Keesokan harinya, Valerie terbangun dengan senyum dan perasaan yang jauh lebih baik, sebab semalam ia bermimpi hal yang sangat indah. Namun, senyumannya langsung memudar begitu menyadari ada sosok pria di sisinya.“Jadi, yang semalam itu bukan mimpi?” gumamnya. Ia mengingat jika semalam ia bermimpi ada yang mengecup keningnya yang disertai ucapan selamat malam yang terdengar mesra. Ia juga merasakan dekapan hangat seseorang. Jadi, semua yang ia rasakan semalam itu nyata. Max melakukan hal itu? Ia hampir tidak percaya. Tapi, melihat tangan kekar suaminya yang kini merengkuh pinggangnya membuat ia menelan ludahnya tidak bisa berkata-kata.Tepat di depan matanya, ia bisa melihat jika Max masih tertidur pulas, wajah dingin pria itu terlihat tenang, bahkan begitu teduh saat seperti ini. Valerie mengulas senyum tanpa sadar, suaminya ini memang sangat tampan, jadi seharusnya ia tidak heran jika ada banyak perempuan yang menginginkannya. Tidak terkecuali Gracia — adik tirinya yang bahkan m
“Apa yang kau lakukan padanya, Max?” tanya Chelsea — dokter pribadi Valerie.Pria yang kini hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu di lengkapi dengan celana pendek sebatas lutut itu menatap Chelsea dengan kesal. “Jangan banyak bicara aku memanggilmu kemari untuk memeriksa dirinya, bukan untuk mengintrogasiku!”Chelsea memutar bola matanya jengah, mengambil stetoskop untuk memeriksa Valerie. Perempuan itu tergolek lemah, wajahnya terlihat pucat, dengan bulir keringat mengalir dari keningnya, padahal ia tahu kamar itu dilengkapi fasilitas AC. “Apa yang kau rasakan, Nona?” tanyanya.“Aku baik-baik saja.” Valerie menggigit bibir bawahnya menatap Max sesaat. “Bohong. Tadi, dia mengeluh sakit perut,” tandas Max kemudian. Matanya menatap Valerie dengan sorot dingin, kesal karena istrinya tidak mau jujur. Padahal yang Valerie katakan itu suatu kejujuran, memang tadi ia sempat merasa perutnya tiba-tiba terasa kencang, hingga merasakan sakit. Tapi, sekarang ia merasa baik-baik saja, hanya saja
Tok! Tok!“Ibu Martha! Nona Berry! Nona Cherry keluar kalian!!” Di depan pintu seorang pria dengan pakaian serba hitam, berpenampilan seperti preman, telinga di tindik satu terus mengetuk pintu rumah Martha dengan kencang. Di belakangnya ada dua anak buahnya yang berdiri dengan sigap mengawal. “Hei, Martha. Cepat bika pintunya. Bayar hutang kalian!” teriaknya lagi dengan nada sangat marah. Setiap kali ia berkunjung menagih hutangnya, Martha selalu mencari alasan. “Atau ku bakar juga rumahmu!” ancamnya kemudian.Sementara ketiganya yang masih berada di dalam rumah wajahnya memucat ketakutan.“Ma, ini gimana Ma. Aku ketakutan?” tanya Berry dengan tubuh gemetar lantaran membayang jika tiba-tiba rumahnya dibakar. “Gak akan. Dia pasti cuma ngancam.”“Ma, tapi dari tadi dia gak berhenti ketik pintu, bentar lagi pasti di dobrak.” Cherry ikut mengomentari. “Lagian Mama kenapa sih ngutang terus sama rentenir tapi gak dibayar-bayar.”“Heh, kalau gak ngutang sama dia. Kalian pikir selama ini k
Max baru selesai melakukan meeting dan berniat kembali ke hotel. Ketika itu matanya tertuju pada sebuah toko perhiasan brand ternama di negara itu. Sebuah kalung berlian dengan liontin berbentuk bulan sabit terlihat mewah, elegan menarik perhatiannya. Terdiam sejenak ia mengingat pertemuan terakhir sekaligus pertengkarannya dengan Velerie. Tiba-tiba terbesit rasa bersalah, jelas saja saat itu dirinya yang salah, kenapa ia harus melampiaskannya pada istrinya. Bukankah dokter menyarankan agar Valerie tidak boleh tertekan. Salah satu kunci kesuksesan kehamilannya, hanya jika seorang ibu hamil itu merasa senang. Sedangkan sejauh ini, ia sendiri kurang mengerti apakah Valerie bahagia berada di sisinya? Ia tidak pernah mau berpikir ke arah sana, tidak pernah mencoba memahami istrinya. “Apakah aku sudah keterlaluan padanya? Apakah aku terlalu keras padanya?" Max bermonolog pada dirinya sendiri. Mengingat serangkaian kata-kata yang ia lontarkan pada Valerie. Mungkin jika itu dirinya biasa? T
Belum cukup rasa terkejutnya mendengar Valerie yang keguguran, bahkan ia tengah melakukan penyelidikan. Tapi, kini kabar yang ia dengar cukup membuat ia shock. Semalam ia melihat tubuh istrinya lemah, berbaring tak berdaya bagaimana bisa tiba-tiba Valerie meninggalkan rumah sakit, yang ia yakini kondisinya tidak vit. “Putar semua cctv yang mengarah pada kamar istriku!”“Sudah kami lakukan, Tuan. Tapi, cctv telah dirusak.”“Sialan!” Maki Max pada anak buahnya. “Lalu kerjaan kalian itu apa? Hah!” bentaknya kemudian. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar, perasaannya seketika bercampur aduk menjadi satu. Ia baru saja kehilangan calon anaknya, haruskah kehilangan istrinya juga dalam waktu yang bersamaan. “Maaf, Tuan. Semalam itu entah bagaimana tiba-tiba ada yang menyuntikkan obat bius pada kamu, hingga tiba-tiba kami pun tidak sadarkan diri. Saat sadar, Nona Valerie sudah tiada di tempat, Tuan!”Brakk!!Max menendang kursi di hadapannya. “Brengsek kalian! Tidak berguna!” teri
Brakk!!!“Gracia!!!”Robert dan Joana yang pagi itu tengah melakukan sarapan terkejut mendengar teriakan Max yang memanggil Gracia. Meninggalkan sarapan, mereka langsung menghampirinya. “Max, ini ada apa?” Joana bertanya dengan nada bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam dirinya, saat melihat wajah putra sambungnya yang terlihat emosi.“Iya, Max. Ada apa? Pagi-pagi datang bukannya ucapin salam langsung dobrak pintu teriak-teriak begitu. Gak pantas tahu. Gak ada sopannya kamu tuh,” tegur Robert kemudian.Max menatap keduanya dengan bengis. “Berkunjung ke rumah seorang pembunuh itu tidak perlu mengucapkan salam apalagi dengan tingkah sopan santun. Seharusnya aku langsung melayangkan bidikan senjata tajam, itu lebih baik.”“Apa maksudmu, Max? Siapa yang jadi pembunuh!!” Joana semakin tidak mengerti. Menoleh ke arah sang suami penuh tanda tanya. “Di mana putrimu?!!” “Gracia.” Joana semakin ketar-ketir, hatinya diliputi tanda tanya, rasa gelisah yang berlebihan. Max datang mengataka
Max mengedarkan pandangannya menatap seluruh isi kamar Valerie yang begitu rapi, terutama meja rias. Ada peralatan make up dan skincare Valerie terlihat berjajar rapi di sana.Ranjang king size itu bahkan terlihat begitu rapi, tanpa ada jejak yang berserakan. Beralih ke walk in closed, ia menatap pakaian Valerie yang begitu rapi, tas-tas brand ternama tersusun rapi, begitu juga dengan aksesoris serta perhiasan mewah lainnya. Semua itu tidak memperlihatkan jika Valerie, akhirnya akan meninggalkan dirinya.Ia merasa sudah memperlakukan Valerie dengan begitu baik. Mencukupi segala kebutuhannya, tidak hanya sekedar nafkah lahir, bahkan nafkah batin pun ia berikan, meski pernikahan itu berawal dari rasa keterpaksaan. Tapi, ia mencoba menerima, menjalani rumah tangga seperti apa yang kerap sang asisten katakan. Tapi, kenapa Valerie memilih meninggalkan dirinya, meninggalkan semua apa yang telah ia berikan. Kenapa? Ada apa? Apa yang salah? Pertanyaan yang sama sekali tidak ia bisa ia temukan
Beberapa jam sebelumnya...“Informasi apa yang kau dapatkan tentang istriku?” tanya Max to the point saat Jerry datang menghadapnya.“Saya mendapatkan laporan jika Nona Valerie berada di kota S.”“Informasi dari siapa? Bisa kau pastikan jika informasi itu akurat.”Jerry mengangguk antusias. “Ya. Anda tidak mungkin meragukan detektif informan kita kan, Tuan.”Max langsung berdiri dari tempatnya, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya terlihat datar dengan sorot mata yang dingin. “Buat orang itu terus mengawasi pergerakan Valerie. Kau siapkan jet pribadi. Aku sendiri yang akan menyeretnya pulang!”“Baik, Tuan.”**“Kau merindukannya, Vale?” tanya Zenata pelan.“Siapa?” sahut Valerie bertanya balik, tenggorokannya terasa tercekat.“Jangan berpura-pura tidak tidak tahu apa yang aku maksud. Kau bahkan tidak pernah dekat dengan pria manapun, selain suamimu.” Zenata justru ikut duduk di sisi Valerie. Bukannya menjawab Valerie justru menangis menjatuhkan kepalanya di pu
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi