Andra memasuki rumah itu dengan hati berdebar-debar. Pasalnya sosok yang paling dia benci, sedang di teras depan rumah Wisnu, sambil bercengkrama dengan Nita. "Hei, Ndra!"Nita terkejut saat melihat kedatangan Andra. Wajahnya pucat pasi. Apalagi saat berhadapan dengan Dimas, dua orang ini seperti hendak berperang."Papa mana?" Andra bertanya saat tak melihat Wisnu bersama mereka."Di kamar lagi rebahan. Masuk dulu, aku panggilkan." Nita memberi kode kepada Dimas untuk menunggu.Andra sendiri langsung masuk tanpa menyapa Dimas. Dia lewat begitu saja dan menganggap lelaki itu tidak ada.Betapa muaknya Andra saat melihat wajah itu. Apalagi ketika diam-diam melihat mereka berdua di bandara. Dimas masih nekat juga berusaha mendekati istrinya.Andra memang memberitahu keberangkatan mereka. Namun, dia tidak menyangka Dimas akan berbuat seperti itu. "Pa."Andra berbisik di telinga Wisnu yang masih terpejam. Wajah itu tampak lelah dan semakin tua. Padahal sewaktu pernikahannya dengan Nita, l
"Itu Papa!"Rendra tertawa senang saat melihat Andra keluar dari mobil. Tarno menjemputnya di bandara. Setelah beberapa bulan ini menyesuaikan diri dengan aturan jalanan di kota ini.Andra meraih keduanya dalam pelukan, tapi lelaki itu tidak berani menggendong putranya. Tangannya kotor entah memegang apa seharian dalam perjalanan. Bajunya juga berkeringat karena kota ini lebih panas dari tempat mereka tinggal sebelumnya. "Gue ganti baju dulu!"Andra masuk ke rumah setelah meletakkan tasnya begitu saja di ruang tamu. Lelaki itu masuk ke kamar dan berganti pakaian.Reisa meletakkan Rendra di kasur dan mengambilkan handuk serta baju ganti untuk suaminya. "Adek jangan gerak-gerak nanti jatuh."Reisa memberi perintah saat Rendra hendak merangkak. Namanya bayi, dia tidak betah berdiam diri. Pasti ingin bermain di lantai.Si mungil itu mengerjapkan matanya berkali-kali karena ingin meraih ibunya. Dia tidak mau ditinggal sendiri. Padahal jarak dari kasur ke lemari itu dekat. Bersebelahan, s
"Om?"Reisa tak menyangka saat membuka pintu dan mendapati bahwa salah keluarga mereka datang ke rumah. Om Danu, adalah paman Andra dari sebelah mamanya.Om yang selama ini selalu mensupport Andra di hotel lama. Om yang suaranya teduh dan tak mau terlibat dalam kecurangan apa pun. "Masuk, Om."Reisa mempersilakan. Kebetulan Inah sedang di dapur, jadi dia yang membukakan pintu."Andra mana?" tanya Danu."Keluar, ada yang dicari."Danu mengambil tempat duduk di tengah sofa."Kok nggak ngasih tahu mau ke sini?" tanya Reisa berbasa-basi. "Om baru survei, belum pindahan," jawab Danu santai. Dahi Reisa berkerut. Apa maksudnya pindahan? Namun, wanita itu masih menyimpan rasa penasaran. Dia memilih untuk menjamu tamunya."Bentar, Om. Rei bikin minum dulu."Reisa berjalan ke dapur dan membuatkan minuman. Sejak pindah, beberapa pekerjaan rumah dia yang meng-handle. Tak mungkin membiarkan Inah yang sudah lanjut usia mengerjakan semuanya.Untuk mencuci dan menggosok pakaian, Reisa memilih ja
Andra menelan sarapannya dengan terpaksa. Rasanya tidak enak kalau makan, tapi orang yang menemani sikapnya dingin seperti itu. Biasanya mereka akan berceloteh ringan sambil menghabiskan semua hidangan yang tersaji di meja. "Enak banget mie gorengnya. Lu yang bikin?"Andra memulai pembicaraan. Ini sudah hari kedua Reisa mendiamkannya. Jangan sampai hari ketiga, lelaki itu tidak bakal kuat."Bik Nah," jawab Reisa pendek. "Tumben, biasanya lu yang masak." "Capek."Andra menelan ludah. Kata capek yang baru saja istrinya ucapkan itu membuat selera makannya hilang. Padahal, dia berencana akan pulang cepat hari ini supaya bisa berduaan setelah Rendra tidur.Andra ingin meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Namun, melihat raut wajah istrinya yang menekuk, niatnya urung. Bahaya ini, Reisa marah besar. "Gue pulang cepat hari ini.""Terserah." Reisa meletakkan sendok dengan sedikit kasar, hingga membuat Andra terkejut. Wanita itu berjalan kembali ke kamar, meninggalkan suaminya begitu saj
"Rei."Andra mencoba membujuk isyrinya. Namun, wanita itu masih diam."Rei ...."Masih terdiam."Sayang."Hingga panggilan ke tujuh, Andra yang sudah tak sabar akhirnya menarik tubuh Reisa ke dalam dekapannya. Ini sudah hari ketiga dan wanita itu masih diam. Bagaimana dia bisa menceritakan semua, jika diacuhkan seperti ini. "Lepasin. Sakit ini."Reisa meronta saat merasakan pelukan Andra semakin erat. Hingga membuatnya sulit bernapas."Lu jangan kayak gin, Rei. Gue nggak tahan. Mending lu marah sekalian jadi gue tahu."Tatapan Andra tajam dan menusuk, membuat Reisa sedikit takut. Suaminya jarang sekali marah, tapi nada suaranya kali ini berbeda. Reisa masih membuang pandangan, tak mau melihat wajah suaminya. Tubuhnya gemetaran, ngeri jika Andra nekat berbuat sesuatu."Lu kenapa, Rei? Gue salah apa?""Enggak.""Enggak, tapi lu diemin gue. Tiap malam lu kasih punggung." Reisa menundukkan kepala. Sementara itu bibirnya gemetaran dengan jantung yang memompa lebih cepat."Sakit, Ndra,"
Pagi ini, Andra tampak bahagia saat berangkat kerja. Setelah perbincangannya dengan Reisa kemarin malam, semangatnya hidup lagi. "Pagi, Pak."Beberapa orang karyawan menyapa. Andra menjawabnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Seperti biasa dia menunggu antrean di lift dan masuk bersama karyawan yang lain. Hilir mudik aktivitas para penghuni hotel menghiasi pagi ini. Salah satunya para tamu yang sedang asyik menikmati sarapan pagi. Sudah hampir satu minggu tamu hotel membludak.Andra membuat program khusus potongan harga menginap di hari kerja. Ada juga promo menu sarapan yang spesial untuk tamu yang menginap di akhir minggu.Awalnya Andra hanya mencoba dan ternyata idenya berhasil. Namun tetap saja, untuk menutupi biaya operasional yang terlanjur minus dia harus melelang aset.Saham yang Andra lepas sedang dalam proses yang entah akan memakan waktu berapa lama. Sehingga hasil penjualan rumah peninggalan orang tuanya yang menjadi back-up untuk kelangsungan hidup hotel dan karyawa
Hari kedua Andra melakukan survey di laundry. Suara bising mesin yang berputar menggema di ruangan itu. Entah ada berapa jumlahnya. Semua aroma bercampur satu, antara pewangi pakaian dan sprei atau selimut yang belum dicuci.Andra memeriksa satu per satu alat dan kelengkapannya. Dari merek sabun cuci yang dipakai, merek pewangi hingga kebersihan hasil cucian.Sebelum masuk ke ruangan ini, Andra memakai pakaian khusus dan masker, untuk mencegah terjadinya sesuatu hal.Sebenarnya beberapa karyawan sudah melarang Andra untuk masuk. Lelaki itu bahkan disarankan untuk menunggu laporan hasil survei saja. Namun, dia bersikeras.Andra ingin menyapa langsung semua karyawan. Dia juga menanyakan keluhan mereka. Walaupun hasil yang dia dapat memang hanya satu. Gaji yang ter-pending berbulan-bulan. Juga bonus yang tak pernah cair.Dari segi kualitas perlengkapan mencuci yang digunakan masih standar. Ada beberapa alat yang akan Andra tambah. Sehingga memudahkan para pekerja di ruangan ini. "Saya m
Andra membubuhkan tanda-tangannya di kertas itu. Hari ini, rumah orang tuanya beralih tangan.Reisa duduk mendampinginya saat akad jual beli itu berlangsung. Tiga milyar, begitulah salah satu isi dari surat perjanjian jual beli. Selain beberapa poin penting lainnya. "Terima kasih."Mereka saling berjabat tangan, setelah ponsel Andra berbunyi dan ada pemberitahuan kalau dana sudah ditransfer. Ternyata si pembeli sudah bekerja sama dengan bank untuk proses transaksi ini, sehingga prosesnya cepat. Si pembeli langsung pulang setelah prosesnya selesa. Dia menolak ajakan makan siang yang Andra tawarkan.Sibuk, begitulah alasannya. Memang benar, si pembeli seorang pengusaha besar sehingga waktunya terbatas. Tenyata semua transaksi usahanya dikelola oleh pihak bank. Andra bahkan sampai kaget. "Sudah, ya."Kali ini Andra yang gantian mentransfer jasa notaris sesuai dengan kesepakatan. Di awal dia sudah membayar setengah harga sebagai tanda jadi. "Kok lebih, Pak?" tanya sang notaris. Dia ti