Tiba di kampus, Bianca dan Namira berjalan beriringan. Sebelum masuk kelas, Bianca meminta Namira mengantarnya ke parkiran khusus sepeda motor. Entah mengapa, ia sangat mencurigai Ferry sebagai dalang dari penghadangan semalam. "Ngapain sih ke parkiran motor, Bi?" protes Namira mensejajari langkah Bianca yang cepat. "Jangan banyak tanya dulu. Nanti aku cerita.""Iya dah."Di area parkir, pandangan Bianca memerhatikan satu persatu motor yang berjajar rapi. Dia juga memerhatikan motor yang baru datang. Meskipun semalam tidak terlalu jelas melihat kendaraan yang ditumpangi para penghadang itu, tetapi jika Bianca melihat lagi, ia yakin masih mengenalinya. "Bi, nyariin motor siapa?" Lagi, Namira penasaran. Bianca tak menjawab, ia tetap memerhatikan satu persatu motor yang masuk ke dalam area parkir. Mereka berdua berdiri di dekat kantin yang lokasinya memang tak jauh dari parkiran sepeda motor mahasiswa. Bianca menarik napas panjang. Ia merasa kalau dugaannya mungkin salah besar. "Ya
Selesai kelas, Ferry datang menemui Bianca dan Namira. Ia berniat mengajak dua gadis itu untuk melihat rekaman CCTV. "Enggak usah. Aku minta maaf udah nuduh kamu. Sorry," ujar Bianca saat Ferry mengajaknya melihat rekaman CCTV. "Jangan gitu dong, Bi. Aku mau ngajak kamu ke sana cuma lihat CCTV. Kamu bisa lihat aku di sana, sampe jam berapa di kedai. Aku gak mau, kamu berpikir buruk tentangku, Bi." Ferry berusaha meyakinkan Bianca. Namun, gadis itu tetap bersikukuh tidak ingin melihat rekaman CCTV tersebut. "Enggak. Aku gak menilaimu buruk lagi. Aku cuma minta sama kamu, tolong jangan ganggu aku lagi. Itu aja!"Bianca berkata sangat tegas. Kemudian, ia menarik lengan Namira agar menjauh dari lelaki yang sempat menyukainya. Tidak berselang lama, kendaraan yang dikemudikan Daniel sudah datang. Namira dan Bianca bergegas masuk ke dalam mobil mewah. Mereka tak ada yang bicara sepanjang jalan menuju rumah. Daniel yang duduk di balik kemudi merasa heran. Ada apa dengan istri dan anaknya?
Namira termenung, ia tampak berpikir. Kalau ia mendukung rencana Bianca, itu berarti diantara Namira dan Daniel ada rahasia. Namira tidak bisa merahasiakan sesuatu dari Daniel. Tetapi, kalau Namira tidak mendukung dan tidak mau kerja sama dengan Bianca, kasihan dia. Bianca pasti masih penasaran. Dia tipikal manusia yang selalu ingin tahu. Jika apa yang ingin diketahuinya belum menemukan titik terang, Bianca tidak akan menyerah sampai ia benar-benar menemukan jawabannya. "Oke deh. Tapi, jangan lama-lama di sananya." Senyum Bianca merekah. Langsung menghambur memeluk tubuh ibu sambungnya. "Maaciw, Mamih ... Ikan Hiu makan tomat. Love you sampe kiamat.""Huh gombal!" Namira melepaskan pelukan, mencebik Bianca. Gadis itu tertawa lepas, mencubit kedua pipi Namira gemas. "Sakit, Bian ... kamu ini kebiasaan banget. Suka cubit pipi Mamih. Durhaka nanti kamu jadi anak!" kata Namira pura-pura marah padahal hatinya bahagia melihat Bianca bahagia. "Iya deh, maaf. Habisnya semakin hari Mamih s
"Sayang, minum susunya." Daniel menyodorkan segelas susu ibu hamil ke hadapan Namira yang tengah mengeringkan rambut. "Makasih, Mas Ayang," ujar Namira tersenyum bahagia. Daniel semakin perhatian sejak Namira dinyatakan hamil, sedang mengandung benihnya. "Iya, sama-sama. Kamu hari ini ke kampus?" tanya Daniel memandang Namira penuh cinta. Sesaat, Namira terdiam, tidak langsung menjawab."Sayang?" Panggil Daniel lagi. "Eh iya, Mas." Namira tergagap. Ia membetulkan diri. "Hm ... aku dan Bian ke kampus hari ini. Iya, ke kampus." Namira tidak bisa menyembunyikan sikap gugup. Menarik napas panjang, berusaha menghalau sikapnya yang salah tingkah. "Oh ya udah, nanti kalau kelasnya udah selesai, kamu hubungi aku. Nanti Mas jemput.""I-iya, Mas."Keduanya telah rapi, hendak berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Namira berangkat ke kampus lebih dulu, sedangkan Daniel ke kantor setelah mengantar istri dan anaknya ke kampus. Tiba di ruang makan, sudah ada Bianca yang menyantap sarapan.
Namira mendekati Bianca saat mendengar sahabatnya itu menyebut kata 'mamah'.Menit berikutnya, Ferry dan Hesti berbincang sambil sesekali tertawa lepas. Mereka tampaknya sangat akrab. Apalagi Hesti sering bergelayut manja pada lengan Ferry. "Astaghfirullah, tante Hesti ngapain kayak gitu sama si Ferry?" Namira juga tidak percaya melihat kedekatan Hesti dengan lelaki yang usianya sebaya dengan Bianca dan dirinya. Bianca menghela napas berat, lalu berkata pada pemilik kedai."Ibu, apakah saya boleh minta rekaman CCTV ini? Maksudnya meng-copy," ujar Bianca memandang wajah cantik yang dibalut oleh hijab."Boleh, silakan saja." Sabrina menyalakan laptop, lalu menghadapkan pada Bianca. Gadis itu dengan lincah meng-copy rekaman CCTV dari kedai ini ke handphone-nya.Usai mengcopy rekaman CCTV tersebut, Namira dan Bianca mengucapkan terima kasih pada Sabrina karena sudah membantu. "Sama-sama, Mbak. Semoga masalah Mbak cepat terselaikan, ya?""Amiin. Makasih, Bu."Bianca dan Namira keluar le
Eh, siapa yang enggak tau diri? Kalau ngomong dijaga. Aku sama Mas Daniel saling jatuh cinta, saling sayang, saling mencintai. Lah emang kamu? Cintanya bertepuk sebelah tangan. Kasihan, kasihan, kasihan." Namira semakin berani melawan Mutiara. Bianca bingung, ia ingin menyela tapi tak enak pada karyawan lain. "Na, jangan diladenin. Biarin aja dia mah. Ulat bulu kok diladenin?" bisik Bianca memegang lengan Namira agar menjauh dari Mutiara. "Siapa bilang cintaku bertepuk sebelah tangan?" Mutiara tak mau kalah. Kedua tangannya bertolak pinggang, membusungkan dada ke depan Namira."Sebelumnya Pak Daniel suka sama aku cuma gara-gara tiap hari kamu rayu di rumahnya, kamu tinggal bareng sama dia, jadilah mau gak mau dia ter-pak-sa nikahin kamu. Dasar bocil kegenitan!""Eh, eh, jaga omonganmu, Ulat bulu! Kamu tuh kegatelan. Masih aja suka sama suami orang. Awas ya, kalau kamu macam-macam sama suamiku, aku suruh dia memecatmu!""Oh enggak akan bisa. Pak Daniel enggak akan memecatku soalnya d
Bianca sangat kesal mendengar rencana papanya yang menyuruh Evan menjadi bodyguard-nya. "Papah berlebihan! Aku gak suka! Kalau emang Evan dijadikan bodyguard, apa enggak sekalian jadiin suamiku?" Suara Bianca agak meninggi. Ia sangat kesal pada Daniel. Meski untuk kebaikannya, tapi Bianca tidak suka."Oh itu lebih bagus. Sepertinya kamu memang harus menikah dengan Evan. Dengan begitu, tugas Papah dalam menjagamu sudah berpindah pada suamimu."Kedua mata Bianca membeliak. Gurauannya ternyata ditanggapi serius oleh Daniel. "Papah udah gila? Aku gak mau nikah muda. Aku gak mau hamil dan punya anak dalam usia muda. Aku mau meniti karier dulu, mau puas-puasin masa mudaku," tandas Bianca. Suaranya semakin meninggi. Namira sontak terbangun, ia kaget mendengar suara Bianca yang meninggi. "Mas, Bian, ada apa? Kalian bertengkar?" Namira bergegas menghampiri Daniel dan Bianca. Wanita hamil itu duduk di kursi sebelah anak sambungnya. Namira mengucek mata berulang kali, memulihkan kesadarannya
"Jadi kamu juga dukung rencana Papah? Iya?" Sorot mata Bianca tampak marah. Namira kaget akan tuduhan Bianca. Sikapnya jadi serba salah. "Bukan begitu, Bian. A-aku bukan setuju sama rencana papahmu tapi kan ... adanya bodyguard itu buat jagain kamu aja, Bi." Namira menjelaskan dengan gugup. Tak menduga jika anak sambungnya itu marah. Namira pikir, Bianca setuju dengan keputusan Daniel. Bianca menghempaskan tangan Namira dari pundaknya. Ia menunjukan kekecewaan dan kesedihannya pada Namira dan Daniel. "Kalian berdua ini berlebihan. Terlalu mengekang aku. Sekali lagi aku ingatkan, aku udah dewasa! Umurku sebentar lagi 20 tahun. Masa iya, kemana-mana harus diawasi terus? Aku juga pengen kayak gadis lain. Main bareng sama mereka, nonton bareng sama mereka. Enggak melulu pergi sama papah, papah, dan papah. Dan sekarang, dengan bodyguard. Keterlaluan!" Bianca sangat marah besar. Menatap nyalang Daniel dan Namira. Dia pikir, setelah mereka menikah, Daniel tidak akan mengekangnya lagi. Aka
Hampir setengah jam, Axel dan Alea berada di samping pusara kedua orang tua kandungnya. Nida, Bianca dan Evan berdiri di belakang kedua anak itu. Bianca tubuhnya sangat lemah. Ditambah Evan pun sedang tak enak badan. Mereka tidak terlalu tua, tapi tubuhnya terlihat sangat ringkih. Nida yang melihat pasangan suami istri merasa prihatin. Tidak dapat dipungkiri jika satu sisi Nida merasa bersalah karena telah memberitahu kebenaran yang selama ini disembunyikan Bianca dan Evan. Sisi lain, hatinya begitu lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa Namira dan Daniel. Apapun alasannya, menyembunyikan siapa kedua orang tua Axel dan Alea merupakan kesalahan. "Kak, lebih baik Kak Bian dan Kak Evan pulang duluan aja," ujar Nida pada Bianca yang berdiri memandang kedua remaja yang sedari bayi dirawat penuh kasih sayang olehnya. "Iya, Sayang. Kita pulang saja. Mungkin Axel dan Alea ingin lebih lama lagi di sini," timpal Evan merangkul pundak istrinya. Air mata Bianca sudah mengering. Tatap
"Kak Bian dan Kak Namira bersahabat. Mereka saling menyayangi. Bahkan Om Daniel mau menikahi Namira atas usul Kak Bian. Axel, Lea, Tante mohon ... maafkan kesalahan kak Bian. Mereka telah merawat kalian dengan baik. Walaupun kalian udah tau kenyataan ini, anggap saja Kak Bian dan Kak Evan pengganti kedua orang tua kalian."Axel memalingkan wajah ke arah lain. Ia masih kecewa dan marah akan keputusan Bianca. Sementara Alea, hanya menangis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Sekarang di mana kedua orang tua kami dimakamkan? Tolong, Tante ... anterin kami ke sana," pinta Axel tak ingin membahas masalah Bianca. "Iya, Tante. Di mana makam kedua orang tua kami dan ... dan kenapa di rumah ini, enggak ada foto mereka?" tanya Alea, suaranya bergetar."Ada. Foto mereka ada di kamar itu." Dagu Nida menunjuk salah satu kamar di rumah ini. Pandangan Alea dan Axel mengikuti arah pandang Nida. Kamar yang selama ini selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh mereka. "Dulu, itu kamar Om
"Oh ya, memangnya kalian mimpi apa? Cerita dong sama Tante." Nida mengalihkan pertanyaan mereka. Ia bersidekap, menatap Alea dan Axel bergantian. Tidak berselang lama, cerita mimpi-mimpi mereka pun mengalir. Awalnya Nida tidak terkejut. Ia tampak biasa mendengarkan cerita dari kedua ponakannya itu sampai akhirnya, firasatnya semakin yakin kalau yang datang dalam mimpi Axel dan Alea ada Daniel dan Namira. Kedua orang tua kandung mereka. "Kami yakin, Tante. Kalau dua orang itu ada kaitannya sama kami. Tapi, aku dan Alea bingung, sebenarnya mereka itu siapa?" Axel menutup cerita. Nida menelan saliva, mendengar cerita Axel dan Alea. Ternyata selama ini, Namira dan Daniel selalu hadir dalam mimpi anak-anaknya. Sebulir air mata tak dapat tertahankan. Nida merunduk, menyeka air matanya. "Tante, Tante kenapa nangis? apa ... apa Tante tau, siapa dua orang itu?" desak Alea pada wanita yang kini telah menikah. Nida bingung menjawab. Ia justru memeluk tubuh Alea. Menangis dalam pelukan. Sik
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....."Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...."Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini."Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...."Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira dan Bianca. Namir