“Apa yang kau lakukan padanya, Max?” tanya Chelsea — dokter pribadi Valerie.Pria yang kini hanya mengenakan kaos berwarna abu-abu di lengkapi dengan celana pendek sebatas lutut itu menatap Chelsea dengan kesal. “Jangan banyak bicara aku memanggilmu kemari untuk memeriksa dirinya, bukan untuk mengintrogasiku!”Chelsea memutar bola matanya jengah, mengambil stetoskop untuk memeriksa Valerie. Perempuan itu tergolek lemah, wajahnya terlihat pucat, dengan bulir keringat mengalir dari keningnya, padahal ia tahu kamar itu dilengkapi fasilitas AC. “Apa yang kau rasakan, Nona?” tanyanya.“Aku baik-baik saja.” Valerie menggigit bibir bawahnya menatap Max sesaat. “Bohong. Tadi, dia mengeluh sakit perut,” tandas Max kemudian. Matanya menatap Valerie dengan sorot dingin, kesal karena istrinya tidak mau jujur. Padahal yang Valerie katakan itu suatu kejujuran, memang tadi ia sempat merasa perutnya tiba-tiba terasa kencang, hingga merasakan sakit. Tapi, sekarang ia merasa baik-baik saja, hanya saja
Tok! Tok!“Ibu Martha! Nona Berry! Nona Cherry keluar kalian!!” Di depan pintu seorang pria dengan pakaian serba hitam, berpenampilan seperti preman, telinga di tindik satu terus mengetuk pintu rumah Martha dengan kencang. Di belakangnya ada dua anak buahnya yang berdiri dengan sigap mengawal. “Hei, Martha. Cepat bika pintunya. Bayar hutang kalian!” teriaknya lagi dengan nada sangat marah. Setiap kali ia berkunjung menagih hutangnya, Martha selalu mencari alasan. “Atau ku bakar juga rumahmu!” ancamnya kemudian.Sementara ketiganya yang masih berada di dalam rumah wajahnya memucat ketakutan.“Ma, ini gimana Ma. Aku ketakutan?” tanya Berry dengan tubuh gemetar lantaran membayang jika tiba-tiba rumahnya dibakar. “Gak akan. Dia pasti cuma ngancam.”“Ma, tapi dari tadi dia gak berhenti ketik pintu, bentar lagi pasti di dobrak.” Cherry ikut mengomentari. “Lagian Mama kenapa sih ngutang terus sama rentenir tapi gak dibayar-bayar.”“Heh, kalau gak ngutang sama dia. Kalian pikir selama ini k
Max baru selesai melakukan meeting dan berniat kembali ke hotel. Ketika itu matanya tertuju pada sebuah toko perhiasan brand ternama di negara itu. Sebuah kalung berlian dengan liontin berbentuk bulan sabit terlihat mewah, elegan menarik perhatiannya. Terdiam sejenak ia mengingat pertemuan terakhir sekaligus pertengkarannya dengan Velerie. Tiba-tiba terbesit rasa bersalah, jelas saja saat itu dirinya yang salah, kenapa ia harus melampiaskannya pada istrinya. Bukankah dokter menyarankan agar Valerie tidak boleh tertekan. Salah satu kunci kesuksesan kehamilannya, hanya jika seorang ibu hamil itu merasa senang. Sedangkan sejauh ini, ia sendiri kurang mengerti apakah Valerie bahagia berada di sisinya? Ia tidak pernah mau berpikir ke arah sana, tidak pernah mencoba memahami istrinya. “Apakah aku sudah keterlaluan padanya? Apakah aku terlalu keras padanya?" Max bermonolog pada dirinya sendiri. Mengingat serangkaian kata-kata yang ia lontarkan pada Valerie. Mungkin jika itu dirinya biasa? T
Belum cukup rasa terkejutnya mendengar Valerie yang keguguran, bahkan ia tengah melakukan penyelidikan. Tapi, kini kabar yang ia dengar cukup membuat ia shock. Semalam ia melihat tubuh istrinya lemah, berbaring tak berdaya bagaimana bisa tiba-tiba Valerie meninggalkan rumah sakit, yang ia yakini kondisinya tidak vit. “Putar semua cctv yang mengarah pada kamar istriku!”“Sudah kami lakukan, Tuan. Tapi, cctv telah dirusak.”“Sialan!” Maki Max pada anak buahnya. “Lalu kerjaan kalian itu apa? Hah!” bentaknya kemudian. Berkali-kali ia mengusap wajahnya dengan kasar, perasaannya seketika bercampur aduk menjadi satu. Ia baru saja kehilangan calon anaknya, haruskah kehilangan istrinya juga dalam waktu yang bersamaan. “Maaf, Tuan. Semalam itu entah bagaimana tiba-tiba ada yang menyuntikkan obat bius pada kamu, hingga tiba-tiba kami pun tidak sadarkan diri. Saat sadar, Nona Valerie sudah tiada di tempat, Tuan!”Brakk!!Max menendang kursi di hadapannya. “Brengsek kalian! Tidak berguna!” teri
Brakk!!!“Gracia!!!”Robert dan Joana yang pagi itu tengah melakukan sarapan terkejut mendengar teriakan Max yang memanggil Gracia. Meninggalkan sarapan, mereka langsung menghampirinya. “Max, ini ada apa?” Joana bertanya dengan nada bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam dirinya, saat melihat wajah putra sambungnya yang terlihat emosi.“Iya, Max. Ada apa? Pagi-pagi datang bukannya ucapin salam langsung dobrak pintu teriak-teriak begitu. Gak pantas tahu. Gak ada sopannya kamu tuh,” tegur Robert kemudian.Max menatap keduanya dengan bengis. “Berkunjung ke rumah seorang pembunuh itu tidak perlu mengucapkan salam apalagi dengan tingkah sopan santun. Seharusnya aku langsung melayangkan bidikan senjata tajam, itu lebih baik.”“Apa maksudmu, Max? Siapa yang jadi pembunuh!!” Joana semakin tidak mengerti. Menoleh ke arah sang suami penuh tanda tanya. “Di mana putrimu?!!” “Gracia.” Joana semakin ketar-ketir, hatinya diliputi tanda tanya, rasa gelisah yang berlebihan. Max datang mengataka
Max mengedarkan pandangannya menatap seluruh isi kamar Valerie yang begitu rapi, terutama meja rias. Ada peralatan make up dan skincare Valerie terlihat berjajar rapi di sana.Ranjang king size itu bahkan terlihat begitu rapi, tanpa ada jejak yang berserakan. Beralih ke walk in closed, ia menatap pakaian Valerie yang begitu rapi, tas-tas brand ternama tersusun rapi, begitu juga dengan aksesoris serta perhiasan mewah lainnya. Semua itu tidak memperlihatkan jika Valerie, akhirnya akan meninggalkan dirinya.Ia merasa sudah memperlakukan Valerie dengan begitu baik. Mencukupi segala kebutuhannya, tidak hanya sekedar nafkah lahir, bahkan nafkah batin pun ia berikan, meski pernikahan itu berawal dari rasa keterpaksaan. Tapi, ia mencoba menerima, menjalani rumah tangga seperti apa yang kerap sang asisten katakan. Tapi, kenapa Valerie memilih meninggalkan dirinya, meninggalkan semua apa yang telah ia berikan. Kenapa? Ada apa? Apa yang salah? Pertanyaan yang sama sekali tidak ia bisa ia temukan
Beberapa jam sebelumnya...“Informasi apa yang kau dapatkan tentang istriku?” tanya Max to the point saat Jerry datang menghadapnya.“Saya mendapatkan laporan jika Nona Valerie berada di kota S.”“Informasi dari siapa? Bisa kau pastikan jika informasi itu akurat.”Jerry mengangguk antusias. “Ya. Anda tidak mungkin meragukan detektif informan kita kan, Tuan.”Max langsung berdiri dari tempatnya, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya terlihat datar dengan sorot mata yang dingin. “Buat orang itu terus mengawasi pergerakan Valerie. Kau siapkan jet pribadi. Aku sendiri yang akan menyeretnya pulang!”“Baik, Tuan.”**“Kau merindukannya, Vale?” tanya Zenata pelan.“Siapa?” sahut Valerie bertanya balik, tenggorokannya terasa tercekat.“Jangan berpura-pura tidak tidak tahu apa yang aku maksud. Kau bahkan tidak pernah dekat dengan pria manapun, selain suamimu.” Zenata justru ikut duduk di sisi Valerie. Bukannya menjawab Valerie justru menangis menjatuhkan kepalanya di pu
Max memilih untuk tidak menanggapi ucapan Valerie. Matanya beralih menatap pengawal yang sejak tadi mengikutinya. “Katakan pada Jerry untuk memberi pelajaran pada Zenata karena telah berkomplot untuk menipu diriku. Berani sekali dia membantu istriku melarikan diri!”“Baik, Tuan.”“Max kau gila.”“Diamlah!” bentak Max.“Tapi, kau keterlaluan dia itu sahabatku satu-satunya. Aku yang memintanya untuk membantuku, untuk lepas dari iblis jahanam seperti dirimu,” kata Valerie dengan frontal. Max tidak peduli, tetap melangkahkan kakinya menuju mobil, Valerie terus meronta. “Lepaskan! Kau tidak boleh menyakiti sahabatku, Max.”“Maka menurutlah jika kau tidak ingin nyawa sahabatmu itu melayang!” kecam Max yang berhasil membuat Valerie diam. Memudahkan langkah Max membawanya masuk ke dalam mobil yang telah ia sewa dari penginapan. “Jalan!”“Tidak! Aku ingin keluar. Aku tidak mau pulang!” Valerie kembali memberontak memukul-mukul kaca mobil. “Aku mau bertemu Zenata.”“Pukulkan saja kepalamu di je