Alea sekarang sudah dapat menilai, cowok seperti apa yang boleh dekat dengannya. Arfan yang mendengar penuturan Bianca, hatinya berbunga-bunga. Lampu hijau sudah ia dapatkan. Selebihnya menaklukan hati Alea. 'Semoga saja aku bisa membuat Alea jatuh cinta,'ucap Arfan dalam hati."Fan, aku ke dalam dulu. Kamu mau minum apa?" Pertanyaan Alea membuat lamunan Arfan buyar. Lelaki itu berdehem, mengubah posisi duduk. "Apa aja. Yang penting dingin.""Oke. Tunggu sebentar!"Alea masuk ke dalam. Ia menuju dapur, hendak memberitahu asisten rumah tangga. "Bi?" panggil Alea saat berada di dapur. "Iya, Non Lea?""Tolong buatin jus jeruk dua. Nanti tolong anterin ke depan. Ada temenku.""Baik, Non."Alea membalikkan badan, hendak ke kamar. Menyimpan tas dan buku-buku novel.Sebelumnya Alea pikir, akan dimarahi Bianca karena pulang bersama lelaki. Ternyata sebaliknya. Bianca tampak menyukai Arfan. Mungkin karena Arfan memiliki kendaraan yang bagus dan berasal dari keluarga yang kaya raya. Entahl
Selepas Magrib, Axel pulang ke rumah dengan raut wajah masam. Alea memanggil kakaknya yang baru masuk ke dalam rumah. "Kusut amat mukanya? Berantem, ya?" Alea menatap lekat wajah Axel. "Bukan urusanmu!" jawab Axel ketus. Melanjutkan langkah, menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamar. "Dih, kenapa tuh manusia? Pulang-pulang bukannya seneng, malah ngeselin? Heran."Alea berjalan ke dapur, membantu asisten rumah tangga menyiapkan makan malam. "Lea, Axel udah pulang belum?"Tiba-tiba saja Bianca muncul di belakang tubuh Alea. Wanita itu melongokkan kepala ke anak tangga yang menghubungkan ke kamar Alea dan Axel. "Udah, Ma. Lagi di kamarnya," jawab Alea sembari menata beberapa lauk pauk ke atas meja makan. Bianca duduk, menarik napas panjang. "Jam berapa dia pulang?" Gerakan tangan Alea terhenti mendengar pertanyaan kedua dari Bianca. Kalau dia bilang, baru saja pulang, khawatir Bianca memarahi kakaknya. Tapi, kalau berbohong, ia pun tak mau. "Udahlah, Sayang. Jangan tanya
"Memangnya kenapa? Aku dan Sandra emang saling jatuh cinta. Kami udah lama sekali saling mencintai," timpal Axel, tak peduli Bianca akan marah atau tidak. Menurutnya, larangan Bianca tak beralasan. Selama ini Cassandra selalu bersikap baik. Cassandra juga adalah adik tiri Evan. "Udah gila kamu, Xel!" maki Bianca melotot. "Sayang, udah ... jangan marah-marah terus. Mereka hanya saling mencintai. Belum tentu berjodoh juga 'kan?"Evan berusaha menenangkan istrinya yang sudah diliputi amarah. Mendengar penuturan Evan, Axel semakin tak mengerti. Kenapa mereka tiba-tiba seperti tak menyukai Cassandra. "Diam kamu, Mas! Aku enggak akan mungkin merestui hubungan Axel dengan anak supir angkot itu.""Bianca, cukup!" Emosi yang sedari tadi ditahan Evan karena melihat sikap istrinya, akhirnya tak dapat ditahan lagi. "Kamu udah keterlaluan. Kamu enggak boleh memandang rendah Sandra. Dia adikku meskipun adik tiri. Lagi pula, sekarang bapaknya Cassandra sudah meninggal dunia. Kenapa masih saja kam
"Aku enggak janji. Aku takut enggak bisa ngehidupin kamu, Lea. Udahlah, lebih baik kamu di sini saja. Keributan di rumah ini karena ada aku. Kalau aku pergi, pasti akan nyaman lagi. Sekarang udah malam. Pergi ke kamarmu!" titah Axel tak ingin mengabulkan keinginan Alea. Axel sadar diri jika keributan yang terus terjadi di rumah Bragastara karena ulahnya. Axel sudah masuk kamar, tinggallah Alea yang masih duduk di balkon kamar kakanya. Memandang langit, berharap suatu saat rumah Bragastara dipenuhi kebahagiaan dan canda tawa. Sudah lama sekali, Axel, Alea dan Bianca bercanda serta tertawa bersama. "Eh, ngapain masih di situ? Cepet pergi ke kamar!" Suara Axel menyentak lamunan Alea. "Ya udah sih, kalau mau tidur, tidur aja," kata Alea cemberut. "Bukannya mau tidur. Aku mau mandi. Tadi kan aku belum sempat mandi. Keluar dari sini!" Alea mencebik, berdiri, dan berjalan keluar kamar kakaknya. Axel segera mengunci pintu, lalu masuk ke dalam toilet dan membersihkan diri. M
Nida sangat terkejut mendengar cerita yang disampaikan Cassandra. Sebelumnya Nida juga sempat menaruh curiga jika Cassandra diam-diam menyukai Axel akan tetapi, yang membuat Nida tak menyangka jika Axel pun memiliki perasaan yang sama. "Sandra, jujur saja. Kalau mengingat karakter mama selama ini, aku juga ngerasa bukan itu alasan utama mama ngelarang kamu pacaran sama Axel. Kalau menurutku, lebih baik kamu fokus kuliah dulu sampai selesai. Jangan sampai gara-gara masalah ini, kamu jadi enggak fokus belajar. Sandra, aku tau gimana rasanya saling mencintai tapi ada yang menentang. Tapi kan, kamu dan Axel enggak mungkin menikah dalam waktu dekat. Sekarang lebih baik kamu berteman aja dulu. Toh berteman atau berpacaran enggak ada bedanya. Yang membedakan hanya status aja kok. Dari pada jadi masalah, kalau ada yang bertanya tentang hubunganmu dengan Axel, katakan saja kalian hanya bersahabat. Nanti bilamana sudah waktunya kamu menikah, langsung saja menikah, enggak perlu pacaran lagi."C
"Tentu saja boleh. Ini kan cafe-mu," jawab Rina tersenyum tipis. Rina juga berusaha menenangkan debaran jantungnya. Entah mengapa, jika dekat dengan Axel. Jantung Rina berdebar lebih cepat. Axel menganggukkan kepala. Pandangannya mengarah pada buku yang sedang dibaca Rina. "Kamu suka baca novel juga?" Pertanyaan Axel membuat pandangan Rina tertuju pada buku yang tengah dibaca. "Iya. Memangnya siapa yang suka baca novel? Kamu suka baca novel juga?" tanya Rina pada lelaki yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. "Oh bukan. Kalau aku enggak suka. Adikku yang suka baca buku novel. Banyak banget koleksi novelnya.""Ooh .... ""Ini kopinya, Nak Axel," ujar Ferry saat meletakkan secangkir kopi di hadapan Axel. "Terima kasih, Pak Ferry.""Sama-sama."Ferry beranjak, meninggalkan anak gadisnya duduk satu meja dengan Axel. Meski ada kecemasan di dalam hati, Ferry tak bisa melarang kedekatan Axel dan Rina. Sebenarnya Ferry cemas jika suatu saat nanti Rina akan jatuh cinta pada pria kay
"Astaghfirullahalazhim, Ma. Kenapa teriak-teriak di sini?" Axel sangat malu melihat prilaku Bianca yang tiba-tiba datang ke cafe sambil berteriak memanggilnya. Gilang yang berada di antara mereka jadi salah tingkah. Bingung dan tak nyaman. "Kamu masih tanya kenapa? Mama teriak karena kamu, Axel! Malam-malam pergi dari rumah enggak pamit dulu. Di rumah Mama nyariin kamu. Kamu malah nongkrong enggak jelas di sini!" tukas Bianca tanpa menurunkan intonasi suara. Axel semakin tak enak hati. Para pengunjung cafe mulai saling berbisik dan kasak-kusuk. Terpaksa, Axel menarik lengan Bianca agar masuk ke dalam ruangan cafe lainnya."Lepasin Mama, Xel! Lepasin!" Bianca meronta tapi cekalan Axel sangat kuat. Sampai di ruangan, barulah cekalan itu dilepaskan. Axel mengacak rambut kesal. "Ma, aku udah besar! Aku udah kelas tiga SMA dan sebentar lagi akan kuliah! Aku bukan anak kecil yang kemana-mana harus izin Mama dulu!" Kali ini suara Axel meninggi. Menatap Bianca penuh amarah. Mendengar ta
Bianca tersentak kaget mendengar pertanyaan Axel. Kepalanya menggeleng berulang kali. "Jangan, Nak. Jangan ... kamu harus tetap tinggal bersama Mama."Lengan Axel diraih Bianca. Wanita itu memohon pada adik kandungnya. Memohon agar Axel tidak pergi dari rumah. "Makanya Mama jangan ngekang aku atau Alea. Mama jangan begini! Jangan takut gak jelas!" tukas Axel sengit. Air mata yang membasahi pipi, Bianca seka dengan kasar. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Nak. Ma-Mama enggak akan ngekang kamu lagi tapi kamu harus janji, jangan pernah ninggalin Mama. Iya, Nak? Ya?" Pintar Bianca menatap lekat Axel. Lelaki itu hanya menghela napas berat. "Tergantung sikap Mama. Kalau sikap Mama masih kayak gini, aku dan Alea akan pergi.""Enggak, Xel ... Mama akan berubah. Mama akan mendukung segala keputusanmu. Asalkan kamu jangan pernah tinggalin Mama."Sudah cukup obrolan Axel dengan Bianca. Saudara kembar Alea itu menyuruh Bianca agar pulang ke rumah. "Xel, kamu yakin enggak akan pulang ke rumah?"
Haifa menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak tahu kemana perginya ibu Ros. "Kalau kata kak Nifa, mungkin mama tinggal di rumah lainnya. Mungkin sebenarnya diam-diam mama punya rumah lain soalnya kan dulu Mbak sering kasih uang ke mama," kata Haifa, teringat ucapan kakak kaduanya. Nida menghela napas berat. "Ya semoga saja. Mama kamu kan udah tua, Fa. Kasihan kalau hidupnya luntang-lantung. Kemarin itu, kata Kak Bianca, mama kamu sempat datang ke kantor, nyariin Mbak. Cuma kak Bian enggak kasih alamat tempat proyek kerjaku. Aku sekarang kerja di dalam kantor dan di lapangan," ujar Nida mengingat cerita yang disampaikan Bianca kemarin sore saat ia pulang dari proyek."Mungkin aja, Mbak. Soalnya kemarin itu mama dan mbak Nifa sempat bertengkar hebat. Mereka adu mulut bahkan kata Mbak Nifa, dia sampai mengobrak-abrik pakaian mama di lemari."Gerakan tangan Nida yang hendak menyuap roti tawar terhenti. Menatap lekat mantan adik iparnya. "Obrak-abrik pakaian mama? Mau ngapain?" tanya N
Pagi hari, Rina terkejut dengan anak kecil yang keluar dari kamar tamu. "Hei, kamu siapa, tampan? Mau cari siapa?" tanya Rina pada Rafa yang berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan. Tina yang sedang mencuci piring menoleh pada anaknya. Rina membungkukkan badan di depan anak berusia sekitar lima tahunan. "Aku lapel, Ante ...." Jawaban bocah yang masih cadel itu membuat Tina dan Rina tersenyum. Rina dengan penuh kasih sayang menggendong Rafa, mendudukkan di atas kursi dapur. "Bu, apakah anak ini anaknya Mbak Haifa yang semalam Ibu ceritain?" tanya Rina setengah berbisik pada wanita yang telah melahirkannya. "Iya, Nak. Kamu buatin dia susu dulu. Ibu mau masak buat sarapannya.""Iya, Bu. Sebentar ya, Adek. Ante bikinin susu yang enaaakk sekali. Adek mau?"Dengan cepat, Rafasya menganggukkan kepala. "Mau, Ante."Walaupun baru mengenal dan bertemu dengan Rafasya tapi Rina sangat mudah membuat anak kecil itu merasa nyaman di dekatnya. ""Ya Tuhan, Rafa! Mama kira kamu kemana?"
"Maksud Friska bukan ngejadiin kamu pembantu, Nifa," ralat Hanif, khawatir kemarahan adiknya itu meledak malam-malam. Walau sebetulnya maksud Friska memang demikian. Sampai jam sebelas malam Hanif tak bisa tidur karena memikirkan pesan Friska untuk Hanifa. "Bukan jadi pembantu gimana?" tentang Hanifa melipat kedua tangan di depan dada. "Udah jelas, dia nyuruh aku bantuin Mbok Tarmi masak dan beres-beres rumah. Kalau bukan pembantu terus apa? Asisten rumah tangga? Sama aja, Mas!" tukas Hanifa sengit. Hanif panik dengan intonasi suara Hanifa yang meninggi. Dia menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Hanifa dapat bicara pelan, tidak berisik. Sesekali Hanif melongok ke atas, memastikan jika istrinya tidak keluar kamar. "Bicaramu pelan aja, Nifa. Nanti kalau Friska bangun, bisa ribut tengah malam," tegur Hanif pada adik pertamanya. Muka Hanifa melengos ke arah lain. Ia benar-benar tak suka dengan Friska yang sombong itu. "Masih untung, Friska mau menerimamu tinggal di rumah i
"Mbak, tadi aku bilang ke mas Rangga kalau kami akan menunggunya di halte. Duh, Mbak. Gimana kalau dia ....""Astaghfirullahalazhim, Haifa," sela Nida saat adik kandung Hanif itu masih saja mencemaskan suami yang sudah berulang kali mengkhianati cintanya. "Haifa, kamu masih mencemaskan laki-laki itu? Bukankah dia udah berulang kali selingkuh?"Sungguh, Nida tak habis pikir pada Haifa. Dia tahu betul kalau Rangga sudah berulang kali berselingkuh bahkan ada yang sudah punya anak. Namun, Haifa benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Rangga. "Maaf, Mbak. Kata mas Rangga, dia mau berubah." Suara Haifa terdengar pelan, namun masih bisa terdengar di telinga Nida. Nida memijat pelipis. Ia baru satu kali diselingkuhi Hanif saja, sangat jijik jika harus menjalin rumah tangga lagi. Ini Haifa, sudah berulang kali bahkan Rangga terang-terangan telah menghamili wanita lain. "Berubah apanya? Kamu tau enggak, sekarang suamimu ada di mana?" tanya Nida menoleh sekilas pada adik Hanif itu. Ya sebetu
Hati Haifa begitu sakit, ditelantarkan oleh kakak kandungnya sendiri. Padahal saat ini selain sang suami, Hanifa-lah yang dijadikan Haifa bergantung. Mendengar pertanyaan anaknya, Haifa agak berjongkok, membelai wajah Rafasya. "Nak, kita akan tinggal di tempat baru. Kita tunggu papa datang dulu, ya? Sekarang kita duduk di situ." Haifa mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi panjang halte bus. Ia berusaha menahan air mata. Tidak ada tempat baginya untuk berlindung selain pada Rangga. Haifa mencoba menghubungi lelaki yang tengah asik minum-minuman bersama wanita lain. Gelak tawa Rangga terhenti mendengar handphone-nya kembali berdering. Lelaki tukang selingkuh itu memberi isyarat pada dua wanita paenghibur agar tidak bersuara. Suara musik juga di-mute. "Udah dapat tempat tinggal yang baru?" tanya Rangga tanpa basa-basi. Haifa merunduk, menghela napas berat, berusaha tetap tegar. "Be-belum. Mas, bisa enggak ke sini dulu? Aku dan Rafa di halte dekat lokasi proyek. Nanti aku share
"Mbak, emangnya Mbak jarang setor ke Bank?" cecar Haifa yang berjalan di belakang kakaknya. "Enggak. Mbak kan enggak ada uang, Fa.""Tapi, kan ... tiap bulan Mbak Nida kasih kita uang, Mbak. Baru bulan ini dia enggak kasih uang. Harusnya uang dari Mbak Nida sebagian buat setor ke Bank. Kenapa sih Mbak ceroboh banget? Udah begini, kita mau tinggal di mana, Mbak?""Diam!" sentak Hanifa tak terima diingatkan adiknya. Haifa terkejut, menelan saliva. Tubuhnya seketika menegang. "Jangan banyak omong. Sekarang cepat kemasi pakaianmu! Kita harus pergi dari sini.""Ma, kita pergi kemana?"Pertanyaan anaknya tak dihiraukan Hanifa. Anak kedua ibu Ros itu tampak kebingungan. Hanifa masuk ke dalam kamar, begitu pula Haifa. Mereka bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir lima belas menit, kakak beradik serta anak-anaknya keluar rumah. Membawa dua koper. Satu koper berisi pakaiannya dan satu koper lagi berisi pakaian anak-anak. Langkah kaki Haifa terhenti. Ia berbelok masuk ke dalam kamar
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be