"Ya elah, yang udah nikah, omongannya nikah mulu ... enggak gitu juga kali, Mih. Aku belum siap buat nikah muda. Pacaran juga kan aku masih bisa jaga diri."
"Halah, belum tentu. Setan yang ngegodain orang pacaran tuh lebih banyak." "Idih, kayak yang pernah lihat setan aja!" "Emang bener!" Perdebatan antara ibu sambung dan anak sambung itu terus saja berlanjut. Mereka berbeda pandangan perihal pacaran dan pernikahan. Keduanya bersikukuh dengan pendapat masing-masing. "Menikah itu untuk seumur hidup, maunya kan satu kali aja nikahnya. Jadi harus benar-benar selektif cari calon suaminya. Kalau cuma, ya ... iseng-iseng doang atau cuma ngandelin cinta doang mah gampang. Tuh lihat, artis-artis yang pernikahannya mewah tetap aja ujungnya cerai." Bianca masih membela argumentasinya. "Nah itu. Padahal kan artis itu pacarannya lama. Tapi, tetap aja cerai! Ya kan? Ya kan?" Namira merasa di atas angin. Bianca terjebak ucapannya sendiri. Bibirnya manyun beberapa centi, garuk-garuk kepala yang tak gatal. "Iya sih." "Nah kan? Makanya gak jaminan. Pacaran dulu bisa langgeng pernikahan. Intinya, kita harus tau makna pernikahan itu apa? Kalau cuma ngandelin cinta, susah bertahannya karena apa? Cinta itu sifatnya cuma sementara." Gaya Namira sudah seperti pakar cinta saja. Dia mengajari Bianca tentang hakikat cinta sebenarnya. Tentang pentingnya menjaga kepercayaan, saling mengerti dan saling menghargai pasangan. "Ya ampun, Mamih ... kamu tuh udah kayak ibu-ibu beneran deh! Level omongannya tuh udah tingkat umur 30 tahunan." "Yeh, dibilangin malah ngeledek. Anak sambung durhaka!" Bianca tertawa, merangkul pinggang Namira gemas. Sejak orang tuanya bercerai, Namira menjadi tempat berkeluh kesah Bianca. Sebelumnya memang Bianca tidak terlalu dekat dengan mamanya tetapi adanya Namira dalam kehidupannya, membuat Bianca mempunyai tempat cerita. Satu hal yang tak diduga Bianca ketika ia mengetahui kalau Namira diam-diam jatuh hati pada papanya. "Mamih, pulang dari kampus, kita beli cincin lagi, ya? Gak enak banget dilihatnya, udah nikah, jarimu masih kosong. Nih lihat!" Bianca mengangkat jari Namira. "Tapi, jari manisku lecet, Bi. Kamu sih, beliin cincin bisa kekecilan gitu?" "Lah, kamu juga, kenapa diajak beli cincin gak mau? Malah nyuruh aku!" "Waktu itu kan perutku lagi sakit. Ya kamu, harusnya kira-kira. Emang waktu beli gak diukur dulu apah?" "Diukur!" "Pake jarimu yang mana?" "Kelingking," jawab Bianca nyengir kuda. "Heh, dasar! Iyalah kekecilan." Bianca tertawa, mencubit gemas pipi ibu sambungnya. Perdebatan mereka tak pernah ada akhirnya jika tidak terdengar suara pintu diketuk. "Masuk!" serempak, dua gadis itu berteriak. Lalu, keduanya sama-sama tertawa, menertawakan kekompakan mereka. Gelak tawa keduanya terhenti, ketika Bianca melihat orang yang masuk ke dalam ruangan. "Tan ... Tante Hesti?" gumam Namira, tubuhnya menegang melihat wanita yang penampilannya seperti wanita sosialita. Hesti membuka kaca mata hitamnya. Tas bermerk yang menggantung di lengannya ia letakkan di atas meja. Wanita itu raut wajahnya begitu dingin. Dia hanya menoleh sekilas pada Bianca, seolah tak mengenal anak tunggalnya. "Hai, Bi, Hai Namira. Kabar kalian sepertinya baik-baik aja ya? Terutama kamu, Namira. Kelihatannya kamu sekarang tambah cantik setelah diadopsi Daniel? Kamu juga, Bi. Terlihat lebih dewasa dan ... cantik. Persis seperti Mamahnya," seloroh Hesti menatap Bianca dan Namira bergantian. "Enggak apa-apa sih, cantik kayak mamahnya. Asal jangan sifatnya aja kayak mamahnya. Amit-amit, nauzubillahiminzalik," timpal Bianca membuat senyum Hesti seketika hilang. "Bianca, Papahmu mana?" Setelah bertahun-tahun lamanya tak berjumpa, seorang ibu, seorang wanita yang telah melahirkannya, tak ada sedikitpun kerinduan yang terlihat dari kedua bola matanya. Bahkan, Bianca seperti bukan anak kandung Hesti. Namira menoleh pada sahabatnya yang menatap lekat wanita yang tengah duduk di kursi kerja papanya. "Mau apa, kamu nyariin papahku?" Suara Bianca terdengar sangat datar. Tidak ada kata 'Mamah' yang terucap dari bibir mungil itu. Namira terkejut, ia memegang lengan sahabat sekaligus anak sambungnya. Bibir Hesti menyunggingkan senyum sinis, ia berdiri, menghampiri Bianca yang duduk di sofa dan menyuruh Namira berdiri. Hesti duduk di tempat Namira, lalu berusaha meraih telapak tangan anak kandungnya namun dengan kasar, Bianca menghempaskan tangan Hesti. "Karena ada kamu, Bi. Walaupun Mamah dan Papahmu sudah bercerai, tapi kami punya kamu. Kamu yang menjadi penyambung hubungan kami." Perkataan Hesti membuat Bianca dan Namira terkejut. Mereka menatap Hesti sangat lekat. "Maksudmu apa? Hubungan apa? Berkali-kali kamu selingkuhin papahku sampai akhirnya papah sadar kalau kamu bukan istri yang harus dipertahankan. Setelah itu, kamu pergi keluar negeri. Lalu sekarang? Datang lagi dan menyebut hubungan kami? Apa maksudmu?" tantang Bianca tanpa rasa takut. Hesti masih bersikap tenang walaupun hatinya tersinggung. "Maksud Mamah, Mamah akan mengajak papahmu kembali berumah tangga supaya kamu bisa merasakan keutuhan sebuah keluarga. Bukan begitu, Bi?" Bianca tersenyum miring, menggelengkan kepala. "Oh gak usah! Gak usah repot-repot mikirin aku supaya merasakan keutuhan sebuah keluarga? Gak usah ... aku udah terbiasa hanya dengan papah. Aku udah terbiasa, kemana-mana bersama papah. Tapi sekarang ... alhamdulillah, aku udah punya Mamih. Mamih yang selalu ada buatku. Mamih yang selalu mau mendengar keluh kesahku. Mamih yang mau menemaniku kemanapun aku pergi. Jadi, lebih baik kamu urungkan niat itu." Panjang lebar Bianca menjelaskan keinginan hatinya. Namira yang duduk di tempat Hesti sebelumnya hanya merunduk. Ia jadi takut memandang Hesti. Setelah ini, mantan istri suami Namira pasti bertanya, siapa mamih itu? "Papahmu udah nikah lagi?" tanya Hesti dingin. Raut wajah yang sebelumnya tenang, kini berubah masam. Bianca menyandarkan tubuh, bersidekap, dan menatap lurus ke depan. "Udah dong. Secara Papahku kan ganteng, banyak duit, baik hati, setia, pasti banyak wanita yang maulah. Dari yang muda sampe yang seumuran Papah, banyak yang mau. Cuma perempuan bodoh yang menyia-nyiakan Papahku," sindir Bianca menoleh sekilas pada Hesti. Hesti menghela napas berat. Dia pikir, Daniel belum menikah lagi. Dia pikir, Daniel belum bisa melupakan cintanya. Dia pikir, Daniel masih mau menerimanya kembali. Ternyata terlambat. Bianca benar, Daniel memang lelaki yang setia dan baik hati. "Kayaknya Daniel gak bakalan mau kalau menjadikanku istri kedua. Tapi, enggak ada salahnya kalau aku coba bicara," gumam Hesti dalam hati. "Begitu ya? Jadi, sekarang siapa istri baru Papahmu? Apa dia lebih cantik dari Mamah? Lebih muda dari Mamah? Atau jangan-jangan, lebih buruk dari Mamah? Secara kan, Papahmu itu orangnya lurus-lurus aja. Mamah bisa tebak, istri baru Papahmu pasti berasal dari kampung, ya? Yang kelihatan polos, gak ber-make-up dan norak. Iya?" Hesti mengejek selera Daniel. Bianca dan Namira tidak terima. Keduanya membeliakkan mata mendengar ejekan yang keluar dari mulut Hesti. "Jangan sok tau! kamu pengen tau siapa istri baru Papahku?" "Emangnya siapa?" "Tuh, Namira Rashid. Gadis yang beberapa menit lalu kamu bilang semakin cantik." Hesti terkejut. Bianca berdiri, menghampiri Namira yang duduk di kursi. "Kenalin, ini ibu sambungku. Namanya Namira Rashid, usianya masih 19 tahun. Masih gadis, masih perawan. Dan dia yang beberapa menit lalu kamu katakan, semakin cantik. Gimana? Keren banget kan Papahku bisa dapetin istri yang jauh lebih segala-galanya dari istri pertamanya?"Hesti sangat terkejut mendengar kenyataan kalau Namira, anak yang dulu sempat dibiarkan tinggal di rumah Daniel sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, kini menjadi istri kedua mantan suaminya. Hesti berdiri, menggelengkan kepala. "Kalian berdua pasti bercanda. Papahmu bukan pedofil, Bian. Dia lelaki normal, gak mungkin nikahin gadis muda seperti Namira," tandas Hesti, menolak kenyataan yang diucapkan anak kandungnya. "Emang papah normal. Papah juga sangat selektif. Udahlah, jangan ngarepin papah lagi. Papah udah punya istri baru dan akan memiliki anak lagi dari rahim sahabatku," ujar Bianca sambil mengelus-elus perut Namira. Meski agak geli, Namira membiarkan sahabatnya melakukan apapun yang diinginkan. "Kalian ini, ada-ada aja. Oke, kalau gitu Mamah mau pergi dulu. Nanti malam Mamah akan pulang ke rumah, mau nemuin Papahmu.""Enak aja! Jangan pulang ke rumah Papah. Kamu sama Papah udah gak ada hubungan apa-apa. Emang udah bosen gonta-ganti pasangan?""Jaga mulutmu, Bianca! Mama
"Terima kasih, Sayang," ucap Daniel setelah melampiaskan keinginannya. Namira menganggukkan kepala, tersenyum, tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ... aku masuk kelas dulu," timpal Namira mencium punggung tangan suaminya. Danile meng3cup kening Namira dan membiarkan istrinya turun dari mobil. "Ya Allah, lama amat sih, Mih? Ngapain aja sih di mobil?" tanya Bianca yang sedari tadi menunggu Namira di depan pintu kelas. "Dosen belum datang kan?" Namira mengabaikan pertanyaan anak sambungnya. "Ditanya balik nanya. Belum datang. Ya untung aja belum datang. Ngapain aja sih kamu? Papah nanya-nanya soal aku sama mamah, ya?"Untung saja, Bianca langsung menduga suaminya menanyakan pertemuan Bianca dengan Hesti. "Iya. Nanya-nanya gitu. Aku cerita dong. Gak enaklah, masa bohong sama suami?" kata Namira santai. Padahal ia berharap kalau Bianca tidak curiga dirinya lama-lama dengan Daniel di dalam mobil. "Aku tuh gak nyangka banget mamah kayak gitu. Enggak ada berubahnya sama sekali. Aku pikir
Sampai di rumah, Bianca langsung masuk ke dalam kamar. Kepalanya agak pusing karena siang tadi sempat menangis. Begitu pula Namira dan Daniel, pasangan suami istri masuk kamar berbarengan. "Kamu mau langsung mandi?" Pertanyaan Daniel membuat langkah kaki Namira terhenti."Iya. Emang kenapa?""Enggak kenapa-napa. Ya udah kamu mandi duluan.""Oke."Kalau saja Namira tidak haid, ingin rasanya Daniel mandi bersama. Akhirnya lelaki itu hanya menunggu. Sambil menunggu istrinya selesai mandi, Daniel membuka handphone, mengecek email dan beberapa pesan yang masuk salah satunya dari Hesti. Daniel memejamkan kedua mata sejenak, meredam emosi yang mulai terpancing. Hesti menghubungi Daniel menggunakan nomor baru. Sedangkan Daniel, sejak dulu tidak pernah mengganti nomor handphone-nya. [Daniel, ini aku, Hesti. Kenapa kamu menikahi anak angkatmu, Daniel? Apa enggak ada wanita lain sampe anak ingusan itu kamu nikahi? Apa kamu udah jadi pedofil? Menjijikan!]Daniel langsung menghapus pesan itu dan
"Yang datang Pak Yuda. Katanya mau nganterin berkas yang Pak Daniel minta," jawab Bi Rusmi.Bianca dan Namira bernapas lega. Namira melepaskan gamitan tangan pada lengan suaminya. Membiarkan Daniel menemui Yuda, salah satu orang kepercayaan Daniel di perusahaan. "Terima kasih, Bi. Saya akan menemuinya. Bibi tolong buatkan kopi untuknya," titah Daniel pada wanita yang telah lama bekerja di rumahnya. "Baik, Pak."Daniel berjalan ke depan, menemui Yuda yang diminta olehnya mengantarkan berkas-berkas tentang penggelapan uang perusahaan. Daniel tak habis pikir, kenapa dia bisa kecolongan? Tidak sadar kalau ada orang yang berusaha menggelapkan uang perusahaan.Bi Rusmi ke dapur, sedangkan Bianca dan Namira menunggu di ruang makan. Mereka berdua sangat tenang karena yang datang bukan orang yang tidak mereka inginkan. "Kalau sampai mamaku yang datang, aku gak akan ngebiarin kamu dan papah menemuinya," kata Bianca sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Namira menganggukkan kepala. Ia setuju
"Masih sakit?" tanya Daniel setelah menunaikan nafkah batin untuk Namira. Gadis itu meringis, menganggukkan kepala. "Tapi, tadi sempet enak, Mas."Daniel mengulum senyum, mendengar jawaban Namira yang polos. Daniel ingin tertawa tapi takut istrinya tersinggung. Ia berdehem, memeluk tubuh Namira yang hanya ditutupi selimut. Melihat jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. "Kita mandi dulu. Setelah itu, kita berangkat. Mau mandi bareng?" Namira mendongak, menatap wajah suamiya penuh cinta. "Aku mandinya entar, ya? Masih sakit ...." Namira meringis lagi, merasakan perih di area sensitifnya. "Coba lihat sebentar.""Jangan!" cegah Namira ketika Daniel hendak ke bawah. "Kenapa? Sebentar aja.""Enggak mau. Kalau Mas mau mandi, mandi aja duluan. Aku nanti," kata Namira menarik lagi selimut sebatas dada.Daniel tersenyum penuh cinta, mengecup kening Namira sangat lembut dan cukup lama. "Terima kasih, kamu mau bertahan dan mau menikmatinya." Suara Daniel terdengar serak dan parau. "Sama-sama
Bianca sangat bahagia diberi izin pergi ke kampus sendirian. Hatinya terasa lega dan bebas. Senyum Bianca yang mengembang tiba-tiba hilang mengingat Namira sedang jatuh sakit. Apa mungkin Namira kelelahan karena beberapa hari ini selalu pulang kampus sore? Ada banyak tugas yang mesti mereka kerjakan. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas, hendak menghubungi Namira. Ia ingin menanyakan langsung tentang penyakit yang tengah dialami oleh ibu sambungnya itu. Satu panggilan tidak diangkat. Lalu, Bianca kembali menghubungi. Namun, lagi-lagi tidak diangkat. "Mungkin dia lagi tidur, nanti ajalah," gumam Bianca memasukan kembali ponsel ke dalam tas. Di dalam kamar, Namira dan Daniel tengah mengulang yang sebelumnya dilakukan. Namira sudah tidak merasa kesakitan lagi. Ia bahkan tanpa malu-malu, meminta lagi dan lagi. Hingga pukul sebelas siang, barulah Daniel menyudahi pemberian nafkah batinnya. "Nanti malam lagi ya, Om," rengek Namira tersipu malu. Daniel terkekeh. Membelai rambut istrinya
Bianca bergegas pulang ke rumah. Dia tak sabar ingin berlibur ke puncak Bogor. Liburan yang dia impikan selama ini, menginap di luar kota. Meskipun liburan itu bersama papanya. "Bianca! Bian!" Suara seorang pria memanggil gadis berusia 19 tahun. Bianca berhenti, dekat area parkir kampus. Membalikkan badan, rupanya Ferry, teman SMA-nya dulu. "Hai, Bi. Apa kabar?" Sapa Ferry sumringah."Ferry, ya?" Bianca bertanya karena saat ini Ferry rambutnya gondrong. "Iya. Masa kamu lupa?""Ya ampun, Ferry ... aku sampe gak ngenalin kamu. Kamu kuliah di sini juga?"Ferry lelaki yang dulu pernah mengungkapkan cinta pada Namira. Namun, saat itu Namira menolak cintanya. Namira beralasan kalau ia ingin fokus belajar. "Baru tiga bulan. Sebelumnya aku di Bandung. Karena mamahku didiagnosa sakit kanker, aku pindah ke sini."Senyum Bianca meredup. "Mamahmu sakit kanker apa?" "Rahim. Tapi, sekarang udah lebih baik. Oh ya, Namira kuliah di mana? Apa dia udah punya cowok?" tanya Ferry mengulum senyum. B
"Ferry? Ngapain kamu ke sini?" Bianca heran melihat Ferry yang berada di depan rumah sedang berbincang dengan papanya."Sorry, Bi. Tadi ... tadi aku sempet ngikutin mobil kamu," jawab Ferry tersenyum miring. Bianca cemberut tak suka. Ia menghela napas panjang. Sedangkan Namira bergeming, enggan menyapa Ferry."Apaan sih kamu? Maksudmu ngikutin aku apa? Pengen ketemu Namira?" terka Bianca menunjukan rasa kesel pada lelaki berambut gondrong itu. "Itu tau. Hai, Namira. Apa kabar?" Ferry menyapa Namira yang sedari tadi berdiri di belakang Bianca."Baik." Hanya itu jawaban Namira. "Alhamdulillah. Selain tambah baik, kamu juga sekarang tambah cantik."Kedua mata Namira dan Bianca membeliak. Mereka tak suka Ferry berkata demikian. Tampaknya Daniel belum memberitahu Ferry kalau Namira adalah istrinya. Sikap Daniel berubah gusar. "Ferry, Om tinggal ke dalam dulu.""Iya, Om," timpal Ferry tersenyum lebar."Jangan masuk dulu!" Cegah Namira ketika Daniel melewatinya. Daniel menoleh, menatap
Sudah sore, Bianca dan Bi Rusmi belum juga pulang. Namira dan suaminya kini tengah berada di ruang keluarga. Mereka nonton televisi sambil menunggu Bianca dan Bi Rusmi pulang. "Nomor hape Bianca gak aktif, Sayang. Mas khawatir dia kenapa-napa. Apalagi ini udah sore. Ck!" Daniel sangat resah menunggu anak kandungnya. Sedari tadi mondar-mandir menunggu Bianca pulang ke rumah. "Mas Ayang, duduk dulu. Nanti juga Bianca dan Bi Rusmi pulang. Mungkin mereka lagi kejebak macet, Mas." Namira berusaha membuat suaminya tenang, menunggu Bianca yang sampai saat ini sulit dihubungi. "Kalau macet, kenapa lama begini, Sayang? Mas benar-benar khawatir." Daniel menghempaskan b0kongnya ke sofa samping kanan Namira. Raut wajahnya sangat gelisah, berulang kali melihat pintu depan. Apa Bianca sudah pulang atau belum? "Kalau Mas khawatir, cari saja di Mall," kata Namira tanpa memandang wajah suaminya. Ia takut kalau akhirnya Daniel justru menyalahkannya karena melarang ikut belanja. Daniel m
Senyum Bianca mengembang saat dirinya duduk di balik kemudi. Hatinya benar-benar bahagia karena diberi izin pergi ke supermarket dengan Bi Rusmi. Biasanya Daniel selalu mengikuti kemanapun Bianca pergi. Sekarang tidak lagi semenjak menikah dengan Namira. "Non, tumben Pak Daniel gak ikut?" tanya Bi Rusmi heran. Setahunya, Daniel biasanya ikut kemanapun Bianca pergi. Tetapi, hari ini kenapa hanya ia dan Bianca? "Papah kan lagi jagain Namira, Bi. Oh iya, Bibi belum tau, ya? Kalau Mamihku sekarang lagi hamil." Bianca berkata sangat riang. Dia benar-benar bahagia. Ternyata dugaannya benar. Kalau Daniel punya istri baru dan punya anak, perhatiannya akan terbagi. Tidak untuk dirinya saja. "Beneran, Non?" Bi Rusmi terkejut, kedau matanya membeliak sempurna. Bibir tua itu menyunggingkan senyum. Bahagia karena dugaannya benar. "Benar dong, Bi. Tadi kami ke rumah sakit. Pas di USG katanya baru 3 Mingguan. Makanya Mamihku gak boleh capek, gak boleh banyak pikiran," ujar Bianca sumringa
"Kenapa sih kamu ngedoanya kayak gitu, Bianca?" tanya Hesti kesal mendengar doa yang diucapkan anaknya. Hesti sama sekali tak menduga kalau hati Bianca sulit diluluhkan. Bianca menghela napas berat. Menatap malas mantan istri papahnya. "Suka-suka aku. Ya udah sih kalau mau pergi, pergi aja. Jangan lupa bawa kuenya. Silakan, pintunya ada di sana." Hesti memejamkan kedua mata sejenak, menarik napas panjang untuk meredam emosi, mengambil tas dan kue buatannya, lalu pergi meninggalkan Bianca sendirian di dapur. Bianca tak tinggal diam, ia pun mengekor Hesti. Melihat Hesti berhenti di anak tangga yang menghubungkan ke kamar papahnya, Bianca berdehem. Hesti menoleh kesal, melanjutkan langkah, keluar dari rumah Daniel Bragastara.Kini, perasaan Bianca sangat lega karena wanita yang akan mengganggu rumah tangga papahnya dengan sahabatnya sudah pergi dan keluar rumah. Secepatnya Bianca memastikan mobil Hesti sudah pergi ataukah belum. Mengintip dari balik gorden ruang tamu, ternyata kendar
Hati Bianca sangat bahagia mendengar perintah yang diucapkan papanya. Dia ingin bebas berbelanja. Bi Rusmi gampang diatur. Wanita itu selalu menuruti apa yang diinginkan dan diperintahkan Bianca. Sebenarnya itu hanya strategi Namira saja. Awalnya Namira tidak membiarkan Bianca pergi ke supermarket hanya dengan Bi Rusmi tetapi ketika melihat Bianca cemberut dan tampak kesal padanya, Namira pun memiliki ide supaya Daniel tidak mengantar anaknya ke supermarket. Benar saja, raut wajah Bianca sekarang berubah sumringah. Ia terlihat benar-benar bahagia. Memasuki halaman rumah yang luas dan indah, terlihat ada sebuah mobil yang terparkir. Daniel, Namira dan Bianca mengerutkan kening. Mereka menerka mobil siapa itu?"Mas Ayang ada janji ketemu seseorang di rumah?" tanya Namira memecah keheningan."Enggak. Mas gak ada janji dengan siapa-siapa." Daniel sangat yakin kalau dirinya tidak ada janji bertemu dengan siapapun di rumah. "Apa mobil barunya Om Yuda, Pah?" Bianca ikut bertanya. Daniel
"Alhamdulillah, jadi bener kalau Mamih saya sekarang hamil, dok?" tanya Bianca antusias. Ia memaksa masuk ke dalam ruangan ketika dokter hendak memeriksa kandungan Namira. "Mamih? Maksudnya Mbak Namira Mamih kamu?" dokter terheran-heran mendengar ucapan Bianca. Gadis itu tersenyum manis, mengalungkan kedua tangan pada leher Namira karena Bianca berdiri di belakangnya. Sedangkan Daniel hanya merunduk, menggelengkan kepala melihat tingkah polah Bianca. "Iya, dok. Dia ini Mamihku. Ibu sambung aku.""Oh begitu.""Dok, usia kandungan istri saya sekaran, baru berapa Minggu?" Daniel mengalihkan pembicaraan mereka. Menumpu kedua tangan di atas meja. Namira dan Bianca menoleh, menatap Daniel yang serius menunggu jawaban dokter bernama Sinta Saraswati. "Kalau lihat dari USG, sekitar tiga Mingguan, Pak Daniel. Pokoknya, Mbak Namira harus bisa jaga diri, makan makanan yang bergizi, minum susu ibu hamil yang teratur dan nanti saya kasih obat yang dapat mengurangi rasa mual.""Iya, dok. Terima k
"Oweek ... oweek ...."Suara Namira sejak subuh tadi terus-menerus terdengar muntah. Tiga Minggu setelah berlibur dari puncak, tubuh Namira selalu lemas, kepala pusing dan perut sering mual terutama kalau pagi hari. "Sayang, kita ke dokter sekarang. Mas takut kamu kenapa-napa apalagi wajahmu sangat pucat." Daniel menangkupkan kedua tangan pada wajah istrinya. Memandang wajah Namira penuh kasih sayang. Namira berjalan lemah, keluar dari toilet. Duduk di sisi ranjang. Sebelah tangannya meraih dua lembar tissue. "Aku gak apa-apa, Mas. Paling karena masuk angin soalnya kan hampir tiap malam aku keramas terus. Paling sedikit, seminggu tiga kali. Biasanya kita produksi seminggu lima kali atau full seminggu. Lihat ini, udah jadi gunung. Gede banget kan? Ish. Jadi ... Gimana aku gak masuk angin coba? Oweek ... duh, mual lagi. Sebentar!" Namira berjalan cepat ke toilet, muntah-muntah padahal muntahan itu tidak ada isinya. Daniel melonggarkan dasi, ia tak tenang jika tetap berangkat ke kanto
"Aku jawab, mau pikir-pikir dulu.""Hah?" Namira terkejut mendengar jawaban yang diberikan Bianca untuk Ferry yang mengajak ia pacaran. "Kenapa pikir-pikir dulu, Bi? Kenapa gak langsung ditolak aja sih?" protes Namira agak kecewa mendengar jawaban Bianca. Anak kandung Daniel itu merengut, merundukkan kepala. Namira menoleh cepat ketika ia berpikir tentang suatu hal."Bi, jangan-jangan kamu ... kamu sebenarnya suka sama si Ferry?" terka Namira meski hatinya berharap dugaannya salah. Bianca salah tingkah, meringis. "Bu-bukan gitu, Mamih ....""Jangan sebut aku mamih dulu!" sentak Namira mengubah posisi duduk lebih menghadap Bianca. "Sekarang kamu jujur sama aku. Kamu suka sama Ferry?""Suka doang, Na. Belum cinta. Habisnya sekarang si Ferry macho banget. Badannya atletis, rambutnya gondrong, sekitar wajahnya ada bulu-bulu tipis. Gemesin gitu, Na." Penjelasan Bianca membuat Namira menarik napas panjang. Tidak menduga kalau selera cowok idaman anak sambungnya berambut gondrong dan acak-
Pandangan Namira mengitari sekeliling, memerhatikan beberapa lukisan yang terpajang di ruang tamu. Bianca sudah masuk ke dalam kamar yang letaknya tak jauh dari ruang tamu. Namira terus berjalan masuk sampai akhirnya ke ruang keluarga. Di sana terlihat Daniel yang tengah berbincang dengan supir pribadinya. "Mas Ayang!" panggil Namira setengah berlari menghampiri sang suami. Daniel menoleh, menyuruh supir pribadi keluar dari ruangan itu. Namira memeluk tubuh Daniel. "Aku seneng banget, Mas Ayang," ujar Namira manja. Daniel tersenyum manis, melepaskan pelukannya. "Emang itu yang aku mau.""Aah ... baik banget sih ...." Namira kembali memeluk tubuh Daniel. "Sayang, kamu mau di kamar mana? Di sini ada empat kamar. Tapi, kamar yang dekat dapur buat supir. Sisa kamar dekat ruang tamu, kamar itu dan kamar lantai atas. Mau di kamar mana?"Namira pura-pura berpikir, kedua matanya menerawang. "Hmm ... aku mau kamar ... atas!" jawab Namira menunjuk lantai atas. "Oke. Kita ke kamar sekarang
"Ferry? Ngapain kamu ke sini?" Bianca heran melihat Ferry yang berada di depan rumah sedang berbincang dengan papanya."Sorry, Bi. Tadi ... tadi aku sempet ngikutin mobil kamu," jawab Ferry tersenyum miring. Bianca cemberut tak suka. Ia menghela napas panjang. Sedangkan Namira bergeming, enggan menyapa Ferry."Apaan sih kamu? Maksudmu ngikutin aku apa? Pengen ketemu Namira?" terka Bianca menunjukan rasa kesel pada lelaki berambut gondrong itu. "Itu tau. Hai, Namira. Apa kabar?" Ferry menyapa Namira yang sedari tadi berdiri di belakang Bianca."Baik." Hanya itu jawaban Namira. "Alhamdulillah. Selain tambah baik, kamu juga sekarang tambah cantik."Kedua mata Namira dan Bianca membeliak. Mereka tak suka Ferry berkata demikian. Tampaknya Daniel belum memberitahu Ferry kalau Namira adalah istrinya. Sikap Daniel berubah gusar. "Ferry, Om tinggal ke dalam dulu.""Iya, Om," timpal Ferry tersenyum lebar."Jangan masuk dulu!" Cegah Namira ketika Daniel melewatinya. Daniel menoleh, menatap