“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi.
“Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya. “Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri. “Dia tengah mengandung anakku!” Jawaban dari Max membuat Gracia terkejut. Bumi yang ia pijak seolah runtuh dalam seketika. Tubuhnya mundur ke belakang, tangannya memegang ujung meja, menekannya dengan kuat. Ia berusaha menebak-nebak apa yang terjadi sebenarnya. Seketika ia teringat dengan rencana jahat yang ia susun satu bulan yang lalu, hingga ia bisa menebak kemana akhirnya alur tersebut. “Jadi, kamu.....” Gadis itu mengarahkan jadi telunjuknya ke arah Valerie dengan tatapan tajamnya. “Kenapa, Gracia?” Suara dingin Max mengurungkan niatnya. Seketika bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. “Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya senang karena pada akhirnya kakak memutuskan untuk menikah.” Max hanya mendengus kesal. Tanpa berniat membalas ucapan Gracia. Matanya beralih menatap ke arah Valerie yang sejak tadi hanya diam menunduk. “Sarah, tolong antarkan Nona Valerie ke kamarnya.” Max berteriak. Seorang perempuan berseragam biru muda datang menyongsong. “Baik Tuan.” Dia mengangguk patuh. “Mari nona,” lanjutnya. Valerie terpaku sejenak, mengangkat wajahnya menatap ke arah Max. Di depannya tampak Gracia mengepalkan kedua tangannya, memandang Valerie dengan tajam. “Pergilah dengannya.” Max menggerakkan tangannya dengan gerakan mengusir Valerie. Sarah menggiring Valerie lewat tangga menuju kamarnya. Saat tiba di tengah anak tangga keduanya menghentikan langkahnya mendengar suara Max yang menggelegar. “Sarah hati-hati. Dia sedang hamil!” “Baik Tuan.” Valerie mengusap perutnya yang rata mendengar hal tersebut. Sadar jika kepedulian Max hanya sebatas anak dalam kandungannya. Lalu pernikahan ini apa? Kenapa dia mesti bingung dan sibuk menerka-nerka, sudah jelas semua terjadi hanya demi anak dalam kandungannya. Tak seharusnya ia berharap lebih. Seharusnya ia cukup bersyukur. Nasib anak itu tidak akan seperti dirinya yang menderita. Kelak buah hatinya akan jauh lebih bahagia, karena Max mengakuinya. Meski ia sendiri tidak tahu bagaimana akhir dari pernikahan ini. “Ini kamarnya, Nona.” Sarah membuka pintu kamar tersebut mengantarkan Valerie masuk. Perempuan itu terpukau akan kemewahan kamar tersebut. “Silakan berisitirahat, Nona. Jika membutuhkan sesuatu anda bisa memanggil saya.” “Terima kasih.” Sepeninggal pelayan itu, ia duduk di bibir ranjang. Tangannya meraba ranjang mewah yang tampak halus itu. Ekor matanya kembali bergerak menyapu ruangan yang terasa luas tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka, jika dalam sekejap ia berubah menjadi seorang istri seorang konglomerat. Namun, ada ketakutannya yang mendera. Tentang latar belakang keduanya yang saling bertolak belakang. Ia hanyalah gadis miskin yang terjebak belenggu pernikahan karena adanya calon buah hati mereka. Sedangkan, Max seorang pembisnis hebat, yang sangat disegani. Ia yakin di luaran sana ada jutaan perempuan yang menginginkan lelaki itu. Untuk itu wajar saja, jika laki-laki mengatakan pernikahan ini hanya sebatas untuk anak yang dalam kandungannya. Memikirkan hal itu membuat kepala Valerie pusing, dan berdentam menyakitkan. Ia ingat terakhir makan pada jatah makan terakhir di sore hari. Dan sekarang ia merasa lapar, tapi terasa enggan untuk memanggil pelayan. Tubuhnya terasa lelah, bisa jadi karena tadi sibuk memburu waktu untuk melarikan diri dari rumah sakit. Seketika ia teringat pada sahabatnya. Bagaimana keadaannya? Zenata pasti sangat ketakutan melihat ia masuk ke mobil Max. Ia berdiri mencari ponsel miliknya. Namun, tak ia temukan. Bagaimana ia bisa lupa. Jika semua barangnya ada pada sahabatnya, dan ia masuk ke dalam rumah ini tanpa membawa barang apapun. Valerie tertunduk lesu, kepalanya semakin pusing. Belum lagi lengannya yang terasa begitu pegal, akibat jarum infus yang ia cabut secara paksa. Sementara di bawah Gracia terpaku, masih tak percaya akan apa yang sebenarnya terjadi. ”Ada apa kau kemari?” tanya Max dengan datar. “Tentu saja aku kangen denganmu, Kak. Kau tahu aku baru pulang dari Singapura. Dan kedatanganku kemari ingin memberimu kejutan. Tapi, ternyata justru aku yang mendapatkan kejutan.” Dia kembali bergelayut manja di lengan Max. Namun, pria itu menepisnya pelan, membuatnya kecewa. “Pulanglah, aku lelah.” Gracia hampir tak percaya mendapatkan usiran dari Max. “Aku baru datang, Kak. Tega sekali kau mengusirku. Dan soal tadi? Kakak berhutang penjelasan padaku.” “Apa?” “Tentang gadis itu.” ”Namanya Valerie.” ”Aku tidak menanyakan namanya. Yang ingin ku tahu, bagaimana kakak bisa menikahinya? Apa Mama dan Papa tahu?” “Tidak!” jawab Max cepat. Terdiam sejenak ingatannya kembali melayang akan kejadian panas di hotel satu bulan yang lalu. “Seseorang menjebakku, hingga akhirnya aku menghamili gadis itu. Aku berjanji jika aku menemukan pelakunya, tidak akan ada ampun baginya,” ancamnya kemudian. Wajahnya memerah, menahan amarah, tangannya mengepal. Mengingat kejadian yang sampai detik ini tak juga ia dapatkan siapa dalangnya. Tak sadar Gracia menelan ludahnya, seketika rasa gugup mendera. Keringat dingin meluncur membasahi keningnya. Tak ingin gelagatnya terbaca oleh Max, ia pun berpamitan pulang. Dalam perjalanan ia berkali-kali mengumpat marah. “Sial!!” Keesokan harinya Max dan Jerry tengah melakukan sarapan bersama. Asistennya Max tampak memindai ruangan itu seperti mencari seseorang. “Di mana Nona Valerie, Tuan?” tanyanya kemudian. Gerakan tangan Max terhenti, seketika ia sadar jika di rumah itu ada penghuni lain. “Sarah panggilkan Nona Valerie untuk sarapan.” “Baik Tuan.” Jerry menggelengkan kepalanya akan tingkat ketidakpedulian atasannya tersebut. “Nona Valerie itu tengah hamil, Tuan. Seharusnya Anda mulai lebih peduli dengannya.” Max mendengus, menatap tajam ke arah Jerry. “Kau pikir pekerjaanku hanya mengurusi dirinya!” sergahnya membuat Jerry tak lagi bisa berkata. Hingga kedatangan Sarah yang tergopoh-gopoh membuat keduanya merasa heran. “Di mana dia?” tanya Max dingin. “Tuan, Nona... Nona Valerie....”Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” sergah Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tangan
Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya den
Mobil Lexus hitam membelah jalan raya yang cukup padat Malam kian beranjak tapi pesta belum juga selesai. Ia yang merasa sudah bosan memilih pamit undur diri, pun ia merasa jengah dengan tingkah keagresifan sang pemilik pesta. Klakson mobil terdengar bingar mengesalkan, sekesal suasana hati Max saat ini.“Kau tahu apa yang dikatakan Monica di pesta tadi, Jerry.” Pria bertubuh kekar dalam balutan jas resmi itu membuka obrolan, membuat Jerry yang tengah mengemudikan mobilnya itu menatap ke arahnya dari balik spion mobilnya dengan penasaran.“Tidak tahu, Tuan.”Max mengendurkan dasinya, melepaskan satu kancing kemejanya, lalu menghela napas berat. “Dia melamarku,” katanya kemudian membuat Jerry cukup terkejut.“Luar biasa.” Sang asisten berdecak kagum sekaligus heran. Dengusan menyebalkan terdengar dari bibir Max. “Dia mengancamku akan melakukan apapun. Jika, aku tidak menerima lamarannya.”Pria yang sudah beberapa tahun bersama dengan Max itu bahkan sampai melongo mendengarnya, bahkan
“Apa yang kau lakukan?”Suara bariton dari ambang pintu mengejutkan keduanya. Kedua tangan Gracia yang kini berada di atas pundak Valerie, ingin mencekik lehernya terhenti dan ia tarik kembali. “Kakak...” “Sedang apa kau di sini, Gracia?” Max melangkah ke arah keduanya dengan tatapan dingin. Namun, terasa mengintimidasi. Wajah Valerie masih pucat, tangannya terasa dingin tapi tak ia pungkiri kehadiran Max membuatnya lega, jika saja pria itu tidak datang entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Bisa jadi ia hanya tinggal nama. “Kenapa kakak mesti bertanya. Tentu saja aku di sini ingin menjenguk kakak ipar dan calon keponakanku, Kak.” Gadis berambut merah itu beralih menoleh ke arah Valerie dengan tersenyum. Namun, Valerie bisa menangkap senyum mengerikan dari wajahnya, seakan-akan tengah memberi sebuah ancaman. “Pagi tadi aku ke rumah, Kakak. Tapi aku tidak bertemu dengan kalian, pelayan bilang jika kakak ipar di rawat di sini. Untuk itulah aku kemari.”Max mengangguk kecil dengan m
“Berani sekali kalian mendorongnya! Kalian cari mati ya!”Suara bariton itu membuat semua terkejut, tak terkecuali Valerie, ia tak menyangka jika Jerry berada di sana. Padahal ia datang hanya bersama sopir dan Sarah, itupun ia hanya memintanya menunggu di gang. “Kamu siapa?” tanya Martha sinis. Sementara kedua saudara tiri Valerie saling berpandangan bingung. “Tidak penting kalian tahu siapa saya. Yang perlu kalian tahu hanyalah jangan pernah menyakiti atau menyentuh seujung kuku pun Nona Valerie. Atau kalian akan berhadapan dengan saya!” sergah Jerry menatap satu persatu keluarga istri atasannya itu dengan tajam penuh ancaman.“Urusan kami hanya dengan Valerie. Kamu orang luar tidak berhak ikut campur urusan kami!” kekeh Martha menatap Valerie dengan kesal. Lalu beralih menoleh pada kedua anaknya, lewat matanya ia memberi kode untuk melakukan niatnya, yaitu meminta uang. “Cepat berikan kami uang!” Cherry dengan cepat meraih tangan Valerie. Begitu juga dengan Berry yang baru saja in
“Maaf saya terlambat.” Suara itu membuat keduanya menoleh, mendapati Valerie berdiri tak jauh dari mereka dengan gaun malam yang menjuntai ke bawah. Namun, tetap terkesan elegan. Wajahnya di poles dengan make up yang tak terlalu berlebihan, terkesan sederhana. Bibirnya yang sore tadi Max lihat terlihat pucat, kini di poles dengan lipbalm berwarna merah muda, rambut panjangnya di gulung rapi. Jerry menahan senyumnya melihat cara tuannya menatap sang istri dengan intens, tatapan yang tak pernah ia lihat saat Max menatap gadis lain. Bertahun-tahun ia mendampingi Max kemanapun pria itu pergi, tentu saja ia sedikit mengetahui gaya Max. Dan menurutnya kali ini ada yang tak biasa, dari cara Max menatap Valerie. Ia yakin tuannya itu telah terpesona dengan perempuan itu. Di tatap sedemikian rupa oleh sang suami, tentu saja membuat Valerie merasa gugup tak karuan. Saat matanya bertabrakan dengan Max, ia langsung menundukkan kepalanya menatap ke arah lantai.“Ehem!” Jerry sengaja berdeham d
“Tuan...”Tubuh Valerie terpaku di tempat, mendapati Max berdiri di depan pintunya. Dalam keberaniannya ia menatap penampilan pria itu yang entah kenapa terlihat begitu menawan. Untuk sejenak ia begitu terpesona hingga tak menyadari seperti apa penampilannya kini. Wajar saja banyak perempuan yang menginginkan pria itu. Lalu dengan dirinya yang kini bisa berada dalam satu rumah dengan Max. Apakah bisa dikatakan jika ia merupakan perempuan yang beruntung dari beberapa jajaran kaum perempuan itu? Sementara, Max bergeming menatap Valerie tak berkedip. Wajah Valerie yang pucat, rambut dicepol asal. Namun, bukan itu yang membuat pusat perhatian Max, melainkan apa yang dikenakan Valerie saat itu. Perempuan itu hanya mengenakan handuk putih sebatas paha untuk membalut tubuhnya. Hingga memperlihatkan bagian pundak dan pahanya yang terekspos mulus tanpa noda. Seketika darah Max berdesir, sesuatu dalam dirinya memberontak. Bayangan lekuk tubuh Valerie pada kejadian malam itu kembali menjelma di
“Jangan menyiksa dirimu seperti ini, Gracia.” Robert menatap anak tirinya itu dengan prihatin. Dirinya baru kembali dari luar negeri bersama Joana — sang istri, lalu dikejutkan dengan tingkah putrinya yang mengurung diri di kamar, dengan alasan yang sebenarnya ia sendiri tidak tahu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sama Papa?” Gadis berambut merah itu mengangkat wajahnya. “Kakak udah gak sayang sama aku lagi, Pa.”Joana mengedarkan pandangannya menatap kamar putrinya yang teramat berantakan. “Kata siapa? Max tetap menyayangimu. Kalian itu saudara.”“Buktinya dia menikahi gadis lain!” Perkataan yang terlontar mengejutkan pasangan suami itu.“Me—menikah?”Gracia mengangguk dengan antusias. “Iya. Dia menikahi gadis lain. Sehingga dia tidak pernah lagi peduli sama aku Pa, Ma. Gadis itu telah merebut kasih sayang kakak dariku. Aku sedih.... Aku tidak sanggup membayangkannya.”Di sisa rasa terkejutnya Robert melemparkan tatapannya pada sang istri. “Papa harus memberi pelajaran padan
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi