Dengan wajah memerah menahan amarah, Cherry membanting tas miliknya ke atas sofa, membuat ibu dan saudaranya kaget. “Ada apa sih? Datang-datang langsung kaya orang kesetanan gitu, Kak.” Berry yang saat itu tengah mengunyah cemilannya berdecak kesal, karena ulah kakaknya itu hampir membuat ia tersedak.“Iya. Ada apa sih? Ngos-ngosan gitu kamu. Gak tahu orang lagi pusing apa.” Martha memijat keningnya yang terasa pening. Semenjak kepergian Valerie, setiap harinya ia harus pusing memikirkan soal uang. “Ini semua itu gara-gara anak sialan itu!” Cherry berdecak pinggang masih dengan emosi yang menggebu-gebu. “Gara-gara dia aku dipermalukan di mall tadi. Gara-gara dia pula aku hampir kehilangan sumber keuanganku,” lanjutnya.“Siapa, Kak?”“Valerie. Kau pikir siapa lagi? Bodoh!” makinya membuat Berry merasa kesal. Ia bertanya baik-baik kenapa dijawab dengan begitu kasar.Cherry merebut minuman yang di hadapan adiknya itu lalu meneguknya hingga tandas, seolah tengah membakar kemarahan yang
Velerie masih terpaku di tempatnya. Ada rasa tidak percaya saat ia mendengar namanya barusan disebut oleh Max. Ia menghela napas panjang, perasaannya seketika gundah, merasa bingung memikirkan jawaban apa yang harus ia keluarkan. “Saya tidak tahu.” Saat ini hanya jawaban itulah yang terlintas dalam benaknya. Max mengendurkan dasinya, melangkah mendekati Valerie, lalu berdecih kesal. “Aku tidak menerima jawabanmu itu.” Ia melangkahkan kakinya lebih mendekat, mengikis jarak keduanya. Membuat Valerie merasa begitu gugup, dalam pantulan cahaya lampu yang sedikit remang ia dapat melihat ketampanan pria di depannya. Jantungnya berdetak lebih kencang. “Katakan!” desaknya.“Apalagi.” Valerie mencoba mengalihkan pandangannya menghindari dan tatapan langsung pemilik mata biru itu. “Pernikahan kita hanya objek penutup aib kehamilanku, atas kejadian malam itu bukan.”Max tertegun sejenak mendengar jawaban Valerie. Namun, masih bergeming di tempat menatap gadis polos di depannya. “Tenang saja.
Gracia menatap nanar pada undangan berwarna hitam yang berlapis emas di atas meja. Giginya gemerelutuk wajahnya memerah, tangannya bergerak meraih undangan tersebut sebelum kemudian meremasnya layaknya suatu barang yang sudah tidak berarti. “Ini tidak mungkin!” desisnya marah. Kepalanya menggeleng kuat seolah berusaha menyangkal kenyataan yang terjadi. “Kakak tidak mungkin seserius itu kan menikahinya,” lanjutnya. Dia bertanya pada diri sendiri, menatap pantulan dirinya di cermin. Seakan-akan tengah melihat kekurangan darinya. Tidak ada, ia merasa dirinya jauh lebih sangat cantik dibandingkan Valerie, tapi kenapa dia tidak bisa memenangkan hati kakaknya. Padahal dibandingkan Valerie, ia jauh lebih dulu hadir dalam kehidupannya. Bayangan Valerie berjalan bersisian dengan kakaknya menuju altar pernikahan terlintas, seketika hatinya memanas hingga dadanya terasa sesak. “Aaaaaaaa...... Tidak!!!” tangannya bergerak meraih botol kaca dan melemparkannya hingga membuat kaca rias itu kembali
Beberapa jam sebelumnya.Cherry benar-benar mengadukan undangan yang ia lihat di meja kekasihnya pada ibu dan saudaranya. Tampak keduanya pun terkejut.“Mama kok tidak percaya ya. Masa seorang Tuan Max mau sih?” kata Martha heran bagaimanapun ia tahu sosok Max di pandangan orang itu seperti apa. Pria itu mapan, tampan, yang pasti banyak perempuan yang mengejarnya, merasa mustahil dari berbagai perempuan yang dekat dengannya justru berakhir di pelaminan bersama Velerie.“Aku benar-benar melihat undangannya, Ma. Selain itu Mama ingat gak kejadian di mall. Saat aku diusir paksa keluar dari toko.” Cherry menatap ke arah kedua ibu dan saudaranya yang tampak menyimak. “Orang yang membantu Valerie itu Tuan Jerry yang tak lain tangan kanan Max. Mama bisa tebak selanjutnya lah, kalau Tuan Jerry pun pasti di suruh Tuan Max.”“Ini sungguh gila! Tidak masuk akal. Bagaimana bisa, Valerie yang hanya seorang pelayan bisa bersanding dengan Tuan Max yang notabenenya orang yang paling disegani di kota i
“Max Awas!!”Brughh!! Dorr!!Valerie menegang. Peluru telah berhasil melesat tepat di bahunya. Kedua orang itu jatuh dengan darah membanjiri lantai.“Valarie!!” Kejadiannya begitu cepat, Jerry terkejut melihat tubuh Max yang terdorong jauh, di susul dengan tubuh Valerie yang meluruh ke lantai dengan darah segar mengucur. Ia tidak mengira akan ada kejadian seperti ini. Padahal sebelumnya penjagaan sudah diperketat. Lalu siapa yang tengah berani membuat kekacauan ini. Ia berjanji tidak akan memberi ampun. Suara kericuhan, jeritan terdengar riuh penuh usai insiden penembakan itu. Matanya menangkap bayangan hitam tak jauh dari jangkauannya. Terlihat bayangan itu berlari Jerry semakin menajamkan penglihatannya.“Tutup semua pintu gerbang. Perketat penjagaan jangan biarkan satu orang pun keluar dari tempat ini!!” titah Jerry pada semua penjaga. Dirinya langsung berlari mencari sosok misterius itu. Sementara Max luar biasa terkejutnya. Rasa panik menyergap melihat tubuh Valerie bersimbah d
“Kami berhasil mengeluarkan peluru yang menancap di bahu Nona, Tuan. Tetapi...” raut wajah dokter terlihat gelisah menatap wajah dingin Max dengan takut.“Apa? Katakan. Apa yang terjadi? Jika kau tidak berhasil menyelamatkannya. Maka nyawamu akan menjadi taruhannya!!” Max mencengkram kuat jas dokter tersebut. Matanya menatap penuh ancaman. “Bukan begitu, Tuan. Ini —”“Max! Apa yang kau lakukan?” Robert datang bersama Joana. Pria itupun langsung menarik tubuh Max. “Kau tidak boleh emosi seperti ini. Biarkan dokter menyelesaikan ucapannya.”Max pun mengendurkan cengkramannya, dan perlahan melepaskannya. “Katakan,” desaknya dingin.“Nona Valerie telah kehilangan banyak darah, Tuan. Dan dia membutuhkan pendonor dengan segera.”“Lakukan yang terbaik untuknya jika kau ingin tetap hidup.”“Max!” Robert menegur sikap putranya yang begitu arogan tidak menghormati profesi seseorang sama sekali. Ia tahu jika Max tengah khawatir hanya saja caranya begitu salah. Tidak semua bisa dilakukan dengan
“Jangan...”Suara seorang perempuan yang baru tiba dengan napas terengah-engah membuat mereka yang berada di sana menoleh. Gadis cantik dengan gaun pesta berwarna pink itu menatap ke arah mereka secara bergantian. “Biar saya yang menjadi pendonornya.”“Kamu siapa?” tanya Monica dengan nada sinis tidak suka. Karena kehadirannya akan mengacaukan rencananya. Begitu juga dengan kedua orang tua Max yang tampak menatapnya dengan pandangan bingung. Max terdiam seperti berusaha mengingat sesuatu. “Saya Zenata, sahabatnya Valerie.” Ia menatap ke arah Max. “Tuan biarkan saya mendonorkan darah padanya. Kebetulan golongan darah saya itu sama dengan Valerie.”“Hei, kau pikir kau siapa? Lancang sekali!” sergah Monica marah. “Saya sahabatnya Valerie. Dan dia merupakan istri Tuan Max. Anda pikir saya tidak tahu jalan pikiran Anda. Dengan Anda memaksa Tuan Max untuk menerima donor darah dari Anda. Karena Anda mau menyingkirkan sahabat saya, kan? Itu tidak akan saya biarkan. Saya tidak biarkan siapap
“Kita langsung ke rumah sakit!” titah Max tanpa menoleh ke arah Jerry. “Tapi, Tuan. Pakaian anda begitu berantakan, tidakkah anda ingin membersihkan diri lebih dulu,” ujar Jerry memberi saran seketika mendapatkan tatapan tajam tuannya. Seketika pria itu langsung menunduk. “Maaf, Tuan. Saya mengerti apa yang harus saya lakukan. Saya akan mengirimkan pakaian pada anda nanti.”“Aku hampir berpikir otakmu tertinggal di rumah si brengsek itu. Sampai-sampai pikiranmu pun tidak jalan!!” dengus Max memandang ke arah luar jendela. Pikirannya masih mengembara pada kejadian yang menggemparkan publik hari ini. “Tolong juga tangani media manapun yang meliput berita pernikahanku hari ini. Aku malas menanggapi wartawan yang banyak ocehannya. Hentikan berita itu, karena setelah Valerie bisa di bawa pulang. Aku tidak ingin membuat ia merasa tidak nyaman jika kembali melihat tragedi itu.”“Baik, Tuan.” Dan diam-diam Jerry menahan senyumnya. Ada kebahagiaan yang membuncah melihat setitik perhatian yang
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi