Reisa menatap wanita itu dari kejauhan. Ini sudah gelap. Harusnya semua pasien di rumah sakit kembali ke kamar, bukannya berjalan-jalan di lorong yang mulai sepi.Reisa beralih posisi, melihat dari tempat yang agak tertutup. Sehingga orang yang sedang dia intip sekarang tidak menyadari keberadaannya. Wanita itu sedang mencoba berdiri dengan kakinya yang lemah, dibantu seorang perawat dan seorang lelaki. Dia tampak kesulitan dan meringis kesakitan, terjatuh lalu dipapah untuk berdiri kembali.Setitik air mata Reisa menetes melihatnya. Tak dapat dibayangkan jika berada di posisi seperti itu. Mungkin dia akan mengalami depresi berkepanjangan.Apalagi wanita itu seorang dulunya cantik juga seksi menggoda. Pastilah berat baginya mendapati kondisi yang cacat. Wajahnya yang mulus itu berbalut perban, dengan luka yang sepenuhnya belum sembuh. Walaupun begitu, aura kecantikannya tetap terpancar.Reisa membalik badan, tak sanggup melihat itu lebih lama. Andra belum mengatakan sepatah kata seja
Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kegiatan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisi tidak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Mbak?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster."Helena tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Bahkan, sebagian barang pemberian rumah sakit yang merupakan hadiah dan fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Helena diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun dia sudah merencanakan akan mengunjungi Helena di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab terhadap pasien. Lebih tepatnya
"Rei, tunggu!"Sekuat tenaga Andra berusaha mengejar istrinya. Lalu berjalan beriringan saat langkah mereka sudah sejajar. Reisa memilih diam. Selama ini dia sudah cukup sabar, mengalah dan menahan emosi. Bahkan membiarkan suaminya lebih mementingkan orang lain dibanding keluarga. Namun, saat melihat Andra menggendong Helena, hatinya panas. Wanita itu tampak bergelayut manja di pelukan suaminya.Andra mungkin tak menyadari bahwa Reisa berdiri di sana. Namun dia tahu bahwa Helena melihat kedatangannya.Helena dengan sengaja merapatkan tubuh ke Andra dan tersenyum mengejek Reisa. Seolah-olah dia menang karena berhasil merayu suaminya. Air mata Reisa hendak tumpah, kalau saja dia tidak ingat sedang berada di mana saat ini. Baginya, pemandangan tadi sungguh keterlaluan. "Rei." Andra menahan lengannya."Sorry gue tadi--" Entah harus bicara apa lagi. Semoga istrinya tidak salah paham. "Aku mau ke toilet."Sebisa mungkin Reisa harus menghindari suaminya untuk saat ini. Jika tidak, emosi
"Mbak, Makan dulu ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Helena. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Andra datang menjenguk.Helena mencoba menelepon tapi lambat di respons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Andra sepertinya tak berniat membalas."Nanti mbak sakit." Helena membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya lemas. Namun semua makanan terasa hambar. "Len."Alina menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Helena keluar setelah setelah dua hari wanita itu terkurung di kamar dan tak mau keluar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Andra, Helena seperti kehilangan semangat hidup."Kok nggak abis makannya?" Alina duduk di sebelah Helena. Melihat piring nasi yang masih banyak, bahkan setengahnya pun belum habis, membuatnya pusing tujuh keliling."Gue lagi males makan," jawab Helena lirih.
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Ketika salah satu perawat mengirim pesan mengenai kondisi Helena yang semakin menurun setelah kepulangan dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Andreas sendiri sedang berada di ruang ganti, memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau.Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Helena mau menuruti perintah. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layar ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial, Helena sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Helena terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri. Tan
"Pagi, Sayang."Sebuah kecupan bersarang di pipi Reisa. Hari ini minggu, jadi Andra punya banyak waktu di rumah seharian. Reisa menggeliat karena merasa geli, lalu secara perlahan matanya terbuka. Andra tampak segar dengan balutan kaos putih dan celana jeans. Harum tubuhnya merasuk indera penciuman. Tiba-tiba saja Reisa menjadi mual. Harum tubuh Andra yang selalu disukainya, kini menjadi tak sedap baunya. Wanita itu menutup hidung dan membuang wajah ke samping. "Kenapa, gue bau asem?" Andra melirik ke arah lipatan lengannya sambil mengendus aromanya beberapa kali. "Emang gini kalau lagi hamil, Ndra. Kayak waktu Rendra dulu." Reisa duduk bersandar di ranjang sambil mengipas hidung. "Eh, kita belum periksa lagi, ya?"Tiba-tiba saja Andra teringat sesuatu. Semenjak dia sibuk mengurus Helena di rumah sakit, otomatis waktunya terbatas untuk keluarga.Saat ini, tanggung-jawab Andra sudah berkurang. Sehingga dia berjanji akan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. "Nanti saja, Ndra
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar.Andra beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing dan tak saling menyapa. Andra tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketik Reisa mendiamkannya. Andra juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar. Setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?"Andra bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Reisa meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Aneh. Jika Reisa memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Andra memilih untuk tetap melanjutkan makan.Masakan Bik Inah sudah menjadi candu bagi Andra. Seh
"Den. Non Rei pergi."Andra tersentak saat Inah mengatakan itu di telepon, disertai dengan isak tangis. Hari ini ada rapat penting di hotel, jadi dia tidak mungkin meninggalkannya.Berbagai macam prasangka sempat terlintas di benak Andra. Hanya saja, dia berusaha tetap tenang dan mengendalikan diri. Istrinya tidak mungkin melakukan hal aneh di luar sana."Tadi bibik ke pasar sama si Nok. Pas pulang Non Reisa udah nggak ada. Rendra juga dibawa."Kali ini, Andra berusaha menenangkan Inah dengan mengucapkan kata-kata penghiburan. Dia meminta wanita paruh baya itu untuk tetap tenang karena sejak tadi terdengar panik.Setelah Inah tenang, Andra menutup telepon dan menarik napas panjang. Lalu dia menghubungi beberapa nomor untuk memastikan dimana keberadaan istri dan anaknya."Reisa ada di rumah papa, Ndra. Katanya mau di sini dulu sementara waktu." Andra bernapas lega saat mendengar jawaban Wisnu. Dia meminta disambungkan dengan Reisa, tetapi mertunya menolak. "Reisa belum mau ngomong sa