"Nggak bisa gitu, Mas!" tolak Glade kesal."Kenapa? Bukannya kamu sudah mencurigai aku? Sekalian saja kan kalau aku memperhatikan Kiana?" tantang Ghazlan murka."Nggak bisa, Mas. Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Kiana," tandas Glade marah. Dia memburu suaminya, menarik lengan suaminya hingga mereka saling berhadapan. "Kamu benar-benar mau menikahinya, Mas?""Ini yang paling aku benci dari kamu, Glade. Kamu bicara seolah aku ini memang benar menginginkan istri kedua. Ingat, kita membutuhkan jasa Kiana untuk melahirkan anak kita. Kalau kita uring-uringan terus, bagaimana jadinya kita?" Ghazlan terlalu frustasi untuk membahas masalah satu ini.Glade juga menginginkan hal yang sama tapi dia mencemburui sikap suaminya. "Tapi aku takut kamu menyukai Kiana, Mas."Sikap keras Ghazlan perlahan luluh. "Tidak akan. Kamu percaya sama aku. Selama kita baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.""Kamu yakin, Mas?" tanya Glade lagi. Manik matanya berkaca-kaca. Ucapan mamanya benar. Tidak ada
"Tapi, Ma? Aku periksa kehamilan kemarin di rumah sakit Medika bukan di rumah sakit lain. Kalau dipindah begitu saja nanti malah jadi ambigu penilaiannya. Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit Medika saja ya? Aku lebih nyaman diperiksa oleh dokter Saras," desak Glade. Dia mana mungkin pergi ke tempat lain kalau dia saja berbohong soal kehamilannya. Bagaimana ini? Ya Tuhan, Glade tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya tertuju pada Kiana yang juga menatapnya dari kaca spion tengah. Mereka sama-sama tidak bisa memikirkan jalan lain. "Memangnya kenapa? Sama-sama dokter bukannya tidak masalah? Apalagi dokter Joyceline jauh lebih berpengalaman dari dokter Saras. Dokter Joyceline juga yang merawat mama waktu hamil Ghazlan. Dokter keluarga mama juga ada di sana. Jadi, mama percaya sekali dengan semua dokter di rumah sakit itu, Sayang. Kamu jangan cemas! Mereka pasti akan memperlakukan kamu dengan baik apalagi kalau tahu kamu anak mama," jelas Silvina tetap pada pendiriannya. 'Bisa gila aku l
"Mama!" sela Glade cepat. Kenapa sih Silvina sekarang jadi sibuk mengurus masalah Kiana? Padahal semua asisten rumah tangga Glade tidak pernah mendapat perhatian lebih dari mertuanya itu. Melihat Silvina yang menatapnya dengan tanda tanya di wajahnya membuat Glade melanjutkan. "Masih ada dokter Saras di sini, Ma. Bukannya lebih baik kalau masalah ini kita bahas di rumah?"Silvina meminta maaf pada Saras karena secara tidak langsung mengganggu kenyamanannya. "Kami permisi dulu, Dok.""Hati-hati di jalan, Bu Silvina, Bu Glade dan Bu Kia," ucap Saras sembari menyalami ketiga orang tersebut. Dia masih menyunggingkan senyum ketika mereka membuka pintu ruangannya. Begitu pintu tertutup kembali, dia menghela napas lega. "Baru kali ini aku ketakutan menghadapi seseorang.""Sebenarnya orang yang menganakemaskan Kiana itu aku atau mama sih? Kenapa mama jadi repot bertanya soal suami Kiana? Bukannya privasi Kiana juga penting untuk dijaga?" tegur Glade secara halus. Dia melirik Kiana untuk meng
Sudah diduga!Kiana menghembuskan napas pelan. "Maaf, Mbak.""Ingat! Kamu sedang mengandung anak saya dan suami saya. Gimana bisa kamu malah berkeliaran di luar? Kalau ada apa-apa, kamu mau tanggungjawab? Biaya inseminasi buatan nggak cuma satu dua juta aja. Saya memang mampu, tapi saya paling tidak suka mengulang dua kali untuk melakukan sesuatu," tandas Glade.Kiana tahu itu tapi Glade tidak perlu menjelaskan berulang kali. Dia juga tidak berniat untuk datang ke kampus kalau bukan Tere yang memintanya. Dia menyerah, dia sudah berbalik tapi suara Ghazlan menginterupsi."Biarkan saja, Sayang. Lagi pula Kiana ke kampus hanya untuk menampakkan wajah sesekali. Ada aku di sana yang akan menjaganya," tukas Ghazlan bijak. Kepalanya selalu mendingin jika memecahkan masalah. Glade hampir mengomel ketika Ghazlan mendekat dan membisikkan sesuatu. Pada saat itu, Kiana langsung menoleh ke arah lain. Ada secuil rasa tidak nyaman melihat kedekatan keduanya yang memang sangat wajar. Glade dan Ghaz
Sontak saja semua orang memalingkan mukanya ke belakang untuk mencari tahu siapa yang diteriaki oleh Ghazlan. Pandangan mereka tertuju pada Kiana dan seorang pria yang mereka kenal sebagai pria paling bermasalah di kampus. Setelah tahu siapa orangnya, mereka kembali melihat ke depan seolah dua manusia itu bukan apa-apa.Pria yang duduk di samping Kiana tidak merasa malu, justru Kiana lah yang sibuk menenggelamkan wajahnya ke balik laptop.Apalagi Ghazlan sekarang sedang berjalan ke arahnya. Tatapan marahnya tentu saja menimbulkan tanda tanya. Apa yang membuat pria itu sampai harus berteriak? Apakah karena dia benar-benar mematuhi permintaannya untuk terlambat atau karena alasan lain?Kiana melihat sepasang sepatu berhenti di sampingnya. Kepalanya semakin tertunduk. Kalau Ghazlan sampai marah, itu artinya Ghazlan tidak sepenuhnya serius dengan perintahnya pagi tadi.Tapi..."Jay? Terlambat untuk kesekian kalinya?" tanya Ghazlan dengan suara rendah dan beratnya itu. Salah satu telapak
Kiana segera melepaskan tarikan tangan Jay. "Maaf." Dia kemudian menghampiri Ghazlan yang tengah menatap semua orang dengan tajam."Kalian tidak punya jadwal kelas?" hardik Ghazlan."Punya, Pak," jawab sebagian mahasiswi, yang lainnya hanya diam saling berbisik. "Bubar!" Titah tidak terbantahkan itu langsung diiyakan, termasuk Jay. Pria itu masih berusaha menarik perhatian Kiana namun sayangnya Kiana tidak merespon. "Ikut saya!"Kiana mengangguk pelan. Entah kenapa Kiana merasakan ada sesuatu yang salah. Ghazlan marah padanya. Jelas-jelas Kiana hanya korban. Ketika mereka sampai di ruangan Ghazlan, pria itu langsung memburu Kiana dengan sederet kalimat kekesalan."Tolak! Susahnya apa sih?""Saya sudah menolaknya, Pak!" ucap Kiana pelan. Dia takut suara mereka didengar dari luar. "Ya tolak lagi kalau dia nggak mau pergi. Ingat! Status kamu di sini itu mahasiswi dan juga istri siri saya!" Istri siri saya? Kiana merasa ada gejolak aneh dalam dadanya. Mendapat pengakuan yang tidak di
"Bapak mau ngapain?" tanya Kiana pelan. Dia bukannya tidak tahu, tapi dia berusaha menghindar. Ghazlan menyeringai malu. Dia ketahuan berpikir yang bukan-bukan. Pelan dia memundurkan langkahnya, lalu menggaruk kepalanya. "Saya kira ada sesuatu di mata kamu."Kiana tertawa sumbang. Alasan itu tidak masuk akal. "Oh ya, Pak? Jadi ketahuan habis tidur ya."Ghazlan mengangguk, "Saya kira saya bakalan dikatain gila karena ketuk pintu ruangan sendiri. Ini, minum dulu! Habis itu kamu keluar dari sini dan tunggu saja di tempat tadi."Kiana mengangguk sembari membuka minumannya sendiri. Tenggorokannya yang kering langsung terbasahi dengan cepat. Kelopak matanya berkedip-kedip, otaknya terasa membeku. "Brain freeze ya?" tebak Ghazlan. Kiana mengangguk. "Haus, Pak." Lebih tepatnya malu karena ketahuan hampir berciuman dengan Ghazlan.Ghazlan tertawa kecil, "Saya juga." Kiana ikut tertawa. Mereka terlihat konyol dengan tingkah seperti anak kecil. Moment langka yang tidak mungkin bisa didapatka
'Dikira aku mau apa dijadikan pajangan di rumah? Yang diberikan kasih sayang lebih hanya istri sah sementara aku? Aku hanya dapat peringatan ini dan itu. Memang untuk masalah finansial, aku nggak perlu cemas, tapi kalau untuk masalah ranjang? Apa Pak Ghazlan bisa menafkahiku?' batin Kiana.Memikirkan masalah ranjang membuat Kiana malu sendiri. Padahal belum jelas Ghazlan benar-benar serius dengan ucapannya atau hanya iseng belaka."Kiana? Kenapa diam? Kamu nggak suka ide saya?" tanya Ghazlan.Kiana mencoba untuk menyunggingkan senyum, "Hanya ide kan, Pak? Bisa ditolak atau diterima. Lagi pula kehamilan ini juga masih panjang. Siapa tahu di balik semua peristiwa ini, saya bisa mendapatkan suami yang benar-benar menerima saya apa adanya. Bukan bapak yang notabene adalah suami orang."Ghazlan terdiam cukup lama, lalu, "Kamu benar.""Tentu saja. Saya mungkin masih kecil tapi saya bisa melihat kalau bapak sangat mencintai Mbak Glade. Kalau tidak, mana mungkin jasa saya digunakan?""Jasa? K