"Iya, dia yang namanya tante Mutiara," jawab Bianca setengah berbisik. Daniel dan yang lainnya terdiam melihat tingkah Namira dan anak kandungnya.
"Eh, kamu ini siapa ya? Kok saya baru lihat." Rupanya Mutiara baru sadar kalau ada Namira diantara mereka. Belum sempat Namira menjawab, Mutiara penuh percaya diri kembali berkata, "Pasti temannya Bianca ya? Kenalan dulu dong, nama Tante, Mutiara. Nama lengkapnya Mutiara Indah, seindah orangnya. Saya adalah salah satu staf Pak Daniel yang sangat setia. Kalau kamu, namanya siapa?" Mutiara mengenalkan diri sendiri, memandang lurus Namira yang masih bergeming sambil menyodorkan sebelah tangannya. "Oh Tante staf setia Mas Daniel. Kenalkan juga Tante, nama saya Namira Rashid, istri Mas Daniel yang setia." Penuh percaya diri, Namira mengenalkan statusnya sebagai istri Daniel Bragastara. "Apa? Istri?" Mutiara sontak melepaskan tangan dari genggaman Namira. Ia tak menyangka kalau istri kedua Daniel masih sangat muda bahkan sebaya dengan Bianca. "Iya. Saya istri sah Mas Daniel. Ngomong-ngomong, kemaren kenapa Tante Mutiara Indah gak datang ke acara pernikahan kami?" Mutiara terkejut. Sikapnya berubah salah tingkah. Dia memang sengaja tidak datang ke acara pernikahan Daniel dan Namira. Mutiara pikir, istri Daniel sebaya dengannya ternyata jauh lebih muda dan sebaya dengan Bianca yang tak lain anak kandung Daniel. Seketika, Mutiara merasa minder. Daniel berdehem, memecah keheningan diantara mereka. "Namira, Bianca, kalian tunggu di ruangan Papah. Papah mau meeting dulu," ujar Daniel pada kedua gadis yang berdiri di dekatnya. "Siap, Pah," timpal Bianca. Namira mendekati Daniel, kedua kakinya berjinjit lalu menc1um pipi suaminya. Daniel terkejut akan aksi yang dilakukan Namira. Raut wajahnya berubah memerah karena malu. Namira tersenyum bahagia, sambil berkata, "Semangat meetingnya, Mas Ayang," ucap Namira tersenyum manis sambil melirik Mutiara. Wajah wanita itu berubah masam. Kentara sekali kalau dirinya sangat cemburu akan tingkah Namira pada Daniel. "I-iya terima kasih. Ya udah, kamu tunggu di ruangan saya dulu." "Oke, Mas Ayang." Namira sangat riang, masuk ke dalam ruangan pribadi Daniel. Di dalam ruangan itu, Namira tertawa terbahak-bahak mengingat kembali raut wajah Mutiara. Bianca yang duduk di sofa ikut tertawa karena ia pun tahu apa yang ditertawakan sahabatnya. "Kamu tuh gokil, Na! Gak punya malu! Di depan banyak orang, main nyosor-nyosor aja!" tukas Bianca menggelengkan kepala, mengingat aksi sahabat sekaligus ibu sambungnya. Namira menghempaskan bok0ng di sofa samping Bianca. Ia bernapas lega karena puas membuat Mutiara diselimuti amarah dan cemburu. "Kamu lihat gak tadi? Mukanya si tante Ulat bulu? Beuh, merah! Kayaknya dia dilanda cemburu buta. Hahahaha ...." Namira dan Bianca tertawa terbahak-bahak. Terutama Bianca, ia sangat bahagia karena Mutiara tidak akan berani menggoda papanya lagi. "Aku gak nyangka banget kamu kayak gitu tau!" ucap Bianca memencet hidung Namira yang bangir. "Dih, enggak papanya, enggak anaknya, suka banget sih pencetin hidung aku! Heran." Namira menepis kasar tangan Bianca dari hidungnya. Mengusap-usap hidungnya penuh kasih sayang. "Salah sendiri kenapa punya hidung mancung! Eh, Na, tadi waktu sarapan, papah bilang ke aku. Katanya mamahku udah ada di sini lagi." Namira mengubah posisi duduk, lebih menghadap sahabatnya. "Tante Hesti?" tanya Namira memastikan. "Iyalah, memangnya mamahku siapa lagi? Aku takut deh, kalau mamah datang ke rumah, terus pengen ngajakin papah balikan." Bugh! Spontan, Namira memukul bahu anak sambungnya. "Kamu kok ngomong gitu sih, Bi? Kamu pengen mamah papah kamu kembali rujuk? Terus ngejadiin sahabatmu ini jadi janda? Tau begitu, ngapain kamu ngerestuin aku nikah sama papahmu? Nyebelin banget jadi orang!" Namira sewot, kedua tangannya bersidekap, bibirnya cemberut. "Dih, ini Ibu tiri, suuzhon aja sih pikirannya!" cetus Bianca menggelengkan kepala. Namira berpikir, lalu kembali menghadap Bianca. "Maksudmu?" "Aku gak mungkin nyuruh mereka rujuk lagi. Amit-amit. Na, meskipun mamahku wanita yang telah melahirkanku, tapi aku gak mau papah kembali lagi ke dia. Gak usahlah aku ceritain alasannya, kamu juga udah tau 'kan?" Namira memanyunkan bibir, meluncur kata maaf dari mulutnya seraya merangkul pundak Bianca. "Ya, aku tau. Sorry, Bi ... aku kira kamu berubah pikiran. Pengen orang tuamu bersatu lagi. Aku udah terlanjur cinta mati sama papahmu, Bi. Sumpah deh!" Bianca tersenyum bahagia, mengusap lengan Namira yang memeluknya. Hati Bianca sangat bersyukur karena ada wanita yang tulus mencintai papanya. Selama ini, Bianca tahu kalau ibu kandungnya tidak pernah bisa tulus mencintai Daniel apalagi bisa setia. "Makasih ya, Na. Aku gak salah memilih kamu buat jadi istri papahku." Mereka berpelukan beberapa saat. Merasa bersyukur satu sama lain. "Sama-sama." "Oh ya, Na. Kamu beneran sekarang lagi menstruasi?" Tiba-tiba Bianca teringat kejadian semalam waktu papanya meminta pembalut. Bibir Namira kembali mengerucut. Hatinya benar-benar bersedih dan kecewa. Sebulir air mata mengalir, membasahi pipinya. "I-iya, Bi. Mana kalau mens aku suka lama. Kamu juga tau kan kalau aku mens 7 atau 10 hari? Ya Allah, Bi ... rasanya tuh gimana ya? Udah ngebayangin malam pertama, terus aku hamil, eh malah kepending," ungkap Namira bersedih. Bianca ikut prihatin. Mengusap punggung ibu sambungnya. "Sabar, Mamih. Mungkin emang belum saatnya kamu bertempur. Aku doakan, semoga Mamih mens-nya cepet selesai," kata Bianca sungguh-sungguh. Namira mengaminkan doa anak sambungnya. "Aamiin. Bian, kamu yakin mau pindah kuliah kalau aku hamil?" tanya Namira, mengingat rencana Bianca yang ingin pindah kuliah jika Namira benar-benar hamil. Bianca ingin kuliah di luar kota supaya bisa merasakan hidup mandiri. Tidak selalu dikekang papanya. "Iyalah, Na. Salah satu tujuanku merestui pernikahanmu sama papah kan emang itu. Aku pengen gitu, hidup mandiri tanpa dibayang-bayangi papa terus. Pergi ke kamus sendiri, pulang dari kampus sendiri. Sukur-sukur punya pacar. Jadi kan, bisa ngerasain pacaran. Ya gak, Na?" Bianca menyenggol bahu Namira. Sebetulnya Namira tidak setuju kalau Bianca pindah kuliah hanya ingin hidup mandiri. Sikap Daniel yang protektif pada Bianca semata-mata karena sangat menyayanginya. "Harusnya kamu bersyukur, Bi. Punya Papah yang perhatian kayak Om Daniel." "Ya aku emang bersyukur. Tapi, aku juga pengen kayak temen-temen yang lain. Nge-Mall tanpa papah. Nonton tanpa papah. Selama ini kemana-mana aku selalu sama papah. Papah juga ngelarang aku pacaran. Katanya dari pada aku pacaran, lebih baik nikah muda. Ya ogah! Aku kan pengen ngejar karier dulu," keluh Bianca memandang lurus ke depan. Namira menghela napas panjang, menggelengkan kepala. Memang benar yang dikatakan Bianca, selama ini setiap pergi kemanapun, Bianca selalu ditemani Daniel. Bahkan sampai sekarang Bianca belum pernah pacaran. "Tapi, apa yang dikatakan papahmu ada benarnya, Bi. Pacaran zaman sekarang kamu tau sendiri. Serem. Udah deh, jangan pacaran-pacaran. Kalau emang ada cowok yang kamu sukai atau kamu juga suka sama cowok itu, nikah aja sih. Lebih halal, lebih bebas!""Ya elah, yang udah nikah, omongannya nikah mulu ... enggak gitu juga kali, Mih. Aku belum siap buat nikah muda. Pacaran juga kan aku masih bisa jaga diri.""Halah, belum tentu. Setan yang ngegodain orang pacaran tuh lebih banyak.""Idih, kayak yang pernah lihat setan aja!""Emang bener!"Perdebatan antara ibu sambung dan anak sambung itu terus saja berlanjut. Mereka berbeda pandangan perihal pacaran dan pernikahan. Keduanya bersikukuh dengan pendapat masing-masing. "Menikah itu untuk seumur hidup, maunya kan satu kali aja nikahnya. Jadi harus benar-benar selektif cari calon suaminya. Kalau cuma, ya ... iseng-iseng doang atau cuma ngandelin cinta doang mah gampang. Tuh lihat, artis-artis yang pernikahannya mewah tetap aja ujungnya cerai." Bianca masih membela argumentasinya. "Nah itu. Padahal kan artis itu pacarannya lama. Tapi, tetap aja cerai! Ya kan? Ya kan?" Namira merasa di atas angin. Bianca terjebak ucapannya sendiri. Bibirnya manyun beberapa centi, garuk-garuk kepala yang t
Hesti sangat terkejut mendengar kenyataan kalau Namira, anak yang dulu sempat dibiarkan tinggal di rumah Daniel sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, kini menjadi istri kedua mantan suaminya. Hesti berdiri, menggelengkan kepala. "Kalian berdua pasti bercanda. Papahmu bukan pedofil, Bian. Dia lelaki normal, gak mungkin nikahin gadis muda seperti Namira," tandas Hesti, menolak kenyataan yang diucapkan anak kandungnya. "Emang papah normal. Papah juga sangat selektif. Udahlah, jangan ngarepin papah lagi. Papah udah punya istri baru dan akan memiliki anak lagi dari rahim sahabatku," ujar Bianca sambil mengelus-elus perut Namira. Meski agak geli, Namira membiarkan sahabatnya melakukan apapun yang diinginkan. "Kalian ini, ada-ada aja. Oke, kalau gitu Mamah mau pergi dulu. Nanti malam Mamah akan pulang ke rumah, mau nemuin Papahmu.""Enak aja! Jangan pulang ke rumah Papah. Kamu sama Papah udah gak ada hubungan apa-apa. Emang udah bosen gonta-ganti pasangan?""Jaga mulutmu, Bianca! Mama
"Terima kasih, Sayang," ucap Daniel setelah melampiaskan keinginannya. Namira menganggukkan kepala, tersenyum, tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ... aku masuk kelas dulu," timpal Namira mencium punggung tangan suaminya. Danile meng3cup kening Namira dan membiarkan istrinya turun dari mobil. "Ya Allah, lama amat sih, Mih? Ngapain aja sih di mobil?" tanya Bianca yang sedari tadi menunggu Namira di depan pintu kelas. "Dosen belum datang kan?" Namira mengabaikan pertanyaan anak sambungnya. "Ditanya balik nanya. Belum datang. Ya untung aja belum datang. Ngapain aja sih kamu? Papah nanya-nanya soal aku sama mamah, ya?"Untung saja, Bianca langsung menduga suaminya menanyakan pertemuan Bianca dengan Hesti. "Iya. Nanya-nanya gitu. Aku cerita dong. Gak enaklah, masa bohong sama suami?" kata Namira santai. Padahal ia berharap kalau Bianca tidak curiga dirinya lama-lama dengan Daniel di dalam mobil. "Aku tuh gak nyangka banget mamah kayak gitu. Enggak ada berubahnya sama sekali. Aku pikir
Sampai di rumah, Bianca langsung masuk ke dalam kamar. Kepalanya agak pusing karena siang tadi sempat menangis. Begitu pula Namira dan Daniel, pasangan suami istri masuk kamar berbarengan. "Kamu mau langsung mandi?" Pertanyaan Daniel membuat langkah kaki Namira terhenti."Iya. Emang kenapa?""Enggak kenapa-napa. Ya udah kamu mandi duluan.""Oke."Kalau saja Namira tidak haid, ingin rasanya Daniel mandi bersama. Akhirnya lelaki itu hanya menunggu. Sambil menunggu istrinya selesai mandi, Daniel membuka handphone, mengecek email dan beberapa pesan yang masuk salah satunya dari Hesti. Daniel memejamkan kedua mata sejenak, meredam emosi yang mulai terpancing. Hesti menghubungi Daniel menggunakan nomor baru. Sedangkan Daniel, sejak dulu tidak pernah mengganti nomor handphone-nya. [Daniel, ini aku, Hesti. Kenapa kamu menikahi anak angkatmu, Daniel? Apa enggak ada wanita lain sampe anak ingusan itu kamu nikahi? Apa kamu udah jadi pedofil? Menjijikan!]Daniel langsung menghapus pesan itu dan
"Yang datang Pak Yuda. Katanya mau nganterin berkas yang Pak Daniel minta," jawab Bi Rusmi.Bianca dan Namira bernapas lega. Namira melepaskan gamitan tangan pada lengan suaminya. Membiarkan Daniel menemui Yuda, salah satu orang kepercayaan Daniel di perusahaan. "Terima kasih, Bi. Saya akan menemuinya. Bibi tolong buatkan kopi untuknya," titah Daniel pada wanita yang telah lama bekerja di rumahnya. "Baik, Pak."Daniel berjalan ke depan, menemui Yuda yang diminta olehnya mengantarkan berkas-berkas tentang penggelapan uang perusahaan. Daniel tak habis pikir, kenapa dia bisa kecolongan? Tidak sadar kalau ada orang yang berusaha menggelapkan uang perusahaan.Bi Rusmi ke dapur, sedangkan Bianca dan Namira menunggu di ruang makan. Mereka berdua sangat tenang karena yang datang bukan orang yang tidak mereka inginkan. "Kalau sampai mamaku yang datang, aku gak akan ngebiarin kamu dan papah menemuinya," kata Bianca sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Namira menganggukkan kepala. Ia setuju
"Masih sakit?" tanya Daniel setelah menunaikan nafkah batin untuk Namira. Gadis itu meringis, menganggukkan kepala. "Tapi, tadi sempet enak, Mas."Daniel mengulum senyum, mendengar jawaban Namira yang polos. Daniel ingin tertawa tapi takut istrinya tersinggung. Ia berdehem, memeluk tubuh Namira yang hanya ditutupi selimut. Melihat jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. "Kita mandi dulu. Setelah itu, kita berangkat. Mau mandi bareng?" Namira mendongak, menatap wajah suamiya penuh cinta. "Aku mandinya entar, ya? Masih sakit ...." Namira meringis lagi, merasakan perih di area sensitifnya. "Coba lihat sebentar.""Jangan!" cegah Namira ketika Daniel hendak ke bawah. "Kenapa? Sebentar aja.""Enggak mau. Kalau Mas mau mandi, mandi aja duluan. Aku nanti," kata Namira menarik lagi selimut sebatas dada.Daniel tersenyum penuh cinta, mengecup kening Namira sangat lembut dan cukup lama. "Terima kasih, kamu mau bertahan dan mau menikmatinya." Suara Daniel terdengar serak dan parau. "Sama-sama
Bianca sangat bahagia diberi izin pergi ke kampus sendirian. Hatinya terasa lega dan bebas. Senyum Bianca yang mengembang tiba-tiba hilang mengingat Namira sedang jatuh sakit. Apa mungkin Namira kelelahan karena beberapa hari ini selalu pulang kampus sore? Ada banyak tugas yang mesti mereka kerjakan. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas, hendak menghubungi Namira. Ia ingin menanyakan langsung tentang penyakit yang tengah dialami oleh ibu sambungnya itu. Satu panggilan tidak diangkat. Lalu, Bianca kembali menghubungi. Namun, lagi-lagi tidak diangkat. "Mungkin dia lagi tidur, nanti ajalah," gumam Bianca memasukan kembali ponsel ke dalam tas. Di dalam kamar, Namira dan Daniel tengah mengulang yang sebelumnya dilakukan. Namira sudah tidak merasa kesakitan lagi. Ia bahkan tanpa malu-malu, meminta lagi dan lagi. Hingga pukul sebelas siang, barulah Daniel menyudahi pemberian nafkah batinnya. "Nanti malam lagi ya, Om," rengek Namira tersipu malu. Daniel terkekeh. Membelai rambut istrinya
Bianca bergegas pulang ke rumah. Dia tak sabar ingin berlibur ke puncak Bogor. Liburan yang dia impikan selama ini, menginap di luar kota. Meskipun liburan itu bersama papanya. "Bianca! Bian!" Suara seorang pria memanggil gadis berusia 19 tahun. Bianca berhenti, dekat area parkir kampus. Membalikkan badan, rupanya Ferry, teman SMA-nya dulu. "Hai, Bi. Apa kabar?" Sapa Ferry sumringah."Ferry, ya?" Bianca bertanya karena saat ini Ferry rambutnya gondrong. "Iya. Masa kamu lupa?""Ya ampun, Ferry ... aku sampe gak ngenalin kamu. Kamu kuliah di sini juga?"Ferry lelaki yang dulu pernah mengungkapkan cinta pada Namira. Namun, saat itu Namira menolak cintanya. Namira beralasan kalau ia ingin fokus belajar. "Baru tiga bulan. Sebelumnya aku di Bandung. Karena mamahku didiagnosa sakit kanker, aku pindah ke sini."Senyum Bianca meredup. "Mamahmu sakit kanker apa?" "Rahim. Tapi, sekarang udah lebih baik. Oh ya, Namira kuliah di mana? Apa dia udah punya cowok?" tanya Ferry mengulum senyum. B
"Bener. Dia sering minta pendapatku, cari kamu kemana lagi? Om kamu masih sangat yakin kalau anak kandung adiknya dan Om Yuda masih hidup. Om kamu juga berjanji akan mengajakmu tinggal di sini bersama Om kamu, bersama aku, dan bersama Bianca."Lagi, Nida semakin penasaran kenapa dia harus tinggal bersama Daniel bukan bersama Yuda dan mamanya?"Kak, tolong ceritakan sebenarnya. Oke, aku janji. Aku enggak akan pernah pergi dari sini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama kalian. Tapi, tolong ... saat ini Mamahku lagi ada di mana? Di mana, Kak? Aku mohon katakan yang sejujurnya. Aku hanya ingin ketemu mamah. Tolong Kak ...." Nida mengiba, menggenggam telapak tanga Namira. Istri Daniel menghela napas berat. Hatinya tak tega melihat raut wajah Nida. "Kak, aku mohon di mana Mamahku sekarang? Di mana, Kak ...."Nida menangis histeris sambil menggenggam telapak tangan Namira. "Nida, sebenarnya ... hm ... sebenarnya mamah kamu udah meninggal dunia, Nida ...."Hancur sudah harapan Nida yang
"Udah. Tadi di kantor. Sekarang mereka lagi di ruang tamu. Sayang, tadi itu ... Nida nanyain Dania terus. Aku yakin, dia juga pasti akan tanya soal Mamanya ke kamu.""Kalau dia nanya ke aku, aku harus jawab apa? Berbohong kalau ibunya masih hidup?" Namira ingin menguji suaminya. Apakah ia akan menyuruhnya berbohong atau sebaliknya. "Jangan bohong, katakan saja sejujurnya tapi ... aku harap kamu bicaranya baik-baik. Mungkin dia akan sedih, tapi aku yakin ... istriku yang cantik dan baik hati ini akan mampu membuat Nida tenang."Namira senyum tersipu malu. Bibirnya pura-pura dimanyunkan. "Mas Ayang mah ... bikin aku malu terus tau ...." timpal Namira manja, sembari menggamit lengan suaminya. Daniel sangat menyukai prilaku Namira yang malu-malu seperti ini. Sangat menggemaskan. Tiba di ruang tamu, langkah kaki Namira terhenti melihat sosok gadis yang tengah tertawa bersama Yuda. "Mas Ayang ... ka-kamu benar, dia ... dia mirip Dania yang difoto itu ...." bisik Namira di depan telinga
Sepanjang jalan, Nida terus saja bercerita tentang pengalaman indah dan manis di sekolah meski kenyataannya, lebih banyak penderitaan yang dialami Nida ketimbang bahagia bersama teman-temannya. Hingga saat ini, Nida tidak punya teman dekat atau sahabat satu pun. Semuanya seperti membenci Nida karena kedua orang tuanya tak pernah ada. Tak pernah datang ke sekolah bilamana ada rapat atau penerimaan raport. Daniel memerhatikan obrolan Yuda dan Nida lewat kaca spion depan. Keduanya sangat bahagia. Mereka pada akhirnya telah ditemukan. Entah bagaimana caranya, Nida bisa menemukan alamat perusahaan Daniel. Pasti ada orang yang memberikan alamat perusahaannya supaya Nida bertemu dengan keluarga kandungnya. Dalam hati, Daniel berdoa untuk orang yang telah menyuruh Nida datang ke perusahaan, menemui Daniel. Memasuki halaman rumah megah nan mewah, Nida sempat terpana. Mulutnya tanpa ia sadari menganga lebar. Takjub, akan kebesaran dan kemegahan rumah keluarga Bragastara. "Kita turun, Nak," a
Daniel yang menyaksikan itu menghela napas lega. Menyeka lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Daniel benar-benar bersyukur karena Allah telah mengantarkan Nida ke tempatnya. Sesuatu hal yang sangat tak terduga. "Hei, sudah ... kalian jangan menangis lagi. Mari, kita duduk." Daniel mengajak Yuda dan Nida berdiri, duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Nida. Ayah dan anak itu masih larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Mereka seperti sedang bermimpi. Pertemuan yang sama sekali tidak Yuda bayangkan. Yuda bahkan sempat berpikir kalau dia tidak mungkin bisa bertemu dengan anak kandungnya dari Dania. "Hm, Nida ... Om dan Papahmu sekarang ada meeting. Kamu pulang ke rumah Om saja," ucap Daniel pada gadis berusia 17 tahun itu. "Ke rumah Om? Apakah mamahku ada di sana?" tanya Nida antusias. Binar kebahagiaan jelas terlihat di raut wajah. Pertanyaan Nida membuat Daniel dan Yuda tersentak. Mereka lupa mengatakan yang sebenarnya tentang ibu kandung Nida. Yuda menoleh pada Daniel.
Daniel sangat penasaran dengan orang yang menjelek-jelekkan Dania dan Yuda. Menganggap Nida bukan anak yang diinginkan. Daniel sangat yakin kalau orang yang menyebarkan kebohongan itu pasti orang terdekat mereka. Tetapi siapa?Nida tak langsung menjawab. Hatinya sangat sedih karena selama ini ia selalu berpikir buruk tentang kedua orang tuanya. Meski demikian, Nida tetap ingin bertemu dan tidak ada kebencian di hatinya. "Katakan sama Om. Siapa nama orang itu, Nida? Kamu jangan takut. Sekarang kamu udah punya Om. Kalau dia macam-macam sama kamu, Om akan bertindak langsung," ucap Daniel meyakinkan Nida yang tampak ragu menyebutkan nama orang tersebut. "Benarkah? Om akan ... akan melindungiku?""Tentu saja, Nida. Kamu keponakan Om satu-satunya. Sekarang bilang, siapa nama orang itu?""Nama orang itu tan---"Tok, tok, tok!Ucapan Nida menggantung ketika mendengar suara ketukan pintu. Daniel dan Nida menoleh ke pintu ruangan. Daniel melirik arloji di pergelangan, ternyata sebentar lagi m
Nida kembali mendongak, menatap lelaki yang wajahnya sudah basah oleh air mata. "Sekarang kita ke ruangan, Om. Om akan ceritakan semuanya."Beruntung, para karyawan sedang sibuk. Hanya Shella yang menyaksikan pertemuan yang telah didambakan Daniel bertahun-tahun lamanya. Shella yang telah mengetahui masa lalu keluarga Bragastara menangis. Membayangkan kebahagiaan seorang Daniel yang telah bertemu dengan anak kandung adiknya. "Om, mamah di mana? Papah di mana? Mereka masih hidup kan, Om?" Pertanyaan Nida lagi-lagi membuat Daniel meneteskan air mata. Mereka kini duduk di sofa ruangan Daniel. Lelaki itu merangkul pundak Nida. Menangis kembali. Bayangan Dania berkelebat. Daniel seperti melihat Dania yang duduk manis di kursi sambil memerhatikan mereka. "Om ... aku pengen ketemu mamah ... aku pengen ketemu papah ... aku pengen ... pengen kayak teman-temanku punya keluarga yang utuh ... A-aku ingin buktikan pada mereka kalau aku ... a-aku bukan anak haram.""Bukan, Nida ... kamu bukan an
Seketika, Daniel terkejut mendengar jawaban Shella. Pikirannya langsung tertuju pada anak kandung Dania dan Yuda. Apa mungkin Nida yang ingin menemuinya Nida anak kandung Dania dan Yuda?"Di mana gadis itu?" tanya Daniel."Di luar, Pak."Daniel keluar ruangan lebih dulu dari pada Shella. Tergesa-gesa ingin memastikan siapa gadis yang datang ingin menemuinya. Shella merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada sikap Daniel."Kenapa Pak Daniel seperti mengenal gadis itu? Sebenarnya siapa gadis bernama Nida?" gumam Shella sambil menutup pintu ruangan bos-nya. Nida meremas kedua telapak tangannya. Ia dipersilakan menunggu di kursi depan ruangan Shella. Dirinya sangat gugup membayangkan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang hampir setiap malam ia rindukan. Nida berharap kalau hari ini akan bertemu dengan mamah papah. Nida ingin sekali setiap hari atau setiap saat memanggil, "Mah, aku pulang." Atau Nida mengadu. "Pah, hari ini si Jhoni jahil banget. Suka gangguin aku.
Pagi di dalam salah satu kamar rumah Bragastara, terdengar percakapan riang. "Sayang, perutmu mulai terlihat membuncit," ucap Daniel ketika melihat Namira tengah berdiri di depan lemari pakaian usai membersihkan diri. Namira merunduk, memerhatikan perutnya. Ia tersenyum bahagia. Daniel menghampiri, mengelus perut Namira. Lalu, menempelkan telinga di depan perut yang mengandung buah hatinya. "Mas Ayang, ngapain?" tanya Namira terkekeh geli melihat tingkah suaminya. Daniel menegakkan tubuh, menangkupkan wajah Namira dengan kedua tangan. "Aku pengen dengar, pergerakan calon anak kita.""Emang kedengeran?""Belum, heheeh ....""Kirain.""Kamu pake baju. Aku harus secepatnya ke kantor, setelah itu mau ke kantor polisi lagi, mau tanya kapan jadwal persidangan kasus Hesti," ujar Daniel mengenakan dasi."Iya, Mas."Usai Namira mengenakan pakaiannya. Menghampiri Daniel yang merapikan berkas-berkas di meja kerja yang ada di dalam kamar. Namira membantu Daniel mengenakan jas hitam. "Mas Ayan
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya