“Jangan menyiksa dirimu seperti ini, Gracia.” Robert menatap anak tirinya itu dengan prihatin. Dirinya baru kembali dari luar negeri bersama Joana — sang istri, lalu dikejutkan dengan tingkah putrinya yang mengurung diri di kamar, dengan alasan yang sebenarnya ia sendiri tidak tahu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sama Papa?” Gadis berambut merah itu mengangkat wajahnya. “Kakak udah gak sayang sama aku lagi, Pa.”Joana mengedarkan pandangannya menatap kamar putrinya yang teramat berantakan. “Kata siapa? Max tetap menyayangimu. Kalian itu saudara.”“Buktinya dia menikahi gadis lain!” Perkataan yang terlontar mengejutkan pasangan suami itu.“Me—menikah?”Gracia mengangguk dengan antusias. “Iya. Dia menikahi gadis lain. Sehingga dia tidak pernah lagi peduli sama aku Pa, Ma. Gadis itu telah merebut kasih sayang kakak dariku. Aku sedih.... Aku tidak sanggup membayangkannya.”Di sisa rasa terkejutnya Robert melemparkan tatapannya pada sang istri. “Papa harus memberi pelajaran padan
Pemandangan sebuah kantor megah dengan dinding berwarna putih, dipadukan dengan karpet berwarna hitam. Ada sofa panjang dengan meja pendek, lemari kaca berada di belakang meja. Sementara sang pemilik ruangan — Max menatap pemandangan luar menghadap jendela kaca yang membentang luas, dengan pandangan dingin, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Tak berselang lama pintu terketuk lalu terbuka dari luar, seorang pria melangkah masuk.“Kau sudah dapatkan informasi yang aku butuhkan?” Max bertanya tanpa berniat memutar tubuhnya, dari suara langkahnya ia seakan hafal jika yang datang asistennya.“Sudah. Saya bahkan langsung mengarahkan anak buah saya untuk meringkus pelaku. Namun, saya menduga ada orang yang menjadi dalang perbuatannya.” Jerry menghentikan ucapannya sejenak. “Tuan... Saat ini dia ada di markas kami. Anda akan turun tangan sendiri ataukah cukup saya?” lanjutnya.“Rasanya aku sudah lama tidak bermain-main. Sekarang ada seseorang yang datang memberikan s
Max semakin mengikis jarak keduanya, dalam debaran jantung yang terdengar nyaris memekak telinga. Memandang lebih intens wajah polos tanpa polesan make up dengan bibir tipis. Max menelan ludahnya, bayangan lekuk tubuh Valerie saat di malam penuh gairah itu kembali terlintas. Kemudian, otaknya kembali berjalan akan ciuman panas yang lakukan depan kamar perempuan itu. Seketika aliran tubuhnya kian memanas, seakan ada sesuatu yang mendamba. Tak dapat ditahan ia memajukan wajahnya, hingga hidung mancung keduanya saling bersentuhan. Dan saat ia mulai merunduk ingin mencecap manisnya bibir perempuan itu, detik berikutnya ia terbelalak.“Huek!!” Valerie muntah tepat mengenai pakaian Max. Seketika bau anyir, tak sedap menyeruak. Max mendesis menjauhkan tubuhnya tak suka, rasa marah dan kecewa merenggut menjadi satu. Terlihat dari wajahnya yang memerah. Valerie terbelalak menutup mulutnya, wajahnya seketika memucat kaku, saat matanya menangkap aura dingin dari Max. “Maaf, Tuan. Saya sungguh
Valerie memandang pria di depannya dengan kedua mata melotot. Pria tambun, dengan kepala botak itu merangkul pundak Cherry, dan dibalasnya dengan mesra. Seketika ia bergidik ngeri melihatnya, bahkan perutnya bergejolak ada rasa mual yang mendera. Menurutnya ini lebih menjijikkan, tak ia kira jika Cherry bahkan bermain-main dengan pria tua seperti itu. Menghela napas panjang, seharusnya ia tak perlu merasa heran, bukankah saudaranya itu akan melakukan apapun demi memenuhi gaya hidupnya. “Lihatlah sayang, perempuan ini mencari masalah denganku. Berani-beraninya dia merebut gaun incaranku.” Cherry merengek manja, menunjuk ke arah Valerie. Pria itu pun menoleh, hingga detik berikutnya matanya tampak terkejut. “Diakan—”“Apa sayang?”Pria itu merapatkan tubuhnya pada Cherry lalu berbisik. “Gadis ini kan yang dulu mau kamu berikan padaku.”Cherry menelan ludahnya, ingatannya kembali melayang pada kejadian saat itu. Ia dan Berry benar-benar kesal karena telah kehilangan jejak Valerie, bahk
Siang hari sebelumnya...Max memandang tajam ke arah sang asisten yang datang terlambat tanpa pemberitahuan. “Kau ini dari mana?”“Maaf, Tuan. Ada kejadian mendesak yang harus segera diurus.”“Urusan apa sampai kau mengabaikan kantor?”“Saya habis membantu permasalahan Nona Valerie.” Mendengar nama istrinya disebut Max terasa tertarik memandang ke arah Jerry seakan menuntut penjelasan. “Nona tengah berada Grand Luxury Mall untuk dan di sana ia bertemu dengan saudaranya. Tuan tahu apa yang terjadi? Terjadi keributan. Saudara Nona berusaha menindas dan mempermalukan Nona Valerie. Terlebih adanya dukungan dari Tuan Dario yang tak lain kekasih gelapnya.” “Dario?” ulang Max seolah.“Iya. Direktur utama perusahaan yang bergerak di bidang properti.” Jerry menghela napas panjang. “Saya benar-benar kasihan dengan Nona Valerie yang dihina habis-habisan. Tuan... Apakah anda belum memikirkan saran saya beberapa hari yang lalu.”“Apa maksudmu?” Max membuang pandangannya ke arah lain seolah tidak m
Dengan wajah memerah menahan amarah, Cherry membanting tas miliknya ke atas sofa, membuat ibu dan saudaranya kaget. “Ada apa sih? Datang-datang langsung kaya orang kesetanan gitu, Kak.” Berry yang saat itu tengah mengunyah cemilannya berdecak kesal, karena ulah kakaknya itu hampir membuat ia tersedak.“Iya. Ada apa sih? Ngos-ngosan gitu kamu. Gak tahu orang lagi pusing apa.” Martha memijat keningnya yang terasa pening. Semenjak kepergian Valerie, setiap harinya ia harus pusing memikirkan soal uang. “Ini semua itu gara-gara anak sialan itu!” Cherry berdecak pinggang masih dengan emosi yang menggebu-gebu. “Gara-gara dia aku dipermalukan di mall tadi. Gara-gara dia pula aku hampir kehilangan sumber keuanganku,” lanjutnya.“Siapa, Kak?”“Valerie. Kau pikir siapa lagi? Bodoh!” makinya membuat Berry merasa kesal. Ia bertanya baik-baik kenapa dijawab dengan begitu kasar.Cherry merebut minuman yang di hadapan adiknya itu lalu meneguknya hingga tandas, seolah tengah membakar kemarahan yang
Velerie masih terpaku di tempatnya. Ada rasa tidak percaya saat ia mendengar namanya barusan disebut oleh Max. Ia menghela napas panjang, perasaannya seketika gundah, merasa bingung memikirkan jawaban apa yang harus ia keluarkan. “Saya tidak tahu.” Saat ini hanya jawaban itulah yang terlintas dalam benaknya. Max mengendurkan dasinya, melangkah mendekati Valerie, lalu berdecih kesal. “Aku tidak menerima jawabanmu itu.” Ia melangkahkan kakinya lebih mendekat, mengikis jarak keduanya. Membuat Valerie merasa begitu gugup, dalam pantulan cahaya lampu yang sedikit remang ia dapat melihat ketampanan pria di depannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. “Katakan!” desaknya.“Apalagi.” Valerie mencoba mengalihkan pandangannya menghindari dan tatapan langsung pemilik mata biru itu. “Pernikahan kita hanya objek penutup aib kehamilanku, atas kejadian malam itu bukan.”Max tertegun sejenak mendengar jawaban Valerie. Namun, masih bergeming di tempat menatap gadis polos di depannya. “Tenang saja.
Gracia menatap nanar pada undangan berwarna hitam yang berlapis emas di atas meja. Giginya gemerelutuk wajahnya memerah, tangannya bergerak meraih undangan tersebut sebelum kemudian meremasnya layaknya suatu barang yang sudah tidak berarti. “Ini tidak mungkin!” desisnya marah. Kepalanya menggeleng kuat seolah berusaha menyangkal kenyataan yang terjadi. “Kakak tidak mungkin seserius itu kan menikahinya,” lanjutnya. Dia bertanya pada diri sendiri, menatap pantulan dirinya di cermin. Seakan-akan tengah melihat kekurangan darinya. Tidak ada, ia merasa dirinya jauh lebih sangat cantik dibandingkan Valerie, tapi kenapa dia tidak bisa memenangkan hati kakaknya. Padahal dibandingkan Valerie, ia jauh lebih dulu hadir dalam kehidupannya. Bayangan Valerie berjalan bersisian dengan kakaknya menuju altar pernikahan terlintas, seketika hatinya memanas hingga dadanya terasa sesak. “Aaaaaaaa...... Tidak!!!” tangannya bergerak meraih botol kaca dan melemparkannya hingga membuat kaca rias itu kembali
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi