"Ndra. Helena udah sadar."Andra langsung mematikan panggilan dan bergegas menuju ke rumah sakit. Sebelum berangkat, dia sudah menitipkan hotel pada beberapa orang untuk ditangani. Mobilnya melaju membelah jalanan ibu kota yang siang ini padat sehingga harus extra sabar jika terkena macet. Lalu lalang kendaraan yang saling berebutan. Pemgemudi yang tak sabar ingin mendahului satu dengan yang lain, menjadi pemandangan lumrah di setiap harinya.Sepanjang perjalanan, ada sedikit rasa lega di hati Andra saat menerima telepon tadi. Paling tidak, dengan sadarnya Helena mengurangi rasa bersalahnya karena telah mencelakai wanita itu. "Sini."Christian menarik lengan Andra dan membawanya masuk ke ruangan intensif. Mereka menuju bed tempat Helena berbaring. Beberapa selang masih menempel di tubuhnya. Helena tampak lemah. Hanya saja ketika melihat Andra mendekat, bibirnya menyunggingkan senyum. Kaku, tapi ada binar cinta di matanya.Mata Helena begitu sayu dengan wajah yang memar di beberapa
Ruangan praktik dokter yang kali ini mereka datangi berkesan mewah dengan design interior yang wah. Sama seperti dokter lainnya, ada banyak poster mengenai kesehatan kandungan dan organ intim wanita. Hanya saja, wallpaper-nya gelap dan di dominasi warna hitam. "Malam, Dokter Arjuna." Mereka menyapa."Panggil Juna saja." Dokter itu tersenyum manis, menampilkan sebuah lekukan di sudut pipinya."Silakan." Reisa dan Andra duduk berhadapan dengan dokter yang akan memeriksanya hari ini. Arjuna, itulah nama spesialis kandungan yang mereka datangi. Atas rekomendasi seorang teman, akhirnya mereka sepakat datang ke sini. Dokter Arjuna mulai bertanya. Diawali dengan riwayat kehamilan Reisa sebelumnya. Dia cukup kaget saat wanita itu mengatakan bahwa pernah keguguran.Reisa menceritakan dengan detail semua keluhannya. Bagaimana di setiap kehamilan terasa berbeda. "Kita periksa dulu ya ... Ibu Reisa?" Arjuna memastikan nama pasiennya. Matanya menatap wajah manis di hadapannya. Reisa mengangg
Andreas memandang raut sendu yang sejak tadi diperiksanya. Bibir Helena masih pucat. Tubuhnya masih lemah walaupun sudah ada sedikit rona merah di wajahnya. Helena memasrahkan diri saat cairan bening itu disuntikkan ke infusnya. Menimbulkan denyut pada bagian yang tertanam jarum di kulitnya."Sakit?" Andreas bertanya. Ada rasa iba dalam hatinya saat melihat Helena memejamkan mata hingga dahinya berkerut. Jenis obat ini memang menimbulkan rasa nyeri setiap kali disuntikkan. Helena mengangguk. Matanya menatap pada lelaki tampan berjas putih di hadapannya. Ada stetoskop yang menggantung di lehernya.Kulit Andreas lebih putih dan bersih, berbeda dengan Andra yang cenderung gelap. Hanya saja, Andra lebih terlihat maskulin dengan penampilannya yang jantan dan berotot. Andreas merupakan sosok yang tenang dan teratur. Sedangkan Andra cenderung cuek dan blak-blakan. Ada rambut halus yang tumbuh di sekitar rahang kokohnya. Juga kacamata yang membingkai wajah, membuatnya terlihat smart."Jan
"Ini gedung belakang. Sudah lapuk, tapi belum di renovasi. Jadi kami biarkan saja."Perawat itu menjelaskan sambil mendorong kursi roda mengelilingi sebagian kawasan rumah sakit. Kebetulan bagian gedung ini berdekatan dengan kamar sang pasien sehingga mereka bebas berjalan-jalan.Helena meminta diajak keluar karena merasa bosan berada di kamar seharian. Sudah hampir satu bulan dia berada di rumah sakit dan Christian belum mengizinkannya pulang. Setiap pekan, sepupunya itu akan pulang dan datang kembali di hari senin. Entah bagaimana pekerjaannya. Yang pasti Christian sendiri yang bertanggung jawab sepenuhnya untuk menjaga Helena."Andra belum datang, ya?"Helena bertanya. Sejak tadi pagi dia menunggu hingga petang ini. Namun sosok sang pujaan hati belum nampak batang hidungnya. "Belum ada, Mbak. Kenapa? Kangen, ya?" goda si perawat. Melihat binar indah di mata Helena setiap kali Andra datang, membuat si perawat tahu bahwa ada hati yang menyimpan sekuntum rindu. Hanya saja, sepertin
Helena memandang wajah tampan yang sedari tadi menyuapkannya makan. Matanya menatap mesra dengan penuh kerinduan. Dia ingin tangan itu merengkuhnya dalam dekapan.Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Andreas segera berpamitan pulang, ketika melihat Andra dengan sigap membantu Helena duduk di pinggir ranjang.Ada yang berdenyut dalam hati Andreas ketika melihat itu. Helena bergelanyut manja dengan melingkarkan kedua lengannya di bahu Andra.Andreas membuang pandangan, saat Andra malah membalas tatapan Helena dengan senyuman. Dia tahu, rasanya bertepuk sebelah tangan.Hanya saja Andreas tahu bahwa status Andra sudah menikah. Jadi kemungkinan untuk mendekati Helena masih ada.Andreas bahkan tak mengerti tentang perasaannya sendiri. Dengan langkah gontai, dia berjalan keluar dan menutup pintu kamar tempat Helena dirawat. Lalu bersenandung kecil saat berjalan menuju parkiran, menghibur luka hatinya sendirian.Sementara itu, suapan terakhir ma
"Ndra, ke rumah sakit. Sekarang!"Secepat kilat Andra mengambil kunci mobil dan meninggalkan pekerjaannya. "Mau ke mana, Pak?" Sekretarisnya bertanya ketika melihat Andra keluar ruangannya dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya mereka akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke rumah sakit sekarang. Tolong cancel makan malam saya nanti sama vendor. Alihkan besok atau lusa."Andra menitipkan pesan sebelum pergi. Dia berjalan begitu saja tanpa memberikan penjelasan lebih rinci.Si sekretaris tercengang melihatnya. Tak biasanya Andra begitu. Sebagai atasan, lelaki ini selalu bersikap professional. Jika sampai ini terjadi, itu berarti keadaan sudah mendesak. Feeling-nya mengatakan bahwa ini pasti urusan keluarga. Semua karyawan di hotel ini juga tahu, Andra sangat mengutamakan keluarganya. Si sekretaris menelepon dua pemilik vendor itu dan memi
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Helena.Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, Andreas cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Ndra! Ini cuma status. Siapa yang mau nikahin perempuan cacat. Gue juga nggak bisa ngelindungin dia terus-terusan."Ada yang menusuk di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Helena bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, sekalipun Helena tak melirik ke arahnya. Sekalipun Andreas sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepedulian.Mungkin, bagi Helena perhatian yang Andreas berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah bersikap seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Christi
Reisa menatap wanita itu dari kejauhan. Ini sudah gelap. Harusnya semua pasien di rumah sakit kembali ke kamar, bukannya berjalan-jalan di lorong yang mulai sepi.Reisa beralih posisi, melihat dari tempat yang agak tertutup. Sehingga orang yang sedang dia intip sekarang tidak menyadari keberadaannya. Wanita itu sedang mencoba berdiri dengan kakinya yang lemah, dibantu seorang perawat dan seorang lelaki. Dia tampak kesulitan dan meringis kesakitan, terjatuh lalu dipapah untuk berdiri kembali.Setitik air mata Reisa menetes melihatnya. Tak dapat dibayangkan jika berada di posisi seperti itu. Mungkin dia akan mengalami depresi berkepanjangan.Apalagi wanita itu seorang dulunya cantik juga seksi menggoda. Pastilah berat baginya mendapati kondisi yang cacat. Wajahnya yang mulus itu berbalut perban, dengan luka yang sepenuhnya belum sembuh. Walaupun begitu, aura kecantikannya tetap terpancar.Reisa membalik badan, tak sanggup melihat itu lebih lama. Andra belum mengatakan sepatah kata seja