Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Hari-hari berikutnya, di rumah Sulaiman dan Aminah dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesibukan baru. Bayi laki-laki yang baru lahir, mereka beri nama Ahmad, menjadi pusat perhatian keluarga. Sulaiman berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Sementara Aminah, meskipun masih dalam masa pemulihan, menghabiskan banyak waktu bersama Ahmad, menyusui dan merawatnya. Dania dan Clara sering datang untuk memeriksa kondisi Aminah dan Ahmad. Clara memastikan bahwa pemulihan Aminah berjalan baik, sementara Dania membantu Aminah dengan saran-saran praktis mengenai perawatan bayi dan pemulihan pasca persalinan. Ahmad Ryan Pratama, itulah nama lengkap anak Aminah dan Sulaiman. Dengan harapan, anak pertama mereka akan selalu dipuji oleh orang lain karena kebaikannya. Bukan berarti haus akan pujian, tetapi mereka ingin anaknya tumbuh menjadi anak yang memiliki sifat terpuji. Karena hal tersebut sangat dicintai Allah. Suatu hari, Sulaiman memutuskan mengundang Dania dan Clara untuk maka
Dua bulan kemudian, usia kehamilan Aminah sudah memasuki 9 bulan, artinya sebentar lagi bayi yang dikandungnya akan segera lahir. Aminah sudah tidak nyaman untuk bergerak bahkan tidur pun serba salah. Sedangkan Sulaiman semakin sibuk dengan kariernya, padahal saat-saat seperti inilah Aminah sangat membutuhkan peran suaminya. "Mas, lagi di mana? Perutku terasa kram nih. Aku butuh kamu saat ini. Bisa pulang kah?" pinta Aminah dengan lirih melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat. Karena ditelepon sebanyak 50 kali, Sulaiman tidak jua merespons. Beberapa menit kemudian, Aminah kembali menghubungi Sulaiman, tetapi tidak juga ada balasan dari sang suami, baik chat maupun telepon. Sedangkan Aminah meringis kesakitan. Tak ada satu pun orang di rumah, bahkan anak angkatnya, Zahra sedang berada di rumah orang tua kandungnya. Aminah semakin merasakan sakit, sampai teriak meminta bantuan. Beruntungnya ada tetangga mereka yang sering dititipkan Zahra kebetulan hendak mampir ke rumah, ing
Waktu berlalu, perut Aminah semakin membesar menandakan perjalanan kehamilan yang berjalan lancar. Setiap saat diisi dengan persiapan dan kebahagiaan menjelang kelahiran anak pertama mereka. Mereka berdua ikut serta dalam kursus kehamilan, merencanakan dekorasi kamar bayi, dan berbelanja perlengkapan bayi dengan penuh antusias. "Sayang, kan sudah aku bilang, jangan capek-capek. Istirahat aja, loh!" ujar Sulaiman dengan raut wajah yang sangat khawatir ketika kaki Aminah hampir tergelincir. "Iya, sayang. Aku cuma mau membereskan mainannya Zahra saja, kok. Kan tidak terlalu menguras tenaga juga," jawab Aminah sambil mengelus perutnya. "Lagian, anak kita yang ada di dalam perut ini, baik-baik saja." Di sana, ada Zahra yang ketakutan karena khawatir dimarahi Sulaiman. Apalagi Aminah hampir tergelincir akibat mainan Zahra yang berantakan. Aminah dengan wajah tertunduk, merasa bersalah, langsung meminta maaf. "Pa, Ma, maafin Zahra, ya. Gara-gara mainan Zahra, mama hampir saja celaka. Zahra
Hari-hari berikutnya menjadi waktu penyembuhan dan refleksi di rumah keluarga itu. Meskipun ada keheningan yang menggantung di udara, tetapi setiap anggota keluarga mencoba untuk memahami dan menerima kenyataan yang baru terungkap.Sulaiman memecah keheningan pada pagi itu, di ruang keluarga. "Saya merasa perlu untuk mencari bantuan. Kita butuh bimbingan untuk mengatasi masalah ini."Aminah menanggapi. "Benar, Mas. Kita tidak bisa seperti ini terus. Konselor keluarga mungkin bisa memberi kita arahan yang baik.""Mama setuju. Kita harus mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan kita," timpal Khadijah.Mereka pun sepakat untuk mendatangi seorang konselor keluarga.Saat bertatap muka dengan konselor, mereka mulai membuka hati dan menjelaskan latar belakang konflik yang melibatkan semua anggota keluarga. Proses ini tidaklah mudah, tetapi dengan bimbingan dan dukungan ahli, mereka berharap bisa memahami, memaafkan, dan memulihkan hubungan keluarga yang retak."Mari kita mulai dengan m
Dokter segera datang dan memeriksa kondisi Aminah. Khadijah terus merasa bersalah, melihat Aminah yang harus menghadapi kesulitan ini di tengah kekacauan keluarga mereka.Setelah pemeriksaan, dokter memberikan penjelasan. "Kondisi Aminah memang agak rumit, dan sepertinya ini disebabkan oleh stres dan kecemasan. Saya akan memberikan resep obat dan sarannya adalah Aminah perlu istirahat yang cukup."Setelah dokter pergi, suasana di rumah semakin terasa hening. Sulaiman masih dalam keadaan campur aduk, antara kekhawatiran akan kesehatan Aminah dan kebingungan atas kenyataan kelam yang baru terkuak.Khadijah mencoba mendekati Sulaiman. "Sulaiman, maafkan mama. Mama tidak bermaksud membuat keadaan seperti ini."Sulaiman menatap ibunya dengan ekspresi campur aduk. "Aku butuh waktu, Ma. Aku perlu merenungkan semuanya. Yang paling penting sekarang adalah Aminah dan kesehatannya."Sulaiman tetap berfokus pada keadaan Aminah yang perlu istirahat dan pemulihan. Dia membimbing Aminah ke kamar unt
Suatu hari, Aminah memutuskan untuk mencoba membicarakan hal ini dengan Sulaiman. "Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ujarnya dengan wajah serius.Sulaiman mengangguk, "Apa, Sayang? Apakah ada masalah?"Aminah menarik nafas dalam-dalam, "Ini tentang kejadian kelinci Zahra. Aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan, terutama oleh mama."Sulaiman meresapi kata-kata istrinya, ekspresinya menjadi serius. "Apa yang membuatmu curiga?"Aminah membagikan semua kecurigaannya pada suaminya, dan Sulaiman mulai memahami bahwa ada rahasia yang perlu diungkap dalam keluarga mereka.Sulaiman mendengarkan dengan serius penjelasan Aminah. Wajahnya berubah menjadi penuh pertimbangan, mencerna setiap informasi yang dia terima dari istrinya."Mas, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mama terlihat sangat puas setelah kelinci Zahra mati, dan aku yakin dia terlibat dalam hal ini," ujar Aminah dengan nada prihatin.Sulaiman memegang tangan Aminah, mencoba memberikan dukungan. "Say
Pagi hari tiba, cahaya matahari menyinari rumah keluarga Aminah. Semua anggota keluarga bangun dengan semangat baru, siap menyongsong hari yang baru.Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari taman belakang. Semua orang langsung sigap pergi ke sumber suara.Khadijah menangis sambil menatap kelinci kesayangan Zahra yang sudah tidak bernyawa lagi.Zahra langsung mengambil kelinci tersebut dan menangis sejadi-jadinya. "Kenapa kamu meninggalkanku? Padahal aku sayang banget sama kamu. Apalagi opa sudah membelikan mainan baru untuk kamu."Tatapan Aminah ke arah Khadijah, dia semakin curiga dengan mama mertuanya itu. Sepertinya ini memang sudah direncanakan oleh Khadijah, tetapi Aminah belum ada bukti apa pun akan hal ini. Dia pun memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut.Aminah mencoba menenangkan putrinya, "Zahra sayang. Mama tahu perasaanmu, tapi kamu perlu tahu, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. Itu sudah tertera dalam Surat Ali Imran ayat 185."
Di taman belakang, saat Zahra sedang asyik bermain dengan kelincinya. Khadijah menghampiri. "Wah, Oma cariin dari tadi, ternyata Zahra di sini, ya!" ujarnya sambil tersenyum tipis. Entah ada angin apa dia terlihat baik dengan Zahra.Zahra menatap Khadijah dengan rasa takut dan saat Khadijah mendekat, Zahra menjauhkan dirinya. Dia berjalan mundur beberapa langkah.Khadijah masih belum mengeluarkan sifat aslinya kembali yang dari awal tidak menyukai Zahra. "Loh, kenapa malah menjauh gitu sih? Oma tidak menggigit, loh! Daripada main sendirian di sini, mending main sama Oma saja di dalam, yuk!" ajaknya. Pikirannya licik, ada hal yang direncanakan, tapi berpura-pura baik.Zahra akhirnya mendekat. Sambil menggendong kelinci kesayangannya, dia bertanya untuk memastikan, "Oma beneran mau main sama aku?" Tatapannya sungguh ragu. Tidak percaya dengan perubahan yang terjadi pada Khadijah.Khadijah tersenyum. "Pertanyaan macam apa itu, Zahra? Oma beneran, dong. Tapi, kalau mau main ke dalam rumah
Seminggu kemudian, Aminah keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya, melihat Sulaiman yang masih berbaring. "Sayang, bangun dong. Sudah pagi nih, yuk kita sarapan bersama."Sulaiman menggeliat dan tersenyum, "Baru bangun, sayang. Kamu tahu, pagi ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Semacam energi positif."Aminah tersenyum penuh harap, "Semoga saja, Mas. Siapa tahu ini tanda-tanda baik, kan?"Sulaiman bangkit dari kasur dan memeluk Aminah. "Siapa tahu indeed, Sayang. Kita nikmati setiap momen dan bersyukur untuk apa yang kita miliki sekarang."Mereka pun bersiap untuk menjalani hari dengan penuh semangat dan harapan baru.Saat mereka turun ke ruang makan, suasana pagi terasa segar. Aroma masakan untuk sarapan yang sedap mengisi udara, dan ketenangan pagi memberikan nuansa positif di rumah mereka.Di meja makan, Aminah dan Sulaiman duduk berdua, sambil menunggu sarapan yang telah disiapkan. Mereka saling berbagi senyuman, merasakan kehangatan dalam kebersamaan pagi itu."A