Pandangan Namira mengitari sekeliling, memerhatikan beberapa lukisan yang terpajang di ruang tamu. Bianca sudah masuk ke dalam kamar yang letaknya tak jauh dari ruang tamu. Namira terus berjalan masuk sampai akhirnya ke ruang keluarga. Di sana terlihat Daniel yang tengah berbincang dengan supir pribadinya. "Mas Ayang!" panggil Namira setengah berlari menghampiri sang suami. Daniel menoleh, menyuruh supir pribadi keluar dari ruangan itu. Namira memeluk tubuh Daniel. "Aku seneng banget, Mas Ayang," ujar Namira manja. Daniel tersenyum manis, melepaskan pelukannya. "Emang itu yang aku mau.""Aah ... baik banget sih ...." Namira kembali memeluk tubuh Daniel. "Sayang, kamu mau di kamar mana? Di sini ada empat kamar. Tapi, kamar yang dekat dapur buat supir. Sisa kamar dekat ruang tamu, kamar itu dan kamar lantai atas. Mau di kamar mana?"Namira pura-pura berpikir, kedua matanya menerawang. "Hmm ... aku mau kamar ... atas!" jawab Namira menunjuk lantai atas. "Oke. Kita ke kamar sekarang
"Aku jawab, mau pikir-pikir dulu.""Hah?" Namira terkejut mendengar jawaban yang diberikan Bianca untuk Ferry yang mengajak ia pacaran. "Kenapa pikir-pikir dulu, Bi? Kenapa gak langsung ditolak aja sih?" protes Namira agak kecewa mendengar jawaban Bianca. Anak kandung Daniel itu merengut, merundukkan kepala. Namira menoleh cepat ketika ia berpikir tentang suatu hal."Bi, jangan-jangan kamu ... kamu sebenarnya suka sama si Ferry?" terka Namira meski hatinya berharap dugaannya salah. Bianca salah tingkah, meringis. "Bu-bukan gitu, Mamih ....""Jangan sebut aku mamih dulu!" sentak Namira mengubah posisi duduk lebih menghadap Bianca. "Sekarang kamu jujur sama aku. Kamu suka sama Ferry?""Suka doang, Na. Belum cinta. Habisnya sekarang si Ferry macho banget. Badannya atletis, rambutnya gondrong, sekitar wajahnya ada bulu-bulu tipis. Gemesin gitu, Na." Penjelasan Bianca membuat Namira menarik napas panjang. Tidak menduga kalau selera cowok idaman anak sambungnya berambut gondrong dan acak-
"Oweek ... oweek ...."Suara Namira sejak subuh tadi terus-menerus terdengar muntah. Tiga Minggu setelah berlibur dari puncak, tubuh Namira selalu lemas, kepala pusing dan perut sering mual terutama kalau pagi hari. "Sayang, kita ke dokter sekarang. Mas takut kamu kenapa-napa apalagi wajahmu sangat pucat." Daniel menangkupkan kedua tangan pada wajah istrinya. Memandang wajah Namira penuh kasih sayang. Namira berjalan lemah, keluar dari toilet. Duduk di sisi ranjang. Sebelah tangannya meraih dua lembar tissue. "Aku gak apa-apa, Mas. Paling karena masuk angin soalnya kan hampir tiap malam aku keramas terus. Paling sedikit, seminggu tiga kali. Biasanya kita produksi seminggu lima kali atau full seminggu. Lihat ini, udah jadi gunung. Gede banget kan? Ish. Jadi ... Gimana aku gak masuk angin coba? Oweek ... duh, mual lagi. Sebentar!" Namira berjalan cepat ke toilet, muntah-muntah padahal muntahan itu tidak ada isinya. Daniel melonggarkan dasi, ia tak tenang jika tetap berangkat ke kanto
"Alhamdulillah, jadi bener kalau Mamih saya sekarang hamil, dok?" tanya Bianca antusias. Ia memaksa masuk ke dalam ruangan ketika dokter hendak memeriksa kandungan Namira. "Mamih? Maksudnya Mbak Namira Mamih kamu?" dokter terheran-heran mendengar ucapan Bianca. Gadis itu tersenyum manis, mengalungkan kedua tangan pada leher Namira karena Bianca berdiri di belakangnya. Sedangkan Daniel hanya merunduk, menggelengkan kepala melihat tingkah polah Bianca. "Iya, dok. Dia ini Mamihku. Ibu sambung aku.""Oh begitu.""Dok, usia kandungan istri saya sekaran, baru berapa Minggu?" Daniel mengalihkan pembicaraan mereka. Menumpu kedua tangan di atas meja. Namira dan Bianca menoleh, menatap Daniel yang serius menunggu jawaban dokter bernama Sinta Saraswati. "Kalau lihat dari USG, sekitar tiga Mingguan, Pak Daniel. Pokoknya, Mbak Namira harus bisa jaga diri, makan makanan yang bergizi, minum susu ibu hamil yang teratur dan nanti saya kasih obat yang dapat mengurangi rasa mual.""Iya, dok. Terima k
Hati Bianca sangat bahagia mendengar perintah yang diucapkan papanya. Dia ingin bebas berbelanja. Bi Rusmi gampang diatur. Wanita itu selalu menuruti apa yang diinginkan dan diperintahkan Bianca. Sebenarnya itu hanya strategi Namira saja. Awalnya Namira tidak membiarkan Bianca pergi ke supermarket hanya dengan Bi Rusmi tetapi ketika melihat Bianca cemberut dan tampak kesal padanya, Namira pun memiliki ide supaya Daniel tidak mengantar anaknya ke supermarket. Benar saja, raut wajah Bianca sekarang berubah sumringah. Ia terlihat benar-benar bahagia. Memasuki halaman rumah yang luas dan indah, terlihat ada sebuah mobil yang terparkir. Daniel, Namira dan Bianca mengerutkan kening. Mereka menerka mobil siapa itu?"Mas Ayang ada janji ketemu seseorang di rumah?" tanya Namira memecah keheningan."Enggak. Mas gak ada janji dengan siapa-siapa." Daniel sangat yakin kalau dirinya tidak ada janji bertemu dengan siapapun di rumah. "Apa mobil barunya Om Yuda, Pah?" Bianca ikut bertanya. Daniel
"Kenapa sih kamu ngedoanya kayak gitu, Bianca?" tanya Hesti kesal mendengar doa yang diucapkan anaknya. Hesti sama sekali tak menduga kalau hati Bianca sulit diluluhkan. Bianca menghela napas berat. Menatap malas mantan istri papahnya. "Suka-suka aku. Ya udah sih kalau mau pergi, pergi aja. Jangan lupa bawa kuenya. Silakan, pintunya ada di sana." Hesti memejamkan kedua mata sejenak, menarik napas panjang untuk meredam emosi, mengambil tas dan kue buatannya, lalu pergi meninggalkan Bianca sendirian di dapur. Bianca tak tinggal diam, ia pun mengekor Hesti. Melihat Hesti berhenti di anak tangga yang menghubungkan ke kamar papahnya, Bianca berdehem. Hesti menoleh kesal, melanjutkan langkah, keluar dari rumah Daniel Bragastara.Kini, perasaan Bianca sangat lega karena wanita yang akan mengganggu rumah tangga papahnya dengan sahabatnya sudah pergi dan keluar rumah. Secepatnya Bianca memastikan mobil Hesti sudah pergi ataukah belum. Mengintip dari balik gorden ruang tamu, ternyata kendar
Senyum Bianca mengembang saat dirinya duduk di balik kemudi. Hatinya benar-benar bahagia karena diberi izin pergi ke supermarket dengan Bi Rusmi. Biasanya Daniel selalu mengikuti kemanapun Bianca pergi. Sekarang tidak lagi semenjak menikah dengan Namira. "Non, tumben Pak Daniel gak ikut?" tanya Bi Rusmi heran. Setahunya, Daniel biasanya ikut kemanapun Bianca pergi. Tetapi, hari ini kenapa hanya ia dan Bianca? "Papah kan lagi jagain Namira, Bi. Oh iya, Bibi belum tau, ya? Kalau Mamihku sekarang lagi hamil." Bianca berkata sangat riang. Dia benar-benar bahagia. Ternyata dugaannya benar. Kalau Daniel punya istri baru dan punya anak, perhatiannya akan terbagi. Tidak untuk dirinya saja. "Beneran, Non?" Bi Rusmi terkejut, kedau matanya membeliak sempurna. Bibir tua itu menyunggingkan senyum. Bahagia karena dugaannya benar. "Benar dong, Bi. Tadi kami ke rumah sakit. Pas di USG katanya baru 3 Mingguan. Makanya Mamihku gak boleh capek, gak boleh banyak pikiran," ujar Bianca sumringa
Sudah sore, Bianca dan Bi Rusmi belum juga pulang. Namira dan suaminya kini tengah berada di ruang keluarga. Mereka nonton televisi sambil menunggu Bianca dan Bi Rusmi pulang. "Nomor hape Bianca gak aktif, Sayang. Mas khawatir dia kenapa-napa. Apalagi ini udah sore. Ck!" Daniel sangat resah menunggu anak kandungnya. Sedari tadi mondar-mandir menunggu Bianca pulang ke rumah. "Mas Ayang, duduk dulu. Nanti juga Bianca dan Bi Rusmi pulang. Mungkin mereka lagi kejebak macet, Mas." Namira berusaha membuat suaminya tenang, menunggu Bianca yang sampai saat ini sulit dihubungi. "Kalau macet, kenapa lama begini, Sayang? Mas benar-benar khawatir." Daniel menghempaskan b0kongnya ke sofa samping kanan Namira. Raut wajahnya sangat gelisah, berulang kali melihat pintu depan. Apa Bianca sudah pulang atau belum? "Kalau Mas khawatir, cari saja di Mall," kata Namira tanpa memandang wajah suaminya. Ia takut kalau akhirnya Daniel justru menyalahkannya karena melarang ikut belanja. Daniel m
Hampir setengah jam, Axel dan Alea berada di samping pusara kedua orang tua kandungnya. Nida, Bianca dan Evan berdiri di belakang kedua anak itu. Bianca tubuhnya sangat lemah. Ditambah Evan pun sedang tak enak badan. Mereka tidak terlalu tua, tapi tubuhnya terlihat sangat ringkih. Nida yang melihat pasangan suami istri merasa prihatin. Tidak dapat dipungkiri jika satu sisi Nida merasa bersalah karena telah memberitahu kebenaran yang selama ini disembunyikan Bianca dan Evan. Sisi lain, hatinya begitu lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa Namira dan Daniel. Apapun alasannya, menyembunyikan siapa kedua orang tua Axel dan Alea merupakan kesalahan. "Kak, lebih baik Kak Bian dan Kak Evan pulang duluan aja," ujar Nida pada Bianca yang berdiri memandang kedua remaja yang sedari bayi dirawat penuh kasih sayang olehnya. "Iya, Sayang. Kita pulang saja. Mungkin Axel dan Alea ingin lebih lama lagi di sini," timpal Evan merangkul pundak istrinya. Air mata Bianca sudah mengering. Tatap
"Kak Bian dan Kak Namira bersahabat. Mereka saling menyayangi. Bahkan Om Daniel mau menikahi Namira atas usul Kak Bian. Axel, Lea, Tante mohon ... maafkan kesalahan kak Bian. Mereka telah merawat kalian dengan baik. Walaupun kalian udah tau kenyataan ini, anggap saja Kak Bian dan Kak Evan pengganti kedua orang tua kalian."Axel memalingkan wajah ke arah lain. Ia masih kecewa dan marah akan keputusan Bianca. Sementara Alea, hanya menangis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Sekarang di mana kedua orang tua kami dimakamkan? Tolong, Tante ... anterin kami ke sana," pinta Axel tak ingin membahas masalah Bianca. "Iya, Tante. Di mana makam kedua orang tua kami dan ... dan kenapa di rumah ini, enggak ada foto mereka?" tanya Alea, suaranya bergetar."Ada. Foto mereka ada di kamar itu." Dagu Nida menunjuk salah satu kamar di rumah ini. Pandangan Alea dan Axel mengikuti arah pandang Nida. Kamar yang selama ini selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh mereka. "Dulu, itu kamar Om
"Oh ya, memangnya kalian mimpi apa? Cerita dong sama Tante." Nida mengalihkan pertanyaan mereka. Ia bersidekap, menatap Alea dan Axel bergantian. Tidak berselang lama, cerita mimpi-mimpi mereka pun mengalir. Awalnya Nida tidak terkejut. Ia tampak biasa mendengarkan cerita dari kedua ponakannya itu sampai akhirnya, firasatnya semakin yakin kalau yang datang dalam mimpi Axel dan Alea ada Daniel dan Namira. Kedua orang tua kandung mereka. "Kami yakin, Tante. Kalau dua orang itu ada kaitannya sama kami. Tapi, aku dan Alea bingung, sebenarnya mereka itu siapa?" Axel menutup cerita. Nida menelan saliva, mendengar cerita Axel dan Alea. Ternyata selama ini, Namira dan Daniel selalu hadir dalam mimpi anak-anaknya. Sebulir air mata tak dapat tertahankan. Nida merunduk, menyeka air matanya. "Tante, Tante kenapa nangis? apa ... apa Tante tau, siapa dua orang itu?" desak Alea pada wanita yang kini telah menikah. Nida bingung menjawab. Ia justru memeluk tubuh Alea. Menangis dalam pelukan. Sik
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....."Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...."Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini."Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...."Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira dan Bianca. Namir