“Berani sekali kalian mendorongnya! Kalian cari mati ya!”Suara bariton itu membuat semua terkejut, tak terkecuali Valerie, ia tak menyangka jika Jerry berada di sana. Padahal ia datang hanya bersama sopir dan Sarah, itupun ia hanya memintanya menunggu di gang. “Kamu siapa?” tanya Martha sinis. Sementara kedua saudara tiri Valerie saling berpandangan bingung. “Tidak penting kalian tahu siapa saya. Yang perlu kalian tahu hanyalah jangan pernah menyakiti atau menyentuh seujung kuku pun Nona Valerie. Atau kalian akan berhadapan dengan saya!” sergah Jerry menatap satu persatu keluarga istri atasannya itu dengan tajam penuh ancaman.“Urusan kami hanya dengan Valerie. Kamu orang luar tidak berhak ikut campur urusan kami!” kekeh Martha menatap Valerie dengan kesal. Lalu beralih menoleh pada kedua anaknya, lewat matanya ia memberi kode untuk melakukan niatnya, yaitu meminta uang. “Cepat berikan kami uang!” Cherry dengan cepat meraih tangan Valerie. Begitu juga dengan Berry yang baru saja in
“Maaf saya terlambat.” Suara itu membuat keduanya menoleh, mendapati Valerie berdiri tak jauh dari mereka dengan gaun malam yang menjuntai ke bawah. Namun, tetap terkesan elegan. Wajahnya di poles dengan make up yang tak terlalu berlebihan, terkesan sederhana. Bibirnya yang sore tadi Max lihat terlihat pucat, kini di poles dengan lipbalm berwarna merah muda, rambut panjangnya di gulung rapi. Jerry menahan senyumnya melihat cara tuannya menatap sang istri dengan intens, tatapan yang tak pernah ia lihat saat Max menatap gadis lain. Bertahun-tahun ia mendampingi Max kemanapun pria itu pergi, tentu saja ia sedikit mengetahui gaya Max. Dan menurutnya kali ini ada yang tak biasa, dari cara Max menatap Valerie. Ia yakin tuannya itu telah terpesona dengan perempuan itu. Di tatap sedemikian rupa oleh sang suami, tentu saja membuat Valerie merasa gugup tak karuan. Saat matanya bertabrakan dengan Max, ia langsung menundukkan kepalanya menatap ke arah lantai.“Ehem!” Jerry sengaja berdeham d
“Tuan...”Tubuh Valerie terpaku di tempat, mendapati Max berdiri di depan pintunya. Dalam keberaniannya ia menatap penampilan pria itu yang entah kenapa terlihat begitu menawan. Untuk sejenak ia begitu terpesona hingga tak menyadari seperti apa penampilannya kini. Wajar saja banyak perempuan yang menginginkan pria itu. Lalu dengan dirinya yang kini bisa berada dalam satu rumah dengan Max. Apakah bisa dikatakan jika ia merupakan perempuan yang beruntung dari beberapa jajaran kaum perempuan itu? Sementara, Max bergeming menatap Valerie tak berkedip. Wajah Valerie yang pucat, rambut dicepol asal. Namun, bukan itu yang membuat pusat perhatian Max, melainkan apa yang dikenakan Valerie saat itu. Perempuan itu hanya mengenakan handuk putih sebatas paha untuk membalut tubuhnya. Hingga memperlihatkan bagian pundak dan pahanya yang terekspos mulus tanpa noda. Seketika darah Max berdesir, sesuatu dalam dirinya memberontak. Bayangan lekuk tubuh Valerie pada kejadian malam itu kembali menjelma di
“Jangan menyiksa dirimu seperti ini, Gracia.” Robert menatap anak tirinya itu dengan prihatin. Dirinya baru kembali dari luar negeri bersama Joana — sang istri, lalu dikejutkan dengan tingkah putrinya yang mengurung diri di kamar, dengan alasan yang sebenarnya ia sendiri tidak tahu. “Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan sama Papa?” Gadis berambut merah itu mengangkat wajahnya. “Kakak udah gak sayang sama aku lagi, Pa.”Joana mengedarkan pandangannya menatap kamar putrinya yang teramat berantakan. “Kata siapa? Max tetap menyayangimu. Kalian itu saudara.”“Buktinya dia menikahi gadis lain!” Perkataan yang terlontar mengejutkan pasangan suami itu.“Me—menikah?”Gracia mengangguk dengan antusias. “Iya. Dia menikahi gadis lain. Sehingga dia tidak pernah lagi peduli sama aku Pa, Ma. Gadis itu telah merebut kasih sayang kakak dariku. Aku sedih.... Aku tidak sanggup membayangkannya.”Di sisa rasa terkejutnya Robert melemparkan tatapannya pada sang istri. “Papa harus memberi pelajaran padan
Pemandangan sebuah kantor megah dengan dinding berwarna putih, dipadukan dengan karpet berwarna hitam. Ada sofa panjang dengan meja pendek, lemari kaca berada di belakang meja. Sementara sang pemilik ruangan — Max menatap pemandangan luar menghadap jendela kaca yang membentang luas, dengan pandangan dingin, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Tak berselang lama pintu terketuk lalu terbuka dari luar, seorang pria melangkah masuk.“Kau sudah dapatkan informasi yang aku butuhkan?” Max bertanya tanpa berniat memutar tubuhnya, dari suara langkahnya ia seakan hafal jika yang datang asistennya.“Sudah. Saya bahkan langsung mengarahkan anak buah saya untuk meringkus pelaku. Namun, saya menduga ada orang yang menjadi dalang perbuatannya.” Jerry menghentikan ucapannya sejenak. “Tuan... Saat ini dia ada di markas kami. Anda akan turun tangan sendiri ataukah cukup saya?” lanjutnya.“Rasanya aku sudah lama tidak bermain-main. Sekarang ada seseorang yang datang memberikan s
Max semakin mengikis jarak keduanya, dalam debaran jantung yang terdengar nyaris memekak telinga. Memandang lebih intens wajah polos tanpa polesan make up dengan bibir tipis. Max menelan ludahnya, bayangan lekuk tubuh Valerie saat di malam penuh gairah itu kembali terlintas. Kemudian, otaknya kembali berjalan akan ciuman panas yang lakukan depan kamar perempuan itu. Seketika aliran tubuhnya kian memanas, seakan ada sesuatu yang mendamba. Tak dapat ditahan ia memajukan wajahnya, hingga hidung mancung keduanya saling bersentuhan. Dan saat ia mulai merunduk ingin mencecap manisnya bibir perempuan itu, detik berikutnya ia terbelalak.“Huek!!” Valerie muntah tepat mengenai pakaian Max. Seketika bau anyir, tak sedap menyeruak. Max mendesis menjauhkan tubuhnya tak suka, rasa marah dan kecewa merenggut menjadi satu. Terlihat dari wajahnya yang memerah. Valerie terbelalak menutup mulutnya, wajahnya seketika memucat kaku, saat matanya menangkap aura dingin dari Max. “Maaf, Tuan. Saya sungguh
Valerie memandang pria di depannya dengan kedua mata melotot. Pria tambun, dengan kepala botak itu merangkul pundak Cherry, dan dibalasnya dengan mesra. Seketika ia bergidik ngeri melihatnya, bahkan perutnya bergejolak ada rasa mual yang mendera. Menurutnya ini lebih menjijikkan, tak ia kira jika Cherry bahkan bermain-main dengan pria tua seperti itu. Menghela napas panjang, seharusnya ia tak perlu merasa heran, bukankah saudaranya itu akan melakukan apapun demi memenuhi gaya hidupnya. “Lihatlah sayang, perempuan ini mencari masalah denganku. Berani-beraninya dia merebut gaun incaranku.” Cherry merengek manja, menunjuk ke arah Valerie. Pria itu pun menoleh, hingga detik berikutnya matanya tampak terkejut. “Diakan—”“Apa sayang?”Pria itu merapatkan tubuhnya pada Cherry lalu berbisik. “Gadis ini kan yang dulu mau kamu berikan padaku.”Cherry menelan ludahnya, ingatannya kembali melayang pada kejadian saat itu. Ia dan Berry benar-benar kesal karena telah kehilangan jejak Valerie, bahk
Siang hari sebelumnya...Max memandang tajam ke arah sang asisten yang datang terlambat tanpa pemberitahuan. “Kau ini dari mana?”“Maaf, Tuan. Ada kejadian mendesak yang harus segera diurus.”“Urusan apa sampai kau mengabaikan kantor?”“Saya habis membantu permasalahan Nona Valerie.” Mendengar nama istrinya disebut Max terasa tertarik memandang ke arah Jerry seakan menuntut penjelasan. “Nona tengah berada Grand Luxury Mall untuk dan di sana ia bertemu dengan saudaranya. Tuan tahu apa yang terjadi? Terjadi keributan. Saudara Nona berusaha menindas dan mempermalukan Nona Valerie. Terlebih adanya dukungan dari Tuan Dario yang tak lain kekasih gelapnya.” “Dario?” ulang Max seolah.“Iya. Direktur utama perusahaan yang bergerak di bidang properti.” Jerry menghela napas panjang. “Saya benar-benar kasihan dengan Nona Valerie yang dihina habis-habisan. Tuan... Apakah anda belum memikirkan saran saya beberapa hari yang lalu.”“Apa maksudmu?” Max membuang pandangannya ke arah lain seolah tidak m
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi