"Udah dapat belum pot bunganya? Pasti enggak ada, kan, pot bunga yang sama persis dengan yang kamu pecahkan kemarin?" Khadijah bertanya dengan wajah ketus sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong. Dia menikmati buah tersebut sambil menonton acara televisi. Kopi hangat pun sudah ada di meja, berikut camilan yang lainnya.
"Belum, Ma. Rencananya, hari ini aku akan mencari pot bunganya, meski tidak sama persis, apalagi kenangannya tidak akan tergantikan, tetapi setidaknya aku membelinya sebagai permintaan maaf kepada Mama." Aminah berpamitan setelah berbicara dengan ibu mertuanya tersebut.Aminah menghirup harum bunga mawar yang mengisi ruangan saat dia memandang pot bunga di meja makan. Dia membayangkan kalau itu adalah pot bunga yang tidak sengaja dipecahkan kemarin. Pot bunga itu memiliki warna cerah dan ornamen yang khas. Aminah pun tidak bisa menahan dorongan untuk menemukan pot bunga yang serupa."Aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang pot bunga itu sendiri, melainkan tentang kenangan yang terkait dengan orang yang memberikannya dan aku harus menemukan pot bunga yang mirip," ujar Aminah yang percaya bahwa dengan menemukan pot bunga tersebut, dia bisa memperbaiki hubungan dengan ibu mertuanya.Dengan semangat yang membara, Aminah memulai pencariannya. Dia menjelajahi berbagai toko bunga di sekitar kota, memeriksa setiap rak dan meja yang dipenuhi dengan pot-pot bunga yang indah."Permisi, Pak. Ada pot bunga yang mirip seperti ini?" tanya Aminah sambil menunjukkan foto pot bunga milik ibu mertuanya di ponselnya.Pedagang pot bunga itu melihat dengan seksama. "Enggak ada, Neng. Tapi di sini banyak kok pot bunga yang bagus-bagus. Bisa dilihat-lihat dulu, Neng." Seorang bapak penjual bunga dan berbagai model pot bunga itu menawarkan kepada Aminah. Namun, Aminah tidak tertarik dan memilih mencari ke tempat lain."Oh, enggak ada ya, Pak? Ya udah, deh. Saya cari ke tempat lain dulu ya, Pak. Makasih, Pak," ujar Aminah. Lalu, melanjutkan perjalanannya.Di perjalanan yang panjang, Aminah merasakan kehausan yang semakin mengganggu. Sinar matahari yang terik membuat tenggorokannya terasa kering. Saat itu, Aminah tengah dalam perjalanan menggunakan kendaraan umum, karena mobil suami dan mertuanya sedang dipakai oleh mereka."Cuaca hari ini cukup panas. Sampai-sampai aku bermandian keringat. Kayaknya aku harus beli minum dulu, deh," ujar Aminah sambil melihat-lihat tempat jualan minuman.Melihat sebuah minimarket di pinggir jalan, Aminah memutuskan untuk berhenti sejenak dan membeli minuman serta roti. Dia memasuki minimarket dengan harapan bisa meredakan dahaganya. Saat itu, Aminah tidak hanya merasakan haus fisik, tapi juga rasa kerinduan yang mendalam terhadap kedua orang tuanya di kampung halaman.Sejak Aminah menikah, kedua orang tuanya belum pernah menjenguknya di kota tempat tinggalnya sekarang. Kehidupan mereka di kampung terpisah jauh oleh jarak dan keterbatasan finansial. Aminah merasa sedih karena dia merindukan kehangatan dan kasih sayang kedua orang tuanya.Sambil berjalan di lorong minimarket, Aminah melewati rak-rak yang dipenuhi dengan berbagai barang. Tatapan matanya tanpa sadar tertuju pada bingkisan-bingkisan makanan ringan yang mengingatkannya pada masa kecilnya di kampung. Dia merasa terharu dan mengenang momen-momen bahagia bersama kedua orang tuanya.Aminah memutuskan untuk membeli air minum dan roti, lalu duduk sejenak di sudut minimarket. Dalam keheningan yang tercipta, dia menghubungi kedua orang tuanya melalui panggilan video. Wajah ibunya yang lembut dan senyum hangat ayahnya muncul di layar ponselnya."Assalamualaikum, Mak, Yah! Bagaimana kabar kalian di sana?""Waalaikumsalam, Nak! Alhamdulillah, kami baik-baik saja di sini. Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?" tanya Sarah, emaknya Aminah dengan senyum sumringah."Alhamdulillah, Mak. Sekarang Aminah sedang dalam perjalanan, ada yang mau dibeli, tapi sekarang lagi rehat sejenak di sebuah minimarket." Aminah menghentikan ucapannya sejenak. Dia meneguk air mineral yang ada di dalam botol minuman pada genggaman tangannya. "Emm, aku merindukan kalian, Mak, Yah. Emak sama Ayah kapan ke sini? Soalnya aku mau pulang juga belum ada yang antar. Sulaiman masih sibuk dengan kerjaannya.""Kami juga merindukanmu, Nak. Ceritakanlah bagaimana perjalanan hidupmu di kota, tentang suamimu, dan kehidupan sehari-harimu," pinta Latif, ayahnya Aminah.Aminah dengan penuh rasa rindu mulai menceritakan perjalanan hidupnya selama di kota, lebih tepatnya setelah menikah."Baik, Mak, Yah. Jadi, suamiku bekerja di sebuah perusahaan sebagai insinyur.¹ Dia sangat rajin dan bertanggung jawab dengan tugasnya. Kami tinggal di rumah mewah dengan kedua orang tua Sulaiman. Sedangkan aku, ya apalagi kalau bukan menjadi ibu rumah tangga. Meskipun mendapatkan suami kaya raya, tetapi mertuaku tidak ingin mempekerjakan asisten rumah tangga karena banyak berita beredar bahwa ada ART yang kabur bawa uang majikan. Ada pula yang malah merebut suami majikannya. Macam-macam dah pokoknya, Mak, Yah. Ngeri banget kehidupan di kota ini. Mana kemarin ada berita anak SD dilecehkan oleh gurunya."Aminah merasakan hangatnya kasih sayang dari kedua orang tuanya yang terpancar melalui layar ponselnya. Percakapan mereka menjadi obat bagi kerinduan yang terpendam selama ini.Kedua orang tua Aminah memberikan semangat dan dorongan kepada putri mereka yang sedang merindukan kehangatan keluarga."Itu sangat hebat, Nak! Kami bangga padamu. Kami selalu mendoakan yang terbaik di setiap langkahmu. Artinya kamu masih ingat pesan kami agar selalu mengabdi pada suamimu. Kan perempuan itu emang kerjaannya melayani suami, enggak perlu sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana. Lagian, kita juga enggak punya uang buat biaya kamu kuliah. Beruntungnya ada yang mau nikahi kamu, duda kaya pula dan belum sempat punya anak karena keburu istri pertamanya meninggal. Kabar baiknya, anak kamu yang akan menjadi pewaris di keluarga suamimu." Sarah memang tidak pernah munafik soal harta. Mungkin karena sudah lelah hidup miskin di kampung dan ingin merasakan bagaimana hidup mewah. Mungkin ini salah satu alasannya ingin Aminah menikah muda."Emak juga berdoa, semoga kamu selalu dilindungi Allah, ya. Kehidupan di kota memang keras dan sungguh kejam. Emak dan ayah cuma bisa mendoakan yang terbaik untukmu di sana." Aminah menambahkan ucapannya dengan doa."Terima kasih, Mak. Mendengar suara kalian dan melihat wajah kalian di layar ponsel ini, membuatku merasa lebih baik. Aku merindukan kehangatan kasih sayang kalian." Aminah bicara dengan wajah sendu. Dia benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Saat ini dia butuh pelukan dari emak dan ayahnya untuk menyemangatinya lebih dalam. Apalagi ibu mertuanya ternyata terkadang bersifat bunglon."Kami juga merindukanmu, Nak. Kamu adalah kebanggaan kami. Tetaplah berusaha dan jangan pernah berhenti bermimpi. Kami selalu mendukungmu," ujar Latif dengan mengepalkan tangannya seraya tersenyum.Aminah tersenyum tipis. Dalam hatinya berkata, "Kalau selalu mendukung, lantas kenapa harus menjodohkanku di usia 18 tahun? Di mana masa-masa emas seseorang untuk mengejar impian. Kenapa, Mak, Yah? Kenapa? Mana dijodohkan sama seorang duda pula. Emang sih, kaya, tapi kan dia lebih tua 10 tahun dariku! Duh, enggak pernah menyangka, bisa nikah sama om-om!" Aminah menggelengkan kepalanya sambil menghela napas pendek."Aminah. Kamu baik-baik saja kan, Nak?" tanya Sarah, memastikan karena anaknya melamun.Aminah keluar dari lamunannya. "Iya, Yah. Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti kalian. Terima kasih sudah mengobati rasa rinduku dengan percakapan kita ini.""Nak, jangan khawatir. Kami akan segera berkunjung dan menemui kamu di kota tempat tinggalmu sekarang. Kita akan menghabiskan waktu bersama dan menciptakan momen indah."Kalimat pemberitahuan dari ibunda tercinta, menciptakan senyuman manis di wajah Aminah. Dia merasa sangat berbahagia mendengar kabar tersebut dan rasa kerinduannya sedikit terobati."Oh, sungguh? Aku sangat berbahagia mendengarnya, Mak! Aku tidak sabar untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama kalian di sini.""Kami juga tak sabar, Nak. Segera, kita akan merapatkan jarak ini dan menciptakan kebahagiaan bersama." Janji Latif."Terima kasih, Mak, Yah. Aku mencintai kalian dengan segenap hatiku.""Kami juga mencintaimu, Nak. Tetaplah kuat dan bersemangat. Kami selalu ada untukmu, baik dalam kehadiran fisik maupun di hatimu." Sarah berjanji dengan segenap hati."Jaga dirimu dengan baik, Nak. Sampai jumpa nanti di waktu yang tepat," ujar Latif, mengakhiri percakapannya."Sampai jumpa, Mak, Yah. Terima kasih atas segalanya. Salam sayang untuk semua keluarga di kampung." Aminah mengirim kecupan sayangnya dari layar telepon."Salam sayang juga untukmu dan suamimu, Nak. Hati-hati dalam perjalanan. Assalamualaikum." Sarah menutup percakapan tersebut."Waalaikumsalam, Mak, Yah. Terima kasih atas waktu luangnya."Setelah menutup panggilan video, Aminah merasa lebih kuat dan semangat untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Meskipun dia merindukan kedua orang tuanya, tetapi Aminah tahu bahwa mereka selalu ada di hatinya. Dengan rasa bersyukur dan harapan yang membara, Aminah kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuannya sambil membawa minuman dan roti yang baru saja dibeli.Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, karena dia melihat ada deretan toko bunga di sana. Namun, tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Pot-pot bunga yang ditemui tidak memiliki karakter yang sama seperti yang dimiliki oleh ibu mertuanya.Meskipun demikian, Aminah tidak menyerah. Dia mengunjungi toko bunga satu demi satu, berharap menemukan pot bunga yang memiliki cerita di baliknya. Dia bertanya kepada penjual tentang setiap pot bunga yang menarik minatnya, berharap mendapatkan petunjuk dan akan membawanya lebih dekat dengan pot bunga yang dicari."Ya Allah! Susah banget, ya, cari pot bunganya. Langka banget pot bunga yang mirip seperti punya mama." Aminah menggerutu sambil mengelap keringatnya.Kemudian, Aminah teringat sesuatu. "Oh iya, hampir saja aku lupa. Kan aku sudah janji sama mama kalau mau belanja kebutuhan pokok. Mau masak apa coba aku nanti kalau bahan makanannya pada habis." Dia pun bergegas mencari tempat perbelanjaan sayuran, minyak, dan keperluan dapur lainnya.Setelah hari mulai sore, Aminah memutuskan untuk pulang dan berjanji akan kembali mencari pot bunga yang diharapkan keesokan harinya. Aminah sangat optimis kalau dia pasti akan menemukan pot bunga serupa dengan yang dipecahkan kemarin.Aminah pulang memang tidak dengan tangan kosong karena satu janjinya kepada Khadijah sudah dipenuhi. Yah, walaupun belum mendapatkan pengganti pot bunga kesayangan milik mertuanya, tetapi dia sangat senang karena sudah berhasil berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Rasa rindunya terobati, meskipun melalui telepon.****Footnote:¹ Seorang insinyur dapat bekerja dalam hal desain dan pengembangan, pengujian, proses produksi, atau perawatan. Insinyur yang bekerja di pabrik, memiliki peran mengawasi proses produksi, menentukan penyebab kerusakan alat, dan menguji produk untuk menjaga kualitas.Pada suatu hari, ketika Aminah hampir kehabisan harapan, dia memasuki sebuah toko bunga kecil di sudut jalan. Di tengah tumpukan pot-pot bunga yang berwarna-warni, matanya tertuju pada sebuah pot bunga yang berbeda dari yang lainnya. Pot bunga itu memiliki pola yang unik, dengan lukisan bunga-bunga berwarna-warni, dipadukan dengan aksen emas yang indah.Aminah merasa hatinya berdebar-debar saat melihat pot bunga tersebut. Dia merasa seperti menemukan pot bunga yang mirip dengan punya ibu mertuanya. Dengan penuh harap, dia mendekati penjual dan bertanya tentang pot bunga tersebut."Permisi, Pak. Saya tertarik ingin membeli pot bunga ini. Berapa harganya?" tanya Aminah dengan lembut."Oh, yang ini kebetulan tidak dijual, Neng. Soalnya sudah ada pemiliknya, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, memang tidak pernah diambil. Jadinya dipakai untuk sampel toko bunga saya ini," jelas seorang bapak pemilik toko bunga."Tapi saya sangat butuh pot bunga ini, Pak. Soalnya motifnya sama persis dengan
Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya."Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua."Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebenta
"Aminah ...! Aminah ...!" teriak Khadijah, seolah pendengaran menantunya bermasalah.Aminah yang sedang membersihkan peralatan masak di dapur karena habis memasak, langsung buru-buru menghampiri ibu mertuanya."I-iya, Ma. Ada apa?" Aminah bertanya dengan terbata-bata.Khadijah dengan gaya santainya, kaki kanan dinaikkan ke atas kaki kiri, menikmati camilan sambil menonton sinetron di kanal tv kesayangannya."Kamu dari tadi dipanggilan, kenapa lama banget, sih? Budek, ya? Lelet banget jadi orang!" bentak Khadija dengan suaranya yang menggema.Di rumah hanya ada mereka berdua karena suaminya (Sulaiman) dan ayah mertuanya (Abbas) sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang membela Aminah selama beberapa hari ke depan.Aminah merasa kaget dan sedikit ketakutan mendengar teguran Khadijah. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maafkan aku, Ma. Aku sedang asyik membersihkan dapur, jadi mungkin tidak mendengar saat dipanggil."Namun, Kha
Setelah dua bulan menikah, Aminah dan Sulaiman belum juga dikaruniai anak. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi dengan rasa bahagia karena mereka saling mencintai, tetapi kekosongan dalam perut Aminah menyebabkan cobaan datang menghampiri. Percikan api konflik mulai membakar keharmonisan mereka.Di ruang tamu rumah Aminah dan Sulaiman. Mereka duduk berdua di sofa sambil berbicara.Aminah sambil tersenyum. "Sulaiman, rasanya aku begitu bahagia menjadi istrimu. Sekarang kita saling mencintai dan memiliki mimpi-mimpi indah bersama."Sulaiman menanggapi dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu beruntung memilikimu, Aminah. Engkau adalah cahaya dalam hidupku dan setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah."Aminah tersenyum tapi tampak agak sedih. "Sulaiman, ada yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merasa sedih dan cemas dalam beberapa waktu terakhir."Sulaiman mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi, Aminah? Katakan padaku, kita bisa menghadapinya bersama-sama," tanyanya dengan
Di ruang tamu, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, saling berpegangan tangan.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu membuatku merasa tegar meskipun hidup penuh dengan drama dan banyak omongan buruk yang aku terima. Kamu benar-benar menepati janjimu kalau akan selalu ada untukku."Sulaiman tersenyum penuh kasih. "Sayang, aku sudah pernah katakan bahwa kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain, tapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya. Aku percaya pada kebaikanmu, Aminah."Aminah menggenggam tangan Sulaiman erat. "Aku juga percaya pada cintamu, Mas. Sebagai pasangan, yang dibutuhkan adalah saling menguatkan dalam menghadapi cobaan ini."Sulaiman mendekap Aminah dalam pelukannya. "Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama. Kita akan tetap bahagia, tanpa peduli apa yang orang lain katakan."Aminah tersenyum penuh keyakinan. "Ya, kita akan membuktikannya. Aku tahu rejeki dan keturunan adalah urusan dari Tuhan. Kita hanya perlu bersabar dan menjalani hidup
Suasana di dalam kamar terasa hangat meskipun wajah berseri Aminah berubah murung. Setelah keluar dari kamar mandi, dia duduk di depan cermin dengan perasaan yang terlihat cemas. Sulaiman, suaminya, memperhatikan istrinya dengan penuh kasih, lalu mendekatinya dengan pelukan hangat dari belakang."Apalagi yang kamu khawatirkan, sayang?" bisik Sulaiman dengan lembut di telinga Aminah. "Kan sekarang kita sudah punya Zahra. Yah, walaupun bukan darah daging kita, tetapi kita bisa memperlakukan dia seperti anak kandung sendiri."Sambil memeluk erat tubuh Aminah, Sulaiman mencoba menenangkan hati istrinya yang sedang dilanda kegelisahan. Matanya penuh cinta ketika melihat Aminah yang sedang mencari dukungan dan pengertian."Aku takut saat mama pulang nanti, mama akan semakin marah kepadaku," desah Aminah, mencoba mengungkapkan ketakutannya. "Kan kamu tahu sendiri, aku serba salah di mata mama. Kayak enggak ada benernya deh hidupku dan apa yang sudah aku lakukan."Sulaiman dengan penuh pengert
Tiga hari telah berlalu, dan suasana haru menyambut kedatangan orang tua Sulaiman. Saat Khadijah turun dari mobil, pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang asyik bermain dengan kelinci di taman. Serunya, matahari menyinari momen yang seharusnya bahagia itu."Anak siapa ini yang main di rumah kita, Pa? Pasti adiknya si cewek kampung. Benar-benar tak kenal tempat, anak itu!" ujar Khadijah dengan nada pedas, matanya memandang anak kecil yang tak menyadari kelinci putih itu menginjak tanaman di taman."Hei, anak kampung! Sini kamu! Kenapa kamu di rumah saya, huh? Mau jadi maling, ya?" seru Khadijah, wajahnya memerah. "Lihat saja, dia cuma melihat, Pa. Padahal saya nggak bicara sama tanaman-tanaman di sini, kan?" Amarahnya semakin membara."Ma, sudahlah. Kenapa selalu menyalahkan Aminah? Mungkin itu anak tetangga yang kelincinya masuk ke rumah kita secara tak sengaja, dan dia mencoba menangkapnya," kata Abbas, berusaha menenangkan istrinya. "Lagipula, Ma, kamu baru pulang dan past
Sulaiman, dalam kelelahannya, mencoba meredakan emosinya. Namun, pertarungan keluarga ini tampaknya belum berakhir. Aminah, di tengah-tengah tangisannya, merasakan beban yang semakin berat.Hari itu, hujan di dalam hati keluarga Sulaiman mengalir tanpa henti. Mungkin, di antara tetesan air mata dan pertengkaran, ada harapan bahwa suatu saat cahaya kebahagiaan akan menyinari rumah itu.Aminah mengusap air matanya, membiarkan putrinya, Zahra, tertidur lelap. "Maafkan mama ya, Nak. Usiamu masih 3 tahun, tapi harus melihat pertengkaran di rumah ini. Mama harap, dengan kejadian hari ini, kamu tidak mengalami trauma." Aminah mengecup kening Zahra, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Dalam dapur yang sunyi, Aminah merasa beban berat masih melekat di pundaknya. Meskipun mencoba menjaga ketenangan, tetapi sorot matanya masih terbayang pertengkaran tadi. Sambil memotong sayuran, Aminah merenungi bagaimana kehadiran Zahra, yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah menjadi sumber k
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A