"Sayang, minum susunya." Daniel menyodorkan segelas susu ibu hamil ke hadapan Namira yang tengah mengeringkan rambut. "Makasih, Mas Ayang," ujar Namira tersenyum bahagia. Daniel semakin perhatian sejak Namira dinyatakan hamil, sedang mengandung benihnya. "Iya, sama-sama. Kamu hari ini ke kampus?" tanya Daniel memandang Namira penuh cinta. Sesaat, Namira terdiam, tidak langsung menjawab."Sayang?" Panggil Daniel lagi. "Eh iya, Mas." Namira tergagap. Ia membetulkan diri. "Hm ... aku dan Bian ke kampus hari ini. Iya, ke kampus." Namira tidak bisa menyembunyikan sikap gugup. Menarik napas panjang, berusaha menghalau sikapnya yang salah tingkah. "Oh ya udah, nanti kalau kelasnya udah selesai, kamu hubungi aku. Nanti Mas jemput.""I-iya, Mas."Keduanya telah rapi, hendak berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Namira berangkat ke kampus lebih dulu, sedangkan Daniel ke kantor setelah mengantar istri dan anaknya ke kampus. Tiba di ruang makan, sudah ada Bianca yang menyantap sarapan.
Namira mendekati Bianca saat mendengar sahabatnya itu menyebut kata 'mamah'.Menit berikutnya, Ferry dan Hesti berbincang sambil sesekali tertawa lepas. Mereka tampaknya sangat akrab. Apalagi Hesti sering bergelayut manja pada lengan Ferry. "Astaghfirullah, tante Hesti ngapain kayak gitu sama si Ferry?" Namira juga tidak percaya melihat kedekatan Hesti dengan lelaki yang usianya sebaya dengan Bianca dan dirinya. Bianca menghela napas berat, lalu berkata pada pemilik kedai."Ibu, apakah saya boleh minta rekaman CCTV ini? Maksudnya meng-copy," ujar Bianca memandang wajah cantik yang dibalut oleh hijab."Boleh, silakan saja." Sabrina menyalakan laptop, lalu menghadapkan pada Bianca. Gadis itu dengan lincah meng-copy rekaman CCTV dari kedai ini ke handphone-nya.Usai mengcopy rekaman CCTV tersebut, Namira dan Bianca mengucapkan terima kasih pada Sabrina karena sudah membantu. "Sama-sama, Mbak. Semoga masalah Mbak cepat terselaikan, ya?""Amiin. Makasih, Bu."Bianca dan Namira keluar le
Eh, siapa yang enggak tau diri? Kalau ngomong dijaga. Aku sama Mas Daniel saling jatuh cinta, saling sayang, saling mencintai. Lah emang kamu? Cintanya bertepuk sebelah tangan. Kasihan, kasihan, kasihan." Namira semakin berani melawan Mutiara. Bianca bingung, ia ingin menyela tapi tak enak pada karyawan lain. "Na, jangan diladenin. Biarin aja dia mah. Ulat bulu kok diladenin?" bisik Bianca memegang lengan Namira agar menjauh dari Mutiara. "Siapa bilang cintaku bertepuk sebelah tangan?" Mutiara tak mau kalah. Kedua tangannya bertolak pinggang, membusungkan dada ke depan Namira."Sebelumnya Pak Daniel suka sama aku cuma gara-gara tiap hari kamu rayu di rumahnya, kamu tinggal bareng sama dia, jadilah mau gak mau dia ter-pak-sa nikahin kamu. Dasar bocil kegenitan!""Eh, eh, jaga omonganmu, Ulat bulu! Kamu tuh kegatelan. Masih aja suka sama suami orang. Awas ya, kalau kamu macam-macam sama suamiku, aku suruh dia memecatmu!""Oh enggak akan bisa. Pak Daniel enggak akan memecatku soalnya d
Bianca sangat kesal mendengar rencana papanya yang menyuruh Evan menjadi bodyguard-nya. "Papah berlebihan! Aku gak suka! Kalau emang Evan dijadikan bodyguard, apa enggak sekalian jadiin suamiku?" Suara Bianca agak meninggi. Ia sangat kesal pada Daniel. Meski untuk kebaikannya, tapi Bianca tidak suka."Oh itu lebih bagus. Sepertinya kamu memang harus menikah dengan Evan. Dengan begitu, tugas Papah dalam menjagamu sudah berpindah pada suamimu."Kedua mata Bianca membeliak. Gurauannya ternyata ditanggapi serius oleh Daniel. "Papah udah gila? Aku gak mau nikah muda. Aku gak mau hamil dan punya anak dalam usia muda. Aku mau meniti karier dulu, mau puas-puasin masa mudaku," tandas Bianca. Suaranya semakin meninggi. Namira sontak terbangun, ia kaget mendengar suara Bianca yang meninggi. "Mas, Bian, ada apa? Kalian bertengkar?" Namira bergegas menghampiri Daniel dan Bianca. Wanita hamil itu duduk di kursi sebelah anak sambungnya. Namira mengucek mata berulang kali, memulihkan kesadarannya
"Jadi kamu juga dukung rencana Papah? Iya?" Sorot mata Bianca tampak marah. Namira kaget akan tuduhan Bianca. Sikapnya jadi serba salah. "Bukan begitu, Bian. A-aku bukan setuju sama rencana papahmu tapi kan ... adanya bodyguard itu buat jagain kamu aja, Bi." Namira menjelaskan dengan gugup. Tak menduga jika anak sambungnya itu marah. Namira pikir, Bianca setuju dengan keputusan Daniel. Bianca menghempaskan tangan Namira dari pundaknya. Ia menunjukan kekecewaan dan kesedihannya pada Namira dan Daniel. "Kalian berdua ini berlebihan. Terlalu mengekang aku. Sekali lagi aku ingatkan, aku udah dewasa! Umurku sebentar lagi 20 tahun. Masa iya, kemana-mana harus diawasi terus? Aku juga pengen kayak gadis lain. Main bareng sama mereka, nonton bareng sama mereka. Enggak melulu pergi sama papah, papah, dan papah. Dan sekarang, dengan bodyguard. Keterlaluan!" Bianca sangat marah besar. Menatap nyalang Daniel dan Namira. Dia pikir, setelah mereka menikah, Daniel tidak akan mengekangnya lagi. Aka
Hampir setengah jam, Daniel dan Pak Joko security kantor mencari keberadaan Bianca. Namira yang sedari tadi duduk di pos jaga sangat mencemaskan anak sambungnya. Berulang kali, Namira mencoba menghubungi Bianca, tetapi tak juga diangkat. Pesan yang dikirim Namira pun tak juga dibalas. "Ya Allah, Bi ... kamu tuh kenapa pake kabur segala sih? Bikin aku cemas aja tau!" Namira bicara sendiri. Ia jadi merasa bersalah karena tak mendukung keinginan Bianca. Tidak berselang lama, Daniel dan pak Joko kembali ke pos jaga. Napas Daniel turun naik."Mas Ayang, gimana ketemu enggak?" tanya Namira menatap lekat kedua mata suaminya. Daniel menggelengkan kepala lemah. "Ya Allah, Mas ... gimana ini? Bianca kemana?" Namira memeluk tubuh suaminya. Ia benar-benar ketakutan jika terjadi hal buruk yang menimpa Bianca. Belum lagi, malam sebelumnya ada orang-orang yang menghadang gadis itu. Bagaimana kalau diantara orang itu tahu Bianca pergi dari rumah?"Nanti kita cari lagi. Mas juga udah ngehubungin Yu
Apa?" Bianca terkejut, menoleh, menatap lekat lelaki yang berkumis tipis itu tak suka. "Berjodoh? Ngimpi kali." Gadis itu membalikan badan, menghadap lurus. Menarik napas panjang, agar emosinya mereda. Bianca mengeluarkan handphone, hendak menelepon taksi online yang dia pesan tapi tak kunjung datang. Sayangnya, tak juga terhubung. "Kamu lagi nungguin seseorang?' tanya lelaki yang tampaknya mulai menyukai Bianca. "Iya," jawab Bianca singkat. Ia hendak beranjak, namun tiba-tiba hujan turun. Bianca terkejut. Bianca lekas melepas sepatu, begitu pula lelaki itu."Ya Allah kok hujan? Duh, gimana pulangnya ini? Mana taksinya belum datang. Ini pasti gara-gara kamu. Pasti gara-gara kamu." Jari telunjuk Bianca mengarah pada lelaki yang tersenyum manis. Lelaki itu tak menanggapi ucapan Bianca, justru seperti menikmati ocehan gadis yang belum sempat berkenalan dengannya. "Dih dasar aneh. Diomelin malah senyam-senyum gak jelas."Bianca kesal, duduk bersandar di teras masjid. Kedua tangannya
Evan terkejut mendengar permintaan Bianca. Gadis itu enggan pulang kalau Daniel belum menarik keputusannya. "Ke rumahku? Hm ...." Evan tidak langsung menjawab, tampak berpikir. "Oh, jangan-jangan kamu udah punya anak istri, ya?" terka Bianca. Kedua mata Evan membulat, menggelengkan kepala berulang. "Belum. Aku belum punya istri apalagi punya suami. Bukan gitu maksudku. Apa kamu lebih pulang aja? Kamu bisa bicarain masalahmu baik-baik. Meminta papahmu dan juga ibu sambungmu mengerti. Kamu udah dewasa, udah bisa jaga diri. Aku anterin kamu pulang ke rumahmu, oke?"Bianca merunduk, menggelengkan kepala. Tekadnya sudah bulat. Jika Daniel belum menarik ucapannya, ia tidak akan pulang ke rumah. "Aku udah bertekad, enggak akan pulang kalau Papah belum mencabut rencananya. Ya udah aku ... aku mau cari penginapan aja." Bianca hendak berdiri, menepuk celana. Begitu pula Evan. Ia memerhatikan Bianca lekat."Oke deh. Kamu tinggal di apartemenku."Bianca menoleh, kedua matanya memicing. "Kamu
"Bener. Dia sering minta pendapatku, cari kamu kemana lagi? Om kamu masih sangat yakin kalau anak kandung adiknya dan Om Yuda masih hidup. Om kamu juga berjanji akan mengajakmu tinggal di sini bersama Om kamu, bersama aku, dan bersama Bianca."Lagi, Nida semakin penasaran kenapa dia harus tinggal bersama Daniel bukan bersama Yuda dan mamanya?"Kak, tolong ceritakan sebenarnya. Oke, aku janji. Aku enggak akan pernah pergi dari sini. Aku akan tetap tinggal di sini bersama kalian. Tapi, tolong ... saat ini Mamahku lagi ada di mana? Di mana, Kak? Aku mohon katakan yang sejujurnya. Aku hanya ingin ketemu mamah. Tolong Kak ...." Nida mengiba, menggenggam telapak tanga Namira. Istri Daniel menghela napas berat. Hatinya tak tega melihat raut wajah Nida. "Kak, aku mohon di mana Mamahku sekarang? Di mana, Kak ...."Nida menangis histeris sambil menggenggam telapak tangan Namira. "Nida, sebenarnya ... hm ... sebenarnya mamah kamu udah meninggal dunia, Nida ...."Hancur sudah harapan Nida yang
"Udah. Tadi di kantor. Sekarang mereka lagi di ruang tamu. Sayang, tadi itu ... Nida nanyain Dania terus. Aku yakin, dia juga pasti akan tanya soal Mamanya ke kamu.""Kalau dia nanya ke aku, aku harus jawab apa? Berbohong kalau ibunya masih hidup?" Namira ingin menguji suaminya. Apakah ia akan menyuruhnya berbohong atau sebaliknya. "Jangan bohong, katakan saja sejujurnya tapi ... aku harap kamu bicaranya baik-baik. Mungkin dia akan sedih, tapi aku yakin ... istriku yang cantik dan baik hati ini akan mampu membuat Nida tenang."Namira senyum tersipu malu. Bibirnya pura-pura dimanyunkan. "Mas Ayang mah ... bikin aku malu terus tau ...." timpal Namira manja, sembari menggamit lengan suaminya. Daniel sangat menyukai prilaku Namira yang malu-malu seperti ini. Sangat menggemaskan. Tiba di ruang tamu, langkah kaki Namira terhenti melihat sosok gadis yang tengah tertawa bersama Yuda. "Mas Ayang ... ka-kamu benar, dia ... dia mirip Dania yang difoto itu ...." bisik Namira di depan telinga
Sepanjang jalan, Nida terus saja bercerita tentang pengalaman indah dan manis di sekolah meski kenyataannya, lebih banyak penderitaan yang dialami Nida ketimbang bahagia bersama teman-temannya. Hingga saat ini, Nida tidak punya teman dekat atau sahabat satu pun. Semuanya seperti membenci Nida karena kedua orang tuanya tak pernah ada. Tak pernah datang ke sekolah bilamana ada rapat atau penerimaan raport. Daniel memerhatikan obrolan Yuda dan Nida lewat kaca spion depan. Keduanya sangat bahagia. Mereka pada akhirnya telah ditemukan. Entah bagaimana caranya, Nida bisa menemukan alamat perusahaan Daniel. Pasti ada orang yang memberikan alamat perusahaannya supaya Nida bertemu dengan keluarga kandungnya. Dalam hati, Daniel berdoa untuk orang yang telah menyuruh Nida datang ke perusahaan, menemui Daniel. Memasuki halaman rumah megah nan mewah, Nida sempat terpana. Mulutnya tanpa ia sadari menganga lebar. Takjub, akan kebesaran dan kemegahan rumah keluarga Bragastara. "Kita turun, Nak," a
Daniel yang menyaksikan itu menghela napas lega. Menyeka lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Daniel benar-benar bersyukur karena Allah telah mengantarkan Nida ke tempatnya. Sesuatu hal yang sangat tak terduga. "Hei, sudah ... kalian jangan menangis lagi. Mari, kita duduk." Daniel mengajak Yuda dan Nida berdiri, duduk di sofa yang sebelumnya ditempati Nida. Ayah dan anak itu masih larut dalam kebahagiaan dan rasa haru. Mereka seperti sedang bermimpi. Pertemuan yang sama sekali tidak Yuda bayangkan. Yuda bahkan sempat berpikir kalau dia tidak mungkin bisa bertemu dengan anak kandungnya dari Dania. "Hm, Nida ... Om dan Papahmu sekarang ada meeting. Kamu pulang ke rumah Om saja," ucap Daniel pada gadis berusia 17 tahun itu. "Ke rumah Om? Apakah mamahku ada di sana?" tanya Nida antusias. Binar kebahagiaan jelas terlihat di raut wajah. Pertanyaan Nida membuat Daniel dan Yuda tersentak. Mereka lupa mengatakan yang sebenarnya tentang ibu kandung Nida. Yuda menoleh pada Daniel.
Daniel sangat penasaran dengan orang yang menjelek-jelekkan Dania dan Yuda. Menganggap Nida bukan anak yang diinginkan. Daniel sangat yakin kalau orang yang menyebarkan kebohongan itu pasti orang terdekat mereka. Tetapi siapa?Nida tak langsung menjawab. Hatinya sangat sedih karena selama ini ia selalu berpikir buruk tentang kedua orang tuanya. Meski demikian, Nida tetap ingin bertemu dan tidak ada kebencian di hatinya. "Katakan sama Om. Siapa nama orang itu, Nida? Kamu jangan takut. Sekarang kamu udah punya Om. Kalau dia macam-macam sama kamu, Om akan bertindak langsung," ucap Daniel meyakinkan Nida yang tampak ragu menyebutkan nama orang tersebut. "Benarkah? Om akan ... akan melindungiku?""Tentu saja, Nida. Kamu keponakan Om satu-satunya. Sekarang bilang, siapa nama orang itu?""Nama orang itu tan---"Tok, tok, tok!Ucapan Nida menggantung ketika mendengar suara ketukan pintu. Daniel dan Nida menoleh ke pintu ruangan. Daniel melirik arloji di pergelangan, ternyata sebentar lagi m
Nida kembali mendongak, menatap lelaki yang wajahnya sudah basah oleh air mata. "Sekarang kita ke ruangan, Om. Om akan ceritakan semuanya."Beruntung, para karyawan sedang sibuk. Hanya Shella yang menyaksikan pertemuan yang telah didambakan Daniel bertahun-tahun lamanya. Shella yang telah mengetahui masa lalu keluarga Bragastara menangis. Membayangkan kebahagiaan seorang Daniel yang telah bertemu dengan anak kandung adiknya. "Om, mamah di mana? Papah di mana? Mereka masih hidup kan, Om?" Pertanyaan Nida lagi-lagi membuat Daniel meneteskan air mata. Mereka kini duduk di sofa ruangan Daniel. Lelaki itu merangkul pundak Nida. Menangis kembali. Bayangan Dania berkelebat. Daniel seperti melihat Dania yang duduk manis di kursi sambil memerhatikan mereka. "Om ... aku pengen ketemu mamah ... aku pengen ketemu papah ... aku pengen ... pengen kayak teman-temanku punya keluarga yang utuh ... A-aku ingin buktikan pada mereka kalau aku ... a-aku bukan anak haram.""Bukan, Nida ... kamu bukan an
Seketika, Daniel terkejut mendengar jawaban Shella. Pikirannya langsung tertuju pada anak kandung Dania dan Yuda. Apa mungkin Nida yang ingin menemuinya Nida anak kandung Dania dan Yuda?"Di mana gadis itu?" tanya Daniel."Di luar, Pak."Daniel keluar ruangan lebih dulu dari pada Shella. Tergesa-gesa ingin memastikan siapa gadis yang datang ingin menemuinya. Shella merasa heran dengan perubahan yang terjadi pada sikap Daniel."Kenapa Pak Daniel seperti mengenal gadis itu? Sebenarnya siapa gadis bernama Nida?" gumam Shella sambil menutup pintu ruangan bos-nya. Nida meremas kedua telapak tangannya. Ia dipersilakan menunggu di kursi depan ruangan Shella. Dirinya sangat gugup membayangkan bertemu dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua yang hampir setiap malam ia rindukan. Nida berharap kalau hari ini akan bertemu dengan mamah papah. Nida ingin sekali setiap hari atau setiap saat memanggil, "Mah, aku pulang." Atau Nida mengadu. "Pah, hari ini si Jhoni jahil banget. Suka gangguin aku.
Pagi di dalam salah satu kamar rumah Bragastara, terdengar percakapan riang. "Sayang, perutmu mulai terlihat membuncit," ucap Daniel ketika melihat Namira tengah berdiri di depan lemari pakaian usai membersihkan diri. Namira merunduk, memerhatikan perutnya. Ia tersenyum bahagia. Daniel menghampiri, mengelus perut Namira. Lalu, menempelkan telinga di depan perut yang mengandung buah hatinya. "Mas Ayang, ngapain?" tanya Namira terkekeh geli melihat tingkah suaminya. Daniel menegakkan tubuh, menangkupkan wajah Namira dengan kedua tangan. "Aku pengen dengar, pergerakan calon anak kita.""Emang kedengeran?""Belum, heheeh ....""Kirain.""Kamu pake baju. Aku harus secepatnya ke kantor, setelah itu mau ke kantor polisi lagi, mau tanya kapan jadwal persidangan kasus Hesti," ujar Daniel mengenakan dasi."Iya, Mas."Usai Namira mengenakan pakaiannya. Menghampiri Daniel yang merapikan berkas-berkas di meja kerja yang ada di dalam kamar. Namira membantu Daniel mengenakan jas hitam. "Mas Ayan
"Gimana, Ferry? Apa mereka mengabulkan permintaanmu?" tanya Hesti antusias, mereka duduk di sofa ruang keluarga. Ferry menatap iba wanita yang telah dinikahinya itu. Lantas, Ferry menggenggam telapak tangan Hesti. "Apapun nanti yang akan kamu alami, kamu harus hadapi. Jangan melarikan diri!"Sontak, Hesti melepaskan genggaman tangan suaminya. Tatapannya nanar pada Ferry. "Apa mereka tetap ingin melanjutkan kasus itu?" Suara Hesti terdengar bergetar. Hatinya berdetak lebih cepat, membayangkan menjalani hari di dalam penj4ra. Hesti pikir, Ferry yang berbicara, mereka akan mengabulkan. Ternyata tetap sama saja. Daniel dan Bianca sangat tega, sangat kejam. "Iya, Sayang. Enggak apa-apa. Pak Daniel bilang, nanti dia akan minta keringanan untuk hukumanmu.""Bohong! Dia pasti bohong! Mana mungkin Daniel mau meminta keringan untuk hukuman yang aku jalani? Mereka kej4m, sangat egois, Ferry!" Tangisan Hesti pecah, ia menangis meraung-raung. Ferry tak tega, ia memeluk tubuh wanita yang usianya