Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.
Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.
Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.
Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.
Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari rumahnya. Mengadukan segalanya kepada pemilik alam semesta ini dan meminta jalan keluar atas problematika dalam hidupnya. Meskipun belum ada jawaban. Setidaknya, hati Abasya jauh lebih tenang dan damai. Abasya selalu ingat penggalan ayat dari surah Al-Baqarah ayat 286(Allah menguji hamba-Nya sesuai dengan batas kemampuannya).
***Tak mau kehilangan kesempatan untuk mengenali sosok datar dan dingin itu, Zahrin yang tadinya berniat untuk segera pulang dan merebahkan dirinya yang sudah lelah duduk terlalu lama malah memutar balik badannya dan mengekori Abasya diam-diam di tengah kerumunan para pelanggan, ada yang baru datang mencari tempat duduk ada yang melangkah menuju kasir.Kafe dengan bernuansa klasik yang di dekorasi sederhana ini memang diburu berbagai pengunjung, mulai dari kalangan muda sampai kalangan tua. Menu yang mereka suguhkan tak terlalu mahal dan lebih tepatnya sesuai kantong.
Zahrin mendengus kesal, capek mengekori si muka dingin itu, malah kehilangan jejak. Entah lah, kenapa tiba-tiba Zahrin jadi penasaran melihat wajahnya lebih detail dan intens. Biasanya Zahrin tak pernah peduli dan terkesan bodoh amat kepada laki-laki seusia dirinya, siapa pun itu. Kisah kasih masa lalu Zahrin membuatnya malas dan trauma untuk kembali berkecimpung dengan dunia percintaan.
Banyak yang mencoba mendekati Zahrin. Namun, Zahrin tetap cuek dan terkesan enggan untuk melayaninya mereka. Bukan karna tak tampan atau kaya. Zahrin merasa risih, diteror dengan pesan What’sApp yang terkesan sedikit lebay dan alay menurut Zahrin.
Tak kehilangan akal, Zahrin kembali ke meja receptionist untuk menanyakan nama pelanggan si muka datar dan dingin tadi. Tapi, karna privasi harus dijaga dan takutnya disalah gunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab, penjaga meja tunggu receptionist menolak untuk memberi tahu Zahrin.
Saat Zahrin sibuk membujuk dan merayu. Si penjaga receptionist malah menyela perkataan Zahrin.
“Maaf, sebelumnya saya lancang. Adek sekolah di mana ya?” tanya penjaga meja receptionist berseragam warna biru dengan sopan dan mengangkat alis sebelah kirinya.
“Ih, mbaknya ditanya malah nanya balik, udah mbak tenang aja. Zahrin ga bakalan menyalahgunakan nama dia kok. Zahrin pengen tau aja mbak, ya mbak, yaaa. Ayo dong, kasih tahu. Mbaknya cantik deh.” Zahrin merengek meminta jawaban dari penjaga receptionist.
Debat yang lumayan panjang pun terjadi di antara mereka. Zahrin tetap kekeh bertanya kepada si penjaga receptionist. Kenapa Zahrin malah jadi tak tahu malu seperti ini, banyak pengunjung yang silih berganti datang ke meja receptionist. Tapi, Zahrin tak kunjung pergi. Ke mana akal sehat Zahrin?
Setelah menghabiskan waktu +/- 45 menit lamanya, membujuk, merayu dan mondar-mandir di depan meja receptionist, sepertinya akal sehat Zahrin sudah mulai kembali. Zahrin memutuskan untuk menyerah dan pulang. Walaupun hatinya digerogoti rasa penasaran.
'Ya Allah Zahrin kenapa sih, bisa-bisanya bertingkah kaya' tadi.’ Zahrin membatin sendiri saat menuju keluar dari kafe. Benar-benar memalukan, siapa laki-laki itu sebenarnya. Jurus pelet mana yang dipakainya hingga membuat Zahrin seperti tak ada rasa malu. Huft.
Zahrin terus berjalan keluar dari kafe sesekali ngedumel sendiri karna ulah sendiri. Baru kali ini, Zahrin mempermalukan dirinya sendiri.
Saat sudah berada di luar, Zahrin mencari tempat duduk(kursitable)—Kursi luar kafe yang diperuntukkan untuk para pengunjung yang menunggu jemputan. But, Zahrin tak melihat Ervan, padahal sebelum pergi Zahrin berpesan untuk menunggunya tak jauh dari tempat duduk. Membuat Zahrin semakin kesal, pengunjung yang tadi melihat tingkah Zahrin pun memandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti rasa yang muncul dari hati Zahrin untuk si muka datar(Eh..)
Zahrin memilih untuk tak menghiraukan tatapan muka julidin pengunjung kafe. Zahrin sibuk mengotak-atik handphonenya—handphone yang digandrungi dan diinginkan jutaan kaum manusia. Mencari kontak what’sapp Abang tercintanya yang berusia sekitar 20 puluhan tapi tingkahnya seperti kakek-kakek yang sudah tua. Bagaimana bisa? Baru beberapa jam Zahrin mengatakan hal itu, begitu mudah dilupakannya. Jangan-jangan abangnya korban perghostingan makanya jadi rada-rada pelupa(😭🙏)
Ibarat kata “muka Gudluking memang tak menjamin.”
Pucuk dicinta ulam pun tiba(bak kata pepatah). Ervan sepertinya mendahului mengirim pesan pada Zahrin. Senyum Zahrin mengembang diiringi dengan lesung pipi sebelah kanannya yang tercetak seperti huruf O. Dan ternyata..
[Rin, cepat pulang ya! Abang minta maaf ga bisa jemput kamu. GD nih, gawat darurat. Oke? Pesan ta-xi online aja]
Begitulah kira-kira isi pesan Ervan, yang membuat Zahrin heran. Zahrin terus membatin, ada apa atau apa yang terjadi. Bukan hanya sekedar pesan. Tapi, juga beberapa panggilan tak terjawab dari Ervan dan ayahnya. Membuat Zahrin semakin frustasi. Beribu pertanyaan berputar-putar di kepalanya.
Sepertinya, panggilan berlangsung saat Zahrin berada di kerumunan para pelanggan kafe tadi. Zahrin mulai cemas, sesegera mungkin Zahrin mencari ta-xi online untuk pulang.Rasa cemas mulai lagi menghantui dirinya. ‘Gara-gara si muka datar, Arin jadi kaya' gini. Duh, pelet apa ini ya Allah.’ Zahrin membatin sembari menatap langit yang mulai berubah menjadi panas, terik dan hawanya seperti membakar kulit.
‘Ah, ya! Bagaimana panasnya api neraka? Mungkin panas dibumi hanya lah segenggam atau mungkin secuil dari panasnya api neraka'
--Zahrin Raminah Maheswara—
***Setelah menunggu hampir setengah jam. Ta-xi online yang di booking Zahrin pun datang. Zahrin bergegas berdiri dan berlari menuju Ta-xi yang berada di tepi jalan.“Mbak Zahrin.” Tanya sopir Ta-xi online saat Zahrin baru saja sampai di hadapannya dengan nafas tersengal-sengal Zahrin menatap wajah sang sopir dengan pandangan aneh, Zahrin terdiam, tiba-tiba pikirannya melayang pada sosok ayahnya di rumah.
Zahrin terdiam cukup lama, tak menjawab pertanyaan sopir Ta-xi. Ada apa dengan Zahrin yang akhir-akhir ini selalu saja berpikir aneh-aneh. Atau mungkin karna kebanyakan halu?.Zahrin tersadar dari lamunannya saat sopir Ta-xi mengulangi lagi pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
“Iya pak, saya Zahrin. Bapak bisa kan antar saya ke alamat ini.” Zahrin menunjukkan alamat yang ditulis di aplikasi catatan handphone miliknya.
Saat membaca alamat yang ditunjukkan Zahrin, sang sopir tersenyum puas, “Oh, saya tahu mbak, silahkan masuk.”
Tanpa peduli lagi apa maksud dan makna dari senyum sang sopir Ta-xi online itu. Zahrin membuka pintu Ta-xi dan duduk di kursi bagian belakang yang tepat berada di belakang sopir, sebelah kanan. Zahrin memasang belt pengaman dan Ta-xi pun melaju dengan kecepatan sedang menuju kediaman Zahrin.
***
Dalam perjalanan, tak ada percakapan antara Zahrin dan sopir Ta-xi. Zahrin memang tak banyak bicara, apalagi dengan orang yang tak Zahrin kenal. Kecuali, ada kepentingan dan keperluan yang kadang membuat Zahrin berubah total.Pikiran Zahrin tak tenang, pertanyaan demi pertanyaan sudah di persiapkan Zahrin untuk ditanyakan nantinya.
'Siapa pun aku, semua bergantung pada : bagaimana situasi, kondisi, sikap dan sifat orang-orang di sekitar ku'
--Zahrin Raminah Maheswara—
***Gaes! Yuk Kepo-in lagi, sosok ABASYA!
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
FLASHBACKSemilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin.Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah.Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang.Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara.Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang ber
ERVAN?“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya.Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya.Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi.“Arin janji ya sama ayah jangan pernah
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari ruma
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
ERVAN?“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya.Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya.Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi.“Arin janji ya sama ayah jangan pernah
FLASHBACKSemilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin.Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah.Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang.Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara.Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang ber