya yang dia miliki, disia-siakan oleh Ghazlan. "Keluar kamu! Mama nggak mau melihat menantu yang nggak tahu terimakasih. Selama menikah, Glade tidak pernah berselingkuh dari kamu sekalipun banyak orang yang menyukainya. Tapi apa balasan yang kamu berikan?""Ma, aku nggak akan menceraikan Glade," ujar Ghazlan. Viona menatap sinis menantunya, "Kalau kamu nggak mau menceraikan Glade, mama yang akan paksa dia!""Tapi, Ma," desak Ghazlan."Pergi! Sebelum kamu meninggalkan wanita itu, mama nggak akan mau menerima kamu!" Viona tidak benar-benar serius dengan ucapannya karena Ghazlan adalah menantu potensial yang tidak bisa dia tinggalkan. Enak saja kalau Kiana berhasil mendapatkannya. Kehidupan wanita itu akan mujur selama sisa hidupnya. 'Mama terpaksa begini supaya kamu bisa memutuskan wanita nggak jelas itu. Kalau nggak begini, kamu pasti akan l