"Iya, dia yang namanya tante Mutiara," jawab Bianca setengah berbisik. Daniel dan yang lainnya terdiam melihat tingkah Namira dan anak kandungnya.
"Eh, kamu ini siapa ya? Kok saya baru lihat." Rupanya Mutiara baru sadar kalau ada Namira diantara mereka. Belum sempat Namira menjawab, Mutiara penuh percaya diri kembali berkata, "Pasti temannya Bianca ya? Kenalan dulu dong, nama Tante, Mutiara. Nama lengkapnya Mutiara Indah, seindah orangnya. Saya adalah salah satu staf Pak Daniel yang sangat setia. Kalau kamu, namanya siapa?" Mutiara mengenalkan diri sendiri, memandang lurus Namira yang masih bergeming sambil menyodorkan sebelah tangannya. "Oh Tante staf setia Mas Daniel. Kenalkan juga Tante, nama saya Namira Rashid, istri Mas Daniel yang setia." Penuh percaya diri, Namira mengenalkan statusnya sebagai istri Daniel Bragastara. "Apa? Istri?" Mutiara sontak melepaskan tangan dari genggaman Namira. Ia tak menyangka kalau istri kedua Daniel masih sangat muda bahkan sebaya dengan Bianca. "Iya. Saya istri sah Mas Daniel. Ngomong-ngomong, kemaren kenapa Tante Mutiara Indah gak datang ke acara pernikahan kami?" Mutiara terkejut. Sikapnya berubah salah tingkah. Dia memang sengaja tidak datang ke acara pernikahan Daniel dan Namira. Mutiara pikir, istri Daniel sebaya dengannya ternyata jauh lebih muda dan sebaya dengan Bianca yang tak lain anak kandung Daniel. Seketika, Mutiara merasa minder. Daniel berdehem, memecah keheningan diantara mereka. "Namira, Bianca, kalian tunggu di ruangan Papah. Papah mau meeting dulu," ujar Daniel pada kedua gadis yang berdiri di dekatnya. "Siap, Pah," timpal Bianca. Namira mendekati Daniel, kedua kakinya berjinjit lalu menc1um pipi suaminya. Daniel terkejut akan aksi yang dilakukan Namira. Raut wajahnya berubah memerah karena malu. Namira tersenyum bahagia, sambil berkata, "Semangat meetingnya, Mas Ayang," ucap Namira tersenyum manis sambil melirik Mutiara. Wajah wanita itu berubah masam. Kentara sekali kalau dirinya sangat cemburu akan tingkah Namira pada Daniel. "I-iya terima kasih. Ya udah, kamu tunggu di ruangan saya dulu." "Oke, Mas Ayang." Namira sangat riang, masuk ke dalam ruangan pribadi Daniel. Di dalam ruangan itu, Namira tertawa terbahak-bahak mengingat kembali raut wajah Mutiara. Bianca yang duduk di sofa ikut tertawa karena ia pun tahu apa yang ditertawakan sahabatnya. "Kamu tuh gokil, Na! Gak punya malu! Di depan banyak orang, main nyosor-nyosor aja!" tukas Bianca menggelengkan kepala, mengingat aksi sahabat sekaligus ibu sambungnya. Namira menghempaskan bok0ng di sofa samping Bianca. Ia bernapas lega karena puas membuat Mutiara diselimuti amarah dan cemburu. "Kamu lihat gak tadi? Mukanya si tante Ulat bulu? Beuh, merah! Kayaknya dia dilanda cemburu buta. Hahahaha ...." Namira dan Bianca tertawa terbahak-bahak. Terutama Bianca, ia sangat bahagia karena Mutiara tidak akan berani menggoda papanya lagi. "Aku gak nyangka banget kamu kayak gitu tau!" ucap Bianca memencet hidung Namira yang bangir. "Dih, enggak papanya, enggak anaknya, suka banget sih pencetin hidung aku! Heran." Namira menepis kasar tangan Bianca dari hidungnya. Mengusap-usap hidungnya penuh kasih sayang. "Salah sendiri kenapa punya hidung mancung! Eh, Na, tadi waktu sarapan, papah bilang ke aku. Katanya mamahku udah ada di sini lagi." Namira mengubah posisi duduk, lebih menghadap sahabatnya. "Tante Hesti?" tanya Namira memastikan. "Iyalah, memangnya mamahku siapa lagi? Aku takut deh, kalau mamah datang ke rumah, terus pengen ngajakin papah balikan." Bugh! Spontan, Namira memukul bahu anak sambungnya. "Kamu kok ngomong gitu sih, Bi? Kamu pengen mamah papah kamu kembali rujuk? Terus ngejadiin sahabatmu ini jadi janda? Tau begitu, ngapain kamu ngerestuin aku nikah sama papahmu? Nyebelin banget jadi orang!" Namira sewot, kedua tangannya bersidekap, bibirnya cemberut. "Dih, ini Ibu tiri, suuzhon aja sih pikirannya!" cetus Bianca menggelengkan kepala. Namira berpikir, lalu kembali menghadap Bianca. "Maksudmu?" "Aku gak mungkin nyuruh mereka rujuk lagi. Amit-amit. Na, meskipun mamahku wanita yang telah melahirkanku, tapi aku gak mau papah kembali lagi ke dia. Gak usahlah aku ceritain alasannya, kamu juga udah tau 'kan?" Namira memanyunkan bibir, meluncur kata maaf dari mulutnya seraya merangkul pundak Bianca. "Ya, aku tau. Sorry, Bi ... aku kira kamu berubah pikiran. Pengen orang tuamu bersatu lagi. Aku udah terlanjur cinta mati sama papahmu, Bi. Sumpah deh!" Bianca tersenyum bahagia, mengusap lengan Namira yang memeluknya. Hati Bianca sangat bersyukur karena ada wanita yang tulus mencintai papanya. Selama ini, Bianca tahu kalau ibu kandungnya tidak pernah bisa tulus mencintai Daniel apalagi bisa setia. "Makasih ya, Na. Aku gak salah memilih kamu buat jadi istri papahku." Mereka berpelukan beberapa saat. Merasa bersyukur satu sama lain. "Sama-sama." "Oh ya, Na. Kamu beneran sekarang lagi menstruasi?" Tiba-tiba Bianca teringat kejadian semalam waktu papanya meminta pembalut. Bibir Namira kembali mengerucut. Hatinya benar-benar bersedih dan kecewa. Sebulir air mata mengalir, membasahi pipinya. "I-iya, Bi. Mana kalau mens aku suka lama. Kamu juga tau kan kalau aku mens 7 atau 10 hari? Ya Allah, Bi ... rasanya tuh gimana ya? Udah ngebayangin malam pertama, terus aku hamil, eh malah kepending," ungkap Namira bersedih. Bianca ikut prihatin. Mengusap punggung ibu sambungnya. "Sabar, Mamih. Mungkin emang belum saatnya kamu bertempur. Aku doakan, semoga Mamih mens-nya cepet selesai," kata Bianca sungguh-sungguh. Namira mengaminkan doa anak sambungnya. "Aamiin. Bian, kamu yakin mau pindah kuliah kalau aku hamil?" tanya Namira, mengingat rencana Bianca yang ingin pindah kuliah jika Namira benar-benar hamil. Bianca ingin kuliah di luar kota supaya bisa merasakan hidup mandiri. Tidak selalu dikekang papanya. "Iyalah, Na. Salah satu tujuanku merestui pernikahanmu sama papah kan emang itu. Aku pengen gitu, hidup mandiri tanpa dibayang-bayangi papa terus. Pergi ke kamus sendiri, pulang dari kampus sendiri. Sukur-sukur punya pacar. Jadi kan, bisa ngerasain pacaran. Ya gak, Na?" Bianca menyenggol bahu Namira. Sebetulnya Namira tidak setuju kalau Bianca pindah kuliah hanya ingin hidup mandiri. Sikap Daniel yang protektif pada Bianca semata-mata karena sangat menyayanginya. "Harusnya kamu bersyukur, Bi. Punya Papah yang perhatian kayak Om Daniel." "Ya aku emang bersyukur. Tapi, aku juga pengen kayak temen-temen yang lain. Nge-Mall tanpa papah. Nonton tanpa papah. Selama ini kemana-mana aku selalu sama papah. Papah juga ngelarang aku pacaran. Katanya dari pada aku pacaran, lebih baik nikah muda. Ya ogah! Aku kan pengen ngejar karier dulu," keluh Bianca memandang lurus ke depan. Namira menghela napas panjang, menggelengkan kepala. Memang benar yang dikatakan Bianca, selama ini setiap pergi kemanapun, Bianca selalu ditemani Daniel. Bahkan sampai sekarang Bianca belum pernah pacaran. "Tapi, apa yang dikatakan papahmu ada benarnya, Bi. Pacaran zaman sekarang kamu tau sendiri. Serem. Udah deh, jangan pacaran-pacaran. Kalau emang ada cowok yang kamu sukai atau kamu juga suka sama cowok itu, nikah aja sih. Lebih halal, lebih bebas!""Ya elah, yang udah nikah, omongannya nikah mulu ... enggak gitu juga kali, Mih. Aku belum siap buat nikah muda. Pacaran juga kan aku masih bisa jaga diri.""Halah, belum tentu. Setan yang ngegodain orang pacaran tuh lebih banyak.""Idih, kayak yang pernah lihat setan aja!""Emang bener!"Perdebatan antara ibu sambung dan anak sambung itu terus saja berlanjut. Mereka berbeda pandangan perihal pacaran dan pernikahan. Keduanya bersikukuh dengan pendapat masing-masing. "Menikah itu untuk seumur hidup, maunya kan satu kali aja nikahnya. Jadi harus benar-benar selektif cari calon suaminya. Kalau cuma, ya ... iseng-iseng doang atau cuma ngandelin cinta doang mah gampang. Tuh lihat, artis-artis yang pernikahannya mewah tetap aja ujungnya cerai." Bianca masih membela argumentasinya. "Nah itu. Padahal kan artis itu pacarannya lama. Tapi, tetap aja cerai! Ya kan? Ya kan?" Namira merasa di atas angin. Bianca terjebak ucapannya sendiri. Bibirnya manyun beberapa centi, garuk-garuk kepala yang t
Hesti sangat terkejut mendengar kenyataan kalau Namira, anak yang dulu sempat dibiarkan tinggal di rumah Daniel sejak kedua orang tuanya meninggal dunia, kini menjadi istri kedua mantan suaminya. Hesti berdiri, menggelengkan kepala. "Kalian berdua pasti bercanda. Papahmu bukan pedofil, Bian. Dia lelaki normal, gak mungkin nikahin gadis muda seperti Namira," tandas Hesti, menolak kenyataan yang diucapkan anak kandungnya. "Emang papah normal. Papah juga sangat selektif. Udahlah, jangan ngarepin papah lagi. Papah udah punya istri baru dan akan memiliki anak lagi dari rahim sahabatku," ujar Bianca sambil mengelus-elus perut Namira. Meski agak geli, Namira membiarkan sahabatnya melakukan apapun yang diinginkan. "Kalian ini, ada-ada aja. Oke, kalau gitu Mamah mau pergi dulu. Nanti malam Mamah akan pulang ke rumah, mau nemuin Papahmu.""Enak aja! Jangan pulang ke rumah Papah. Kamu sama Papah udah gak ada hubungan apa-apa. Emang udah bosen gonta-ganti pasangan?""Jaga mulutmu, Bianca! Mama
"Terima kasih, Sayang," ucap Daniel setelah melampiaskan keinginannya. Namira menganggukkan kepala, tersenyum, tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ... aku masuk kelas dulu," timpal Namira mencium punggung tangan suaminya. Danile meng3cup kening Namira dan membiarkan istrinya turun dari mobil. "Ya Allah, lama amat sih, Mih? Ngapain aja sih di mobil?" tanya Bianca yang sedari tadi menunggu Namira di depan pintu kelas. "Dosen belum datang kan?" Namira mengabaikan pertanyaan anak sambungnya. "Ditanya balik nanya. Belum datang. Ya untung aja belum datang. Ngapain aja sih kamu? Papah nanya-nanya soal aku sama mamah, ya?" Untung saja, Bianca langsung menduga suaminya menanyakan pertemuan Bianca dengan Hesti. "Iya. Nanya-nanya gitu. Aku cerita dong. Gak enaklah, masa bohong sama suami?" kata Namira santai. Padahal ia berharap kalau Bianca tidak curiga dirinya lama-lama dengan Daniel di dalam mobil. "Aku tuh gak nyangka banget mamah kayak gitu. Enggak ada berubahnya sama seka
Sampai di rumah, Bianca langsung masuk ke dalam kamar. Kepalanya agak pusing karena siang tadi sempat menangis. Begitu pula Namira dan Daniel, pasangan suami istri masuk kamar berbarengan. "Kamu mau langsung mandi?" Pertanyaan Daniel membuat langkah kaki Namira terhenti."Iya. Emang kenapa?""Enggak kenapa-napa. Ya udah kamu mandi duluan.""Oke."Kalau saja Namira tidak haid, ingin rasanya Daniel mandi bersama. Akhirnya lelaki itu hanya menunggu. Sambil menunggu istrinya selesai mandi, Daniel membuka handphone, mengecek email dan beberapa pesan yang masuk salah satunya dari Hesti. Daniel memejamkan kedua mata sejenak, meredam emosi yang mulai terpancing. Hesti menghubungi Daniel menggunakan nomor baru. Sedangkan Daniel, sejak dulu tidak pernah mengganti nomor handphone-nya. [Daniel, ini aku, Hesti. Kenapa kamu menikahi anak angkatmu, Daniel? Apa enggak ada wanita lain sampe anak ingusan itu kamu nikahi? Apa kamu udah jadi pedofil? Menjijikan!]Daniel langsung menghapus pesan itu dan
"Yang datang Pak Yuda. Katanya mau nganterin berkas yang Pak Daniel minta," jawab Bi Rusmi.Bianca dan Namira bernapas lega. Namira melepaskan gamitan tangan pada lengan suaminya. Membiarkan Daniel menemui Yuda, salah satu orang kepercayaan Daniel di perusahaan. "Terima kasih, Bi. Saya akan menemuinya. Bibi tolong buatkan kopi untuknya," titah Daniel pada wanita yang telah lama bekerja di rumahnya. "Baik, Pak."Daniel berjalan ke depan, menemui Yuda yang diminta olehnya mengantarkan berkas-berkas tentang penggelapan uang perusahaan. Daniel tak habis pikir, kenapa dia bisa kecolongan? Tidak sadar kalau ada orang yang berusaha menggelapkan uang perusahaan.Bi Rusmi ke dapur, sedangkan Bianca dan Namira menunggu di ruang makan. Mereka berdua sangat tenang karena yang datang bukan orang yang tidak mereka inginkan. "Kalau sampai mamaku yang datang, aku gak akan ngebiarin kamu dan papah menemuinya," kata Bianca sambil menyuap nasi ke dalam mulutnya. Namira menganggukkan kepala. Ia setuju
"Masih sakit?" tanya Daniel setelah menunaikan nafkah batin untuk Namira. Gadis itu meringis, menganggukkan kepala. "Tapi, tadi sempet enak, Mas."Daniel mengulum senyum, mendengar jawaban Namira yang polos. Daniel ingin tertawa tapi takut istrinya tersinggung. Ia berdehem, memeluk tubuh Namira yang hanya ditutupi selimut. Melihat jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. "Kita mandi dulu. Setelah itu, kita berangkat. Mau mandi bareng?" Namira mendongak, menatap wajah suamiya penuh cinta. "Aku mandinya entar, ya? Masih sakit ...." Namira meringis lagi, merasakan perih di area sensitifnya. "Coba lihat sebentar.""Jangan!" cegah Namira ketika Daniel hendak ke bawah. "Kenapa? Sebentar aja.""Enggak mau. Kalau Mas mau mandi, mandi aja duluan. Aku nanti," kata Namira menarik lagi selimut sebatas dada.Daniel tersenyum penuh cinta, mengecup kening Namira sangat lembut dan cukup lama. "Terima kasih, kamu mau bertahan dan mau menikmatinya." Suara Daniel terdengar serak dan parau. "Sama-sama
Bianca sangat bahagia diberi izin pergi ke kampus sendirian. Hatinya terasa lega dan bebas. Senyum Bianca yang mengembang tiba-tiba hilang mengingat Namira sedang jatuh sakit. Apa mungkin Namira kelelahan karena beberapa hari ini selalu pulang kampus sore? Ada banyak tugas yang mesti mereka kerjakan. Bianca merogoh ponsel dari dalam tas, hendak menghubungi Namira. Ia ingin menanyakan langsung tentang penyakit yang tengah dialami oleh ibu sambungnya itu. Satu panggilan tidak diangkat. Lalu, Bianca kembali menghubungi. Namun, lagi-lagi tidak diangkat. "Mungkin dia lagi tidur, nanti ajalah," gumam Bianca memasukan kembali ponsel ke dalam tas. Di dalam kamar, Namira dan Daniel tengah mengulang yang sebelumnya dilakukan. Namira sudah tidak merasa kesakitan lagi. Ia bahkan tanpa malu-malu, meminta lagi dan lagi. Hingga pukul sebelas siang, barulah Daniel menyudahi pemberian nafkah batinnya. "Nanti malam lagi ya, Om," rengek Namira tersipu malu. Daniel terkekeh. Membelai rambut istrinya
Bianca bergegas pulang ke rumah. Dia tak sabar ingin berlibur ke puncak Bogor. Liburan yang dia impikan selama ini, menginap di luar kota. Meskipun liburan itu bersama papanya. "Bianca! Bian!" Suara seorang pria memanggil gadis berusia 19 tahun. Bianca berhenti, dekat area parkir kampus. Membalikkan badan, rupanya Ferry, teman SMA-nya dulu. "Hai, Bi. Apa kabar?" Sapa Ferry sumringah."Ferry, ya?" Bianca bertanya karena saat ini Ferry rambutnya gondrong. "Iya. Masa kamu lupa?""Ya ampun, Ferry ... aku sampe gak ngenalin kamu. Kamu kuliah di sini juga?"Ferry lelaki yang dulu pernah mengungkapkan cinta pada Namira. Namun, saat itu Namira menolak cintanya. Namira beralasan kalau ia ingin fokus belajar. "Baru tiga bulan. Sebelumnya aku di Bandung. Karena mamahku didiagnosa sakit kanker, aku pindah ke sini."Senyum Bianca meredup. "Mamahmu sakit kanker apa?" "Rahim. Tapi, sekarang udah lebih baik. Oh ya, Namira kuliah di mana? Apa dia udah punya cowok?" tanya Ferry mengulum senyum. B
"Tentu saja boleh. Ini kan cafe-mu," jawab Rina tersenyum tipis. Rina juga berusaha menenangkan debaran jantungnya. Entah mengapa, jika dekat dengan Axel. Jantung Rina berdebar lebih cepat. Axel menganggukkan kepala. Pandangannya mengarah pada buku yang sedang dibaca Rina. "Kamu suka baca novel juga?" Pertanyaan Axel membuat pandangan Rina tertuju pada buku yang tengah dibaca. "Iya. Memangnya siapa yang suka baca novel? Kamu suka baca novel juga?" tanya Rina pada lelaki yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. "Oh bukan. Kalau aku enggak suka. Adikku yang suka baca buku novel. Banyak banget koleksi novelnya.""Ooh .... ""Ini kopinya, Nak Axel," ujar Ferry saat meletakkan secangkir kopi di hadapan Axel. "Terima kasih, Pak Ferry.""Sama-sama."Ferry beranjak, meninggalkan anak gadisnya duduk satu meja dengan Axel. Meski ada kecemasan di dalam hati, Ferry tak bisa melarang kedekatan Axel dan Rina. Sebenarnya Ferry cemas jika suatu saat nanti Rina akan jatuh cinta pada pria kay
Nida sangat terkejut mendengar cerita yang disampaikan Cassandra. Sebelumnya Nida juga sempat menaruh curiga jika Cassandra diam-diam menyukai Axel akan tetapi, yang membuat Nida tak menyangka jika Axel pun memiliki perasaan yang sama. "Sandra, jujur saja. Kalau mengingat karakter mama selama ini, aku juga ngerasa bukan itu alasan utama mama ngelarang kamu pacaran sama Axel. Kalau menurutku, lebih baik kamu fokus kuliah dulu sampai selesai. Jangan sampai gara-gara masalah ini, kamu jadi enggak fokus belajar. Sandra, aku tau gimana rasanya saling mencintai tapi ada yang menentang. Tapi kan, kamu dan Axel enggak mungkin menikah dalam waktu dekat. Sekarang lebih baik kamu berteman aja dulu. Toh berteman atau berpacaran enggak ada bedanya. Yang membedakan hanya status aja kok. Dari pada jadi masalah, kalau ada yang bertanya tentang hubunganmu dengan Axel, katakan saja kalian hanya bersahabat. Nanti bilamana sudah waktunya kamu menikah, langsung saja menikah, enggak perlu pacaran lagi."C
"Aku enggak janji. Aku takut enggak bisa ngehidupin kamu, Lea. Udahlah, lebih baik kamu di sini saja. Keributan di rumah ini karena ada aku. Kalau aku pergi, pasti akan nyaman lagi. Sekarang udah malam. Pergi ke kamarmu!" titah Axel tak ingin mengabulkan keinginan Alea. Axel sadar diri jika keributan yang terus terjadi di rumah Bragastara karena ulahnya. Axel sudah masuk kamar, tinggallah Alea yang masih duduk di balkon kamar kakanya. Memandang langit, berharap suatu saat rumah Bragastara dipenuhi kebahagiaan dan canda tawa. Sudah lama sekali, Axel, Alea dan Bianca bercanda serta tertawa bersama. "Eh, ngapain masih di situ? Cepet pergi ke kamar!" Suara Axel menyentak lamunan Alea. "Ya udah sih, kalau mau tidur, tidur aja," kata Alea cemberut. "Bukannya mau tidur. Aku mau mandi. Tadi kan aku belum sempat mandi. Keluar dari sini!" Alea mencebik, berdiri, dan berjalan keluar kamar kakaknya. Axel segera mengunci pintu, lalu masuk ke dalam toilet dan membersihkan diri. M
"Memangnya kenapa? Aku dan Sandra emang saling jatuh cinta. Kami udah lama sekali saling mencintai," timpal Axel, tak peduli Bianca akan marah atau tidak. Menurutnya, larangan Bianca tak beralasan. Selama ini Cassandra selalu bersikap baik. Cassandra juga adalah adik tiri Evan. "Udah gila kamu, Xel!" maki Bianca melotot. "Sayang, udah ... jangan marah-marah terus. Mereka hanya saling mencintai. Belum tentu berjodoh juga 'kan?"Evan berusaha menenangkan istrinya yang sudah diliputi amarah. Mendengar penuturan Evan, Axel semakin tak mengerti. Kenapa mereka tiba-tiba seperti tak menyukai Cassandra. "Diam kamu, Mas! Aku enggak akan mungkin merestui hubungan Axel dengan anak supir angkot itu.""Bianca, cukup!" Emosi yang sedari tadi ditahan Evan karena melihat sikap istrinya, akhirnya tak dapat ditahan lagi. "Kamu udah keterlaluan. Kamu enggak boleh memandang rendah Sandra. Dia adikku meskipun adik tiri. Lagi pula, sekarang bapaknya Cassandra sudah meninggal dunia. Kenapa masih saja kam
Selepas Magrib, Axel pulang ke rumah dengan raut wajah masam. Alea memanggil kakaknya yang baru masuk ke dalam rumah. "Kusut amat mukanya? Berantem, ya?" Alea menatap lekat wajah Axel. "Bukan urusanmu!" jawab Axel ketus. Melanjutkan langkah, menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamar. "Dih, kenapa tuh manusia? Pulang-pulang bukannya seneng, malah ngeselin? Heran."Alea berjalan ke dapur, membantu asisten rumah tangga menyiapkan makan malam. "Lea, Axel udah pulang belum?"Tiba-tiba saja Bianca muncul di belakang tubuh Alea. Wanita itu melongokkan kepala ke anak tangga yang menghubungkan ke kamar Alea dan Axel. "Udah, Ma. Lagi di kamarnya," jawab Alea sembari menata beberapa lauk pauk ke atas meja makan. Bianca duduk, menarik napas panjang. "Jam berapa dia pulang?" Gerakan tangan Alea terhenti mendengar pertanyaan kedua dari Bianca. Kalau dia bilang, baru saja pulang, khawatir Bianca memarahi kakaknya. Tapi, kalau berbohong, ia pun tak mau. "Udahlah, Sayang. Jangan tanya
Alea sekarang sudah dapat menilai, cowok seperti apa yang boleh dekat dengannya. Arfan yang mendengar penuturan Bianca, hatinya berbunga-bunga. Lampu hijau sudah ia dapatkan. Selebihnya menaklukan hati Alea. 'Semoga saja aku bisa membuat Alea jatuh cinta,'ucap Arfan dalam hati."Fan, aku ke dalam dulu. Kamu mau minum apa?" Pertanyaan Alea membuat lamunan Arfan buyar. Lelaki itu berdehem, mengubah posisi duduk. "Apa aja. Yang penting dingin.""Oke. Tunggu sebentar!"Alea masuk ke dalam. Ia menuju dapur, hendak memberitahu asisten rumah tangga. "Bi?" panggil Alea saat berada di dapur. "Iya, Non Lea?""Tolong buatin jus jeruk dua. Nanti tolong anterin ke depan. Ada temenku.""Baik, Non."Alea membalikkan badan, hendak ke kamar. Menyimpan tas dan buku-buku novel.Sebelumnya Alea pikir, akan dimarahi Bianca karena pulang bersama lelaki. Ternyata sebaliknya. Bianca tampak menyukai Arfan. Mungkin karena Arfan memiliki kendaraan yang bagus dan berasal dari keluarga yang kaya raya. Entahl
Arfan tertawa lepas melihat reaksi wajah Alea yang berubah masam. Tampaknya Alea tak percaya akan ucapan Arfan. Mereka melanjutkan langkah menuju toko buku. Di dalam sana, Arfan mengikuti Alea ke jajaran buku novel. Alea menoleh, memicingkan kedua mata, menatap Arfan. "Ngapain kamu di sini? Katanya mau beli komik? Jajaran buku komik kan di sana," ujar Alea pada lelaki yang berdiri di hadapan. "Kalau aku ke sana, nanti kamu siapa yang jagain. Lebih baik kamu dulu pilih novelnya, habis itu baru ke jajaran komik." Alea memanyunkan bibir, tak menanggapi ucapan Arfan. Akhirnya Alea membiarkan Arfan mengikutinya. Membantu Alea memilih beberapa buku novel. Setelah Alea selesai memilih tiga buku novel, barulah mereka ke jajaran buku komik. "Kamu punya banyak koleksi komik detektif Conan?" tanya Alea berdiri di samping Arfan yang memilih komik. "Lumayan. Kenapa?" Arfan menoleh, menatap lekat gadis yang dicintainya. "Enggak kenapa-napa. Nanya doang," jawab Alea cuek. Kemudian, dua remaj
"Ngomong apa kamu? Udahlah, jangan bahas masalah itu lagi. Harusnya kamu berharap kita berjodoh, bukan sebaliknya, Cassandraaaa ...," timpal Axel terlihat kesal. Tak habis pikir, kenapa Cassandra tiba-tiba bicara seperti itu? Apa yang ada di dalam hatinya? Apa mungkin dia tidak yakin jika mereka akan berjodoh."Masalah jodoh kita kan enggak tau. Aku cuma pengen bahagia. Jangan hanya menganggapku sebagai cinta terakhirmu," jelas Cassandra berusaha menahan air mata yang ingin membuncah. Axel sendiri, pandangannya lurus ke depan. "Jangan dibahas lagi!' titah Axel membuat Cassandra bungkam. Setelahnya tidak ada yang bicara sampai mereka ke bioskop. Axel pun tampak enggan memulai obrolan. Ia masih kesal dengan ucapan Cassandra perihal jodoh. Sulit bagi Axel jatuh cinta lagi. *** Benar saja, jam sembilan pagi Arfan datang ke rumah. Sebelumnya Alea berpikir kalau ucapan kakaknya itu cuma bercanda. "Hai, Lea," sapa Arfan tersenyum manis saat Alea berdiri di hadapan. "Hai. Kamu ... kam
Mendengar ucapan mamanya, Cassandra tersenyum miring. Sedikit tidak percaya jika alasan Bianca tak menyukai hubungannya dengan Axel karena dirinya adik tiri Evan. "Jujur saja, Ma. Aku enggak percaya dengan alasan kak Bian. Enggak masuk akal.""Enggak masuk akal gimana, Sandra? Justru sangat masuk akal. Masa iya, nanti Mama akan jadi besannya anak tiri sendiri.""Ma!" sela Cassandra. "Axel dan Alea itu bukan anak kandung Kak Bian. Mereka adik-adiknya! Lagi pula misalnya mereka benar kedua orang tua kandung Axel, memangnya salah? Enggak dong, Ma! Aku ini cuma anak tiri papa! Adik tiri kak Evan!"Suara Cassandra meninggi menjelaskan tentang posisinya di dalam keluarga Yuda. Shella terdiam, merunduk dan memijat pelipisnya. Ia tak ingin menyakiti hati Cassandra jika mendengar alasan Bianca sebenarnya. "Kita ... kita ke ruangan papa lagi. Udah kelamaan," ajak Shella tanpa menunggu tanggapan Cassandra. Kepala gadis itu mendadak pening. Sedikit pun tak menduga jika Bianca tak menyukai hub