ERVAN?
“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya. Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya. Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi. “Arin janji ya sama ayah jangan pernah pergi dari rumah ini.” Tiba-tiba saja kalimat itu spontan keluar dari mulut Rav. Ia bahkan tak berpikir jauh apa yang ada dalam benak Zahrin jika ia mengatakan hal yang mengherankan itu. Zahrin menautkan alisnya, seolah ingin memastikan kembali apa yang ayahnya katakan. Mengapa begitu tiba-tiba ayahnya mengatakan ini. Untuk apa juga Zahrin pergi dari rumah ini. Disinilah Zahrin hidup dan tumbuh seperti sekarang. Tak ada alasan bagi Zahrin untuk meninggalkan rumah ini. Tak mau mengambil hati perihal omongan ayahnya, Zahrin berdiri dan duduk bersimpuh di bawah kaki sang ayah dengan memegang tangan ayahnya. Zahrin menghapus bulir-bulir bening yang membasahi pipi ayahnya yang mulai berkerut. “Arin gak akan pernah pergi dari rumah ini yah, udah ayah jangan nangis lagi. Ingus ayah nongol tuh.” Kelakar Zahrin sambil menunjuk hidung sang ayah. Rav tertawa mendengarkan kelakar Zahrin. Zahrin punya beribu cara untuk mengubah suasana hatinya. Tak ada rasa penyesalan sedikit pun dihati Rav setelah mengadopsi anak seperti Zahrin.***Selesai dengan ritual mandi, Zahrin segera menunaikan hak dan kewajibannya kepada sang pencipta. Shalat dan mengaji. Terlebih dahulu Zahrin laksanakan 3 rakaat Shalat magrib, dilanjutkan dengan membaca surah Yasin. Zahrin berusaha menghayati makna demi maknanya. Barangkali mampu menenangkan hatinya yang tengah gundah. Saat membaca 3 ayat terakhir, gawai milik Zahrin meraung minta diperhatikan. Zahrin segera meraih gawainya yang berada di atas nakas. Panggilan masuk dari abang kesayangannya, ke mana saja Ervan hingga tak kunjung pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul 18.57. Zahrin segera menekan tombol hijau dan mendengarkan alasan apa yang akan dikatakan abangnya. “Bang, kapan pulang? Kan Arin bilang pulang dulu ke rumah sebelum azan magrib. Abang kenapa sih? Kalau ada masalah ya? Atau masalah percintaan lagi?.” Sederet pertanyaan dilontarkan Zahrin saking penasarannya. Ia takut abangnya terjangkit penyakit fakboy karna circle pertemanannya. Bukannya Zahrin mengekang Ervan untuk berteman dengan perempuan, tapi Zahrin tak ingin abangnya dimanfaatkan hanya untuk kesenangan. Perempuan mana yang tak akan jatuh hati pada Ervan, Ganteng, putih, dagu lancip, hidung mancung, bibir tipis, tinggi semampai, dan badan yang goals, ditambah lagi tahi lalat di keningnya yang semakin membuat berwibawa. Selain punya fisik yang wah. Ervan juga orang kaya. Sejauh ini, Zahrin belum pernah bertemu dengan kejadian seperti ini. Jangan ditanya lagi, tingkat kekhawatiran Zahrin sudah berada di level internasional. Syukurlah, Zahrin tidak frustasi dibuatnya. Bukannya jawaban yang di dapat Zahrin malah suara deru motor yang lalu lalang ditelinganya. Yang benar saja, benarkah ini abangnya—Ervan atau jangan-jangan bengkel langganan keluarganya. Lagi, Zahrin melihat baik-baik benarkah yang menghubunginya Ervan. Benar, Ervan yang menghubunginya, itu artinya mata Zahrin tak salah lihat. Menjengkelkan itulah yang ada dalam benak Zahrin untuk mendeskripsikan sikap abangnya. “Duhhh.. duh.. Si Cantiknya abang marah-marah ya. Ulu.. Ulu.. Ulu.. sini cubit dulu pipi gemoynya,” Jawab Ervan dengan nada santuynya. Ervan terpaksa harus pulang seusai azan magrib atau bahkan mungkin setelah isya dikarenakan ban mobilnya bocor mendadak saat arah pulang tadi. Untung lah, ada bengkel yang tak jauh dari TKP. “Rin, dengerin abang dulu. Abang tahu kok Arin khawatir. Tadi abang mau kasih kabar sama Arin, handphone abang low, ini aja numpang nge cas dulu sama mamang bengkel langganan kita. Bilangin entar sama Ayah, Ibu ya Rin! Awas ya kalau enggak!.” Ervan mulai menjelaskan dengan rinci alasan kenapa dirinya tak kunjung pulang berharap adiknya yang mungil dan imut itu mengerti. Meskipun, tak sedarah daging. Ervan tak punya rasa sayang lain untuk Zahrin selain dari sebagai adiknya. Bagi Ervan perhatian Zahrin adalah bentuk rasa sayangnya kepada abang. Itu hal normal, memang perasaan tak bisa dibohongi. Bahkan jika nanti Zahrin tahu mereka bukan saudara kandung. Ervan akan tetap menyayangi Zahrin sebagai adiknya tak peduli apa kata Zahrin nantinya. Terdengar dari sebrang sana tawa kecil Zahrin. Hatinya lega, kekhawatirannya malah menimbulkan prasangka yang tak baik. Ya, rasanya tak mungkin jika abangnya yang baik melakukan hal yang tak senonoh. “ Lansung pulang ya! Awas aja kalau ntar gak pulang. Zahrin bilang sama Ayah kalau abang udah punya pacar.” Ancam Zahrin dengan memanyunkan bibirnya ke depan. Zahrin tahu betul bahwa Rav—ayahnya belum mengizinkan Ervan untuk berpacaran, ia ingin Ervan fokus dulu dengan kuliahnya saat ini. Berbeda dengan ibunya, yang memberikan kehidupan yang leluasa dan bebas pada Ervan. Tapi, bukan berarti Ervan lepas tangan atau tidak peduli dengan perintah ayahnya. Tanpa ayahnya, Ervan tak mungkin bisa mendapatkan uang. Untuk bertemu dengan teman wanitanya saja, Ervan selalu meminta Zahrin untuk tutup mulut, takut jika ayahnya tahu dan terjadi ke salah pahaman. Bisa-bisa lenyap sudah ATM yang sudah diberikan ayahnya itu.Ervan bersyukur punya Zahrin yang mengerti keadaan dirinya, bisa diajak kompromi, tempatnya bercerita dan menangis. Pernah suatu hari Zahrin meminta Ervan untuk menemaninya tidur di kamar milik Zahrin yang di dekorasi bernuansa biru. Ervan menolak dengan halus, sayangnya sebagai pria untuk Zahrin mungkin bisa ia tepis dan hilangkan dengan mudah. Tapi, tidak dengan permintaan Zahrin untuk tidur berdua. Itu bukanlah permintaan aneh-aneh, wajar saja jika Zahrin menginginkan hal yang demikian. Karna yang ia tahu bahwa Ervan abang kandungnya. Ervan pria normal, bukan tak mungkin jika hasratnya datang saat tidur dengan Zahrin. Sebab itulah Ervan selalu wanti-wanti setiap kali Zahrin memintanya tidur berdua. “Iya adikku sayang, bentar lagi abang pulang.” Sahut Ervan dengan centil, seolah-olah tengah berbicara pada pacarnya. Ervan terkekeh, geli sendiri rasanya jika di bayangkan ia tengah berpacaran dengan Zahrin. Setelah mendengar jawabannya dari Zahrin. Ervan segera memutuskan panggilan. Mobilnya pun sudah selesai diperbaiki, Ervan berjalan menuju kasir dan membayar biaya yang tertera di nota kontan yang di tuliskan oleh karyawan bengkel langganan mereka. Ervan melangkah keluar, berjalan menuju mobilnya, dan pamit undur diri untuk segera pulang pada mang jamal—Bos tukang bengkel. Setelah memasang sabuk pengaman, Ervan menginjak pedal gas dan membelah jalanan yang sudah mulai sepi. Barangkali, ada yang sudah tidur atau mungkin ke masjid terdekat untuk melaksanakan 4 rakaat Shalat isya. Ervan memilih untuk Shalat di rumahnya saja, takut jika orang di rumah semakin khawatir. ***Pukul 21.00 Zahrin dan kedua orang tuanya duduk di sofa empuk, kecuali ayahnya yang sedari tadi tak henti-hentinya mondar-mandir padahal Zahrin sudah bilang alasan kenapa Ervan pulang tak seperti biasanya. Perasaan cemas mulai menggerogoti hati mereka. Ah, ya! Keluarga Zahrin hidup teratur. Meskipun abangnya laki-laki tetap saja harus pulang dengan kesepakatan yang sudah dibuat oleh ayahnya. Pulang sebelum azan magrib, jika masih ada keperluan bisa pergi setelah itu. 5 menit berlalu. Terdengar dari dalam suara deru mobil yang memasuki halaman rumah mereka. Tanpa menunggu Ervan masuk, Rav langsung menuju pintu utama, benarkah yang pulang putra sulungnya. Diikuti Zahrin dan juga ibunya. Setelah memasuki halaman rumah, Ervan bergegas memasukkan mobilnya ke dalam garase khusus tempat kendaraan roda empat. Ervan setengah berlari keluar dari garase dan menuju pintu utama, tempat adik, ibu, dan ayahnya berada. Dengan senyum menyeringai tanpa rasa bersalah, Ervan menyalimi punggung tangan ayah dan ibunya. Sebaliknya, untuk Zahrin. Zahrin yang menyalimi tangan Ervan. Malas berdebat, Rav meminta Ervan untuk segera mandi dan melaksanakan Shalat isya yang sudah lewat beberapa jam. Ingin sekali mulutnya menghujam Ervan dengan berbagai kata-kata. Tapi, sudahlah. Yang penting Ervan pulang dengan badan yang masih utuh. Dengan badan sigap dan posisi hormat Ervan bergegas menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Zahrin. Badannya memang sudah lengket sedari tadi. Seusai mandi, Ervan segera melaksanakan Shalat isya dan dilanjutkan dengan Shalat tobat. Memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan hari ini.Untuk menenangkan hatinya yang tengah digerogoti rasa bersalah kepada sang pencipta. Ervan memilih untuk diam sejenak di atas sajadah. Seolah sedang bercengkrama dengan Allah. Saat hatinya sedang berbicara dan mengadu. Teriakan dari ruang makan membuyarkan lamunan Ervan. Sesegera mungkin Ervan bergegas melepas kain sarung yang menempel di pinggangnya dan melipat sajadah, meletakkan pada tempatnya kembali. Sebelum turun dan bergabung di meja makan. Ervan melihat wajahnya dulu di pantulan cermin. Apakah wajahnya terlihat sedang menangis atau terlihat menyedihkan, barangkali tanpa sadar bulir bening meluncur bebas di pipinya yang putih bersih. Bukan tak ingin menangis, Ervan tak ingin keluarganya tahu. Cukuplah, orang tahu bahwa dirinya tetap baik-baik saja tak ada masalah sedikit pun. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Zahrin. Samping kiri ditempati Ervan, sebelah kanan untuk Zahrin. Beberapa langkah setelah naik tangga, di sana lah letak kamar mereka. Ervan turun dan melangkahkan kakinya menginjak satu persatu anak tangga dengan senyum ala dirinya. Ervan terharu melihat keluarganya yang setia menunggunya pulang dan rela tak makan.Sampai di dapur, Ervan menjatuhkan bobot badannya di sebelah Zahrin. Ayah dan ibunya pun Bersebelahan. Tak ada percakapan, hanya ada dentingan sendok dan suara jangkrik yang jadi soundtrack kebersamaan keluarga Maheswara yang melingkari Meja makan berbentuk persegi panjang itu, dilengkapi dengan alasnya bermotif pink bunga mawar.****Yuk,yuk! Semangat! Pantengin lagi, cerita berikutnya ❤️🥰
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari ruma
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
FLASHBACKSemilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin.Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah.Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang.Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara.Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang ber
KETUA OSISDilain sisi, Abasya menghabiskan waktu luangnya disudut ruang kafe, tepatnya diposisi Zahrin tadi, yang ditemani laptop kesayangannya yang berwarna hitam, suasana riuh dan ramai kafe. Ah ya, jangan lupakan 2 asisten pribadi atau bodyguard suruhan umi dan abinya yang duduk tak jauh dari Abasya.Jika boleh jujur, sebagai makhluk sosial yang sudah beranjak dewasa. Abasya tak suka jika seperti ini. Terlalu overprotektif, menurutnya.Tapi.. Ah.. sudahlah'Kita tak punya hak menilai seseorang dan berasumsi sendiri, Apalagi perihal yang paling terdalam dari diri manusia (Hati).’--Abasya Al-Hafizd Muhammad—Tangan Abasya sibuk mengotak-atik keyboard laptopnya, mencari contoh proposal ajuan untuk kepala sekolahnya nanti mengenai pertandingan futsal. Semua harus selesai menjelang Senin, tepatnya besok pagi. 
Abasya Al-hafizd Muhammad. Kafe inilah yang menjadi tempat dan awal mula pertemuan mereka berdua.Pria yang tak banyak bicara, dingin, cuek dan penuh misteri, hidup di bawah aturan abi dan uminya.Abasya melakukan semua yang diperintahkan dan diinginkan oleh kedua orang tuanya sebagai rasa hormat, patuh dan sayangnya. Abasya meyakini bahwa apa pun itu, pasti yang terbaik untuk dirinya dan agamanya.Ya, Abasya masih ber notabene sebagai manusia biasa. Kadang, tak sesuai dengan yang diinginkan oleh dirinya. Ingin rasanya Abasya menolak. Tapi, kembali urung dan memilih diam. Selagi ia masih hidup bergantung dan dibiayai oleh orang tuanya Abasya harus patuh, tunduk dan diam atas segala keinginan orang tuanya.Setiap kali merasa tak suka dengan yang diinginkan orang tuanya, Abasya memilih pergi dari rumah dan berdiam diri(itikaf') di mesjid yang tak jauh dari ruma
Usai dari makan malam bersama. Zahrin, Ervan, dan kedua orang tuanya kembali ke kamar masing-masing. Kamar ayah dan ibunya berada di bawah tangga, sebelah kiri. Sedangkan untuk kamar ART di bagian belakang tak jauh dari dapur.Setelah sampai di tujuannya. Zahrin merebahkan tubuhnya yang sudah lelah sedari tadi, mematikan lampu temaram jingga yang berada di atas meja, di samping tempat tidurnya.Jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB. Samar-samar Zahrin memandang ke langit-langit kamarnya yang ditempelkan lampu berbentuk bintang yang tak terlalu terang, sebagai pengganti lampu temaram.Tiba-tiba saja Zahrin kembali teringat yang ayahnya katakan sore tadi. Namun, Zahrin buang jauh-jauh pikiran buruknya. Barangkali ayahnya takut terjadi sesuatu sampai mengatakan kalimat secara spontan.Sebelum tidur, Zahrin membaca doa terlebih dahulu. Memohon kepada Allah untuk dibangunkan Shalat tahajud nantinya dan semoga tak lagi kebablasan s
ERVAN?“A-ayah kenapa? Tenang aja yah, ntar kalau bang Ervan pulang biar Arin yang kasih pelajaran. Ayah jangan nangis, malu ih sama Arin. Bang Ervan bukan anak kecil lagi yah. Bentar lagi pulang kok.” Zahrin memegang tangan sang ayah dengan senyum manisnya.Bulir bening kembali jatuh di pipi Rav. Dadanya sesak tatkala mendengar penuturan Zahrin. Mengapa Zahrin yang begitu polos, yang disakiti oleh dunia ini. Zahrin yang lugu, polos, baik hati, ceria, periang, murah senyum, ramah bahkan perhatian. Apa yang salah dengan diri Zahrin, hingga dunia begitu kejam mempermainkan hatinya.Rav menghapus air matanya dan menatap bola mata hazel milik Zahrin begitu dalam. Tersirat beribu makna di dalam matanya. Sekarang, Zahrin bahkan mirip dengan istrinya. Mungkin, karna mereka yang mengasuh dan merawatnya sedari bayi.“Arin janji ya sama ayah jangan pernah
FLASHBACKSemilir angin yang sejuk di sore hari benar-benar menenangkan hati yang tengah gundah gulana ditambah pula secangkir kopi latte sebagai teman berhalusinasi atau mungkin teman yang menemani dikala hati tengah bimbang akan segala rasa yang sedang membuncah meminta untuk segera diluapkan—itulah yang dilakukan Ravelyn Maheswara, ayah Zahrin.Sesekali angin menerpa rambut putih Rav—panggilan ayah Zahrin, yang tengah duduk di kursi rotan yang disediakan di teras rumah.Rav kembali teringat kejadian 17 tahun yang lalu. Di saat orang tua Zahrin meminta dirinya untuk merawat Zahrin hingga dewasa, menyayanginya dengan setulus hati, tak hanya perihal materi tapi juga kasih dan sayang.Rav tidak tahu pasti apa alasan dibalik semua yang dilakukan orang tua kandung Zahrin, memang sudah sepantasnya Zahrin tahu bahwa ia anak angkat dari keluarga Maheswara.Saat kejadian itu, Rav dan Yara—ibu angkat Zahrin, memang ber