Detik itu juga terjadi keributan. Saat Max menoleh ke arah pelayan itu, Jhonson menggunakan kesempatan itu untuk memberi pelajaran pada Max. Wajahnya terlihat geram, ia berusaha memiting leher Max. Tapi, Max bergerak lebih cepat, ia berkelit dan meraih leher Jhonson kemudian menjatuhkannya ke atas meja. Ia beri tekanan yang cukup kuat di sana.Seketika kegaduhan mendera, apalagi saat Jerry dengan sigap menodongkan dua pistol ke arah tangan kanan Jhonson — Barco yang kini juga mengarahkan pistol ke arah Max. Keduanya saling bertatapan melempar tatapan sengit, mengancam.“Berani ikut kau ikut campur. Dua pistol ini akan langsung menembus jantungmu.” Jerry berkata dengan wajah serius.Para tamu terlihat ketakutan, tubuhnya saling membeku, tak ada yang berani bergerak. Bahkan pintu utama pun telah tertutup. Seakan-akan kegaduhan itu memang sudah terencana.“Kau pikir semudah itu untuk melenyapkanku! Sepertinya kau tidak mengenalku dengan baik. Aku bukan orang yang mudah ditipu!” ucap Max
Keesokan harinya, Valerie terbangun dengan senyum dan perasaan yang jauh lebih baik, sebab semalam ia bermimpi hal yang sangat indah. Namun, senyumannya langsung memudar begitu menyadari ada sosok pria di sisinya.“Jadi, yang semalam itu bukan mimpi?” gumamnya. Ia mengingat jika semalam ia bermimpi ada yang mengecup keningnya yang disertai ucapan selamat malam yang terdengar mesra. Ia juga merasakan dekapan hangat seseorang. Jadi, semua yang ia rasakan semalam itu nyata. Max melakukan hal itu? Ia hampir tidak percaya. Tapi, melihat tangan kekar suaminya yang kini merengkuh pinggangnya membuat ia menelan ludahnya tidak bisa berkata-kata.Tepat di depan matanya, ia bisa melihat jika Max masih tertidur pulas, wajah dingin pria itu terlihat tenang, bahkan begitu teduh saat seperti ini. Valerie mengulas senyum tanpa sadar, suaminya ini memang sangat tampan, jadi seharusnya ia tidak heran jika ada banyak perempuan yang menginginkannya. Tidak terkecuali Gracia — adik tirinya yang bahkan m
“Apa yang kau lakukan padanya, Max?” tanya Chelsea — dokter pribadi Valerie.Pria yang kini hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu di lengkapi dengan celana pendek sebatas lutut itu menatap Chelsea dengan kesal. “Jangan banyak bicara aku memanggilmu kemari untuk memeriksa dirinya, bukan untuk mengintrogasiku!”Chelsea memutar bola matanya jengah, mengambil stetoskop untuk memeriksa Valerie. Perempuan itu tergolek lemah, wajahnya terlihat pucat, dengan bulir keringat mengalir dari keningnya, padahal ia tahu kamar itu dilengkapi fasilitas AC. “Apa yang kau rasakan, Nona?” tanyanya.“Aku baik-baik saja.” Valerie menggigit bibir bawahnya menatap Max sesaat. “Bohong. Tadi, dia mengeluh sakit perut,” tandas Max kemudian. Matanya menatap Valerie dengan sorot dingin, kesal karena istrinya tidak mau jujur. Padahal yang Valerie katakan itu suatu kejujuran, memang tadi ia sempat merasa perutnya tiba-tiba terasa kencang, hingga merasakan sakit. Tapi, sekarang ia merasa baik-baik saja, hanya saja
Tok! Tok!“Ibu Martha! Nona Berry! Nona Cherry keluar kalian!!” Di depan pintu seorang pria dengan pakaian serba hitam, berpenampilan seperti preman, telinga di tindik satu terus mengetuk pintu rumah Martha dengan kencang. Di belakangnya ada dua anak buahnya yang berdiri dengan sigap mengawal. “Hei, Martha. Cepat bika pintunya. Bayar hutang kalian!” teriaknya lagi dengan nada sangat marah. Setiap kali ia berkunjung menagih hutangnya, Martha selalu mencari alasan. “Atau ku bakar juga rumahmu!” ancamnya kemudian.Sementara ketiganya yang masih berada di dalam rumah wajahnya memucat ketakutan.“Ma, ini gimana Ma. Aku ketakutan?” tanya Berry dengan tubuh gemetar lantaran membayang jika tiba-tiba rumahnya dibakar. “Gak akan. Dia pasti cuma ngancam.”“Ma, tapi dari tadi dia gak berhenti ketik pintu, bentar lagi pasti di dobrak.” Cherry ikut mengomentari. “Lagian Mama kenapa sih ngutang terus sama rentenir tapi gak dibayar-bayar.”“Heh, kalau gak ngutang sama dia. Kalian pikir selama ini k
Max baru selesai melakukan meeting dan berniat kembali ke hotel. Ketika itu matanya tertuju pada sebuah toko perhiasan brand ternama di negara itu. Sebuah kalung berlian dengan liontin berbentuk bulan sabit terlihat mewah, elegan menarik perhatiannya. Terdiam sejenak ia mengingat pertemuan terakhir sekaligus pertengkarannya dengan Velerie. Tiba-tiba terbesit rasa bersalah, jelas saja saat itu dirinya yang salah, kenapa ia harus melampiaskannya pada istrinya. Bukankah dokter menyarankan agar Valerie tidak boleh tertekan. Salah satu kunci kesuksesan kehamilannya, hanya jika seorang ibu hamil itu merasa senang. Sedangkan sejauh ini, ia sendiri kurang mengerti apakah Valerie bahagia berada di sisinya? Ia tidak pernah mau berpikir ke arah sana, tidak pernah mencoba memahami istrinya. “Apakah aku sudah keterlaluan padanya? Apakah aku terlalu keras padanya?" Max bermonolog pada dirinya sendiri. Mengingat serangkaian kata-kata yang ia lontarkan pada Valerie. Mungkin jika itu dirinya biasa? T
Belum cukup rasa terkejutnya mendengar Valerie yang keguguran, bahkan ia tengah melakukan penyelidikan. Tapi, kini kabar yang ia dengar cukup membuat ia shock. Semalam ia melihat tubuh istrinya lemah, berbaring tak berdaya bagaimana bisa tiba-tiba Valerie meninggalkan rumah sakit, yang ia yakini kondisinya tidak vit. “Putar semua cctv yang mengarah pada kamar istriku!”“Sudah kami lakukan, Tuan. Tapi, cctv telah dirusak.”“Sialan!” Maki Max pada anak buahnya. “Lalu kerjaan kalian itu apa? Hah!” bentaknya kemudian. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar, perasaannya seketika bercampur aduk menjadi satu. Ia baru saja kehilangan calon anaknya, haruskah kehilangan istrinya juga dalam waktu yang bersamaan. “Maaf, Tuan. Semalam itu entah bagaimana tiba-tiba ada yang menyuntikkan obat bius pada kamu, hingga tiba-tiba kami pun tidak sadarkan diri. Saat sadar, Nona Valerie sudah tiada di tempat, Tuan!”Brakk!!Max menendang kursi di hadapannya. “Brengsek kalian! Tidak berguna!” teri
Brakk!!!“Gracia!!!”Robert dan Joana yang pagi itu tengah melakukan sarapan terkejut mendengar teriakan Max yang memanggil Gracia. Meninggalkan sarapan, mereka langsung menghampirinya. “Max, ini ada apa?” Joana bertanya dengan nada bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam dirinya, saat melihat wajah putra sambungnya yang terlihat emosi.“Iya, Max. Ada apa? Pagi-pagi datang bukannya ucapin salam langsung dobrak pintu teriak-teriak begitu. Gak pantas tahu. Gak ada sopannya kamu tuh,” tegur Robert kemudian.Max menatap keduanya dengan bengis. “Berkunjung ke rumah seorang pembunuh itu tidak perlu mengucapkan salam apalagi dengan tingkah sopan santun. Seharusnya aku langsung melayangkan bidikan senjata tajam, itu lebih baik.”“Apa maksudmu, Max? Siapa yang jadi pembunuh!!” Joana semakin tidak mengerti. Menoleh ke arah sang suami penuh tanda tanya. “Di mana putrimu?!!” “Gracia.” Joana semakin ketar-ketir, hatinya diliputi tanda tanya, rasa gelisah yang berlebihan. Max datang mengataka
Max mengedarkan pandangannya menatap seluruh isi kamar Valerie yang begitu rapi, terutama meja rias. Ada peralatan make up dan skincare Valerie terlihat berjajar rapi di sana.Ranjang king size itu bahkan terlihat begitu rapi, tanpa ada jejak yang berserakan. Beralih ke walk in closed, ia menatap pakaian Valerie yang begitu rapi, tas-tas brand ternama tersusun rapi, begitu juga dengan aksesoris serta perhiasan mewah lainnya. Semua itu tidak memperlihatkan jika Valerie, akhirnya akan meninggalkan dirinya.Ia merasa sudah memperlakukan Valerie dengan begitu baik. Mencukupi segala kebutuhannya, tidak hanya sekedar nafkah lahir, bahkan nafkah batin pun ia berikan, meski pernikahan itu berawal dari rasa keterpaksaan. Tapi, ia mencoba menerima, menjalani rumah tangga seperti apa yang kerap sang asisten katakan. Tapi, kenapa Valerie memilih meninggalkan dirinya, meninggalkan semua apa yang telah ia berikan. Kenapa? Ada apa? Apa yang salah? Pertanyaan yang sama sekali tidak ia bisa ia temukan