FLASHBACK
Semilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin. Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah. Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang. Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara. Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang berniat untuk mencari anak perempuan untuk mereka adopsi karna Putra sulung mereka yang memintanya. Putra sulung Rav merasa kesepian karna tak punya teman untuk bersenda gurau dikala orang tuanya pergi bekerja, ia bosan selalu ditemani para asisten rumah tangga yang genit dan centil. Rav dan Yara mengadopsi anak karna Yara dinyatakan kehilangan rahimnya saat kehamilan kedua karna keguguran. Sejak itu, ia tak lagi bisa menanam benih dari darah daging mereka sendiri. Barangkali Tuhan menyayangi si gadis cantik pemilik lesung pipi sebelah kanan itu, hingga secara tiba-tiba saja kejadiannya bersamaan. Bukankah semua sudah diatur oleh sang pemilik alam semesta ini?.Rav dan Yara pun menyetujui permintaan orang tua Zahrin dengan perjanjian bahwa mereka tak boleh mencari Zahrin lagi atau menuntut kembali hak asuh anaknya. Dengan berat hati mereka menyetujui segala persyaratan dan perjanjian yang telah dibuat. Tapi, orang tua kandung Zahrin akan kembali menuntut hak asuh anaknya jika suatu hari nanti mereka mendengar kabar bahwa anaknya tidak diperlakukan sesuai perjanjian. Rav dan Yara pun menyetujui apa yang mereka katakan.Sebelum mereka membawa Zahrin pulang ke rumah Maheswara, ibu kandung Zahrin memandang lekat wajah orang yang akan menjadi malaikat untuk anaknya nanti. Ia meminta untuk segera membakar segala bukti yang telah mereka buat kecuali surat perjanjian resmi. Semoga Zahrin tak kan pernah menemukan bukti perjanjian itu. Rav pernah memaksa orang tua kandung Zahrin untuk mengatakan alasan dibalik ini semua. Namun, nihil. Ia hanya diam, membisu. Bagi Rav dan Yara kehadiran Zahrin di keluarga Maheswara mendatangkan beribu kebaikan. Tapi, Entah lah semua sudah menjadi skenario terbaik dari sang maha kuasa. Mungkin, ini semua juga karna kebaikan-kebaikan mereka yang rela mengadopsi anak yang hendak dibuang oleh orang tua kandungnya sendiri. Ah, hidup memang penuh teka teki yang hanya mampu dipecahkan oleh akal sehat dan logika yang disertai keimanan akan keagungan Tuhan. Zahrin adalah anak kandung mereka, darah daging keluarga Maheswara tapi dititipkan dirahim keluarga Ananta—nama belakang orang tua kandung Zahrin. Rav dan Yara selalu mengingatkan Putra sulung mereka untuk tidak pernah mengatakan apa pun tentang masa kelam Zahrin kepada siapa pun itu termasuk kepada manusia yang bisa dipercaya sekalipun. Cukup, Tuhan, mereka bertiga, orang tua kandung Zahrin, surat perjanjian dan tembok lusuh yang menjadi saksi atas segala kekejaman yang dunia lakukan pada Zahrin. Sampai kapan pun, Zahrin tidak boleh tahu orang tua kandungnya. Itulah yang selalu jadi acuan bagi Rav dan Yara. Memang, rasa sayang, cinta bahkan egois mampu membutakan segalanya.Kenangan menyakitkan itu tak pantas untuk diketahui oleh Zahrin, gadis periang dan ceria. Bagaimana jika suatu hari nanti kebenaran terungkap? Masihkah Zahrin tinggal bersama mereka?Seperti tak mungkin untuk menyembunyikan semuanya dari Zahrin, lambat laun Zahrin pasti akan menemukan kebenarannya. Entah itu dari mulut mereka nantinya atau dari mulut yang memang sengaja untuk melukai batin Zahrin. Rav selalu berdoa semoga semua tetap pada tempatnya. Memikirkannya saja membuat Rav takut, lantas bagaimana jika benar-benar terjadi. Tidak, jangan sampai terjadi!Beberapa menit berkecamuk dengan segala isi kepalanya, Rav memilih untuk menyeruput segelas kopi latte yang dari tadi belum disentuhnya, di atas meja. Deru mobil dan motor yang saling berpacu di jalan depan rumahnya memekakkan gendang telinga. Tapi, hanya itu yang membuat kesunyian sore ini menjadi riuh dan ramai. Setelah menikmati kopi latte hangat buatan sang istri tercinta, Rav meraih gawai yang berada dalam saku celananya. Menekan tombol On dan mulai melakukan ritual scroll beranda akun F******k milik dirinya.Zahrin yang hendak melangkahkan kaki ke toilet menghentikan aktivitasnya karna melihat tingkat sang ayah yang begitu serius memainkan gawainya. Terlintas di benak Zahrin untuk menjahili sang ayah. Zahrin melangkahkan kakinya dengan pelan-pelan menuju teras rumah agar derap langkahnya tidak di dengar oleh sang ayah dan ....1, 2, 3.. “Ayah!” pekik Zahrin di telinga ayahnya. Seketika tawa Zahrin pecah melihat ekspresi kaget sang ayah. Mood Zahrin yang tadi hilang lenyap entah karena apa, Kini kembali lagi.Rav yang sedang duduk bermain gawainya pun ikut tertawa karna tingkah konyol sang anak. Tangan Zahrin yang masih setia di pundaknya, diraih oleh Rav dan dielus lembut bentuk kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Zahrin memilih untuk duduk di kursi yang Bersebelahan dengan sang ayah. Zahrin pun ikut menikmati pemandangan senja yang kini mulai menutup bumi dengan pekatnya malam. Ah, ya! Zahrin hampir lupa. Di mana Abang kesayangannya, sedari tadi Zahrin belum melihat batang hidung Ervan—Abang Zahrin. Tak ada percakapan antaran Zahrin dan ayah. Hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Ayah, Bang Ervan ke mana? Dari tadi Arin—Panggilan Zahrin, belum liat batang hidungnya bang Ervan.” Zahrin mencoba memecahkan keheningan antara dirinya dengan sang Ayah. Memang, dari tadi pagi pun saat di meja makan Zahrin tak menemukan sosok saudaranya itu. “ Paling juga di kafe Rin, “ Jawab ayahnya singkat sembari terus nge scroll akun beranda sosial medianya.“ Tapi, kan bentar lagi azan Magrib yah! Enggak boleh yah, kalau azan Magrib masih di luar rumah. Kalau entar bang Ervan kenapa-kenapa gimana?.” Mulut Zahrin kembali nyerocos panjang lebar, Zahrin tak ingin abangnya lupa waktu hanya karna hal yang tak terlalu penting. Zahrin mencoba menghubungi, namun tak diangkat. Panggilan ditolak hanya itu yang tertera dilayar ponsel miliknya. Zahrin benar-benar khawatir, haruskah Zahrin menjemputnya saja. Ah, tidak mungkin bukan. Rav tersenyum memandang Zahrin yang terlihat begitu mengkhawatirkan abangnya. Dengan bibir manyun, tangan bersidekap didada membuat Zahrin semakin imut. ‘Rin, maafin ayah nak. Sampai kapan pun ayah tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya, apalagi melihatmu yang tumbuh menjadi gadis baik, penuh perhatian kepada semua anggota keluarga di rumah ini. ‘Rin, Kami semua hanyalah orang asing untukmu nak.’ Rav membatin dengan mata berkaca-kaca, dalam hitungan detik, bulir bening meluncur bebas di pipinya. Zahrin yang sedari tadi sibuk dengan ponsel miliknya kaget melihat Rav yang menangis. Apa jangan-jangan karna abangnya Ervan belum pulang. Huh, awas saja nanti kalau Ervan pulang!“A-ayah kenapa?”***Hayo.. Ayah kenapa ya kira-kira?
*Yuk! Jangan lupa, ikutin terus cerita hidup Zahrin ❤️🥰
ERVAN?“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya.Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya.Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi.“Arin janji ya sama ayah jangan pernah
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari ruma
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari ruma
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
ERVAN?“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya.Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya.Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi.“Arin janji ya sama ayah jangan pernah
FLASHBACKSemilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin.Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah.Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang.Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara.Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang ber