Bianca yang tengah mengunyah mendongak, menatap tak suka pria gondrong yang berdiri di depannya. Bianca menghela napas berat, lalu melanjutkan makannya, tak peduli dengan kehadiran Ferry. Senyum Ferry sirna melihat Bianca tak peduli dengan kehadirannya. Bi Rusmi mengerutkan kening, menatap lekat lelaki yang beberapa hari lalu pernah datang ke rumah Daniel. "Ehm, Bi. kalau tau kamu mau ke sini, tadi aku jemput aja. Jadikan, kamu gak perlu makan bakso ditemenin pembantumu." Tanpa permisi, Ferry duduk di kursi yang ada di sampingnya. Bianca menyudahi makan baksonya, meski masih ada beberapa butir lagi. Ia menegak air mineral hingga setengah. "Suruh siapa kamu duduk di sini? Pergi sana!" Sangat ketus, Bianca berkata. Ferry yang sedari tadi memamerkan senyumnya, langsung meredup. Ia menghela napas, agar tidak terpancing emosi. "Aku mau temenin kamu, Bi. Masa gak boleh?""Emang gak boleh," balas Bianca cepat. Ferry tersinggung, mulutnya langsung terdiam beberapa menit. Ferry melihat
"Bi, pegangan yang kuat. Aku mau kabur!" titah Bianca pada asisten rumah tangganya yang duduk di jok sebelah. "I-iya, Non." Bianca menginjak rem, melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kedua matanya sangat tajam, menatap lurus ke depan. Dua orang duduk di atas motor yang menghadang mobil Bianca terkejut melihat Bianca nekat ingin menabrak. Dua orang itu lari menghindar. Dengan kecepatan yang tinggi, Bianca menyerempet motor itu. Bianca menoleh ke belakang, melihat motor lainnya yang mengejar. "Non, mereka ngejar kita! Astaghfirullahalazim ... ya Allah lindungi kami ya Allah." Bi Rusmi memanjatkan doa. Ia berharap kalau motor-motor itu berhenti mengejar. Bianca menoleh ke belakang sekilas, lalu menancapkan gas lebih kencang lagi. Memasuki komplek perumahan tempat tinggalnya, motor-motor yang mengejarnya sudah tidak terlihat. Bianca bernapas lega, terlepas dari kejaran orang yang tak dikenal. "Alhamdulillah mereka udah gak ngejar kita lagi, Non," ucap Bi Rusmi penuh rasa
"Boleh. Tanya apa, Mas Ayang?" jawab Namira mengeratkan genggaman tangannya. "Apa yang membuatmu mencintaiku? Mau jadi istriku?" Senyum yang sebelumnya mengembang di bibir Namira seketika sirna. Ia tak menyangka kalau Daniel mempertanyakan masalah itu. Tanpa ragu, Namira pun menjawab, "Karena kamu lelaki yang setia, lelaki yang baik, lelaki yang perhatian, lelaki yang penyabar dan lelaki yang ---" Namira menggantung kalimat, tapi bibirnya mengulum senyum. Ia merunduk, tersipu malu.Berbeda dengan Daniel, lelaki itu justru penasaran. Ingin mendengar kalimat berikutnya. "Yang apa?" Daniel penasaran. Bukannya menjawab, Namira justru menggigit bibir bagian bawah. Daniel semakin penasaran, menc1um lembut punggung tangan Namira dan kembali bertanya. "Jawab, Sayang. Yang apa?" Suara Daniel terdengar parau. Namira salah tingkah, ia mengalihkan pandangan ke arah lain, kemudian dengan suara yang pelan, Namira akhirnya menjawab, "Yang ... hm ... perkakas!" Namira menarik tangannya dari gen
Waktu aku dan papahmu keluar rumah, apa kamu ikut keluar juga?""Maksudmu ngikutin kalian? Enggaklah ...," jawab Bianca cuek, sesantai mungkin. "Bukan ngikutin tapi kamu keluar aja.""Aku baru bangun tidur, Na. Kamu ini malah nanya kayak gitu. Cerita dong, gimana dinner pertamamu? Menyenangkan gak?" Bianca sengaja mengalihkan pertanyaan. Dia tidak ingin berkata jujur atau membohongi Namira. "Menyenangkan banget. Pokoknya, so sweet. Romantis, sangat romantis.""Huh, genit!" Bianca mencubit pipi ibu sambungnya gemas. Namira cemberut, mengusap-usap bekas cubitan Bianca. "Beneran tau! Ngomong-ngomong, besok ada kelas gak? Aku kok males banget kuliah, ya? Maunya tuh di rumah terus sama papahmu. Hahaha ...." Namira tertawa lepas, malu sendiri dan tentunya sangat bahagia. Bianca menggelengkan kepala mendengar ucapan ibu sambungnya. "Males terooos ... kamu kan emang gak mau kuliah tadinya. Mau di rumah aja, bantuin Bi Rusmi.""Lah emang iya. Makanya aku males apalagi sekarang aku udah ni
Tiba di kampus, Bianca dan Namira berjalan beriringan. Sebelum masuk kelas, Bianca meminta Namira mengantarnya ke parkiran khusus sepeda motor. Entah mengapa, ia sangat mencurigai Ferry sebagai dalang dari penghadangan semalam. "Ngapain sih ke parkiran motor, Bi?" protes Namira mensejajari langkah Bianca yang cepat. "Jangan banyak tanya dulu. Nanti aku cerita.""Iya dah."Di area parkir, pandangan Bianca memerhatikan satu persatu motor yang berjajar rapi. Dia juga memerhatikan motor yang baru datang. Meskipun semalam tidak terlalu jelas melihat kendaraan yang ditumpangi para penghadang itu, tetapi jika Bianca melihat lagi, ia yakin masih mengenalinya. "Bi, nyariin motor siapa?" Lagi, Namira penasaran. Bianca tak menjawab, ia tetap memerhatikan satu persatu motor yang masuk ke dalam area parkir. Mereka berdua berdiri di dekat kantin yang lokasinya memang tak jauh dari parkiran sepeda motor mahasiswa. Bianca menarik napas panjang. Ia merasa kalau dugaannya mungkin salah besar. "Ya
Selesai kelas, Ferry datang menemui Bianca dan Namira. Ia berniat mengajak dua gadis itu untuk melihat rekaman CCTV. "Enggak usah. Aku minta maaf udah nuduh kamu. Sorry," ujar Bianca saat Ferry mengajaknya melihat rekaman CCTV. "Jangan gitu dong, Bi. Aku mau ngajak kamu ke sana cuma lihat CCTV. Kamu bisa lihat aku di sana, sampe jam berapa di kedai. Aku gak mau, kamu berpikir buruk tentangku, Bi." Ferry berusaha meyakinkan Bianca. Namun, gadis itu tetap bersikukuh tidak ingin melihat rekaman CCTV tersebut. "Enggak. Aku gak menilaimu buruk lagi. Aku cuma minta sama kamu, tolong jangan ganggu aku lagi. Itu aja!"Bianca berkata sangat tegas. Kemudian, ia menarik lengan Namira agar menjauh dari lelaki yang sempat menyukainya. Tidak berselang lama, kendaraan yang dikemudikan Daniel sudah datang. Namira dan Bianca bergegas masuk ke dalam mobil mewah. Mereka tak ada yang bicara sepanjang jalan menuju rumah. Daniel yang duduk di balik kemudi merasa heran. Ada apa dengan istri dan anaknya?
Namira termenung, ia tampak berpikir. Kalau ia mendukung rencana Bianca, itu berarti diantara Namira dan Daniel ada rahasia. Namira tidak bisa merahasiakan sesuatu dari Daniel. Tetapi, kalau Namira tidak mendukung dan tidak mau kerja sama dengan Bianca, kasihan dia. Bianca pasti masih penasaran. Dia tipikal manusia yang selalu ingin tahu. Jika apa yang ingin diketahuinya belum menemukan titik terang, Bianca tidak akan menyerah sampai ia benar-benar menemukan jawabannya. "Oke deh. Tapi, jangan lama-lama di sananya." Senyum Bianca merekah. Langsung menghambur memeluk tubuh ibu sambungnya. "Maaciw, Mamih ... Ikan Hiu makan tomat. Love you sampe kiamat.""Huh gombal!" Namira melepaskan pelukan, mencebik Bianca. Gadis itu tertawa lepas, mencubit kedua pipi Namira gemas. "Sakit, Bian ... kamu ini kebiasaan banget. Suka cubit pipi Mamih. Durhaka nanti kamu jadi anak!" kata Namira pura-pura marah padahal hatinya bahagia melihat Bianca bahagia. "Iya deh, maaf. Habisnya semakin hari Mamih s
"Sayang, minum susunya." Daniel menyodorkan segelas susu ibu hamil ke hadapan Namira yang tengah mengeringkan rambut. "Makasih, Mas Ayang," ujar Namira tersenyum bahagia. Daniel semakin perhatian sejak Namira dinyatakan hamil, sedang mengandung benihnya. "Iya, sama-sama. Kamu hari ini ke kampus?" tanya Daniel memandang Namira penuh cinta. Sesaat, Namira terdiam, tidak langsung menjawab."Sayang?" Panggil Daniel lagi. "Eh iya, Mas." Namira tergagap. Ia membetulkan diri. "Hm ... aku dan Bian ke kampus hari ini. Iya, ke kampus." Namira tidak bisa menyembunyikan sikap gugup. Menarik napas panjang, berusaha menghalau sikapnya yang salah tingkah. "Oh ya udah, nanti kalau kelasnya udah selesai, kamu hubungi aku. Nanti Mas jemput.""I-iya, Mas."Keduanya telah rapi, hendak berangkat ke tempat tujuan masing-masing. Namira berangkat ke kampus lebih dulu, sedangkan Daniel ke kantor setelah mengantar istri dan anaknya ke kampus. Tiba di ruang makan, sudah ada Bianca yang menyantap sarapan.
"Minumannya udah datang..., " seru Alea membawa tiga cangkir kopi. Dua cangkir berisi kopi, satu cangkir berisi teh manis. Alea meletakkan cangkir teh manis di depan Arfan. "Makasih, Lea." "Sama-sama. Diminum dulu tehnya biar semangat!" kata Alea menarik kursi yang tak jauh dari jangkauan. Ketiga anak muda itu langsung fokus pada layar laptop yang biasa digunakan Axel. Sebelum meretas, Arfan ingin tahu lebih dulu akun Hanif. "Kayaknya Pak Hanif enggak terlalu aktif di media sosial yang ini. Nih kalian lihat!" Arfan menyodorkan layar laptop ke hadapan Axel dan Alea. Saudara kembar itu duduk berdekatan. "Enggak bisa di cek DM -nya?" tanya Axel menoleh pada Arfan. "Bisa. Sebentar, aku coba lagi."Kali ini cukup lama, Arfan berkutat di depan laptop. Arfan begitu lincah mengoperasikan teknologi. Alea yang baru melihat kemampuan Arfan secara langsung, sampai dibuat kagum. Tanpa disadari, Alea tersenyum sembari memandang wajah Arfan yang cukup tampan. Axel yang semula memandang layar l
"Astaghfirullah, Mama kok bilang gitu? Enggak peduli sekali dengan musibah yang dialami tante Nida." Refleks, Alea menimpali ucapan Bianca. Biasanya Alea tak berani menyanggah ucapan Bianca tetapi kini, ia langsung angkat bicara."Bukan Mama enggak peduli! Ah, sudahlah. Sekarang lebih baik kalian mandi, ganti seragam dan makan. Mama enggak mau penghuni rumah ini ada yang sakit lagi," ucap Bianca masih diselimuti emosi. Wanita itu masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu tanggapan dari kedua adiknya. Axel menarik napas panjang melihat tingkah laku Bianca yang tak berubah. Masih saja menyebalkan. "Kenapa mama jadi ngeselin banget sih, Kak?" gerutu Alea, bibirnya cemberut, kedua tangsj bersidekap. "Emang ngeselin!" jawab Axel masuk ke dalam rumah lebih dulu. Axel sedang malas berdebat. Kalau saja tidak ingat dengan kesehatan Bianca, mungkin Axel tadi akan ribut juga. Saudara kembar itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Melakukan perintah Bianca setelahnya mereka berdua menuju ruang mej
Raut wajah Alea seketika berbinar. Ia baru ingat kalau teman sekelasnya itu memiliki keahlian teknologi. Meski masih SMA, tapi otak Arfan bisa dikatakan lumayan encer terutama masalah teknologi. "Iya, Kak. Bener banget tuh! Aku baru inget kalau si Arfan jago IT. Ya udah, Kak. Aku mau telepon dia dulu. Suruh dia dateng ke rumah nanti malam. Gimana, Kak?" Alea sangat bersemangat menjalankan rencana yang disampaikan oleh Axel. Ia tak sabar ingin mengetahui penyebab Hanif menceraikan Nida. "Boleh. Coba aja kamu telepon." Alea langsung merogoh handphone dari saku seragamnya. Lalu menekan nomor kontak Arfan. Arfan yang tengah berkutat di depan komputer rumahnya, terkejut melihat Alea sang gadis pujaan hati menghubunginya. Senyum Arfan mengembang, menarik napas panjang lalu mengangkat telepon dari Alea. "Hallo?" "Fan, nanti malam kamu bisa enggak ke rumahku?" Tanpa basa-basi Alea bertanya. Ia tak mau membuang waktu. Ingin secepatnya mengetahui alasan Hanif mecneraikan tante
"Analisamu ada benernya, Lea. Bisa jadi Om Hanif yang mandul," timpal Axel sependapat dengan kembarannya.Nida hanya mengulum senyum mendengar tanggapan dari Alea dan Axel."Ya udahlah, Tante enggak mau terlalu mikirin itu lagi. Toh kenyataannya, sekarang kami udah bercerai. Tinggal menunggu sidangnya saja." Sangat tenang, Nida menanggapi ucapan anak kembar itu. Alea dan Axel saling pandang lalu keduanya mengela napas berat. "Tante harus kuat ya terutama di depan om Hanif. Jangan sampai terlihat lemah atau bersedih. Nanti si om malah besar kepala. Malah mikir, Tante kecintaan banget ama dia," kata Alea memberi semangat pada wanita yang selama ini tempat mereka curhat. "Tapi, Tante. Apa Tante enggak ada curiga kalau om punya wanita idaman lain? Ya aku sih, enggak habis pikir aja. Selama ini yang aku tau, rumah tangga Tante kan baik-baik aja. Kok sekarang tiba-tiba ...."Axel menggantung kalimat, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sudah dimengerti oleh Nida dan Alea. "Namanya juga
"Cerai?" Serempak Alea dan Axel bertanya. Raut wajah mereka terkejut. "Tante serius?" tanya Alea. "Pasti cuma nge-prank nih," timpal Axel tak percaya. Nida tersenyum, menepuk pundak Axel. "Kita makan dulu aja. Nanti Tante baru cerita."Keduanya menganggukkan kepala. Mengikuti langkah Nida yang menuju dapur. "Kalian tunggu di sini. Tante mau hangatin masakannya. Oke?""Oke, Tante."Nida menarik napas lega sebab Alea dan Axel datang ke rumahnya. Paling tidak ia sedikit terhibur akan kedatangan mereka. Dirinya tidak merasa sendirian di rumah ini. Namun, Nida sadar. Dia mesti terbiasa dengan kesendirian. "Sudah siap masakannya," seru Nida seolah tak terjadi hal buruk yang menimpanya. Ya, hal buruk. Sebab, meski Nida terlihat sumringah, terlihat menerima keputusan Hanif akan tetapi hatinya tetaplah bersedih dan sakit. Nida wanita normal. Yang sakit hati jika cintanya dikhianati. Nida menyimpulkan sendiri jika alasan Hanif menceraikannya karena ada wanita lain. Wanita lain itu kemungk
Hanif tak dapat mengelak lagi. Selama ini tidak bisa ia berbohong pada Nida. Pun Nida, ia tahu jika suaminya menyembunyikan sesuatu atau sedang berbohong. Namun, lagi dan lagi Hanif diam, tak juga menjawab. "Oke. Kalau kamu masih enggak mau jawab pertanyaanku, enggak masalah. Aku juga enggak masalah kalau kamu mau cerai. Silakan saja."Nida menyerah, tidak bisa mendesak lelaki yang lebih banyak diam itu. Nida beranjak ke toilet. Di dalam sana, setelah membuka kran, Nida menangis tersedu-sedu. Sedikit pun Nida tak menyangka jika Hanif akan menceraikannya. Baru beberapa hari lalu, Hanif meyakinkan cinta dan kesetiannya terhadap Nida. Hanif menarik napas panjang ketika Nida pergi meninggalkannya. Ia mengusap wajah kasar, memandang lurus ke depan, lalu pandangannya mengitari kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya bersama wanita yang dulu mati-matian ia perjuangkan. Dan hari ini, Hanif sudah menjatuhkan talak. Lelaki itu kembali menarik napas, mengembuskan perlahan. Berusaha meyak
Tiba di rumah, Nida berjalan cepat, ingin segera menemui suaminya. Ketika hendak menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya, terdengar suara percakapan Hanif dengan ibunya di ruang keluarga. Nida pun mengurungkan pergi ke kamar, belok ke ruang keluarga. "Mas!" pekik Nida menghampiri suaminya yang duduk di sebelah ibu Ros. "Kamu enggak apa-apa, Mas? Mana yang terluka?" telisik Nida panik. Menelisik Hanif. "Kamu ini gimana sih? Malah nyari yang terluka? Kamu pengen suamimu terluka?" Pertanyaan ibu Ros membuat Nida menoleh. Menghela napas berat. Nida tahu, apapun yang dilakukannya, di hadapan ibu Ros selalu saja salah. "Bukan aku pengen mas Hanif terluka, Ma. Tadi Mas Hanif bilang semalam kecelakaan. Makanya dia enggak pulang," jelas Nida menahan rasa kesal pada ibu mertua. Hanif masih bergeming, tidak mengeluarkan kata-kata. "Udah tau! Sebelum Hanif cerita ke kamu, dia udah cerita ke Mama," tandas ibu Ros menunjukkan raut wajah tak suka. "Aku mau bicara empat ma
"Kamu serius mau menceraikan si Nida?" tanya ibu Ros memastikan yang didengarnya. Hanif tersenyum simpul, menganggukkan kepala. "Iya, Ma. Mungkin ini jalan yang terbaik.""Nah gitu dong! Menceraikan Nida emang jalan yang terbaik!" Ibu Rosita berseru gembira. Ibu Ros langsung memeluk tubuh Hanif. Hatinya begitu gembira. Keinginannya sebentar lagi akan terwujud. Hanif akan menceraikan Nida dan akan menikah dengan Friska. Impian memiliki menantu yang kaya raya dan loyal, sebentar lagi akan terwujud. "Sukurlah sekarang kamu udah sadar. Mama senang sekali. Mama berharap, nanti kalau kamu nikah lagi, kamu cepat punya keturunan," ujar ibu Ros sumringah. Hatinya benar-benar bahagia mendengar perceraian anak pertamanya dengan Nida. "Aamiin. Terima kasih, Ma.""Iya, Nak. Sama-sama. Oh ya, kalau kamu keluar dari rumah ini, kamu mau tinggal di mana? Soalnya kan rumah Mama enggak seluas rumah ini. Udah gitu, semua kamar udah ada yang tempati. Ada sih kamar belakang, cuma sekarang udah jadi gud
"Tentu saja boleh. Sekarang juga kamu boleh kok tinggal di rumahku dari pada kita tinggal di hotel ini. Gimana? Kamu mau enggak?" jawab Friska tersenyum manis. Tidak ada keraguan sedikit pun dari intonasi suaranya kalau ia mengizinkan Hanif tinggal di rumahnya. Hanif mengulas senyum mendengar jawaban Friska. "Terima kasih, Sayang. Kalau begitu, aku mau beresin urusan satu-satu dulu. Kalau aku udah menceraikan Nida, aku akan segera keluar dari rumah itu dan langsung pindah ke rumahmu." "Oke, Sayang. Dengan senang hati, aku akan menerimamu di rumahku." Friska semakin mengeratkan pelukan. Tak ada rasa lelah pada diri wanita itu. Ia selalu berhasrat jika di dekat Hanif. Kerinduannya selama ini pada Hanif telah terlabuhkan. "Sejarang aku mau pulang dulu," ucap Hanif melepaskan kedua tangan Friska dari tubuhnya. "Tapi nanti malam kamu ke sini lagi, ya?" rengek Friska menunjukan raut wajah manja. Hanif gemas, memencet hidung mancung wanita yang semalaman melayaninya. "Besok mala