Kiana merasakan sesak di hatinya. Bukannya secara tidak langsung Kiana sedang diperingatkan untuk bersikap baik? "Iya, Pak," ucap Kiana pelan. Kepalanya tertunduk, menatap sandal rumah yang dia pakai. Warnanya tidak menarik tapi dia yakin sepasang sandal tersebut jauh lebih menarik dari pada ucapan Ghazlan.Tunggu! Bukannya Kiana ingin meminta maaf pada Glade tadi? Kemana perginya rasa bersalah itu?"Kembalilah dulu! Saya menyusul setelahnya," ucap Ghazlan lagi. Pria itu mulai memperhatikan Kiana yang bersikap malas untuk bangkit. Dia hanya melihat dan tidak melakukan apapun sampai akhirnya Kiana agak terseok karena sandalnya terlepas.Ghazlan refleks menahan tubuh Kiana dengan memeluk perutnya. Hanya seringan kapas karena Ghazlan takut melukai calon bayi mereka. "Maaf, saya hanya spontan," ucap Ghazlan sembari melepaskan pelukannya.Kiana terpaku. Apakah ini? Kenapa dia gugup? Kenapa jantungnya bergemuruh hebat? Apakah ini pertanda ada sesuatu?Sentuhan fisik yang secara langsung
"Ada masalah apa ya, Mbak?" tanya Kiana penasaran."Saya kurang tahu, Bu Kia. Katanya sih sempat bertengkar dengan Nyonya tapi nggak tahu apa masalahnya," ucap Anita. Sembari mengupas buah jeruk, dia memperhatikan wajah Kiana. "Bu Kia mau bertemu dengan Nyonya?""Mbak Glade ada di rumah, Mbak?" "Ada. Tumben banget pagi ini Nyonya di rumah, Bu Kia. Kalau mau bertemu sebaiknya sekarang sebelum Nyonya pergi," tukas Anita menyarankan."Kalau begitu, saya ke rumah utama dulu, Mbak.""Mau diantar?" tawar Anita."Nggak perlu, Mbak.""Kalau sudah selesai, Bu Kia harus kembali ya? Siapa tahu Nyonya besar tiba-tiba muncul," ucap Anita."Iya, Mbak. Tenang saja."Kiana melangkah ke rumah utama dengan memantapkan hati. Dia pikir tidak masalah kalau dia menanyakan perihal Ghazlan. Bukan karena dia ingin ikut campur tapi lebih pada rasa penasaran. Apakah semua ini terjadi karena dirinya.Kiana berpapasan dengan asisten rumah tangga yang berlalu-lalang. Entah kenapa tatapan mereka seolah mengejek pa
Anita menggeleng, "Saya juga bingung, Bu Kia. Tiba-tiba saja sudah ada di sini dan kata asisten rumah tangga yang lain, pakaian ini dari Tuan Ghazlan."Kiana tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana kalau Glade sampai tahu dan dia juga yang akan terkena getahnya? "Jangan diapa-apain dulu, Mbak. Saya tanya Pak Ghazlan dulu," ucap Kiana akhirnya. Terakhir kali Ghazlan mengirim pesan, dia sudah menyimpan nomor pria itu. Dia langsung menghubunginya dan menanyakan apa tujuannya mengirim semua pakaian-pakaian ini.[Saya hanya berinisiatif]°°°"Saya hanya berinsiatif," ucap Ghazlan seadanya. Satu jam sebelum dia mengirim pakaian-pakaian itu, dia sedang melihat blog seseorang yang lumayan terkenal di bidang parenting dan sebagainya. Ada satu kalimat yang membuatnya sadar bahwa ibu hamil juga membutuhkan perhatian terlebih masalah pakaian.Selama mengenal Kiana, dia hanya pernah sekali melihat wanita itu memakai pakaian santai di rumah. Jadi bisa diasumsikan bahwa wanita itu hanya mempunyai be
"Nggak bisa gitu, Mas!" tolak Glade kesal."Kenapa? Bukannya kamu sudah mencurigai aku? Sekalian saja kan kalau aku memperhatikan Kiana?" tantang Ghazlan murka."Nggak bisa, Mas. Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Kiana," tandas Glade marah. Dia memburu suaminya, menarik lengan suaminya hingga mereka saling berhadapan. "Kamu benar-benar mau menikahinya, Mas?""Ini yang paling aku benci dari kamu, Glade. Kamu bicara seolah aku ini memang benar menginginkan istri kedua. Ingat, kita membutuhkan jasa Kiana untuk melahirkan anak kita. Kalau kita uring-uringan terus, bagaimana jadinya kita?" Ghazlan terlalu frustasi untuk membahas masalah satu ini.Glade juga menginginkan hal yang sama tapi dia mencemburui sikap suaminya. "Tapi aku takut kamu menyukai Kiana, Mas."Sikap keras Ghazlan perlahan luluh. "Tidak akan. Kamu percaya sama aku. Selama kita baik-baik saja, aku juga akan baik-baik saja.""Kamu yakin, Mas?" tanya Glade lagi. Manik matanya berkaca-kaca. Ucapan mamanya benar. Tidak ada
"Tapi, Ma? Aku periksa kehamilan kemarin di rumah sakit Medika bukan di rumah sakit lain. Kalau dipindah begitu saja nanti malah jadi ambigu penilaiannya. Sebaiknya kita pergi ke rumah sakit Medika saja ya? Aku lebih nyaman diperiksa oleh dokter Saras," desak Glade. Dia mana mungkin pergi ke tempat lain kalau dia saja berbohong soal kehamilannya. Bagaimana ini? Ya Tuhan, Glade tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya tertuju pada Kiana yang juga menatapnya dari kaca spion tengah. Mereka sama-sama tidak bisa memikirkan jalan lain. "Memangnya kenapa? Sama-sama dokter bukannya tidak masalah? Apalagi dokter Joyceline jauh lebih berpengalaman dari dokter Saras. Dokter Joyceline juga yang merawat mama waktu hamil Ghazlan. Dokter keluarga mama juga ada di sana. Jadi, mama percaya sekali dengan semua dokter di rumah sakit itu, Sayang. Kamu jangan cemas! Mereka pasti akan memperlakukan kamu dengan baik apalagi kalau tahu kamu anak mama," jelas Silvina tetap pada pendiriannya. 'Bisa gila aku l
"Mama!" sela Glade cepat. Kenapa sih Silvina sekarang jadi sibuk mengurus masalah Kiana? Padahal semua asisten rumah tangga Glade tidak pernah mendapat perhatian lebih dari mertuanya itu. Melihat Silvina yang menatapnya dengan tanda tanya di wajahnya membuat Glade melanjutkan. "Masih ada dokter Saras di sini, Ma. Bukannya lebih baik kalau masalah ini kita bahas di rumah?"Silvina meminta maaf pada Saras karena secara tidak langsung mengganggu kenyamanannya. "Kami permisi dulu, Dok.""Hati-hati di jalan, Bu Silvina, Bu Glade dan Bu Kia," ucap Saras sembari menyalami ketiga orang tersebut. Dia masih menyunggingkan senyum ketika mereka membuka pintu ruangannya. Begitu pintu tertutup kembali, dia menghela napas lega. "Baru kali ini aku ketakutan menghadapi seseorang.""Sebenarnya orang yang menganakemaskan Kiana itu aku atau mama sih? Kenapa mama jadi repot bertanya soal suami Kiana? Bukannya privasi Kiana juga penting untuk dijaga?" tegur Glade secara halus. Dia melirik Kiana untuk meng
Sudah diduga!Kiana menghembuskan napas pelan. "Maaf, Mbak.""Ingat! Kamu sedang mengandung anak saya dan suami saya. Gimana bisa kamu malah berkeliaran di luar? Kalau ada apa-apa, kamu mau tanggungjawab? Biaya inseminasi buatan nggak cuma satu dua juta aja. Saya memang mampu, tapi saya paling tidak suka mengulang dua kali untuk melakukan sesuatu," tandas Glade.Kiana tahu itu tapi Glade tidak perlu menjelaskan berulang kali. Dia juga tidak berniat untuk datang ke kampus kalau bukan Tere yang memintanya. Dia menyerah, dia sudah berbalik tapi suara Ghazlan menginterupsi."Biarkan saja, Sayang. Lagi pula Kiana ke kampus hanya untuk menampakkan wajah sesekali. Ada aku di sana yang akan menjaganya," tukas Ghazlan bijak. Kepalanya selalu mendingin jika memecahkan masalah. Glade hampir mengomel ketika Ghazlan mendekat dan membisikkan sesuatu. Pada saat itu, Kiana langsung menoleh ke arah lain. Ada secuil rasa tidak nyaman melihat kedekatan keduanya yang memang sangat wajar. Glade dan Ghaz
Sontak saja semua orang memalingkan mukanya ke belakang untuk mencari tahu siapa yang diteriaki oleh Ghazlan. Pandangan mereka tertuju pada Kiana dan seorang pria yang mereka kenal sebagai pria paling bermasalah di kampus. Setelah tahu siapa orangnya, mereka kembali melihat ke depan seolah dua manusia itu bukan apa-apa.Pria yang duduk di samping Kiana tidak merasa malu, justru Kiana lah yang sibuk menenggelamkan wajahnya ke balik laptop.Apalagi Ghazlan sekarang sedang berjalan ke arahnya. Tatapan marahnya tentu saja menimbulkan tanda tanya. Apa yang membuat pria itu sampai harus berteriak? Apakah karena dia benar-benar mematuhi permintaannya untuk terlambat atau karena alasan lain?Kiana melihat sepasang sepatu berhenti di sampingnya. Kepalanya semakin tertunduk. Kalau Ghazlan sampai marah, itu artinya Ghazlan tidak sepenuhnya serius dengan perintahnya pagi tadi.Tapi..."Jay? Terlambat untuk kesekian kalinya?" tanya Ghazlan dengan suara rendah dan beratnya itu. Salah satu telapak