Aminah yang sedang enak makan, langsung berdiri ketika mendengar pengumuman dari kedua orang tuanya.
"Apa? Dijodohin? Emangnya zaman Siti Nurbaya apa, ya, pakai acara dijodohin segala? Mak, Yah, aku ini udah besar, bisa menentukan pilihan sendiri! Enggak perlu dijodoh-jodohin segala!" ujar Aminah dengan nada tinggi.Suasana di ruang makan begitu tegang melebihi tegangan listrik. Terik matahari, tak sepanas suasana yang sedang terjadi di rumah kediaman Bapak Abdul Latif (ayah Aminah)."Lagian kamu setelah lulus SMA, emangnya mau ke mana? Kuliah? Anak perempuan itu enggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga ngurus dapur, sumur, dan kasur," ujar Sarah Azhari (emaknya Aminah) dengan perasaan marah karena anaknya menolak perjodohan."Emak sama Ayah khawatir dengan biaya kuliahku, kan? Makanya memilih untuk menjodohkan aku dengan laki-laki yang jarak usianya jauh banget sama aku. Masa aku nikahnya sama om-om! Apa kata teman-temanku, Ma? Malu tahu!" Aminah terus memberontak karena merasa masa depannya akan direnggut."Aminah! Kalau kamu menikah dengan Sulaiman, masa depan kamu pasti akan terjamin. Coba sih, nurut sama orang tua. Susah banget dibilangin. Lagian, kenapa sekarang kamu berani banget melawan orang tua?" Sarah semakin terpancing api amarah. Dia sampai menyalahkan orang lain atas sikap anaknya yang dirasa menjadi pembangkang. "Apa ini pengaruh dari Sinta, ya? Yang ayahnya tukang mabok, emaknya sampai nikah lagi, dan hidupnya sekarang jadi enggak jelas karena perceraian kedua orang tuanya." Sarah menatap Aminah dengan sorot mata yang tajam."Emak apaan, sih! Kenapa malah bawa-bawa orang lain?" ujar Aminah yang semakin kesal. "Lagian, Sinta orangnya baik, kok, enggak seperti yang emak pikir." Aminah menghela napas berat. Lalu, pergi ke kamar.Latif hanya diam, menyaksikan pertengkaran anak dan istrinya sambil berpikir.Aminah Shidqiyyah Mahdiyah itulah namanya. Dia adalah seorang wanita yang luar biasa pintar dan berbakat. Sejak usia muda, Aminah telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan keinginan yang kuat untuk belajar. Dia memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidang memasak, serta kefasihan dalam berbagai bahasa.Beberapa menit kemudian, Aminah kembali dengan membawa selembar kertas."Aku dapat beasiswa di dua kampus, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Ottimmo International yang ada di Surabaya. Kedua kampus itu ada jurusan Tata Boga. Aku tinggal pilih mau ambil kampus yang mana." Aminah menghela napas pendek. Dia duduk dan minum segelas air mineral sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. "Emak sama Ayah tahu banget, kan, kalau aku paling suka masak? Jadi, tolong banget, izinkan aku untuk menambah pengalaman memasakku. Aku ingin menjadi juru masak seperti Chef Renata.""Hey, Aminah! Kalau cuma mau belajar masak, kamu enggak perlu capek-capek kuliah, kan bisa emak ajarin. Tinggal bilang aja mau belajar masak apaan!""Tapi, Mak ...!" Belum juga melanjutkan ucapannya, jantung Aminah terasa seperti mau copot karena mendengar suara gebrakan ayahnya di atas meja. Aminah ketakutan.Suasana sepertinya semakin memanas. Latif, ayah Aminah, yang sedari tadi menahan amarah, menjadi murka. Emosinya meledak-ledak. "Aminah! Cukup! Pokoknya kamu tidak boleh membantah. Ini sudah keputusan ayah sama emak kamu. Lusa, calon suami kamu dan keluarganya akan datang untuk melamar. Kamu harus bersiap-siap."Aminah berlari ke kamarnya sambil menangis. Impiannya benar-benar akan terbunuh.Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Aminah berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah universitas terkemuka. Selama di sekolah, dia terus menunjukkan bakat dan kecerdasannya dalam berbagai bidang. Selain itu, dia juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti menjadi anggota tim debat, editor majalah kampus, dan mengikuti kursus bahasa asing. Namun, nasib berkata lain, meskipun memiliki potensi yang luar biasa, dia terpaksa menikah di usia muda karena perjodohan yang diatur oleh kedua orang tuanya.***Pada suatu hari yang ditunggu-tunggu, pernikahan Aminah akhirnya tiba. Acara pernikahan itu diadakan dengan megah dan penuh khidmat. Keluarga dan teman-teman yang hadir merasakan kebahagiaan dan kebanggaan atas pernikahan Aminah.Pernikahan itu diadakan di sebuah tempat yang indah, dengan hiasan yang elegan dan nuansa yang romantis. Aminah mengenakan gaun pengantin yang indah, memancarkan kecantikan dan keanggunan. Meskipun merasa terkekang dengan pernikahan yang tidak diinginkan, tetapi Aminah berusaha menjalani hidupnya dengan bijaksana. Sungguh malang nasib Aminah. Dia terpaksa mengikuti keinginan orang tuanya yang masih berpikiran kolot.Senyum bahagia pun terpancar dari wajahnya.Upacara pernikahan dimulai dengan adat dan tradisi yang kental."Saya nikahkan anak kandung saya yang bernama Aminah Shidqiyyah Mahdiyah dengan mas kawin berupa emas sebesar 10 gram dan seperangkat alat salat, dibayar, tunai!" ujar Abdul Latif yang akrab disapa Latif dengan tegas."Saya terima nikah dan kawinnya Aminah Shidqiyyah Mahdiyah binti Abdul Latif dengan mas kawin tersebut. Dibayar, tunai!" jawab pria bernama lengkap Muhammad Sulaiman Rasyid dengan satu helaan napas. Pria tersebut akrab disapa Sulaiman."Bagaimana para saksi?" tanya penghulu."Sah!""Alhamdulillahi Rabbil 'alaamiin .... Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir."Tahmid berkumandang, disambut dengan tangisan haru yang membanjiri ruangan. Jantungnya berdebar, seakan habis lomba lari. Kini, Aminah sudah sah menjadi istrinya Sulaiman, seorang pria pilihan orang tuanya.Aminah tidak pernah mengira kalau hidupnya akan berakhir seperti ini. Usianya baru saja menginjak 18 tahun, masih banyak mimpi yang belum dikejar, tetapi terpaksa harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak dicintai.Perjodohan ini terjadi karena pandangan orang tua Aminah yang masih memegang teguh tradisi dan nilai-nilai konservatif. Masyarakat pada zaman dulu, sering kali menganggap bahwa perempuan memiliki peran yang terbatas pada urusan rumah tangga, khususnya di dapur, dengan tugas utama memasak untuk suami."Ayah, Emak, kenapa sih, kalian tega membunuh impianku?" Aminah membantin. Dia merasa terkekang oleh pandangan-pandangan tersebut. Dia memiliki impian dan ambisi yang lebih besar. Dia ingin mengejar pendidikan, mengeksplorasi dunia, dan memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri.Namun, dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi dan budaya patriarki, keinginan Aminah diabaikan. Orang tuanya lebih mengutamakan faktor keamanan dan stabilitas ekonomi daripada kebahagiaan dan kebebasan individu. Mereka percaya bahwa pernikahan ini akan memberikan Aminah kehidupan yang mapan dan dijamin oleh pria yang dianggap baik oleh mereka."Tuhan! Kenapa nasibku seperti ini banget, sih? Emang salah, ya, anak kampung memiliki impian yang besar seperti anak kota di luar sana? Bukankah kami sama-sama makhluk ciptaan-Mu yang memiliki hak untuk memilih, ya? Lalu, kenapa anak kampung sepertiku tidak dibolehkan untuk memilih dalam menentukan hidupnya sendiri? Kenapa? Kenapa?" Mata Aminah berkaca-kaca. Dia hanya bisa memberontak dalam hati sambil memberikan senyum palsu kepada semua orang yang hadir di pernikahannya.Meskipun Sulaiman adalah seorang pria yang baik, bertanggung jawab, dan mapan secara finansial, tetapi Aminah tidak merasakan kebahagiaan dalam pernikahan ini. Dia tidak memiliki rasa cinta atau daya tarik romantis terhadap Sulaiman. Bagi Aminah, pernikahan ini hanya merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anak.Aminah dan Sulaiman, duduk di pelaminan dihadapan tamu-tamu yang hadir. Mereka saling bertatap muka dengan perasaan campur aduk—gugup, harap, dan cemas. Rasa cinta mungkin akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Setiap langkah dan gerakan dalam upacara tersebut dipenuhi dengan simbol dan makna yang mendalam.Setelah upacara pernikahan selesai, diadakanlah resepsi yang meriah. Suasana penuh kegembiraan dan keceriaan menyambut pasangan baru tersebut. Aminah dan Sulaiman berjalan di tengah-tengah kerumunan, disambut dengan tepuk tangan dan sorakan dari para tamu yang mengucapkan selamat.Pada resepsi tersebut, Aminah menampilkan bakatnya dalam memasak dengan menyajikan hidangan-hidangan istimewa yang diciptakan sendiri. Setiap hidangan terasa lezat dan memikat lidah para tamu. Banyak yang terkagum-kagum dengan kemampuan memasak Aminah yang luar biasa. Dia memperoleh banyak pujian dan apresiasi atas keterampilannya yang luar biasa di dapur."Duh, pengantinnya kenapa ikut sibuk menyajikan makanan untuk tamu?" ujar salah seorang ibu yang mengenakan baju dress model zaman dulu, berwarna merah tua."Iya. Tadi udah dilarang, tapi Aminah kekeh ingin membantu. Katanya ingin menjamu tamu dengan baik," timpal seorang ibu lainnya."Masakan Aminah memang tidak diragukan lagi sih, Bu. Aminah memang pintar memasak, pernah ikut lomba masak dalam acara 17 Agustus." Seorang ibu yang berdiri di belakang Aminah menambahkan.Meskipun pernikahan ini bukan pilihan pribadinya, tetapi Aminah berusaha menjalani hari-harinya dengan bijaksana dan membawa kebahagiaan dalam setiap momen yang dilalui. Dia menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menerima situasi ini dan berusaha menjadikan pernikahannya sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar.Kehadiran Sulaiman, sang suami, juga memberikan kejutan positif bagi Aminah. Meskipun awalnya merasa canggung dan tidak akrab, tetapi mereka berdua mulai membangun hubungan yang baik satu sama lain."Kamu menyesal ya, nikah sama aku?" tanya Sulaiman sambil menatap Aminah dengan rasa bersalah.Aminah menundukkan pandangan meskipun Sulaiman sudah menjadi suaminya. "E-enggak kok. Kan sebagai anak, harus nurut sama orang tua kalau enggak mau dibilang durhaka," jawab Aminah dengan suara gemetar.Sulaiman memegang dagu Aminah, lalu mengangkat kepalanya agar Aminah menatapnya."Kamu tenang saja. Aku tidak akan pernah memaksakan apa pun tanpa seizinmu. Kalau kamu keberatan aku sentuh seperti ini pun, aku minta maaf." Sulaiman melepaskan tangannya.Aminah menghela napas pendek sambil menatap suaminya dalam-dalam. "Kenapa harus minta maaf? Kan kamu sudah menjadi suamiku. Jadi, kamu punya hak untuk menyentuhku, bahkan semua tubuhku ini pun sudah menjadi milikmu." Perasaan Aminah bergemuruh. Dia bahkan merasa jijik dengan ucapan yang baru saja dilontarkan dari bibirnya sendiri.Lalu, karena Aminah tak mampu berlama-lama menatap laki-laki yang berada di sampingnya itu. Dia pun mengalihkan pembicaraan."Emm, ada tamu tuh, yuk kita berdiri untuk menyambut mereka," ujar Aminah yang saat ini sudah berdiri.Sulaiman menelan ludahnya. Dia tersenyum tipis. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Mereka pun menyambut tamu dengan penuh senyuman. Mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa-doa yang diucapkan untuk mereka.Pada akhir acara pernikahan tersebut, Aminah menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana yang kita buat. Namun, dengan ketulusan hati, semangat yang kuat, dan kemampuan untuk menemukan keindahan dalam setiap situasi, dia mampu menciptakan kehidupan yang penuh arti dan kebahagiaan, bahkan dalam pernikahan yang diatur.***Di dalam kamar, tubuh Aminah bergetar. Dia sudah siap dengan pakaian terbaiknya untuk melayani sang suami. Dengan mata berkaca-kaca, Aminah terpaksa memberikan senyuman palsu dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada pria yang ada di hadapannya itu.Sulaiman duduk di sebelah Aminah, menatap Aminah dengan tatapan nafsu, sebagaimana seorang pria normal pada umumnya. Apalagi tubuh molek Aminah yang begitu menggoda dan warna kulit putihnya, menambah daya tarik tersendiri.Sulaiman menyentuh tubuh Aminah dengan lembut. Aminah menutup matanya dan merasakan sentuhan itu secara mendalam."Kamu benar-benar cantik, Aminah. Aku beruntung bisa memilikimu seutuhnya sebagai seorang suami."Sulaiman melanjutkan dengan suara bergetar, "Aku berharap kita bisa membina kehidupan yang bahagia bersama, Aminah. Aku berjanji akan melindungi dan menyayangimu sebaik mungkin."Aminah membuka matanya, tetapi ekspresinya masih terlihat penuh keraguan. Dia mencoba memberikan senyuman kecil, tetapi terlihat ragu-ragu. Sulaiman merasa kebingungan melihat reaksi Aminah."Sungguh, Aminah. Aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatmu bahagia. Aku mengerti bahwa pernikahan ini mungkin bukanlah yang kamu harapkan, tetapi aku berjanji akan memberikanmu kehidupan yang nyaman dan mendukung dalam setiap hal yang kamu inginkan.""Bukan mungkin, tapi memang pernikahan ini bukanlah yang aku inginkan!" Aminah membatin dan menatap Sulaiman dengan tatapan kosong, masih merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak dia pilih. Dia merasakan kekosongan di dalam hatinya, tetapi juga sadar bahwa dia harus mencoba untuk menjalani kehidupan ini dengan ikhlas."Sulaiman, aku menghargai usahamu. Aku berharap kita bisa saling mendukung dan memahami satu sama lain. Aku juga berharap bisa mengejar impian-impianku meskipun dalam pernikahan ini."Sulaiman merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Dia ingin Aminah merasa bahagia, meskipun dia juga merasakan ketidakcocokan di antara mereka. Dia menggenggam tangan Aminah dengan lembut."Aminah, kita akan mencari cara untuk menjalani pernikahan ini dengan baik. Aku akan selalu mendukungmu dalam mengejar impian-impianmu, dan aku berharap kita bisa membangun hubungan yang kuat dan harmonis."Meskipun masih terdapat ketidakpastian dalam hati mereka, Aminah dan Sulaiman berusaha untuk menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini dengan ikhlas dan saling mendukung. Hanya waktu yang akan menunjukkan bagaimana nasib hubungan mereka berjalan ke depan.Malam itu, Aminah melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri untuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Sulaiman merasakan kenikmatan yang didapat dalam tubuh Aminah. Berbeda dengan Aminah, meskipun sedang melayani suaminya, tetapi pikirannya berlarian ke berbagai arah.Aminah berharap, seiring berjalannya waktu, dia dapat menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dia berusaha untuk tetap setia dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang istri, tetapi di dalam hatinya, ada keinginan yang lebih besar untuk mengejar impian-impian dan kebebasannya.Tidak jarang, situasi seperti ini sering terjadi di berbagai budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Perjodohan yang dilakukan tanpa melibatkan keinginan dan perasaan individu dapat menyebabkan kehidupan pernikahan yang tidak bahagia dan tidak memuaskan. Penting untuk menghormati keinginan dan aspirasi individu, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk mengejar kebahagiaan dan kebebasannya sendiri.****Setiap kali memasak, Aminah melibatkan diri sepenuhnya dalam proses tersebut. Dia mempelajari resep-resep tradisional dari berbagai daerah, mencoba memahami teknik-teknik yang tersembunyi di balik setiap hidangan. Dengan penuh antusiasme, Aminah berkreasi, menambahkan bumbu-bumbu baru, dan menciptakan kombinasi rasa yang mengejutkan.Suatu sore, ketika Aminah sedang memasak di dapur, Sulaiman datang menghampirinya. Dia mencium aroma harum yang menyengat ruangan dan melihat Aminah sibuk dan sangat serius di depan kompor."Aroma itu begitu menggugah selera, Aminah. Apa yang kamu masak hari ini?" tanya Sulaiman sambil mengendus aroma masakan Aminah.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Sulaiman. Aku sedang mencoba resep baru dari daerah Sumatera. Ini adalah rendang yang diolah dengan bumbu-bumbu khas dan rempah-rempah segar."Sulaiman terkejut. "Rendang? Itu tidak seperti rendang biasanya. Kamu selalu berhasil membuat hidangan yang istimewa, Aminah."Aminah merasa sedikit gugup. "Aku
Suatu hari, Aminah tidak sengaja memecahkan pot bunga kesayangan ibu mertuanya. Aminah sangat ketakutan, tidak ada orang di dalam rumah, selain dirinya. Kedua mertuanya, Abbas dan Khadijah, sedang berkunjung ke suatu tempat. Maklum, orang kaya, jadi setiap harinya pasti banyak kesibukan. Mungkin selain takdir dari Allah, memang faktor kesibukan inilah yang menyebabkan Sulaiman menjadi anak tunggal. Begitu pikir Aminah sambil membereskan pecahan pot bunga tersebut.Sedangkan suaminya, apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dan sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Sulaiman pulang sampai larut malam kalau sudah berkumpul dengan teman-temannya, bahkan pernah tidak pulang.Belum selesai membersihkan pecahan pot bunga tersebut, mertua Aminah datang dengan mobil mewah pada eranya. Karena di tempat tinggalnya, belum banyak yang memiliki mobil pribadi.Khadijah menghampiri dengan muka masam. "Astaghfirullah. Ini ada apa, Aminah? Kenapa pot bunganya pecah begini?" tanyanya dengan nada ti
"Udah dapat belum pot bunganya? Pasti enggak ada, kan, pot bunga yang sama persis dengan yang kamu pecahkan kemarin?" Khadijah bertanya dengan wajah ketus sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong. Dia menikmati buah tersebut sambil menonton acara televisi. Kopi hangat pun sudah ada di meja, berikut camilan yang lainnya."Belum, Ma. Rencananya, hari ini aku akan mencari pot bunganya, meski tidak sama persis, apalagi kenangannya tidak akan tergantikan, tetapi setidaknya aku membelinya sebagai permintaan maaf kepada Mama." Aminah berpamitan setelah berbicara dengan ibu mertuanya tersebut.Aminah menghirup harum bunga mawar yang mengisi ruangan saat dia memandang pot bunga di meja makan. Dia membayangkan kalau itu adalah pot bunga yang tidak sengaja dipecahkan kemarin. Pot bunga itu memiliki warna cerah dan ornamen yang khas. Aminah pun tidak bisa menahan dorongan untuk menemukan pot bunga yang serupa."Aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang pot bunga itu sendiri, melainkan ten
Pada suatu hari, ketika Aminah hampir kehabisan harapan, dia memasuki sebuah toko bunga kecil di sudut jalan. Di tengah tumpukan pot-pot bunga yang berwarna-warni, matanya tertuju pada sebuah pot bunga yang berbeda dari yang lainnya. Pot bunga itu memiliki pola yang unik, dengan lukisan bunga-bunga berwarna-warni, dipadukan dengan aksen emas yang indah.Aminah merasa hatinya berdebar-debar saat melihat pot bunga tersebut. Dia merasa seperti menemukan pot bunga yang mirip dengan punya ibu mertuanya. Dengan penuh harap, dia mendekati penjual dan bertanya tentang pot bunga tersebut."Permisi, Pak. Saya tertarik ingin membeli pot bunga ini. Berapa harganya?" tanya Aminah dengan lembut."Oh, yang ini kebetulan tidak dijual, Neng. Soalnya sudah ada pemiliknya, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, memang tidak pernah diambil. Jadinya dipakai untuk sampel toko bunga saya ini," jelas seorang bapak pemilik toko bunga."Tapi saya sangat butuh pot bunga ini, Pak. Soalnya motifnya sama persis dengan
Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya."Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua."Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebenta
"Aminah ...! Aminah ...!" teriak Khadijah, seolah pendengaran menantunya bermasalah.Aminah yang sedang membersihkan peralatan masak di dapur karena habis memasak, langsung buru-buru menghampiri ibu mertuanya."I-iya, Ma. Ada apa?" Aminah bertanya dengan terbata-bata.Khadijah dengan gaya santainya, kaki kanan dinaikkan ke atas kaki kiri, menikmati camilan sambil menonton sinetron di kanal tv kesayangannya."Kamu dari tadi dipanggilan, kenapa lama banget, sih? Budek, ya? Lelet banget jadi orang!" bentak Khadija dengan suaranya yang menggema.Di rumah hanya ada mereka berdua karena suaminya (Sulaiman) dan ayah mertuanya (Abbas) sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang membela Aminah selama beberapa hari ke depan.Aminah merasa kaget dan sedikit ketakutan mendengar teguran Khadijah. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maafkan aku, Ma. Aku sedang asyik membersihkan dapur, jadi mungkin tidak mendengar saat dipanggil."Namun, Kha
Setelah dua bulan menikah, Aminah dan Sulaiman belum juga dikaruniai anak. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi dengan rasa bahagia karena mereka saling mencintai, tetapi kekosongan dalam perut Aminah menyebabkan cobaan datang menghampiri. Percikan api konflik mulai membakar keharmonisan mereka.Di ruang tamu rumah Aminah dan Sulaiman. Mereka duduk berdua di sofa sambil berbicara.Aminah sambil tersenyum. "Sulaiman, rasanya aku begitu bahagia menjadi istrimu. Sekarang kita saling mencintai dan memiliki mimpi-mimpi indah bersama."Sulaiman menanggapi dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu beruntung memilikimu, Aminah. Engkau adalah cahaya dalam hidupku dan setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah."Aminah tersenyum tapi tampak agak sedih. "Sulaiman, ada yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merasa sedih dan cemas dalam beberapa waktu terakhir."Sulaiman mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi, Aminah? Katakan padaku, kita bisa menghadapinya bersama-sama," tanyanya dengan
Di ruang tamu, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, saling berpegangan tangan.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu membuatku merasa tegar meskipun hidup penuh dengan drama dan banyak omongan buruk yang aku terima. Kamu benar-benar menepati janjimu kalau akan selalu ada untukku."Sulaiman tersenyum penuh kasih. "Sayang, aku sudah pernah katakan bahwa kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain, tapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya. Aku percaya pada kebaikanmu, Aminah."Aminah menggenggam tangan Sulaiman erat. "Aku juga percaya pada cintamu, Mas. Sebagai pasangan, yang dibutuhkan adalah saling menguatkan dalam menghadapi cobaan ini."Sulaiman mendekap Aminah dalam pelukannya. "Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama. Kita akan tetap bahagia, tanpa peduli apa yang orang lain katakan."Aminah tersenyum penuh keyakinan. "Ya, kita akan membuktikannya. Aku tahu rejeki dan keturunan adalah urusan dari Tuhan. Kita hanya perlu bersabar dan menjalani hidup
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A