Setelah membaca pesan dari Ferry, Bianca langsung menelepon. Ia tidak mau bertemu Ferry atau melihat lelaki itu datang ke rumahnya. "Hai, Bi. Gimana? Kamu mau ketemu di mana?" Suara Ferry langsung terdengar.Awalnya Bianca memang sempat suka pada Ferry tetapi setelah melihat sikap Ferry yang terkesan memaksa, dia jadi tidak suka. Mengatakan cinta begitu cepat padahal sebelumnya Ferry sangat menyukai Namira. Setelah tahu Namira sudah menikah, tiba-tiba saja Ferry bilang cinta padanya. Seperti Bianca tempat pelampiasan saja."Aku minta maaf. Aku gak mau ketemu sama kamu atau aku gak mau kamu datang ke rumahku," tandas Bianca tegas. Senyum Ferry yang sebelumnya mengembang, seketika sirna. Ia tidak menyangka Bianca menolak keinginannya padahal Ferry sangat yakin kalau Bianca juga suka padanya. "Kenapa, Sayang? Emang kamu gak kangen sama aku?" Muak! Bianca sangat muak mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ferry. Lelaki mur4han. Mudah sekali mengungkapkan kata cinta pada wanita. "
Namira memeluk tubuh Daniel semakin erat. Ia benar-benar takut kehilangan sosok seperti Daniel. Baginya, lelaki itu adalah pelindungnya. Tempat ia berlindung di saat hatinya merasa takut dan bersedih. "Aku mau ngabisin susu dulu," kata Namira melepaskan pelukan. Menyeka air mata dengan kasar, lalu meneguk susu hingga habis. Gelas diletakkan kembali ke tempat semula. Kemudian, Namira memandang perutnya yang belum membuncit sambil mengelus lembut. "Kelak, dia akan menyayangi kita, Mas. Aku ingin, kita membesarkannya bersama-sama. Apa kamu gak mau?" Namira menoleh, menatap lekat Daniel yang memerhatikannya. Daniel tersenyum, menyentuh perut Namira. "Aku mau, Sayang." Daniel agak membungkuk, mencium perut Namira dengan lembut, penuh cinta. Namira mengusap rambut suaminya. "Nak, kamu harus sehat, jangan nakal. Jangan bikin Mamihmu kesakitan," bisik Daniel pada janin yang masih berada di dalam rahim Namira. "Sayang, malam ini kamu mau makan di luar gak? Atau masih capek?" tanya Daniel
Bianca yang tengah mengunyah mendongak, menatap tak suka pria gondrong yang berdiri di depannya. Bianca menghela napas berat, lalu melanjutkan makannya, tak peduli dengan kehadiran Ferry. Senyum Ferry sirna melihat Bianca tak peduli dengan kehadirannya. Bi Rusmi mengerutkan kening, menatap lekat lelaki yang beberapa hari lalu pernah datang ke rumah Daniel. "Ehm, Bi. kalau tau kamu mau ke sini, tadi aku jemput aja. Jadikan, kamu gak perlu makan bakso ditemenin pembantumu." Tanpa permisi, Ferry duduk di kursi yang ada di sampingnya. Bianca menyudahi makan baksonya, meski masih ada beberapa butir lagi. Ia menegak air mineral hingga setengah. "Suruh siapa kamu duduk di sini? Pergi sana!" Sangat ketus, Bianca berkata. Ferry yang sedari tadi memamerkan senyumnya, langsung meredup. Ia menghela napas, agar tidak terpancing emosi. "Aku mau temenin kamu, Bi. Masa gak boleh?""Emang gak boleh," balas Bianca cepat. Ferry tersinggung, mulutnya langsung terdiam beberapa menit. Ferry melihat
"Bi, pegangan yang kuat. Aku mau kabur!" titah Bianca pada asisten rumah tangganya yang duduk di jok sebelah. "I-iya, Non." Bianca menginjak rem, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kedua matanya sangat tajam, menatap lurus ke depan. Dua orang duduk di atas motor yang menghadang mobil Bianca terkejut melihat Bianca nekat ingin menabrak. Dua orang itu lari menghindar. Dengan kecepatan yang tinggi, Bianca menyerempet motor itu. Bianca menoleh ke belakang, melihat motor lainnya yang mengejar. "Non, mereka ngejar kita! Astaghfirullahalazim ... ya Allah lindungi kami ya Allah." Bi Rusmi memanjatkan doa. Ia berharap kalau motor-motor itu berhenti mengejar. Bianca menoleh ke belakang sekilas, lalu menancapkan gas lebih kencang lagi. Memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya, motor-motor yang mengejarnya sudah tidak terlihat. Bianca bernapas lega, terlepas dari kejaran orang yang tak dikenal. "Alhamdulillah mereka udah gak ngejar kita lagi, Non," ucap Bi Rusmi penuh rasa
"Boleh. Tanya apa, Mas Ayang?" jawab Namira mengeratkan genggaman tangannya. "Apa yang membuatmu mencintaiku? Mau jadi istriku?" Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Namira seketika sirna. Ia tak menyangka kalau Daniel mempertanyakan masalah itu. Tanpa ragu, Namira pun menjawab, "Karena kamu lelaki yang setia, lelaki yang baik, lelaki yang perhatian, lelaki yang penyabar dan lelaki yang ---" Namira menggantung kalimat, tapi bibirnya mengulum senyum. Ia merunduk, tersipu malu.Berbeda dengan Daniel, lelaki itu justru penasaran. Ingin mendengar kalimat berikutnya. "Yang apa?" Daniel penasaran. Bukannya menjawab, Namira justru menggigit bibir bagian bawah. Daniel semakin penasaran, menc1um lembut punggung tangan Namira dan kembali bertanya. "Jawab, Sayang. Yang apa?" Suara Daniel terdengar parau. Namira salah tingkah, ia mengalihkan pandangan ke arah lain, kemudian dengan suara yang pelan, Namira akhirnya menjawab, "Yang ... hm ... perkakas!" Namira menarik tangannya dari gen
Waktu aku dan papahmu keluar rumah, apa kamu ikut keluar juga?""Maksudmu ngikutin kalian? Enggaklah ...," jawab Bianca cuek, sesantai mungkin. "Bukan ngikutin tapi kamu keluar aja.""Aku baru bangun tidur, Na. Kamu ini malah nanya kayak gitu. Cerita dong, gimana dinner pertamamu? Menyenangkan gak?" Bianca sengaja mengalihkan pertanyaan. Dia tidak ingin berkata jujur atau membohongi Namira. "Menyenangkan banget. Pokoknya, so sweet. Romantis, sangat romantis.""Huh, genit!" Bianca mencubit pipi ibu sambungnya gemas. Namira cemberut, mengusap-usap bekas cubitan Bianca. "Beneran tau! Ngomong-ngomong, besok ada kelas gak? Aku kok males banget kuliah, ya? Maunya tuh di rumah terus sama papahmu. Hahaha ...." Namira tertawa lepas, malu sendiri dan tentunya sangat bahagia. Bianca menggelengkan kepala mendengar ucapan ibu sambungnya. "Males terooos ... kamu kan emang gak mau kuliah tadinya. Mau di rumah aja, bantuin Bi Rusmi.""Lah emang iya. Makanya aku males apalagi sekarang aku udah ni
Tiba di kampus, Bianca dan Namira berjalan beriringan. Sebelum masuk kelas, Bianca meminta Namira mengantarnya ke parkiran khusus sepeda motor. Entah mengapa, ia sangat mencurigai Ferry sebagai dalang dari penghadangan semalam. "Ngapain sih ke parkiran motor, Bi?" protes Namira mensejajari langkah Bianca yang cepat. "Jangan banyak tanya dulu. Nanti aku cerita.""Iya dah."Di area parkir, pandangan Bianca memerhatikan satu persatu motor yang berjajar rapi. Dia juga memerhatikan motor yang baru datang. Meskipun semalam tidak terlalu jelas melihat kendaraan yang ditumpangi para penghadang itu, tetapi jika Bianca melihat lagi, ia yakin masih mengenalinya. "Bi, nyariin motor siapa?" Lagi, Namira penasaran. Bianca tak menjawab, ia tetap memerhatikan satu persatu motor yang masuk ke dalam area parkir. Mereka berdua berdiri di dekat kantin yang lokasinya memang tak jauh dari parkiran sepeda motor mahasiswa. Bianca menarik napas panjang. Ia merasa kalau dugaannya mungkin salah besar. "Ya
Selesai kelas, Ferry datang menemui Bianca dan Namira. Ia berniat mengajak dua gadis itu untuk melihat rekaman CCTV. "Enggak usah. Aku minta maaf udah nuduh kamu. Sorry," ujar Bianca saat Ferry mengajaknya melihat rekaman CCTV. "Jangan gitu dong, Bi. Aku mau ngajak kamu ke sana cuma lihat CCTV. Kamu bisa lihat aku di sana, sampe jam berapa di kedai. Aku gak mau, kamu berpikir buruk tentangku, Bi." Ferry berusaha meyakinkan Bianca. Namun, gadis itu tetap bersikukuh tidak ingin melihat rekaman CCTV tersebut. "Enggak. Aku gak menilaimu buruk lagi. Aku cuma minta sama kamu, tolong jangan ganggu aku lagi. Itu aja!"Bianca berkata sangat tegas. Kemudian, ia menarik lengan Namira agar menjauh dari lelaki yang sempat menyukainya. Tidak berselang lama, kendaraan yang dikemudikan Daniel sudah datang. Namira dan Bianca bergegas masuk ke dalam mobil mewah. Mereka tak ada yang bicara sepanjang jalan menuju rumah. Daniel yang duduk di balik kemudi merasa heran. Ada apa dengan istri dan anaknya?
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang