"Memangnya kenapa? Aku dan Sandra emang saling jatuh cinta. Kami udah lama sekali saling mencintai," timpal Axel, tak peduli Bianca akan marah atau tidak. Menurutnya, larangan Bianca tak beralasan. Selama ini Cassandra selalu bersikap baik. Cassandra juga adalah adik tiri Evan. "Udah gila kamu, Xel!" maki Bianca melotot. "Sayang, udah ... jangan marah-marah terus. Mereka hanya saling mencintai. Belum tentu berjodoh juga 'kan?"Evan berusaha menenangkan istrinya yang sudah diliputi amarah. Mendengar penuturan Evan, Axel semakin tak mengerti. Kenapa mereka tiba-tiba seperti tak menyukai Cassandra. "Diam kamu, Mas! Aku enggak akan mungkin merestui hubungan Axel dengan anak supir angkot itu.""Bianca, cukup!" Emosi yang sedari tadi ditahan Evan karena melihat sikap istrinya, akhirnya tak dapat ditahan lagi. "Kamu udah keterlaluan. Kamu enggak boleh memandang rendah Sandra. Dia adikku meskipun adik tiri. Lagi pula, sekarang bapaknya Cassandra sudah meninggal dunia. Kenapa masih saja kam
"Aku enggak janji. Aku takut enggak bisa ngehidupin kamu, Lea. Udahlah, lebih baik kamu di sini saja. Keributan di rumah ini karena ada aku. Kalau aku pergi, pasti akan nyaman lagi. Sekarang udah malam. Pergi ke kamarmu!" titah Axel tak ingin mengabulkan keinginan Alea. Axel sadar diri jika keributan yang terus terjadi di rumah Bragastara karena ulahnya. Axel sudah masuk kamar, tinggallah Alea yang masih duduk di balkon kamar kakanya. Memandang langit, berharap suatu saat rumah Bragastara dipenuhi kebahagiaan dan canda tawa. Sudah lama sekali, Axel, Alea dan Bianca bercanda serta tertawa bersama. "Eh, ngapain masih di situ? Cepet pergi ke kamar!" Suara Axel menyentak lamunan Alea. "Ya udah sih, kalau mau tidur, tidur aja," kata Alea cemberut. "Bukannya mau tidur. Aku mau mandi. Tadi kan aku belum sempat mandi. Keluar dari sini!" Alea mencebik, berdiri, dan berjalan keluar kamar kakaknya. Axel segera mengunci pintu, lalu masuk ke dalam toilet dan membersihkan diri. M
Nida sangat terkejut mendengar cerita yang disampaikan Cassandra. Sebelumnya Nida juga sempat menaruh curiga jika Cassandra diam-diam menyukai Axel akan tetapi, yang membuat Nida tak menyangka jika Axel pun memiliki perasaan yang sama. "Sandra, jujur saja. Kalau mengingat karakter mama selama ini, aku juga ngerasa bukan itu alasan utama mama ngelarang kamu pacaran sama Axel. Kalau menurutku, lebih baik kamu fokus kuliah dulu sampai selesai. Jangan sampai gara-gara masalah ini, kamu jadi enggak fokus belajar. Sandra, aku tau gimana rasanya saling mencintai tapi ada yang menentang. Tapi kan, kamu dan Axel enggak mungkin menikah dalam waktu dekat. Sekarang lebih baik kamu berteman aja dulu. Toh berteman atau berpacaran enggak ada bedanya. Yang membedakan hanya status aja kok. Dari pada jadi masalah, kalau ada yang bertanya tentang hubunganmu dengan Axel, katakan saja kalian hanya bersahabat. Nanti bilamana sudah waktunya kamu menikah, langsung saja menikah, enggak perlu pacaran lagi."C
"Tentu saja boleh. Ini kan cafe-mu," jawab Rina tersenyum tipis. Rina juga berusaha menenangkan debaran jantungnya. Entah mengapa, jika dekat dengan Axel. Jantung Rina berdebar lebih cepat. Axel menganggukkan kepala. Pandangannya mengarah pada buku yang sedang dibaca Rina. "Kamu suka baca novel juga?" Pertanyaan Axel membuat pandangan Rina tertuju pada buku yang tengah dibaca. "Iya. Memangnya siapa yang suka baca novel? Kamu suka baca novel juga?" tanya Rina pada lelaki yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. "Oh bukan. Kalau aku enggak suka. Adikku yang suka baca buku novel. Banyak banget koleksi novelnya.""Ooh .... ""Ini kopinya, Nak Axel," ujar Ferry saat meletakkan secangkir kopi di hadapan Axel. "Terima kasih, Pak Ferry.""Sama-sama."Ferry beranjak, meninggalkan anak gadisnya duduk satu meja dengan Axel. Meski ada kecemasan di dalam hati, Ferry tak bisa melarang kedekatan Axel dan Rina. Sebenarnya Ferry cemas jika suatu saat nanti Rina akan jatuh cinta pada pria kay
"Astaghfirullahalazhim, Ma. Kenapa teriak-teriak di sini?" Axel sangat malu melihat prilaku Bianca yang tiba-tiba datang ke cafe sambil berteriak memanggilnya. Gilang yang berada di antara mereka jadi salah tingkah. Bingung dan tak nyaman. "Kamu masih tanya kenapa? Mama teriak karena kamu, Axel! Malam-malam pergi dari rumah enggak pamit dulu. Di rumah Mama nyariin kamu. Kamu malah nongkrong enggak jelas di sini!" tukas Bianca tanpa menurunkan intonasi suara. Axel semakin tak enak hati. Para pengunjung cafe mulai saling berbisik dan kasak-kusuk. Terpaksa, Axel menarik lengan Bianca agar masuk ke dalam ruangan cafe lainnya."Lepasin Mama, Xel! Lepasin!" Bianca meronta tapi cekalan Axel sangat kuat. Sampai di ruangan, barulah cekalan itu dilepaskan. Axel mengacak rambut kesal. "Ma, aku udah besar! Aku udah kelas tiga SMA dan sebentar lagi akan kuliah! Aku bukan anak kecil yang kemana-mana harus izin Mama dulu!" Kali ini suara Axel meninggi. Menatap Bianca penuh amarah. Mendengar ta
Bianca tersentak kaget mendengar pertanyaan Axel. Kepalanya menggeleng berulang kali. "Jangan, Nak. Jangan ... kamu harus tetap tinggal bersama Mama."Lengan Axel diraih Bianca. Wanita itu memohon pada adik kandungnya. Memohon agar Axel tidak pergi dari rumah. "Makanya Mama jangan ngekang aku atau Alea. Mama jangan begini! Jangan takut gak jelas!" tukas Axel sengit. Air mata yang membasahi pipi, Bianca seka dengan kasar. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Ma-Mama enggak akan ngekang kamu lagi tapi kamu harus janji, jangan pernah ninggalin Mama. Iya, Nak? Ya?" Pintar Bianca menatap lekat Axel. Lelaki itu hanya menghela napas berat. "Tergantung sikap Mama. Kalau sikap Mama masih kayak gini, aku dan Alea akan pergi.""Enggak, Xel ... Mama akan berubah. Mama akan mendukung segala keputusanmu. Asalkan kamu jangan pernah tinggalin Mama."Sudah cukup obrolan Axel dengan Bianca. Saudara kembar Alea itu menyuruh Bianca agar pulang ke rumah. "Xel, kamu yakin enggak akan pulang ke rumah?"
Ferry dan Tina tercengang akan jawaban anak semata wayang mereka. Ternyata kecurigaan Ferry benar adanya jika Rina menyimpan rasa cinta pada Axel. "Rina, kamu ...." Suara Tina tercekat. Ia merasa kasihan jika perasaan cinta Rina terhadap Axel dilarang. Akan tetapi, jika dibiarkan tumbuh, kasihan juga. Sepertinya Axel tak mungkin menyukai anak gadisnya. "Kamu jangan terlalu berharap. Ingat, Axel baik sama kamu karena memang dia orangnya baik bukan karena memiliki perasaan khusus padamu, Rin."Ucapan Ferry memang menyakitkan. Tetapi, ia tak mungkin membiarkan Rina menyesal nantinya. Lebih baik sakit sekarang dari pada nanti. Selagi cinta Rina terhadap Axel belum besar. "Ya, Ayah. Aku juga tau. Enggak mungkin Axel suka sama aku apalagi kan ... aku cuma anak seorang pelayan cafe dan pembantu rumah tangga."Bagai tamparan bagi Ferry dan Tina. Mereka terdiam beberapa saat. Tidak menyangka jika Rina berkata demikian. Sejujurnya, Ferry dan Tina tersinggung. "Ya udah, aku mau istirahat dul
"Kamu enggak boleh gitu dong, Friska. Mama bukan memuji si Nida. Enak aja memuji mantan menantu," elak ibu Ros. Maksud ibu Ros ingin menyadarkan Friska jika ia harus diistimewakan. Friska justru mengancam. Sialan. "Terus Mama mau nginap atau mau pulang?" tanya Friska muak melihat gelagat ibu mertuanya yang matre. "Mau nginap. Mama mau nginap di sini.""Kalau gitu, silakan tidur di kamar belakang. Aku mau istirahat," tukas Friska pada wanita yang telah melahirkan suaminya. "Dasar mantu sombong! Sok kaya! Kalau bukan butuh uangnya, enggak sudi aku tinggal di sini. Semua ini gara-gara si Hanifa. Minta uang terus tiap hari. Ck!" gumam ibu Ros, berjalan ke arah kamar yang dekat kamar mbok Tarmi. "Nyonya Ros?" Mbok Tarmi yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut melihat kedatangan ibu mertuanya Friska. "Iya, kenapa? Kamu kaget aku ada di sini?" tanya ibu Ros sangat ketus. Lirikannya sangat tidak suka pada pembantu Friska."Iya saya sedikit kaget. Nyonya mau nginap di sini?""Iya. Sa
Mendengar pertanyaan Alea, Bianca terkejut. Ia mengatupkan mulut, menoleh pada Evan yang bersikap tenang. "Hm ... Bukan, Nak. Mama Hesti bukan ibu kandung Mama." Elak Bianca tanpa punya hati. "Sayang, jangan begitu," tegur Evan lembut. "Biar bagaimanapun, mama Hesti adalah ibu kandungmu. Udahlah, jangan bohong terus."Lama-lama Evan sangat muak melihat prilaku Bianca. Dari hari ke hari, prilaku Bianca semakin buruk. Selalu saja berbohong. "Oh, ibu kandung Mama. Apa aku boleh mengenalnya, Ma? Pa?" tanya Alea memandang Evan dan Bianca bergantian. "Buat apa, Lea? Lebih baik kamu enggak usah kenal dia. Dia orangnya menyebalkan," tandas Bianca meyakinkan Alea jika Hesti wanita yang menyebalkan. "Walaupun menyebalkan tapi kan dia ibu kandung Mama. Enggak boleh gitu, Ma. Nanti kalau aku dan Kak Axel meniru sikap Mama, gimana?" Kedua mata Bianca membeliak. "Alea, jaga bicaramu! Jangan samakan Mama dengan dia! Dia itu seorang ibu yang enggak pernah perhatian sama anaknya! Dia tega seling
Friska terkejut, memegang sebelah pipinya yang terkena tamparan ibu Ros. Kedua mata Friska melotot, amarah terlihat jelas di raut wajah. Kebenciannya terhadap ibu mertua semakin menjadi-jadi. "Mama berani sekali menamparku?" Desis Friska menatap nyalang wanita yang telah melahirkan Hanif. "Ya habisnya kamu udah kurang ajar sama Mama!" Ibu Ros sama sekali tak menyesali perbuatannya. Friska semakin geram lalu ia pun berkata, "Sekarang aku minta, keluar dari rumahkuuu! Keluaaaarrr!"Teriakan Friska menggelegar. Kedua matanya seperti mau melompat. Ibu Ros kaget bukan kepalang. Tubuhnya sampai mundur selangkah. Mbok Tarmi yang sebelumnya masuk ke dalam kamar, keluar. Mencemaskan keadaan Friska. "Friska berisik! Jangan teriak malam-malam! Kalau didengar tetangga, mereka akan berpikir macam-macam."Sikap ibu Ros semakin menyebalkan di mata Friska. "Aku enggak peduli! Sekarang aku minta, Mama pergi dari rumahku! Pergiiiii!" Friska berteriak, menarik paksa lengan ibu Ros agar keluar dar
"Kamu enggak boleh gitu dong, Friska. Mama bukan memuji si Nida. Enak aja memuji mantan menantu," elak ibu Ros. Maksud ibu Ros ingin menyadarkan Friska jika ia harus diistimewakan. Friska justru mengancam. Sialan. "Terus Mama mau nginap atau mau pulang?" tanya Friska muak melihat gelagat ibu mertuanya yang matre. "Mau nginap. Mama mau nginap di sini.""Kalau gitu, silakan tidur di kamar belakang. Aku mau istirahat," tukas Friska pada wanita yang telah melahirkan suaminya. "Dasar mantu sombong! Sok kaya! Kalau bukan butuh uangnya, enggak sudi aku tinggal di sini. Semua ini gara-gara si Hanifa. Minta uang terus tiap hari. Ck!" gumam ibu Ros, berjalan ke arah kamar yang dekat kamar mbok Tarmi. "Nyonya Ros?" Mbok Tarmi yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut melihat kedatangan ibu mertuanya Friska. "Iya, kenapa? Kamu kaget aku ada di sini?" tanya ibu Ros sangat ketus. Lirikannya sangat tidak suka pada pembantu Friska."Iya saya sedikit kaget. Nyonya mau nginap di sini?""Iya. Sa
Ferry dan Tina tercengang akan jawaban anak semata wayang mereka. Ternyata kecurigaan Ferry benar adanya jika Rina menyimpan rasa cinta pada Axel. "Rina, kamu ...." Suara Tina tercekat. Ia merasa kasihan jika perasaan cinta Rina terhadap Axel dilarang. Akan tetapi, jika dibiarkan tumbuh, kasihan juga. Sepertinya Axel tak mungkin menyukai anak gadisnya. "Kamu jangan terlalu berharap. Ingat, Axel baik sama kamu karena memang dia orangnya baik bukan karena memiliki perasaan khusus padamu, Rin."Ucapan Ferry memang menyakitkan. Tetapi, ia tak mungkin membiarkan Rina menyesal nantinya. Lebih baik sakit sekarang dari pada nanti. Selagi cinta Rina terhadap Axel belum besar. "Ya, Ayah. Aku juga tau. Enggak mungkin Axel suka sama aku apalagi kan ... aku cuma anak seorang pelayan cafe dan pembantu rumah tangga."Bagai tamparan bagi Ferry dan Tina. Mereka terdiam beberapa saat. Tidak menyangka jika Rina berkata demikian. Sejujurnya, Ferry dan Tina tersinggung. "Ya udah, aku mau istirahat dul
Bianca tersentak kaget mendengar pertanyaan Axel. Kepalanya menggeleng berulang kali. "Jangan, Nak. Jangan ... kamu harus tetap tinggal bersama Mama."Lengan Axel diraih Bianca. Wanita itu memohon pada adik kandungnya. Memohon agar Axel tidak pergi dari rumah. "Makanya Mama jangan ngekang aku atau Alea. Mama jangan begini! Jangan takut gak jelas!" tukas Axel sengit. Air mata yang membasahi pipi, Bianca seka dengan kasar. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Ma-Mama enggak akan ngekang kamu lagi tapi kamu harus janji, jangan pernah ninggalin Mama. Iya, Nak? Ya?" Pintar Bianca menatap lekat Axel. Lelaki itu hanya menghela napas berat. "Tergantung sikap Mama. Kalau sikap Mama masih kayak gini, aku dan Alea akan pergi.""Enggak, Xel ... Mama akan berubah. Mama akan mendukung segala keputusanmu. Asalkan kamu jangan pernah tinggalin Mama."Sudah cukup obrolan Axel dengan Bianca. Saudara kembar Alea itu menyuruh Bianca agar pulang ke rumah. "Xel, kamu yakin enggak akan pulang ke rumah?"
"Astaghfirullahalazhim, Ma. Kenapa teriak-teriak di sini?" Axel sangat malu melihat prilaku Bianca yang tiba-tiba datang ke cafe sambil berteriak memanggilnya. Gilang yang berada di antara mereka jadi salah tingkah. Bingung dan tak nyaman. "Kamu masih tanya kenapa? Mama teriak karena kamu, Axel! Malam-malam pergi dari rumah enggak pamit dulu. Di rumah Mama nyariin kamu. Kamu malah nongkrong enggak jelas di sini!" tukas Bianca tanpa menurunkan intonasi suara. Axel semakin tak enak hati. Para pengunjung cafe mulai saling berbisik dan kasak-kusuk. Terpaksa, Axel menarik lengan Bianca agar masuk ke dalam ruangan cafe lainnya."Lepasin Mama, Xel! Lepasin!" Bianca meronta tapi cekalan Axel sangat kuat. Sampai di ruangan, barulah cekalan itu dilepaskan. Axel mengacak rambut kesal. "Ma, aku udah besar! Aku udah kelas tiga SMA dan sebentar lagi akan kuliah! Aku bukan anak kecil yang kemana-mana harus izin Mama dulu!" Kali ini suara Axel meninggi. Menatap Bianca penuh amarah. Mendengar ta
"Tentu saja boleh. Ini kan cafe-mu," jawab Rina tersenyum tipis. Rina juga berusaha menenangkan debaran jantungnya. Entah mengapa, jika dekat dengan Axel. Jantung Rina berdebar lebih cepat. Axel menganggukkan kepala. Pandangannya mengarah pada buku yang sedang dibaca Rina. "Kamu suka baca novel juga?" Pertanyaan Axel membuat pandangan Rina tertuju pada buku yang tengah dibaca. "Iya. Memangnya siapa yang suka baca novel? Kamu suka baca novel juga?" tanya Rina pada lelaki yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. "Oh bukan. Kalau aku enggak suka. Adikku yang suka baca buku novel. Banyak banget koleksi novelnya.""Ooh .... ""Ini kopinya, Nak Axel," ujar Ferry saat meletakkan secangkir kopi di hadapan Axel. "Terima kasih, Pak Ferry.""Sama-sama."Ferry beranjak, meninggalkan anak gadisnya duduk satu meja dengan Axel. Meski ada kecemasan di dalam hati, Ferry tak bisa melarang kedekatan Axel dan Rina. Sebenarnya Ferry cemas jika suatu saat nanti Rina akan jatuh cinta pada pria kay
Nida sangat terkejut mendengar cerita yang disampaikan Cassandra. Sebelumnya Nida juga sempat menaruh curiga jika Cassandra diam-diam menyukai Axel akan tetapi, yang membuat Nida tak menyangka jika Axel pun memiliki perasaan yang sama. "Sandra, jujur saja. Kalau mengingat karakter mama selama ini, aku juga ngerasa bukan itu alasan utama mama ngelarang kamu pacaran sama Axel. Kalau menurutku, lebih baik kamu fokus kuliah dulu sampai selesai. Jangan sampai gara-gara masalah ini, kamu jadi enggak fokus belajar. Sandra, aku tau gimana rasanya saling mencintai tapi ada yang menentang. Tapi kan, kamu dan Axel enggak mungkin menikah dalam waktu dekat. Sekarang lebih baik kamu berteman aja dulu. Toh berteman atau berpacaran enggak ada bedanya. Yang membedakan hanya status aja kok. Dari pada jadi masalah, kalau ada yang bertanya tentang hubunganmu dengan Axel, katakan saja kalian hanya bersahabat. Nanti bilamana sudah waktunya kamu menikah, langsung saja menikah, enggak perlu pacaran lagi."C
"Aku enggak janji. Aku takut enggak bisa ngehidupin kamu, Lea. Udahlah, lebih baik kamu di sini saja. Keributan di rumah ini karena ada aku. Kalau aku pergi, pasti akan nyaman lagi. Sekarang udah malam. Pergi ke kamarmu!" titah Axel tak ingin mengabulkan keinginan Alea. Axel sadar diri jika keributan yang terus terjadi di rumah Bragastara karena ulahnya. Axel sudah masuk kamar, tinggallah Alea yang masih duduk di balkon kamar kakanya. Memandang langit, berharap suatu saat rumah Bragastara dipenuhi kebahagiaan dan canda tawa. Sudah lama sekali, Axel, Alea dan Bianca bercanda serta tertawa bersama. "Eh, ngapain masih di situ? Cepet pergi ke kamar!" Suara Axel menyentak lamunan Alea. "Ya udah sih, kalau mau tidur, tidur aja," kata Alea cemberut. "Bukannya mau tidur. Aku mau mandi. Tadi kan aku belum sempat mandi. Keluar dari sini!" Alea mencebik, berdiri, dan berjalan keluar kamar kakaknya. Axel segera mengunci pintu, lalu masuk ke dalam toilet dan membersihkan diri. M