“Apa dia yang kalian maksud?” Seorang pria bertubuh tambun dan berkepala botak, sedang mengelus dagunya, menatap lurus gadis cantik di sana. “Benar. Bagaimana? Apakah om tertarik? Aku jamin dia masih segel,” terang wanita dengan rambut coklat tergerai lurus, sambil tersenyum penuh kemenangan. Pria itu memindai tubuh molek gadis cantik bernama Valerie di sana, dengan tatapan lapar. Ia menelan ludah dan menjilat bibir, lalu menyunggingkan seulas seringai buas. “Oke, aku mau. Bawa dia ke kamarku. Aku akan memberikan bayaran setelah aku selesai dengannya.” Pria itu meletakkan kembali gelas di tangannya, dengan tatapan intens yang masih tidak lepas dari Valerie. Dua wanita cantik yang memiliki hubungan darah itu tersenyum puas. “Deal!” “Aku tunggu dia di kamarku. Tak sabar rasanya mengarungi kenikmatan bersamanya.”Sepeninggalan pria tua itu, keduanya mulai beraksi. Salah satunya mengambil bungkusan obat perangsang dari dalam tas kecil, mencampurkannya ke dalam salah satu gelas minuman
“Mau ke mana kau?”Suara dingin Max membuat Valerie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia menelan ludah susah payah, berusaha mengabaikan Max dan melanjutkan niatnya untuk membuka pintu. Namun, ia tersentak saat tangan kekar Max menyambar lengannya dan membuat tubuhnya berbalik. Pria itu dengan cepat menghimpitnya ke daun pintu, lalu menguncinya di sana. “Siapa yang membayarmu?” tanya Max to the point. Matanya terlihat tajam seakan mampu menghunus jantung lawan bicaranya.“Ti-tidak ada, Tuan,” sahut Valerie, berusaha untuk terlihat tenang. “Tidak usah berlagak polos,” desis Max penuh penekanan. “Aku tahu kau datang ke kamarku karena ada yang menyuruhmu kan?” Pria yang kini hanya mengenakan kimono itu, kembali mengingat kejadian semalam saat ia meneguk minuman yang dibawa seorang pelayan, dan selanjutnya tubuhnya terasa memanas, bergairah tak terkendalikan. Beruntung ia bisa sampai dengan aman ke kamarnya tanpa membuat keributan. “Siapa yang menyuruhmu memasukkan obat si
Sebelum benar-benar pergi dari hotel itu, Valerie mengambil tasnya yang tertinggal di loker. Ketika sampai di lobi, ia sudah ditunggu oleh sopir Max. Dalam perjalanan, gadis itu mengambil cek yang tadi diberikan Max padanya. Matanya seketika membulat melihat nominal yang tertera di sana. ‘Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya...' gumam Valerie. Bagaimana Max memberinya uang sebanyak ini hanya karena kesalahan satu malam? Apakah baginya uang miliaran tidak ada artinya? Valerie menghela napas panjang. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ia tidak akan mengambil job paruh waktu di pesta jamuan bisnis Anderson Corp. Dengan begitu, Valerie pasti tidak akan berakhir di ranjang pria yang paling disegani di kota ini, dan tidak kehilangan kesuciannya. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Valerie hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. 'Aku harap tidak akan ada apapun yang terjadi ke depannya,’ gumamnya dalam hati. Valerie kembali menyandarkan kepalanya setelah memasukkan cek itu
Anderson Corp Brakkkkk!!!!!Max menggebrak mejanya setelah membaca dokumen di hadapannya, membuat Jerry terkejut. Tak hanya itu bahkan lelaki itu melemparkan dokumen itu tepat di bagian kepala divisi pemasaran. “Ampun Tuan... Saya benar-benar minta maaf.” Lelaki setengah baya itu meluruhkan tubuhnya di hadapan Max memohon ampun karena telah ketahuan melakukan korupsi. “Tidak ada ampun bagimu. Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak jujur!” Max melipatkan kedua tangannya di dada. Mengibaskan kakinya yang tengah dipeluk oleh lelaki itu. “Jerry pecat semua orang-orang yang terlibat di dalamnya, tanpa rasa terhormat. Blacklist nama mereka semua.”“Ampun Tuan... Saya mohon. Kasihani keluarga kami.”Sang pemilik mata biru itu memandang ke arah lelaki itu dengan bengis. “Saat kamu melakukan tindakan korupsi. Pernahkah kamu berpikir apa akibatnya? Bagaimana nasib perusahaan saya, serta karyawan-karyawan saya. Ingat setiap perbuatan pasti akan ada ganjarannya. Nikmati saja, karmamu. Masih
Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya. “Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan. “Vale, kenapa?” Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja. “Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gem
“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi. “Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya. “Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri. “Dia tengah mengandung
Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” sergah Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tangan
Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya den