Bianca tersentak kaget mendengar pertanyaan Axel. Kepalanya menggeleng berulang kali. "Jangan, Nak. Jangan ... kamu harus tetap tinggal bersama Mama."Lengan Axel diraih Bianca. Wanita itu memohon pada adik kandungnya. Memohon agar Axel tidak pergi dari rumah. "Makanya Mama jangan ngekang aku atau Alea. Mama jangan begini! Jangan takut gak jelas!" tukas Axel sengit. Air mata yang membasahi pipi, Bianca seka dengan kasar. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Ma-Mama enggak akan ngekang kamu lagi tapi kamu harus janji, jangan pernah ninggalin Mama. Iya, Nak? Ya?" Pintar Bianca menatap lekat Axel. Lelaki itu hanya menghela napas berat. "Tergantung sikap Mama. Kalau sikap Mama masih kayak gini, aku dan Alea akan pergi.""Enggak, Xel ... Mama akan berubah. Mama akan mendukung segala keputusanmu. Asalkan kamu jangan pernah tinggalin Mama."Sudah cukup obrolan Axel dengan Bianca. Saudara kembar Alea itu menyuruh Bianca agar pulang ke rumah. "Xel, kamu yakin enggak akan pulang ke rumah?"
Ferry dan Tina tercengang akan jawaban anak semata wayang mereka. Ternyata kecurigaan Ferry benar adanya jika Rina menyimpan rasa cinta pada Axel. "Rina, kamu ...." Suara Tina tercekat. Ia merasa kasihan jika perasaan cinta Rina terhadap Axel dilarang. Akan tetapi, jika dibiarkan tumbuh, kasihan juga. Sepertinya Axel tak mungkin menyukai anak gadisnya. "Kamu jangan terlalu berharap. Ingat, Axel baik sama kamu karena memang dia orangnya baik bukan karena memiliki perasaan khusus padamu, Rin."Ucapan Ferry memang menyakitkan. Tetapi, ia tak mungkin membiarkan Rina menyesal nantinya. Lebih baik sakit sekarang dari pada nanti. Selagi cinta Rina terhadap Axel belum besar. "Ya, Ayah. Aku juga tau. Enggak mungkin Axel suka sama aku apalagi kan ... aku cuma anak seorang pelayan cafe dan pembantu rumah tangga."Bagai tamparan bagi Ferry dan Tina. Mereka terdiam beberapa saat. Tidak menyangka jika Rina berkata demikian. Sejujurnya, Ferry dan Tina tersinggung. "Ya udah, aku mau istirahat dul
"Kamu enggak boleh gitu dong, Friska. Mama bukan memuji si Nida. Enak aja memuji mantan menantu," elak ibu Ros. Maksud ibu Ros ingin menyadarkan Friska jika ia harus diistimewakan. Friska justru mengancam. Sialan. "Terus Mama mau nginap atau mau pulang?" tanya Friska muak melihat gelagat ibu mertuanya yang matre. "Mau nginap. Mama mau nginap di sini.""Kalau gitu, silakan tidur di kamar belakang. Aku mau istirahat," tukas Friska pada wanita yang telah melahirkan suaminya. "Dasar mantu sombong! Sok kaya! Kalau bukan butuh uangnya, enggak sudi aku tinggal di sini. Semua ini gara-gara si Hanifa. Minta uang terus tiap hari. Ck!" gumam ibu Ros, berjalan ke arah kamar yang dekat kamar mbok Tarmi. "Nyonya Ros?" Mbok Tarmi yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut melihat kedatangan ibu mertuanya Friska. "Iya, kenapa? Kamu kaget aku ada di sini?" tanya ibu Ros sangat ketus. Lirikannya sangat tidak suka pada pembantu Friska."Iya saya sedikit kaget. Nyonya mau nginap di sini?""Iya. Sa
Friska terkejut, memegang sebelah pipinya yang terkena tamparan ibu Ros. Kedua mata Friska melotot, amarah terlihat jelas di raut wajah. Kebenciannya terhadap ibu mertua semakin menjadi-jadi. "Mama berani sekali menamparku?" Desis Friska menatap nyalang wanita yang telah melahirkan Hanif. "Ya habisnya kamu udah kurang ajar sama Mama!" Ibu Ros sama sekali tak menyesali perbuatannya. Friska semakin geram lalu ia pun berkata, "Sekarang aku minta, keluar dari rumahkuuu! Keluaaaarrr!"Teriakan Friska menggelegar. Kedua matanya seperti mau melompat. Ibu Ros kaget bukan kepalang. Tubuhnya sampai mundur selangkah. Mbok Tarmi yang sebelumnya masuk ke dalam kamar, keluar. Mencemaskan keadaan Friska. "Friska berisik! Jangan teriak malam-malam! Kalau didengar tetangga, mereka akan berpikir macam-macam."Sikap ibu Ros semakin menyebalkan di mata Friska. "Aku enggak peduli! Sekarang aku minta, Mama pergi dari rumahku! Pergiiiii!" Friska berteriak, menarik paksa lengan ibu Ros agar keluar dar
Mendengar pertanyaan Alea, Bianca terkejut. Ia mengatupkan mulut, menoleh pada Evan yang bersikap tenang. "Hm ... Bukan, Nak. Mama Hesti bukan ibu kandung Mama." Elak Bianca tanpa punya hati. "Sayang, jangan begitu," tegur Evan lembut. "Biar bagaimanapun, mama Hesti adalah ibu kandungmu. Udahlah, jangan bohong terus."Lama-lama Evan sangat muak melihat prilaku Bianca. Dari hari ke hari, prilaku Bianca semakin buruk. Selalu saja berbohong. "Oh, ibu kandung Mama. Apa aku boleh mengenalnya, Ma? Pa?" tanya Alea memandang Evan dan Bianca bergantian. "Buat apa, Lea? Lebih baik kamu enggak usah kenal dia. Dia orangnya menyebalkan," tandas Bianca meyakinkan Alea jika Hesti wanita yang menyebalkan. "Walaupun menyebalkan tapi kan dia ibu kandung Mama. Enggak boleh gitu, Ma. Nanti kalau aku dan Kak Axel meniru sikap Mama, gimana?" Kedua mata Bianca membeliak. "Alea, jaga bicaramu! Jangan samakan Mama dengan dia! Dia itu seorang ibu yang enggak pernah perhatian sama anaknya! Dia tega seling
Friska terkejut mendengar perintah Hanif pada ibunya. Terkejut sekaligus terharu. Dia pikir, Hanif tidak peduli, Hanif lebih mementingkan ibu Ros dari pada dirinya. "Kamu ngomong apa, Hanif? Nyuruh Mama minta maaf sama dia? Sudah gila kamu?"Tentu saja ibu Ros tidak terima diperintah minta maaf pada menantunya. Seumur-umur dia tidak pernah minta maaf pada menantu apalagi menantu seperti Friska yang belum satu bulan dinikahi anaknya. "Aku enggak mau tau. Pokoknya Mama harus minta maaf pada Friska dan berjanji enggak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Kalau enggak---""Kalau enggak apa?" Kalimat menggantung Hanif dipertanyakan ibu Ros. Wanita tua itu tidak suka anaknya lebih membela Friska. Ibu Ros menatap tajam anak lelaki satu-satunya. "Kalau enggak, silakan Mama keluar dari rumah istriku. Sekarang juga pergi dari rumah ini!" usir Hanif tegas. Intonasi suaranya meninggi. Ia seolah lupa, wanita yang berdiri di hadapan adalah wanita yang telah melahirkannya. Kedua mata ibu Ros memb
Dengan penuh kesedihan dan penyesalan, ibu Ros keluar dari rumah Friska. Sedikit pun ia tak menduga jika akan berakhir seperti ini. Ia pikir, Friska bisa dikendalikan. Bisa diperintah seenaknya ternyata tidak. Hanif juga sekarang sama. Lelaki itu lebih membela Friska dari pada dirinya sendiri. Di dalam taksi, air mata ibu Ros tak juga berhenti. Ia menangis tersedu-sedu. Mengingat sikap Hanif yang berubah. Telah berani membentak dan mengusirnya. Ingatannya kembali melayang pada sosok Nida. Meski sering disakiti hatinya, Nida tidak pernah berkata kasar apalagi sampai membentaknya. Nida seorang gadis yang santun. Hanya karena dia tidak terlalu sering memberi ibu Ros uang dan tidak dapat memberikan keturunan pada Hanif, Ibu Ros tega menyuruh Hanif berselingkuh hingga menceraikan Nida. Sekarang ibu Ros terkena batunya. Friska yang dinilai baik dan loyal dalam keuangan ternyata sebaliknya. "Sungguh, sakit nian hatiku," desis ibu Ros diiringin deraian air mata.Taksi telah memasuki halama
Cassandra langsung mematikan sambungan telepon. Ia terkejut mendengar Axel mengungkapkan kalimat itu. Terkejut sekaligus malu. Hatinya berharap, semoga saja Nida tidak mendengar ucapan Axel. "Kok dimatiin?" Nida semakin penasaran dengan sikap Cassandra. "Apa ucapan Axel menyakitimu, Sandra?" sambung Nida yang ditanggapi gelengan kepala. "Enggak kok, Kak. A-aku cuma lagi berusaha jaga jarak. Nanti di LN juga aku mau ganti kartu. Kalau aku dan Axel masih komunikasi, aku takut ... eu ... takut perasaanku kumat lagi, Kak."Cassandra berterus terang. Kini, ia tak merasa canggung lagi pada Nida. Kakak sambungnya itu telah membuat Cassandra nyaman bercerita. "Ya udah terserah kamu. Aku percaya kalau sekarang kamu udah besar, udah tau mana yang mesti diprioritaskan, mana yang yang dikesampingkan."Perkataan Nida membuat Cassandra bernapas lega. Gadis itu tersenyum, menganggukkan kepala. Setelahnya, tak ada lagi yang dibicarakan. Handphone Cassandra sudah dinon-aktifkan. *** "Sial! Kena
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang