Home / Romansa / Belum Siap Menikah / Akhirnya Aku Menemukanmu

Share

Akhirnya Aku Menemukanmu

last update Last Updated: 2023-10-21 22:05:29

Pada suatu hari, ketika Aminah hampir kehabisan harapan, dia memasuki sebuah toko bunga kecil di sudut jalan. Di tengah tumpukan pot-pot bunga yang berwarna-warni, matanya tertuju pada sebuah pot bunga yang berbeda dari yang lainnya. Pot bunga itu memiliki pola yang unik, dengan lukisan bunga-bunga berwarna-warni, dipadukan dengan aksen emas yang indah.

Aminah merasa hatinya berdebar-debar saat melihat pot bunga tersebut. Dia merasa seperti menemukan pot bunga yang mirip dengan punya ibu mertuanya. Dengan penuh harap, dia mendekati penjual dan bertanya tentang pot bunga tersebut.

"Permisi, Pak. Saya tertarik ingin membeli pot bunga ini. Berapa harganya?" tanya Aminah dengan lembut.

"Oh, yang ini kebetulan tidak dijual, Neng. Soalnya sudah ada pemiliknya, tapi sudah bertahun-tahun lamanya, memang tidak pernah diambil. Jadinya dipakai untuk sampel toko bunga saya ini," jelas seorang bapak pemilik toko bunga.

"Tapi saya sangat butuh pot bunga ini, Pak. Soalnya motifnya sama persis dengan yang dimiliki oleh ibu mertua saya." Aminah kekeh ingin membeli karena dia merasa kalau pot bunga tersebut akan membantu memperbaiki hubungannya dengan sang ibu mertua.

"Jangan-jangan nama ibu mertuamu itu, Siti Khadijah, ya?" tebak bapak pemilik toko bunga.

"Lah, kok Bapak bisa tahu nama ibu mertua saya? Apa jangan-jangan beliau sudah langganan di toko bunga ini ya, Pak?" Aminah dibuat penasaran. Alisnya mengkerut.

"Ibu mertua saya soalnya suka banget sama bunga. Pot-potnya malah jadi kesayangannya. Apalagi pot yang sama persis dengan pot ini, Pak, beliau sampai marahi saya kemarin karena saya enggak sengaja pecahin potnya. Katanya sih, pot bunga itu pemberian dari sahabatnya yang sudah tiada." Aminah menggigit bibir bawahnya sambil menunggu jawaban dari bapak yang kerap disapa Jamal.

Pak Jamal tersenyum saat mendengar cerita Aminah. Lalu berkata, "Pot bunga ini sebenarnya dibuat oleh seorang seniman lokal yang sudah tiada. Sepertinya ingatan saya tidak pudar. Dia adalah teman baik ibu mertuamu, Khadijah. Mereka berdua selalu berbagi cerita dan keindahan bunga. Pot bunga ini adalah hadiah dari seniman itu kepada Khadijah sebagai tanda persahabatan mereka yang erat. Seniman itu membuat dua pot bunga, satu untuk Khadijah dan satunya untuk dirinya sendiri. Namun, kalau sewaktu-waktu pot bunga milik seniman ini akan diambil oleh Khadijah, maka saya harus memberikannya. Bu Khadijah pun belum tahu tentang hal ini. Beliau hanya tahu kalau pot bunganya cuma dibuat satu saja dan itu hadiah untuknya. Mungkin hal ini yang membuat ibu mertuamu marah karena pot bunga tersebut sangat berarti baginya."

Mendengar kisah itu, Aminah merasa haru. Dia tahu bahwa pot bunga itu tidak hanya tentang keindahannya, tetapi juga tentang kisah persahabatan yang tak tergantikan antara ibu mertuanya dan seniman tersebut. Dalam hatinya, Aminah memutuskan untuk membeli pot bunga tersebut dan membawanya pulang.

"Kalau begitu, aku beli pot bunganya ya, Pak. Soalnya dari kemarin aku sudah seharian berkeliling kota, tetapi tidak jua menemukan pot bunga yang sama persis. Nah, sekarang pot bunganya sudah ketemu; bukan hanya wujudnya yang sama, tetapi memang pembuatnya adalah orang yang sama. Apalagi pot yang sama Bapak ini adalah duplikat dari punya ibu mertua saya. Jadi, saya boleh bawa pulang potnya ya, Pak," pinta Aminah dengan penuh harapan.

"Neng. Saya tidak pernah berniat untuk menjual pot bunga ini kepada siapa pun. Lagian saya juga tidak punya hak untuk menjualnya."

"Tapi saya butuh banget sama pot bunga ini, Pak. Tolong ya, Pak. Berapa pun harga yang Bapak kasih, akan saya bayar." Aminah memohon-mohon dengan wajah memelas.

Pak Jamal tidak langsung menanggapi permintaan Aminah, dia malah mengambil plastik dan membungkus pot bunga tersebut dengan hati-hati.

Aminah pasrah kalau memang bukan rezekinya, artinya dia harus mencari pot bunga serupa di toko bunga lainnya. Aminah tertunduk lesu sambil menahan tangis.

Tiba-tiba Pak Jamal memberikan kantong plastik yang sudah diisi dengan pot bunga.

"Nak. Ini untukmu," ujar Pak Jamal seraya tersenyum.

Aminah melihat isi yang ada di dalam kantong plastik tersebut. Matanya terbelalak, tidak percaya kalau pot bunga itu kini ada digenggaman tangannya.

"Akhirnya Pak Jamal mau jual pot bunga ini, Pak?" tanya Aminah dengan senyum sumringah.

"Saya sudah katakan tadi, kalau saya tidak menjualnya," jawab Pak Jamal dengan tegas.

"Lalu, kenapa diberikan kepada saya, Pak?" Aminah mengerutkan keningnya.

"Bawa pulang saja pot bunganya, Neng."

"Maksudnya, Pak?" Pikiran Aminah mendadak loading. Dia belum sadar kalau sebenarnya Pak Jamal memberikan pot bunga itu dengan sukarela. Padahal dari awal pembicaraan, sudah dijelaskan kalau pot bunga itu hanya akan dikasih kepada Khadijah, ibu mertua Aminah. Namun, rupanya pikiran Aminah memang sedang kacau, jadinya dia tidak fokus.

"Iya, Neng. Potnya kamu bawa pulang. Tidak perlu dibayar. Karena pot ini akan kembali kepada pemiliknya."

Aminah akhirnya sadar dan berterima kasih banyak kepada Pak Jamal. Dia pun pulang dengan hati sedikit lega karena sudah bisa menepati janji kepada ibu mertuanya untuk mengganti pot bunga yang serupa.

Aminah bergegas untuk pulang. Ketika dia sedang menunggu taksi, ternyata suaminya lewat lokasi tersebut. Sulaiman menghentikan mobilnya dan menyuruh Aminah masuk karena dia pun memang sudah menuju arah pulang. Tanpa menunggu lama, Aminah mengikuti perintah suaminya.

Di dalam ruangan, terlihat wajah ceria Aminah sambil memandangi pot bunga yang dipangkunya.

Sulaiman memperhatikan istrinya. "Kamu kenapa senyum-senyum sendiri seperti itu?" Pandangannya pun beralih ke arah pot bunga yang terlihat dari dalam kantong kresek. "Sayang. Kamu sungguh hebat. Ini kan pot bunga yang sama persis dengan milik mama. Kamu beli di mana? Mama pasti senang melihatnya."

Aminah pun menceritakan bagaimana dia bisa menemukan sampai mendapatkan pot bunga yang sama persis milik ibu mertuanya. Sulaiman sontak terkejut, seakan tak menyangka dengan cerita tersebut. Namun, dia sangat senang dan bangga atas tanggung jawab istrinya. Dia merasa memang tidak salah menikahi Aminah meski melalui perjodohan.

Saat tiba di rumah, Aminah membawa pot bunga itu dengan sangat hati-hati dan memasangnya di tempat yang sama dengan pot bunga yang dipecahkan kemarin. Lalu, dia pun memberitahukan hal ini kepada ibu mertuanya. Khadijah sempat tidak percaya, tetapi setelah mendengarkan kisah rahasia yang tidak diketahuinya, dia hatinya menjadi luluh untuk memaafkan Aminah.

Aminah berharap, hubungan mereka akan hangat seperti ini. Yah, kalau pun ada sebuah pertengkaran, namanya juga bumbu-bumbu dalam kehidupan. Kita hanya perlu menjalani, menikmati, dan mensyukurinya saja.

Setiap kali Aminah melihat pot bunga itu di rumah, dia tidak hanya melihat keindahannya, tetapi juga mengingat kenangan yang terkait dengan ibu mertuanya dan seniman tersebut. Pot bunga itu menjadi simbol persahabatan yang kuat dan memungkinkan ibu mertuanya merasakan kehadiran teman baiknya meskipun sudah tiada.

Dengan cerita pot bunga yang mirip dengan punya ibu mertuanya, Aminah menyadari bahwa terkadang objek-objek sederhana dapat menyimpan kenangan yang berharga. Dia berjanji untuk menjaga pot bunga itu dengan baik, agar hubungan dengan ibu mertuanya semakin baik ke depannya.

****

Related chapters

  • Belum Siap Menikah   Dipermalukan Ibu Mertua

    Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya."Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua."Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebenta

    Last Updated : 2023-10-25
  • Belum Siap Menikah   Serba Salah

    "Aminah ...! Aminah ...!" teriak Khadijah, seolah pendengaran menantunya bermasalah.Aminah yang sedang membersihkan peralatan masak di dapur karena habis memasak, langsung buru-buru menghampiri ibu mertuanya."I-iya, Ma. Ada apa?" Aminah bertanya dengan terbata-bata.Khadijah dengan gaya santainya, kaki kanan dinaikkan ke atas kaki kiri, menikmati camilan sambil menonton sinetron di kanal tv kesayangannya."Kamu dari tadi dipanggilan, kenapa lama banget, sih? Budek, ya? Lelet banget jadi orang!" bentak Khadija dengan suaranya yang menggema.Di rumah hanya ada mereka berdua karena suaminya (Sulaiman) dan ayah mertuanya (Abbas) sedang pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Jadi, sudah dipastikan tidak akan ada yang membela Aminah selama beberapa hari ke depan.Aminah merasa kaget dan sedikit ketakutan mendengar teguran Khadijah. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Maafkan aku, Ma. Aku sedang asyik membersihkan dapur, jadi mungkin tidak mendengar saat dipanggil."Namun, Kha

    Last Updated : 2023-10-25
  • Belum Siap Menikah   Aminah Diduga Mandul

    Setelah dua bulan menikah, Aminah dan Sulaiman belum juga dikaruniai anak. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi dengan rasa bahagia karena mereka saling mencintai, tetapi kekosongan dalam perut Aminah menyebabkan cobaan datang menghampiri. Percikan api konflik mulai membakar keharmonisan mereka.Di ruang tamu rumah Aminah dan Sulaiman. Mereka duduk berdua di sofa sambil berbicara.Aminah sambil tersenyum. "Sulaiman, rasanya aku begitu bahagia menjadi istrimu. Sekarang kita saling mencintai dan memiliki mimpi-mimpi indah bersama."Sulaiman menanggapi dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu beruntung memilikimu, Aminah. Engkau adalah cahaya dalam hidupku dan setiap hari bersamamu adalah anugerah terindah."Aminah tersenyum tapi tampak agak sedih. "Sulaiman, ada yang ingin aku ceritakan padamu. Aku merasa sedih dan cemas dalam beberapa waktu terakhir."Sulaiman mengerutkan keningnya. "Apa yang terjadi, Aminah? Katakan padaku, kita bisa menghadapinya bersama-sama," tanyanya dengan

    Last Updated : 2023-10-25
  • Belum Siap Menikah   Keputusan Mengadopsi Anak

    Di ruang tamu, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, saling berpegangan tangan.Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Mas. Kamu selalu membuatku merasa tegar meskipun hidup penuh dengan drama dan banyak omongan buruk yang aku terima. Kamu benar-benar menepati janjimu kalau akan selalu ada untukku."Sulaiman tersenyum penuh kasih. "Sayang, aku sudah pernah katakan bahwa kita tidak bisa mengendalikan omongan orang lain, tapi kita bisa mengendalikan cara kita meresponsnya. Aku percaya pada kebaikanmu, Aminah."Aminah menggenggam tangan Sulaiman erat. "Aku juga percaya pada cintamu, Mas. Sebagai pasangan, yang dibutuhkan adalah saling menguatkan dalam menghadapi cobaan ini."Sulaiman mendekap Aminah dalam pelukannya. "Kita pasti bisa melewati ini bersama-sama. Kita akan tetap bahagia, tanpa peduli apa yang orang lain katakan."Aminah tersenyum penuh keyakinan. "Ya, kita akan membuktikannya. Aku tahu rejeki dan keturunan adalah urusan dari Tuhan. Kita hanya perlu bersabar dan menjalani hidup

    Last Updated : 2023-11-07
  • Belum Siap Menikah   Kekhawatiran Aminah dan Rayuan Suaminya

    Suasana di dalam kamar terasa hangat meskipun wajah berseri Aminah berubah murung. Setelah keluar dari kamar mandi, dia duduk di depan cermin dengan perasaan yang terlihat cemas. Sulaiman, suaminya, memperhatikan istrinya dengan penuh kasih, lalu mendekatinya dengan pelukan hangat dari belakang."Apalagi yang kamu khawatirkan, sayang?" bisik Sulaiman dengan lembut di telinga Aminah. "Kan sekarang kita sudah punya Zahra. Yah, walaupun bukan darah daging kita, tetapi kita bisa memperlakukan dia seperti anak kandung sendiri."Sambil memeluk erat tubuh Aminah, Sulaiman mencoba menenangkan hati istrinya yang sedang dilanda kegelisahan. Matanya penuh cinta ketika melihat Aminah yang sedang mencari dukungan dan pengertian."Aku takut saat mama pulang nanti, mama akan semakin marah kepadaku," desah Aminah, mencoba mengungkapkan ketakutannya. "Kan kamu tahu sendiri, aku serba salah di mata mama. Kayak enggak ada benernya deh hidupku dan apa yang sudah aku lakukan."Sulaiman dengan penuh pengert

    Last Updated : 2023-11-08
  • Belum Siap Menikah   Setajam Lidah Mertua

    Tiga hari telah berlalu, dan suasana haru menyambut kedatangan orang tua Sulaiman. Saat Khadijah turun dari mobil, pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang asyik bermain dengan kelinci di taman. Serunya, matahari menyinari momen yang seharusnya bahagia itu."Anak siapa ini yang main di rumah kita, Pa? Pasti adiknya si cewek kampung. Benar-benar tak kenal tempat, anak itu!" ujar Khadijah dengan nada pedas, matanya memandang anak kecil yang tak menyadari kelinci putih itu menginjak tanaman di taman."Hei, anak kampung! Sini kamu! Kenapa kamu di rumah saya, huh? Mau jadi maling, ya?" seru Khadijah, wajahnya memerah. "Lihat saja, dia cuma melihat, Pa. Padahal saya nggak bicara sama tanaman-tanaman di sini, kan?" Amarahnya semakin membara."Ma, sudahlah. Kenapa selalu menyalahkan Aminah? Mungkin itu anak tetangga yang kelincinya masuk ke rumah kita secara tak sengaja, dan dia mencoba menangkapnya," kata Abbas, berusaha menenangkan istrinya. "Lagipula, Ma, kamu baru pulang dan past

    Last Updated : 2023-11-12
  • Belum Siap Menikah   Berharap Keajaiban

    Sulaiman, dalam kelelahannya, mencoba meredakan emosinya. Namun, pertarungan keluarga ini tampaknya belum berakhir. Aminah, di tengah-tengah tangisannya, merasakan beban yang semakin berat.Hari itu, hujan di dalam hati keluarga Sulaiman mengalir tanpa henti. Mungkin, di antara tetesan air mata dan pertengkaran, ada harapan bahwa suatu saat cahaya kebahagiaan akan menyinari rumah itu.Aminah mengusap air matanya, membiarkan putrinya, Zahra, tertidur lelap. "Maafkan mama ya, Nak. Usiamu masih 3 tahun, tapi harus melihat pertengkaran di rumah ini. Mama harap, dengan kejadian hari ini, kamu tidak mengalami trauma." Aminah mengecup kening Zahra, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Dalam dapur yang sunyi, Aminah merasa beban berat masih melekat di pundaknya. Meskipun mencoba menjaga ketenangan, tetapi sorot matanya masih terbayang pertengkaran tadi. Sambil memotong sayuran, Aminah merenungi bagaimana kehadiran Zahra, yang seharusnya membawa kebahagiaan, malah menjadi sumber k

    Last Updated : 2023-11-16
  • Belum Siap Menikah   Malam Ini Milik Kita Berdua

    Malam itu, suasana kamar penuh dengan ketenangan. Lampu remang-remang menyinari ruangan, menciptakan atmosfer yang hangat. Aminah duduk di tepi tempat tidur, pandangannya melayang ke jendela, menampilkan langit malam yang penuh bintang.Sulaiman keluar dari kamar mandi, melihat istrinya yang terlihat sedang berpikir. Langkahnya lembut saat mendekati Aminah."Sayang, apa yang membuatmu merenung seperti ini?" tanya Sulaiman.Aminah mengalihkan pandangan. "Entahlah, banyak hal yang aku pikirkan. Semua perubahan ini, kadang membuatku cemas."Sulaiman duduk di samping Aminah. "Sayang, bukankah sudah aku katakan berkali-kali kalau aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita akan melaluinya bersama-sama. Kamu yang sabar, ya."Aminah tersenyum tipis, mencoba menyingkirkan rasa gelisahnya. Suasana kamar terasa hangat dan penuh empati. Mereka, dalam keheningan malam, saling merangkul dalam diam, membiarkan kebersamaan mereka menjadi pijakan dalam menghadapi perjalanan baru

    Last Updated : 2023-11-17

Latest chapter

  • Belum Siap Menikah   Segudang Tanya

    Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka

  • Belum Siap Menikah   Buah Cinta Kami

    Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing

  • Belum Siap Menikah   Tujuh Bulan Kehamilan

    Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra

  • Belum Siap Menikah   Konsultasi ke Psikiater

    Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m

  • Belum Siap Menikah   Terlalu Banyak Rahasia

    Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt

  • Belum Siap Menikah   Kecurigaan Aminah Mengungkap Rahasia

    Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say

  • Belum Siap Menikah   Zahra Berduka

    Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."

  • Belum Siap Menikah   Rencana Licik Khadijah

    Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah

  • Belum Siap Menikah   Akhirnya Aminah Hamil

    Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A

DMCA.com Protection Status