Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.
Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya."Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua."Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebentar lagi," ucap suaminya dengan penuh kasih sambil terus mencium leher Aminah.Aminah tertawa kecil. Dia merasa tersanjung dan dihargai atas perhatian suaminya yang begitu mesra. Meskipun mereka baru menikah satu bulan, tetapi keintiman seperti ini selalu membuat hatinya meleleh. Dia sangat bersyukur memiliki seorang suami yang begitu mencintainya dengan sepenuh hati."Apa yang membuatmu begitu perhatian pagi ini?" tanya Aminah sambil tetap berpegangan pada pelukan suaminya.Sulaiman menyelipkan tangannya di perut Aminah, lalu menjawab dengan lembut, "Aku hanya ingin memberikanmu sedikit kehangatan sebelum berangkat kerja. Kamu terlihat sibuk dan aku tahu kadang-kadang pikiranmu melayang jauh. Aku ingin membuatmu merasa nyaman dan diberi perhatian agar tidak stres."Aminah tersenyum lebih lebar, merasa terharu dengan kata-kata suaminya. Dia merasa sangat beruntung memiliki seseorang yang begitu memperhatikan dan menghargainya."Terima kasih, sayang. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa istimewa," ucap Aminah dengan penuh cinta.Suaminya menggenggam tangan Aminah dan membalikkan wajah istrinya agar mereka saling berhadapan. Dia memberikan ciuman lembut di kening Aminah dan berkata, "Kamu istimewa bagiku dan akan selalu menjadi yang teristimewa. Sekarang, ayo sarapan bersama! Kita bisa bicara lebih banyak lagi tentang apa yang mengganggu pikiranmu."Aminah merasa hatinya penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Bersama suaminya, dia tahu bahwa perjalanan hidupnya akan selalu dipenuhi dengan kasih sayang dan dukungan. Mereka berdua melangkah bersama menuju dapur, merangkul erat satu sama lain, siap menghadapi hari yang baru dengan semangat dan kebahagiaan.***Setelah sarapan, Aminah duduk sendirian di ruang tamu, merenung tentang apa yang bisa dia lakukan untuk menyegarkan hidupnya. Ide-ide pun mulai bergulir dalam benaknya. Dia memutuskan untuk menulis daftar hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kejenuhan dan memberi warna pada hidupnya.Sedangkan suaminya, sudah berangkat kerja sekitar satu jam yang lalu. Begitupun dengan ayah mertuanya. Sedangkan ibu mertuanya, mungkin sedang meditasi di kamarnya atau sedang kumpul dengan teman-teman sosialitanya. Soalnya Aminah sejak tadi belum melihat ibu mertuanya yang sungguh cerewet dan sangat perfectionist.Aminah mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen, lalu mulai menuliskan rencana-rencana barunya. Beberapa di antaranya adalah Aminah ingin mencari kegiatan sosial yang dapat membantu dia bertemu dengan orang-orang baru dan berbagi minat yang sama."Emm, mungkin aku bisa mencari klub olahraga, kelompok seni, atau komunitas sukarelawan yang menarik perhatian kali, ya?" Tangan kanan Aminah menopang dagu. Terlihat jelas kalau dia sedang berpikir apalagi matanya melirik ke atas.Aminah menyadari bahwa selalu ada ruang untuk belajar hal baru."Oh, aku tahu! Sepertinya aku harus mencari kursus atau pelatihan di bidang yang menarik minatku, seperti memasak, membaca buku, dan menulis." Senyum sumringah terpancar dari wajah Aminah.Aminah ingat bahwa dulu dia sangat menyukai menulis cerita pendek dan puisi. Dia berencana untuk menghidupkan kembali hobi tersebut dan mungkin mencoba untuk berbagi karya-karyanya secara online."Selain menulis, aku juga ingin menyalurkan bakat memasak. Apalagi kabarnya akan ada lomba memasak tingkat kabupaten/kota yang kemudian nantinya akan dikirim untuk lomba masak tingkat provinsi. Hmm, sepertinya menarik!" ujar Aminah sambil melihat-lihat kembali 'to do list' yang ditulis di buku agendanya.Selain itu, karena Aminah merasa belum banyak menjelajahi kota tempat tinggalnya, jadi dia ingin mencari tempat-tempat menarik, seperti museum atau tempat wisata yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.Aminah juga berniat ingin mencoba hal-hal baru yang bisa menantang dirinya, seperti hiking, berkemah, atau mengikuti kegiatan petualangan. Namun, Aminah menyadari bahwa kadang-kadang dia perlu waktu untuk bersantai dan merenung. Dia ingin menyisihkan waktu untuk meditasi, yoga, atau hanya sekadar menikmati ketenangan alam."Eh, tapi aku juga perlu membuat pikiran rileks dengan meditasi atau melakukan yoga seperti mama mertua. Daripada stres mikirin mimpi yang entah kapan terwujud. Huft!" Aminah menghela napas berat.Setelah menulis daftar tersebut, Aminah merasa semangatnya mulai kembali. Dia merasa memiliki rencana untuk menghadapi kejenuhan dan memberikan warna baru pada hidupnya.Dengan tekad yang kuat, dia pun memulai perubahan kecil dalam rutinitasnya, berharap bahwa langkah-langkah tersebut akan membawanya pada pengalaman hidup yang lebih berarti dan memuaskan."Oke, sekarang lebih baik aku meditasi dulu." Aminah duduk bersila di lantai kamarnya, menghirup napas dalam-dalam, lalu dibuang. Dia melakukannya secara berulang.Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah luar rumah. Aminah melihat ke arah jendela dan melihat ibu mertuanya, Khadijah, datang dengan mobil mewahnya. Klakson mobil terdengar jelas memberi tanda kedatangan mereka.Namun, yang mengejutkan adalah Khadijah tidak datang sendirian. Dia membawa rombongan sosialitanya, tampak dari penampilan mereka yang serba glamor. Mereka mengenakan pakaian modis dan mahal, terlihat seperti para selebriti di acara kelas atas. Aminah merasa agak kaget melihat pemandangan itu, sebab gaya hidup yang demikian seringkali terkesan mewah dan hedon.Aminah mengirimkan pesan ke suaminya, memberitahukan hal tersebut. "Mas. Mama sudah pulang, tapi bawa rombongan. Kayak mau ada acara ibu-ibu arisan aja," ujarnya sambil memperhatikan para wanita sosialita itu.Suaminya yang sudah terbiasa dengan kedatangan ibunya bersama rombongan tersebut, hanya tersenyum dan membalas pesan Aminah dengan senyuman dan berkata, "Sepertinya mama membawa para sahabatnya untuk berkunjung. Biasalah, emak-emak rempong. Paling juga mau ngomongin arisan atau adu harta kekayaan."Aminah mengangguk, mencoba menenangkan diri setelah membaca balasan pesan dari suaminya. Meskipun dia tak sepenuhnya nyaman dengan gaya hidup hedonistik ibu mertuanya, tetapi Aminah berusaha untuk selalu menghargai dan menghormati."Hmm, gitu ya, Mas? Ya udah, deh, aku keluar kamar dulu. Mau nyambut mereka. Kamu jangan lupa makan, ya. Kan tadi udah aku bawakan bekal," ujar Aminah mengakhiri percakapan dengan suaminya.***Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka lebar, Khadijah bersama rombongan sosialitanya masuk dengan riuh. Mereka memberi salam dan senyum yang ramah, tetapi Aminah merasa terdapat kesenjangan antara dirinya dan teman-teman ibu mertuanya itu. Mereka seringkali membicarakan hal-hal yang agak jauh dari nilai-nilai sederhana yang dia pelajari dan terapkan dalam kehidupannya."Jeng, ini menantu yang kamu ceritakan itu, ya?" tanya perempuan berambut pendek dengan memakai perhiasan seperti toko mas berjalan.Aminah tersenyum tipis."Iya, Jeng. Ya udahlah, enggak penting. Yuk, kita masuk dulu," kata Khadijah yang berjalan menuju ruang tamu, diikuti teman-temannya.Selama kunjungan itu, mereka bercerita tentang peristiwa-peristiwa sosial yang penuh gemerlap dan kehebohan. Aminah berusaha ikut serta dalam percakapan, tetapi terkadang dia merasa sulit menyambungkan hubungan dengan topik-topik yang mereka bahas.Meskipun begitu, Aminah berusaha bertoleransi dan berbicara dengan sopan. Dia tahu bahwa ibu mertuanya adalah orang yang baik dan menyayanginya. Meskipun gaya hidup mereka berbeda, tetapi Aminah berusaha mencari titik temu dan menghargai perbedaan tersebut.Di pertengahan percakapan mereka, ada salah satu ibu-ibu yang berceletuk dan membuat Aminah merasa direndahkan."Oh iya, ngomong-ngomong, Aminah lulusan kuliah di mana? Pasti lulusan luar negeri juga ya, seperti Sulaiman. Kan Sulaiman lulusan Universitas Harvard. Kalian dulu ketemu di kampus, ya?" tanya seorang ibu sambil memakan kue yang dihidangkan oleh Aminah satu jam lalu.Aminah tersenyum tipis. Hembusan napasnya menandakan kalau dia tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.Belum lagi, Khadijah mengambil kesempatan untuk mempermalukan Aminah. Dia tertawa terbahak-bahak. "Aminah kuliah di luar negeri? Universitas Harvard? Anak kampung sepertinya mana sanggup bayar kuliah dan kehidupan di luar negeri, Jeng. Lagian, dia juga cuma lulusan SMA. Terus nikah sama anak saya karena dijodohkan.?""Lah, Jeng Khadijah gimana, sih? Kok anaknya dibiarkan menikah dengan anak kampung yang hanya lulusan SMA, sih? Padahal kan Sulaiman bisa mendapatkan perempuan yang lebih berkelas di luar negeri sana." Teman Khadijah yang lain menimpali."Yah, biasalah, Jeng. Saya juga heran, kenapa coba suami saya mau-maunya aja menjodohkan anak kami dengan anak kampung sepertinya. Kayak enggak ada gadis lain saja yang bisa dijadikan menantu. Kan bibit, bebet, dan bobot itu sangat penting ya, Jeng," jawab Khadijah sambil tertawa puas. Sifat Khadijah memang benar-benar seperti bunglon yang suka berubah-ubah.Rombongan ibu-ibu sosialita itu menertawakan Aminah, seolah-olah anak kampung tidak pernah pantas untuk mengenyam pendidikan perkuliahan, apalagi sampai ke luar negeri. Padahal mereka belum tahu, kalau sebenarnya Aminah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kampus Universitas Oxford.Tatapan Aminah berkaca-kaca, hatinya terluka oleh ucapan ibu mertuanya yang menyakitkan. Khadijah seolah tak menyadari bahwa kata-katanya telah menimbulkan luka dalam di hati menantunya. Meskipun berusaha menahan air mata, tetesan-tetesan air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya.Tanpa berkata sepatah kata pun, Aminah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Suaminya yang saat itu pulang karena ada beberapa berkas yang ketinggalan, dia ingin mengejar dan menenangkannya, tetapi dia tahu bahwa Aminah butuh waktu dan ruang untuk merenungkan perasaannya.Setibanya di dalam kamar, Aminah membiarkan dirinya hanyut dalam tangisan. Hatinya terasa hancur, merasa tidak dihargai dan dianggap rendah oleh ibu mertuanya. Dia merenung tentang bagaimana dia telah berusaha berdamai dengan perbedaan gaya hidup mereka, tetapi ucapan Khadijah selalu membuatnya merasa seperti orang asing.Suaminya akhirnya memutuskan untuk memberi Aminah waktu sendiri untuk merenung dan beristirahat. Dia memahami bahwa perkataan ibunya bisa terlalu pedas dan dia tidak ingin memperburuk situasi dengan mencoba menenangkan Aminah dengan paksa."Eh, Sulaiman sudah pulang," sapa seorang ibu yang memakai perhiasan seperti toko mas berjalan.Sulaiman tidak menanggapi sapaan teman mamanya itu. Tatapannya ke arah wanita yang melahirkannya 28 tahun lalu itu. "Mama benar-benar keterlaluan!" Dia pun melangkah ke arah kamarnya dan Aminah.Beberapa jam kemudian, suami Aminah perlahan-lahan membuka pintu kamar dan menemukan istrinya yang duduk termenung di tepi tempat tidur. Dia duduk di sampingnya, mengusap lembut punggung Aminah dengan penuh kasih sayang."Aku minta maaf atas ucapan mamaku, sayang," ucap Sulaiman dengan suara lembut.Aminah menoleh ke arah suaminya, wajahnya masih menyimpan bekas kesedihan. "Aku tahu kamu tidak bertanggung jawab atas ucapan mamamu. Tapi kadang, rasanya begitu sulit untuk bertahan dengan perbedaan ini," ujar Aminah dengan nada sedih.Suaminya menggenggam erat tangan Aminah, "Aku mengerti, sayang. Tapi tolong ingat, aku akan selalu ada di sisimu. Kita akan melewati ini bersama-sama. Mamaku mungkin berbeda dalam gaya hidup, tapi dia tetap keluarga kita. Aku akan berbicara dengannya dan mencoba menjelaskan perasaanmu."Aminah mengangguk, menghargai dukungan dan pengertian suaminya. Dia merasa lega memiliki seseorang yang memahaminya dan selalu berada di sisinya.Dengan saling berpegangan tangan, Aminah dan suaminya menghadapi tantangan yang ada di depan mereka. Meskipun perbedaan bisa menjadi ujian, mereka berdua berkomitmen untuk terus mencintai dan saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup mereka sebagai pasangan.Setelah rombongan sosialitas beranjak pulang, suasana rumah kembali tenang. Aminah duduk di dekat jendela, merenungkan kunjungan tersebut. Meskipun ada perbedaan antara mereka, dia berjanji untuk tetap berbuka hati dan mencoba memahami dunia ibu mertuanya. Dia percaya bahwa dengan saling menghargai dan berusaha memahami, mereka bisa mempererat hubungan keluarga dan menghadapi perbedaan hidup dengan bijaksana.Sulaiman masuk ke dalam kamar dengan hati-hati, menemui ibunya, Khadijah, yang sedang duduk di sana. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan bijaksana agar pesannya dapat diterima oleh ibunya."Mama, bolehkah aku bicara denganmu sejenak?" ucap Sulaiman dengan lembut.Khadijah menoleh dan tersenyum ketika melihat anaknya. "Tentu, sayang. Ada apa?"Sulaiman duduk di samping ibunya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku ingin bicara tentang Aminah, Mama. Aku tahu perbedaan gaya hidupnya bisa membuatmu merasa sulit menerima kehadiran dia di keluarga kita. Tapi Aminah adalah istriku dan sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kita."Khadijah mendengarkan dengan serius, mengenali bahwa putranya ingin membahas sesuatu yang penting baginya.Sulaiman melanjutkan, "Aku mengerti bahwa Mama dan Aminah mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi aku berharap kita semua bisa mencoba menghargai dan menghormati perbedaan itu. Aminah adalah wanita yang hebat dan berusaha keras untuk mendukung hidup kita bersama."Khadijah mengangguk, menyerap kata-kata putranya. "Kamu benar, sayang. Aku seharusnya lebih bijaksana dalam menyikapi kehadiran Aminah di keluarga kita. Aku memang berbeda dengannya dalam banyak hal, tapi aku akan berusaha untuk menghormati peran dan posisinya sebagai menantu."Sulaiman tersenyum lega mendengar jawaban ibunya. "Terima kasih, Mama. Aku tahu bukan hal yang mudah, tapi aku berharap kita bisa menjalani hidup ini dengan kebahagiaan dan harmoni bersama-sama."Khadijah memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. "Tentu, Sayang. Aku akan mencoba lebih terbuka dan menghargai Aminah dengan baik. Dia adalah pilihan hatimu dan aku ingin kalian bahagia bersama."Namun, dalam hatinya berkata lain, "Aminah ini pintar banget mencari muka di depan anak saya. Awas kamu, Aminah. Entah apa yang sudah kamu katakan di depan anak saya." Sorot matanya tajam, seakan menyimpan dendam. Padahal dia memang bersalah karena sudah melukai hati Aminah dengan merendahkan dan mempermalukan di depan teman-temannya.Dari percakapan tersebut, Sulaiman merasa lega dan bahagia. Dia tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan cepat, tapi dia yakin ibunya akan berusaha untuk lebih menerima Aminah sebagai anggota keluarga dengan baik.Setelah itu, Sulaiman memutuskan untuk kembali menemui Aminah di dalam kamar. Dia menemukan istrinya masih duduk sendiri, tetapi senyum lembut telah kembali muncul di wajahnya."Aku berbicara dengan Mama," ucap Sulaiman sambil duduk di samping Aminah."Apa yang mama katakan?" tanya Aminah, rasa penasaran terpancar dari matanya.Sulaiman tersenyum. "Mama akan berusaha lebih menghargai dan menerimamu sebagai menantunya. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menghadapi ini bersama, sayang. Percayalah padaku!"Aminah merasa haru mendengar kabar itu. Dia menggenggam tangan suaminya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, Sayang. Aku tahu kamu selalu berusaha untuk menjembatani perbedaan antara kami."Sulaiman mencium kening Aminah dengan penuh cinta. "Sebagai pasangan, kita akan saling mendukung dan mencintai satu sama lain, tak peduli apa pun yang terjadi."Mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang masa depan dan harapan ke depannya. Mereka tahu bahwa setiap perjalanan memiliki rintangan, tetapi dengan saling mencintai dan mendukung, mereka bisa melewati segala kesulitan bersama-sama.Lalu, tiba-tiba Sulaiman membahas tentang anak."Mungkin kalau kita sudah punya anak, sifat mama akan berubah. Gimana kalau sekarang kita ...."Belum melanjutkan kalimatnya, Aminah memahami apa yang dimaksud suaminya itu.Sambil menyeka air mata, Aminah mengangguk. "Semoga demikian. Ayo kita wujudkan!"Lalu, mereka pun berusaha untuk mewujudkan ide dari Sulaiman. Semoga usaha mereka kali ini berhasil. Semua atas izin Allah, Maha Pemberi Rezeki. Karena anak merupakan rezeki dari Allah, itu sebabnya mereka hanya bisa berikhtiar, sisanya biar Allah yang menentukan kapan mereka diberikan amanah untuk memiliki anak.****"Aminah ...! Aminah ...!" teriak Khadijah, seolah pendengaran menantunya bermasalah.Aminah yang sedang membersihkan peralatan masak di dapur karena habis memasak, langsung buru-buru menghampiri ibu mertuanya."I-iya, Ma. Ada apa?" Aminah bertanya dengan terbata-bata.Khadijah dengan gaya santainya, kaki kanan dinaikkan ke atas kaki kiri, menikmati camilan sambil menonton sinetron di kanal tv kesayangannya."Kamu dari tadi dipanggilan, kenapa lama banget, sih? Budek, ya? Lelet banget jadi orang!" bentak Khadija dengan suaranya yang menggema.Di rumah hanya ada mereka berdua karena suaminya (Sulaiman) dan ayah mertuanya (Abbas) sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang membela Aminah selama beberapa hari ke depan.Aminah merasa kaget dan sedikit ketakutan mendengar teguran Khadijah. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maafkan aku, Ma. Aku sedang asyik membersihkan dapur, jadi mungkin tidak mendengar saat dipanggil."Namun, Kha
Setelah dua bulan menikah, Aminah dan Sulaiman belum juga dikaruniai anak. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi dengan rasa bahagia karena mereka saling mencintai, tetapi kekosongan dalam perut Aminah menyebabkan cobaan datang menghampiri. Percikan api konflik mulai membakar keharmonisan mereka.Di ruang tamu rumah Aminah dan Sulaiman. Mereka duduk berdua di sofa sambil berbicara.Aminah sambil tersenyum. "Sulaiman, rasanya aku begitu bahagia menjadi istrimu. Sekarang kita saling mencintai dan memiliki mimpi-mimpi indah bersama."Sulaiman menanggapi dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu beruntung memilikimu, Aminah. Engkau adalah cahaya dalam hidupku dan setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah."Aminah tersenyum tapi tampak agak sedih. "Sulaiman, ada yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merasa sedih dan cemas dalam beberapa waktu terakhir."Sulaiman mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi, Aminah? Katakan padaku, kita bisa menghadapinya bersama-sama," tanyanya dengan
Di ruang tamu, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, saling berpegangan tangan.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu membuatku merasa tegar meskipun hidup penuh dengan drama dan banyak omongan buruk yang aku terima. Kamu benar-benar menepati janjimu kalau akan selalu ada untukku."Sulaiman tersenyum penuh kasih. "Sayang, aku sudah pernah katakan bahwa kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain, tapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya. Aku percaya pada kebaikanmu, Aminah."Aminah menggenggam tangan Sulaiman erat. "Aku juga percaya pada cintamu, Mas. Sebagai pasangan, yang dibutuhkan adalah saling menguatkan dalam menghadapi cobaan ini."Sulaiman mendekap Aminah dalam pelukannya. "Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama. Kita akan tetap bahagia, tanpa peduli apa yang orang lain katakan."Aminah tersenyum penuh keyakinan. "Ya, kita akan membuktikannya. Aku tahu rejeki dan keturunan adalah urusan dari Tuhan. Kita hanya perlu bersabar dan menjalani hidup
Suasana di dalam kamar terasa hangat meskipun wajah berseri Aminah berubah murung. Setelah keluar dari kamar mandi, dia duduk di depan cermin dengan perasaan yang terlihat cemas. Sulaiman, suaminya, memperhatikan istrinya dengan penuh kasih, lalu mendekatinya dengan pelukan hangat dari belakang."Apalagi yang kamu khawatirkan, sayang?" bisik Sulaiman dengan lembut di telinga Aminah. "Kan sekarang kita sudah punya Zahra. Yah, walaupun bukan darah daging kita, tetapi kita bisa memperlakukan dia seperti anak kandung sendiri."Sambil memeluk erat tubuh Aminah, Sulaiman mencoba menenangkan hati istrinya yang sedang dilanda kegelisahan. Matanya penuh cinta ketika melihat Aminah yang sedang mencari dukungan dan pengertian."Aku takut saat mama pulang nanti, mama akan semakin marah kepadaku," desah Aminah, mencoba mengungkapkan ketakutannya. "Kan kamu tahu sendiri, aku serba salah di mata mama. Kayak enggak ada benernya deh hidupku dan apa yang sudah aku lakukan."Sulaiman dengan penuh pengert
Tiga hari telah berlalu, dan suasana haru menyambut kedatangan orang tua Sulaiman. Saat Khadijah turun dari mobil, pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang asyik bermain dengan kelinci di taman. Serunya, matahari menyinari momen yang seharusnya bahagia itu."Anak siapa ini yang main di rumah kita, Pa? Pasti adiknya si cewek kampung. Benar-benar tak kenal tempat, anak itu!" ujar Khadijah dengan nada pedas, matanya memandang anak kecil yang tak menyadari kelinci putih itu menginjak tanaman di taman."Hei, anak kampung! Sini kamu! Kenapa kamu di rumah saya, huh? Mau jadi maling, ya?" seru Khadijah, wajahnya memerah. "Lihat saja, dia cuma melihat, Pa. Padahal saya nggak bicara sama tanaman-tanaman di sini, kan?" Amarahnya semakin membara."Ma, sudahlah. Kenapa selalu menyalahkan Aminah? Mungkin itu anak tetangga yang kelincinya masuk ke rumah kita secara tak sengaja, dan dia mencoba menangkapnya," kata Abbas, berusaha menenangkan istrinya. "Lagipula, Ma, kamu baru pulang dan past
Sulaiman, dalam kelelahannya, mencoba meredakan emosinya. Namun, pertarungan keluarga ini tampaknya belum berakhir. Aminah, di tengah-tengah tangisannya, merasakan beban yang semakin berat.Hari itu, hujan di dalam hati keluarga Sulaiman mengalir tanpa henti. Mungkin, di antara tetesan air mata dan pertengkaran, ada harapan bahwa suatu saat cahaya kebahagiaan akan menyinari rumah itu.Aminah mengusap air matanya, membiarkan putrinya, Zahra, tertidur lelap. "Maafkan mama ya, Nak. Usiamu masih 3 tahun, tapi harus melihat pertengkaran di rumah ini. Mama harap, dengan kejadian hari ini, kamu tidak mengalami trauma." Aminah mengecup kening Zahra, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Dalam dapur yang sunyi, Aminah merasa beban berat masih melekat di pundaknya. Meskipun mencoba menjaga ketenangan, tetapi sorot matanya masih terbayang pertengkaran tadi. Sambil memotong sayuran, Aminah merenungi bagaimana kehadiran Zahra, yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah menjadi sumber k
Malam itu, suasana kamar penuh dengan ketenangan. Lampu remang-remang menyinari ruangan, menciptakan atmosfer yang hangat. Aminah duduk di tepi tempat tidur, pandangannya melayang ke jendela, menampilkan langit malam yang penuh bintang.Sulaiman keluar dari kamar mandi, melihat istrinya yang terlihat sedang berpikir. Langkahnya lembut saat mendekati Aminah."Sayang, apa yang membuatmu merenung seperti ini?" tanya Sulaiman.Aminah mengalihkan pandangan. "Entahlah, banyak hal yang aku pikirkan. Semua perubahan ini, kadang membuatku cemas."Sulaiman duduk di samping Aminah. "Sayang, bukankah sudah aku katakan berkali-kali kalau aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita akan melaluinya bersama-sama. Kamu yang sabar, ya."Aminah tersenyum tipis, mencoba menyingkirkan rasa gelisahnya. Suasana kamar terasa hangat dan penuh empati. Mereka, dalam keheningan malam, saling merangkul dalam diam, membiarkan kebersamaan mereka menjadi pijakan dalam menghadapi perjalanan baru
Keesokan harinya, suasana di rumah masih tenang. Aminah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan dengan penuh kehangatan. Sulaiman, di sisi lain, bersiap-siap di kamar untuk memulai hari kerjanya. Di kamar sebelah, mertua Aminah juga terlihat sedang bersiap.Zahra, sang anak, masih tertidur pulas di kamarnya. Suasana damai dan keharmonisan terasa begitu kental, memberikan awal yang tenang untuk hari yang baru bagi keluarga mereka. Semuanya berjalan dengan rutinitasnya masing-masing, menciptakan ritme kehidupan yang seimbang di dalam rumah itu.Sulaiman, setelah bersiap, turun ke ruang makan. Tatapannya bertemu dengan Aminah yang sibuk menyusun hidangan sarapan di meja. Mereka saling tersenyum, merasakan kehangatan hubungan keduanya di pagi yang cerah itu."Sarapan apa hari ini, sayang?" tanya Sulaiman sambil mencium aroma harum masakan di dapur."Aku buat bubur ayam dan beberapa kue kering, sayang. Sederhana saja," jawab Aminah sambil menyajikan bubur ayam di piring Sulaiman.Mereka duduk b
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A