Aminah yang sedang enak makan, langsung berdiri ketika mendengar pengumuman dari kedua orang tuanya."Apa? Dijodohin? Emangnya zaman Siti Nurbaya apa, ya, pakai acara dijodohin segala? Mak, Yah, aku ini udah besar, bisa menentukan pilihan sendiri! Enggak perlu dijodoh-jodohin segala!" ujar Aminah dengan nada tinggi.Suasana di ruang makan begitu tegang melebihi tegangan listrik. Terik matahari, tak sepanas suasana yang sedang terjadi di rumah kediaman Bapak Abdul Latif (ayah Aminah)."Lagian kamu setelah lulus SMA, emangnya mau ke mana? Kuliah? Anak perempuan itu enggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga ngurus dapur, sumur, dan kasur," ujar Sarah Azhari (emaknya Aminah) dengan perasaan marah karena anaknya menolak perjodohan."Emak sama Ayah khawatir dengan biaya kuliahku, kan? Makanya memilih untuk menjodohkan aku dengan laki-laki yang jarak usianya jauh banget sama aku. Masa aku nikahnya sama om-om! Apa kata teman-temanku, Ma? Malu tahu!" Aminah terus memberontak
Setiap kali memasak, Aminah melibatkan diri sepenuhnya dalam proses tersebut. Dia mempelajari resep-resep tradisional dari berbagai daerah, mencoba memahami teknik-teknik yang tersembunyi di balik setiap hidangan. Dengan penuh antusiasme, Aminah berkreasi, menambahkan bumbu-bumbu baru, dan menciptakan kombinasi rasa yang mengejutkan.Suatu sore, ketika Aminah sedang memasak di dapur, Sulaiman datang menghampirinya. Dia mencium aroma harum yang menyengat ruangan dan melihat Aminah sibuk dan sangat serius di depan kompor."Aroma itu begitu menggugah selera, Aminah. Apa yang kamu masak hari ini?" tanya Sulaiman sambil mengendus aroma masakan Aminah.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Sulaiman. Aku sedang mencoba resep baru dari daerah Sumatera. Ini adalah rendang yang diolah dengan bumbu-bumbu khas dan rempah-rempah segar."Sulaiman terkejut. "Rendang? Itu tidak seperti rendang biasanya. Kamu selalu berhasil membuat hidangan yang istimewa, Aminah."Aminah merasa sedikit gugup. "Aku
Suatu hari, Aminah tidak sengaja memecahkan pot bunga kesayangan ibu mertuanya. Aminah sangat ketakutan, tidak ada orang di dalam rumah, selain dirinya. Kedua mertuanya, Abbas dan Khadijah, sedang berkunjung ke suatu tempat. Maklum, orang kaya, jadi setiap harinya pasti banyak kesibukan. Mungkin selain takdir dari Allah, memang faktor kesibukan inilah yang menyebabkan Sulaiman menjadi anak tunggal. Begitu pikir Aminah sambil membereskan pecahan pot bunga tersebut.Sedangkan suaminya, apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dan sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Sulaiman pulang sampai larut malam kalau sudah berkumpul dengan teman-temannya, bahkan pernah tidak pulang.Belum selesai membersihkan pecahan pot bunga tersebut, mertua Aminah datang dengan mobil mewah pada eranya. Karena di tempat tinggalnya, belum banyak yang memiliki mobil pribadi.Khadijah menghampiri dengan muka masam. "Astaghfirullah. Ini ada apa, Aminah? Kenapa pot bunganya pecah begini?" tanyanya dengan nada ti
"Udah dapat belum pot bunganya? Pasti enggak ada, kan, pot bunga yang sama persis dengan yang kamu pecahkan kemarin?" Khadijah bertanya dengan wajah ketus sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong. Dia menikmati buah tersebut sambil menonton acara televisi. Kopi hangat pun sudah ada di meja, berikut camilan yang lainnya."Belum, Ma. Rencananya, hari ini aku akan mencari pot bunganya, meski tidak sama persis, apalagi kenangannya tidak akan tergantikan, tetapi setidaknya aku membelinya sebagai permintaan maaf kepada Mama." Aminah berpamitan setelah berbicara dengan ibu mertuanya tersebut.Aminah menghirup harum bunga mawar yang mengisi ruangan saat dia memandang pot bunga di meja makan. Dia membayangkan kalau itu adalah pot bunga yang tidak sengaja dipecahkan kemarin. Pot bunga itu memiliki warna cerah dan ornamen yang khas. Aminah pun tidak bisa menahan dorongan untuk menemukan pot bunga yang serupa."Aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang pot bunga itu sendiri, melainkan ten
Pada suatu hari, ketika Aminah hampir kehabisan harapan, dia memasuki sebuah toko bunga kecil di sudut jalan. Di tengah tumpukan pot-pot bunga yang berwarna-warni, matanya tertuju pada sebuah pot bunga yang berbeda dari yang lainnya. Pot bunga itu memiliki pola yang unik, dengan lukisan bunga-bunga berwarna-warni, dipadukan dengan aksen emas yang indah.Aminah merasa hatinya berdebar-debar saat melihat pot bunga tersebut. Dia merasa seperti menemukan pot bunga yang mirip dengan punya ibu mertuanya. Dengan penuh harap, dia mendekati penjual dan bertanya tentang pot bunga tersebut."Permisi, Pak. Saya tertarik ingin membeli pot bunga ini. Berapa harganya?" tanya Aminah dengan lembut."Oh, yang ini kebetulan tidak dijual, Neng. Soalnya sudah ada pemiliknya, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, memang tidak pernah diambil. Jadinya dipakai untuk sampel toko bunga saya ini," jelas seorang bapak pemilik toko bunga."Tapi saya sangat butuh pot bunga ini, Pak. Soalnya motifnya sama persis dengan
Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya."Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua."Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebenta
"Aminah ...! Aminah ...!" teriak Khadijah, seolah pendengaran menantunya bermasalah.Aminah yang sedang membersihkan peralatan masak di dapur karena habis memasak, langsung buru-buru menghampiri ibu mertuanya."I-iya, Ma. Ada apa?" Aminah bertanya dengan terbata-bata.Khadijah dengan gaya santainya, kaki kanan dinaikkan ke atas kaki kiri, menikmati camilan sambil menonton sinetron di kanal tv kesayangannya."Kamu dari tadi dipanggilan, kenapa lama banget, sih? Budek, ya? Lelet banget jadi orang!" bentak Khadija dengan suaranya yang menggema.Di rumah hanya ada mereka berdua karena suaminya (Sulaiman) dan ayah mertuanya (Abbas) sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang membela Aminah selama beberapa hari ke depan.Aminah merasa kaget dan sedikit ketakutan mendengar teguran Khadijah. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maafkan aku, Ma. Aku sedang asyik membersihkan dapur, jadi mungkin tidak mendengar saat dipanggil."Namun, Kha
Setelah dua bulan menikah, Aminah dan Sulaiman belum juga dikaruniai anak. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi dengan rasa bahagia karena mereka saling mencintai, tetapi kekosongan dalam perut Aminah menyebabkan cobaan datang menghampiri. Percikan api konflik mulai membakar keharmonisan mereka.Di ruang tamu rumah Aminah dan Sulaiman. Mereka duduk berdua di sofa sambil berbicara.Aminah sambil tersenyum. "Sulaiman, rasanya aku begitu bahagia menjadi istrimu. Sekarang kita saling mencintai dan memiliki mimpi-mimpi indah bersama."Sulaiman menanggapi dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu beruntung memilikimu, Aminah. Engkau adalah cahaya dalam hidupku dan setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah."Aminah tersenyum tapi tampak agak sedih. "Sulaiman, ada yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merasa sedih dan cemas dalam beberapa waktu terakhir."Sulaiman mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi, Aminah? Katakan padaku, kita bisa menghadapinya bersama-sama," tanyanya dengan
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A