Andra membubuhkan tanda-tangannya di kertas itu. Hari ini, rumah orang tuanya beralih tangan.Reisa duduk mendampinginya saat akad jual beli itu berlangsung. Tiga milyar, begitulah salah satu isi dari surat perjanjian jual beli. Selain beberapa poin penting lainnya. "Terima kasih."Mereka saling berjabat tangan, setelah ponsel Andra berbunyi dan ada pemberitahuan kalau dana sudah ditransfer. Ternyata si pembeli sudah bekerja sama dengan bank untuk proses transaksi ini, sehingga prosesnya cepat. Si pembeli langsung pulang setelah prosesnya selesa. Dia menolak ajakan makan siang yang Andra tawarkan.Sibuk, begitulah alasannya. Memang benar, si pembeli seorang pengusaha besar sehingga waktunya terbatas. Tenyata semua transaksi usahanya dikelola oleh pihak bank. Andra bahkan sampai kaget. "Sudah, ya."Kali ini Andra yang gantian mentransfer jasa notaris sesuai dengan kesepakatan. Di awal dia sudah membayar setengah harga sebagai tanda jadi. "Kok lebih, Pak?" tanya sang notaris. Dia ti
Tanpa di komando, Andra langsung mengangkat tubuh korban itu ke mobil dan melaju menuju rumah sakit terdekat.Andra siap bertanggung jawab jika memang nanti aparat datang dan menangkapnya. Dia lalai dalam berkendara, sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Begitu tiba di rumah sakit, sang korban langsung di tangani. Dalam hati mereka berdoa supaya tidak terjadi apa-apa. "Ya Allah."Andra meremas rambut berulang kali. Mengapa musibah datang beruntun dalam kehidupan rumah tangganya. Baru selesai yang satu, kini muncul yang lainnya. Bagaimana kalau si korban tak bisa diselamatkan? Andra tak bisa membayangkan jika harus mendekam di balik jeruji besi meninggalkan keluarganya.Andra benar-benar berpasrah diri. Bersama Reisa, dia menunggu hingga pintu operasi terbuka dua jam kemudian."Keluarga Ibu Helena?" Dokter itu bertanya."Kami, Dokter," jawab Reisa."Kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Mereka menarik napas lega. Mengucap syukur bahwa nyawa Helena bisa diselamatkan
"Gue masih di kantor, Chris."Begitulah jawaban Andra saat lelaki itu meneleponnya. Christian memintanya segera datang ke rumah sakit.Sementara itu, Andra masih menyelesaikan janjinya kepada para karyawan. Dia meminta sang sekretaris dan beberapa divisi mengurus semua surat yang diperlukan untuk pencairan dana. Hari ini perintah diberikan. Andra berharap semua dapat selesai dalam beberapa hari ke depan. Dana yang dia gunakan adalah milik pribadi sehingga jatuhnya harus menjadi saham. Setelah selesai memberikan arahan kepada semua tim, Andra akan langsung menuju rumah sakit melihat keadaan Helen."Saya cuma bisa sampai di sini. Saya mohon bantuan rekan kerja semua. Para manager dan staff untuk meng-hande ini sementara waktu. Saya percaya kepada kalian."Begitulah yang Andra sampaikan sebelum menutup morning session hari ini.'"Bapak mau ke mana? Kami dengar ada tabrakan," tanya salah seorang manager. Dia mendapat berita itu dari supir yang tadi pagi menjemput Andra. "Benar. Kemare
Lima hari sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda perkembangan dari Helena. Wanita itu masih tak sadarkan diri di ruang intensif. Berbagai selang menempel di tubuhnya. Andra dan Christian bergantian menjenguknya. Reisa ingin ikut, tapi dilarang. Jadi, dia hanya mendengarkan apa yang diceritakan suaminya setiap pulang dari sana."Mau ke rumah sakit lagi?" Reisa merapikan kerah baju suaminya yang tampak berantakan. Sejak kejadian itu, Andra jarang ada di rumah. Sepulang dari hotel, Andrw akan mandi dan mengganti pakaian. Lelaki itu akan jika lapar dan langsung pergi lagi ke rumah sakit.Christian akan meneleponnya jika belum memberikan kabar. Andra akan buru-buru datang tanpa menghiraukan anak istrinya. Perasaan bersalah semakin hari semakin menghantui. Melihat Andra yang seperti ini, Reisa menjadi sedikit kecewa. Ada rasa sedih yang menyusup dalam hatinya, perlahan menjalar bahkan mulai berakar. Reisa tahu bahwa ada beban yang Andra tanggung atas kejadian ini. Tapi, apakah harus meng
Baca ceritaku yang lain ya. Dijamin seru dan beda. Pengantin Pengganti, Masa Iddah yang Ternoda, Me & My Ex, dan Selir Sang Pangeran.**** Bunyi beberapa alat yang terpasang, saling bersahutan di dalam ruangan itu. Berbagai selang yang melekat di tubuh, membuat Helena tetap bertahan sampai sekarang. Harapan tipis, tapi semua orang berdoa untuk sebuah keajaiban. Wanita yang terbaring di ruang intensif itu mulai menggerakkan tangan. Kesadarannya mulai pulih. Helena belum sepenuhnya ingat apa yang terjadi. Dia hanya merasakan sakit yang menghantam seluruh bagian, dari kulit hingga tulang. Serasa ruh ingin terlepas dari raganya. Jika boleh memilih, Helena ingin kembali ke pangkuan Tuhan. Dari pada harus merasakan sakit di antara hidup dan mati. "Suster, suster. Lihat!" Salah satu perawat memanggil kepala ruangan mereka. Semua orang mengucapkan takbir saat melihat keajaiban itu muncul. Helena begitu kuat, berjuang untuk hidupnya. Mungkin, ada banyak hal yang ingin diselesaikan sebelum
Christian berulang kali mengucapkan syukur atas perkembangan yang dialami Helena. Dia mengusap air mata yang sempat menetes beberapa menit yang lalu. Semua orang serasa mimpi, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat. Perlahan tapi pasti, tubuh yang tak berdaya itu akhirnya mulai sadar, walaupun belum sepenuhnya pulih. Setelah mengucapkan nama lelaki yang disayangi, Helena kembali tak sadarkan diri. Mata yang berhari-hari terkatup itu bahkan enggan menyapa orang yang dia sebut.Helena kembali ke alam mimpi, larut dalam buaian indah yang telah menemaninya beberapa hari ini."Semua boleh keluar."Perintah dokter Andreas sempat mengagetkan mereka. Dua orang lelaki itu akhirnya memilih patuh, dan melanjutkan pembicaraan setelah meninggalkan ruangan itu. "Makasih, Ndra." Christian menjabat tangannya erat. Andra membalasnya dengan melakukan hal yang sama. Mereka sempat berbincang-bincang dengan dokter, sebelum akhirnya memilih untuk pulang dan berpisah.Andra diminta datang se
"Ndra. Helena udah sadar."Andra langsung mematikan panggilan dan bergegas menuju ke rumah sakit. Sebelum berangkat, dia sudah menitipkan hotel pada beberapa orang untuk ditangani. Mobilnya melaju membelah jalanan ibu kota yang siang ini padat sehingga harus extra sabar jika terkena macet. Lalu lalang kendaraan yang saling berebutan. Pemgemudi yang tak sabar ingin mendahului satu dengan yang lain, menjadi pemandangan lumrah di setiap harinya.Sepanjang perjalanan, ada sedikit rasa lega di hati Andra saat menerima telepon tadi. Paling tidak, dengan sadarnya Helena mengurangi rasa bersalahnya karena telah mencelakai wanita itu. "Sini."Christian menarik lengan Andra dan membawanya masuk ke ruangan intensif. Mereka menuju bed tempat Helena berbaring. Beberapa selang masih menempel di tubuhnya. Helena tampak lemah. Hanya saja ketika melihat Andra mendekat, bibirnya menyunggingkan senyum. Kaku, tapi ada binar cinta di matanya.Mata Helena begitu sayu dengan wajah yang memar di beberapa
Ruangan praktik dokter yang kali ini mereka datangi berkesan mewah dengan design interior yang wah. Sama seperti dokter lainnya, ada banyak poster mengenai kesehatan kandungan dan organ intim wanita. Hanya saja, wallpaper-nya gelap dan di dominasi warna hitam. "Malam, Dokter Arjuna." Mereka menyapa."Panggil Juna saja." Dokter itu tersenyum manis, menampilkan sebuah lekukan di sudut pipinya."Silakan." Reisa dan Andra duduk berhadapan dengan dokter yang akan memeriksanya hari ini. Arjuna, itulah nama spesialis kandungan yang mereka datangi. Atas rekomendasi seorang teman, akhirnya mereka sepakat datang ke sini. Dokter Arjuna mulai bertanya. Diawali dengan riwayat kehamilan Reisa sebelumnya. Dia cukup kaget saat wanita itu mengatakan bahwa pernah keguguran.Reisa menceritakan dengan detail semua keluhannya. Bagaimana di setiap kehamilan terasa berbeda. "Kita periksa dulu ya ... Ibu Reisa?" Arjuna memastikan nama pasiennya. Matanya menatap wajah manis di hadapannya. Reisa mengangg
Andra benar-benar gelisah. Sejak kamarin perasaan lelaki itu tak menentu. Dia bahkan tak berselera makan. Semakin dekat hari pernikahan Reisa, mereka bahkan tak bertemu sama sekali. Sahabatnya itu sempat mengangkat teleponnya. Namun tak lama, katanya masih sibuk mempersiapkan acara.Andra meminta untuk video call dan Reisa mengabulkannya. Namun, saat berbincang, raut wajah gadis itu tak seperti biasa. Sebelum ada Bimo, Reisa masih sama seperti dulu. Bersikap hangat dan bersahabat. Namun, semua berubah ketika sang pujaan hati memiliki pengawal sendiri. Andra bahkan tak dilibatkan apa pun dalam persiapan pernikahan Reisa. Padahal lelaki itu bersedia jika direpotkan. Lelaki itu bagai tak dianggap sama sekali. Dan itu membuat Andra kecewa. "Den Andra gak makan? Inah masak enak, loh."Inah menegur tuannya. Sejak pulang tadi Andra tak menyentuh hidangan yang dimasaknya sama sekali. Hal itu membuatnya heran.Biasanya Andra akan lahap setiap melihat sajian di meja makan. Maklum, sejak ke
Reisa turun dari tangga dengan langkah anggun. Hal itu membuat Dimas terpana. Lelaki itu menelan ludah akan hasratnya yang muncul saat melihat sang kekasih.Sudah beberapa kali Dimas mengajak Reisa bermesraan. Namun, gadis itu menolak secara halus. Reisa yang lahir dan besar di kota kecil, memang selalu dituntut untuk menjaga diri.Hal itulah yang membuat Dimas kesal, lalu melampiaskannya kepada wanita lain. Hanya untuk bersenang-senang dan bukan cinta. Namun, kebiasaannya ini sudah terjadi sejak lama, dari mereka sama-sama kuliah. "Sudah siap?"Suara Wisnu memecah keheningan. Reisa menoleh ke arah papanya, lalu mengangguk. Gaun yang dia pakai kali ini berwarna silver dengan model sederhana. Gadis itu tak memakai perhiasan berlebihan. Hanya sepasang anting mutiara yang menambah keanggunannya. "Siap, Papa," jawab gadis itu senang.Wisnu menatap putrinya dengan bangga. Reisa tak hanya berprestasi di sekolah, tetapi bekerja dengan baik di kantornya. Apalagi setelah bertunangan dengan
Bimo memarkir mobilnya di sebuah gedung bertingkat. Dimana Reisa berkantor di perusahaan milik papanya. Siang ini Bimo akan mengantar Reisa makan siang, karena gadis itu ingin mencoba menu baru di sebuah restoran. "Hai, Bim."Reisa menyapa Bimo dengan ramah. Walau di hatinya ada rasa risih jika harus berdekatan dengan orang baru. Apalagi lelaki itu anak menemaninya sepanjang waktu hingga hari pernikahan tiba."Siang, Mbak Rei.""Kamu udah makan?" "Sudah, Mbak," jawabnya pendek. Tadi sebelum ke sini, Bimo mampir di sebuah tempat makan untuk mengisi perut. Selama Reisa bekerja, lelaki itu tak boleh mengikuti. Sehingga job desknya sekarang lebih ke supir pribadi. "Kalau gitu jalan."Setelah menutup pintu mobil Reisa menarik napas panjang dan meletakkan tasnya di samping. Dia mengambil ponsel dan mengabari Dimas bahwa akan makan siang.Reisa merasa hidupnya sekarang dikekang. Namun, dia hanya menuruti apa maunya Dimas demi kebaikan bersama. "Mau ke mana kita ini?" Bimo bertanya. Me
Hari itu, Dimas membawa Reisa bertemu dengan seorang lelaki, saat menjemputnya sepulang dari bekerja. Dia mempunyai rencana untuk melindungi sang kekasih. Dari orang-orang yang berniat jahat dan dari Andra tentunya.Ini tak bisa dibiarkan. Pembicaraannya kemarin dengan Andra membuat Dimas cemas. Dia khawatir jika lelaki itu nekat dan benar-benar akan menggagalkan pernikahan nereka. "Rei, kenalin. Ini Bimo." Reisa menjabat tangan Bimo. Jika diperhatikan dengan jeli, tampilan fisik Bimo mirip seperti orang yang pernah mendapat pendidikan militer. "Siapa ini?"Mata Reisa penuh tanya, tapi tak berani menduga. Entah apa maksud Dimas memperkenalkan lelaki ini kepadanya. "Bimo ini tadinya kerja di kantor papa. Tapi mulai sekarang dia bakal jadi supir pribadi sekaligus ngejagain lu." Dimas menjelaskan dengan pelan agar Reisa mau menerima. Dia tahu jika bicara dengan kekasihnya ini harus penuh dengan kelembutan.Reisa selalu diperlakukan baik oleh orang tuanya. Namun, hal itu menjadikanny
Pintu ruangan Andra terbuka. Sesosok lelaki gagah masuk dengan santainya tanpa permisi."Sibuk?"Dimas tampak santai saat bertamu, menganggap Andra tidak akan berani melawannya."Gak juga. Jadi masih punya waktu buat Reisa," sindir Andra.Suasana menjadi tegang. Andra bahkan enggan meninggalkan kursinya. Lelaki itu bahkan tak mempersilakan Dimas duduk. Sehingga tunangan Reisa itu masih berdiri di hadapannya. "Gak usah nyindir gue," ucap Dimas sembari tersenyum mengejek."Gue cuma bicara fakta."Dimas terkekeh, lalu menatap Andra dengan sinis. Pandangan matanya begitu tajam. Namun, justru menambah ketampanannya. Wajar jika Reisa jatuh dan cinta setengah mati kepada lelaki itu. "Lu tadi makan siang sama Reisa?" Andra berhenti mengerjakan laporan, lalu meletakkan mouse yang sedari tadi setia menemani."Iya. Kenapa?" jawab Andra singkat. "Sering banget kayaknya.""Soalnya cuma gue yang bisa nemenin. Lu gak ada gunanya jadi tunangan," ucap Andra sarkas.Dimas mengepalkan jari. Amarah b
Panggilan telepon masuk, Andra segera mengambil ponselnya. Reisa is calling."Ya, Rei? Apaan?" Andra menutup laptopnya dan menjawab telepon. Laporan sedang banyak yang harus dikerjakan hari ini. Dia sedang fokus menyelesaikannya sedari pagi, saat tiba di kantor. "Ndra. Temenin aku makan siang, dong. Aku sendirian nih." Terdengar suara syahdu wanita di seberang sana. Si pemilik suara adalah seorang wanita cantik, mungil dengan rambut panjang tergerai. Bulu matanya lentik dengan suara manja. "Dimas mana?" Nada suara Andra terdengar malas. Selalu begini, hampir setiap hari terjadi dan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka. Sekalipun status Reisa adalah tunangan dari orang lain. Namun, Andra lah yang selalu menemani. "Lagi meeting sama klien. Dia gak sempet nemenin aku katanya. Tadi barusan aku telepon. Kamu mau kan, Ndra?"Suara manja Reisa kembali terdengar. Wanita itu berusaha membujuk dan merayu sahabatnya. Andra menarik napas panjang. Entah sudah untuk yang ke berapa kalinya i
"Andra! Balikin buku aku." Reisa berlari mengejar seorang anak lelaki seusianya. Napasnya gadis itu terengah-engah. Sedari tadi dia berusaha, tetapi si target malah makin menjauh. Sedangkan sosok yang dikejar itu malah bersorak senang karena berhasil menggodanya. "Ambil kalau bisa!" Andra mengangkat tangan ke atas dan melambaikan buku itu. Tentu saja Reisa tidak bisa menjangkau karena tubuhnya mungil dan tak sampai sebahu lelaki itu."Kamu usil banget sih, Ndra." Tangan mungil Reisa berusaha menggapai tetapi tak sampai. Gadis itu mencoba lagi hingga akhirnya menyerah."Lu bantet sih, Rei. Makanya makan yang banyak. Tumbuh itu ke atas, bukan ke samping."Sudah menjadi kebiasaan Andra mengolok-olok Reisa. Gadis itu juga tidak pernah marah. Bukankah jika bersama sahabat, kamu bisa lepas menjadi diri sendiri. Bahkan semua kekuranganmu dia bisa memakluminya. "Kamu kalau mau nyontek bilang aja napa? Gak usah pake' ngambil buku aku."Reisa berhenti berlari dan duduk lemas sembari menyek
Sudah satu jam Andra menunggu, tapi Reisa belum turun juga.Melihat Andra yang sedari tadi gelisah, akhirnya Wisnu mengizinkan lelaki itu menyusul ke atas. Andra bergerak cepat, nenyusul Reisa di kamarnya. Lelaki itu hanya menunggu di luar pintu dan tak berani masuk. Sedekat apapun mereka, dia masih tahu batas."Cepetan, Rei! Rempong amat nih cewek." Andra mengetuk-ngetuk pintu kamar gadis itu."Berisik banget. Apaan?"Pintu terbuka.Mata Andra terbelalak mendapati sosok yang sedang berdiri dihadapannya. Reisa terlihat sangat anggun dengan dress kasual serta dandanan yang natural. Rambut panjangnya di gelung ke atas. Andra menelan ludah. Dalam hatinya berkata, bidadari ternyata di bumi juga ada. "Kenapa kamu, Ndra?" Gadis yang ditatap mesra itu begong, tak mengerti sinyal cinta di mata Andra rupanya. "Eh, gak apa-apa."Andra membuang muka sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajah lelaki itu bersemu merah. Kenapa dia jadi nervous begini.Reisa memang jarang berdandan. Gadi
Brugh!"Auw!"Seorang gadis berteriak saat tubuh mungilnya terbentur sesuatu yang keras, sehingga membuatnya terjatuh. Darah mengucur dari lutut yang mulus itu. Sementara itu, sang lawan masih tetap berdiri kokoh bahkan tak bergoyang sedikit pun. "Kamu gak apa-apa?""Perih ...."Gadis itu meringis kesakitan. Lututnya menghantam tembok sekolah. Keras dan masih terasa denyutnya. Tak lama lagi sepertinya akan menimbulkan luka lebam yang kebiru-biruan."Sini, gue bantuin."Gadis itu menyambut uluran tangan yang diarahkan kepadanya."Maaf ya, gue ga sengaja." Anak lelaki itu tersenyum. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. "Iya, engga apa-apa, kok." Senyumnya terukir, membalas senyuman anak lelaki itu. "Wah berdarah gitu. Ayo kita ke UKS. Minta diobatin lukanya. Kasian lu."Anak lelaki itu menarik tangannya, tetapi ditepiskan. Gadis itu tidak mau bersentuhan karena masih malu. "Gak usah. Biarin aja, cuma luka kecil kok. Nanti aku bersihin di toilet juga bisa."Gadis itu tidak mau merepot