“Kami berhasil mengeluarkan peluru yang menancap di bahu Nona, Tuan. Tetapi...” raut wajah dokter terlihat gelisah menatap wajah dingin Max dengan takut.“Apa? Katakan. Apa yang terjadi? Jika kau tidak berhasil menyelamatkannya. Maka nyawamu akan menjadi taruhannya!!” Max mencengkram kuat jas dokter tersebut. Matanya menatap penuh ancaman. “Bukan begitu, Tuan. Ini —”“Max! Apa yang kau lakukan?” Robert datang bersama Joana. Pria itupun langsung menarik tubuh Max. “Kau tidak boleh emosi seperti ini. Biarkan dokter menyelesaikan ucapannya.”Max pun mengendurkan cengkramannya, dan perlahan melepaskannya. “Katakan,” desaknya dingin.“Nona Valerie telah kehilangan banyak darah, Tuan. Dan dia membutuhkan pendonor dengan segera.”“Lakukan yang terbaik untuknya jika kau ingin tetap hidup.”“Max!” Robert menegur sikap putranya yang begitu arogan tidak menghormati profesi seseorang sama sekali. Ia tahu jika Max tengah khawatir hanya saja caranya begitu salah. Tidak semua bisa dilakukan dengan
“Jangan...”Suara seorang perempuan yang baru tiba dengan napas terengah-engah membuat mereka yang berada di sana menoleh. Gadis cantik dengan gaun pesta berwarna pink itu menatap ke arah mereka secara bergantian. “Biar saya yang menjadi pendonornya.”“Kamu siapa?” tanya Monica dengan nada sinis tidak suka. Karena kehadirannya akan mengacaukan rencananya. Begitu juga dengan kedua orang tua Max yang tampak menatapnya dengan pandangan bingung. Max terdiam seperti berusaha mengingat sesuatu. “Saya Zenata, sahabatnya Valerie.” Ia menatap ke arah Max. “Tuan biarkan saya mendonorkan darah padanya. Kebetulan golongan darah saya itu sama dengan Valerie.”“Hei, kau pikir kau siapa? Lancang sekali!” sergah Monica marah. “Saya sahabatnya Valerie. Dan dia merupakan istri Tuan Max. Anda pikir saya tidak tahu jalan pikiran Anda. Dengan Anda memaksa Tuan Max untuk menerima donor darah dari Anda. Karena Anda mau menyingkirkan sahabat saya, kan? Itu tidak akan saya biarkan. Saya tidak biarkan siapap
“Kita langsung ke rumah sakit!” titah Max tanpa menoleh ke arah Jerry. “Tapi, Tuan. Pakaian anda begitu berantakan, tidakkah anda ingin membersihkan diri lebih dulu,” ujar Jerry memberi saran seketika mendapatkan tatapan tajam tuannya. Seketika pria itu langsung menunduk. “Maaf, Tuan. Saya mengerti apa yang harus saya lakukan. Saya akan mengirimkan pakaian pada anda nanti.”“Aku hampir berpikir otakmu tertinggal di rumah si brengsek itu. Sampai-sampai pikiranmu pun tidak jalan!!” dengus Max memandang ke arah luar jendela. Pikirannya masih mengembara pada kejadian yang menggemparkan publik hari ini. “Tolong juga tangani media manapun yang meliput berita pernikahanku hari ini. Aku malas menanggapi wartawan yang banyak ocehannya. Hentikan berita itu, karena setelah Valerie bisa di bawa pulang. Aku tidak ingin membuat ia merasa tidak nyaman jika kembali melihat tragedi itu.”“Baik, Tuan.” Dan diam-diam Jerry menahan senyumnya. Ada kebahagiaan yang membuncah melihat setitik perhatian yang
“Ada apa ini?” Suara bariton itu terdengar masuk membuat ketiganya menoleh."Mati aku!’ rutuk Gracia dalam hati. Wajahnya memucat, tapi sebisa mungkin ia berusaha mengendalikan diri mencari cara agar Max percaya padanya. “Kenapa kalian semua diam?” tanya Max lagi matanya bergerak melihat satu persatu wajah di sana. Lalu terhenti pada istrinya yang masih berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. ”Dia belum sadar?” “Belum, Max. Dokter mengatakan obat biusnya masih beraksi. Tapi, kondisinya sudah stabil kok.”“Bagaimana dengan janin dalam kandungannya?”“Semua baik-baik saja, Max. Beruntung ada Zenata yang mendonorkan darahnya.” Joana melirik ke arah Zenata. Terlihat perempuan itu tersenyum tipis. Ia melemparkan pandangannya pada Gracia, rasanya mulutnya ingin berbicara tentang kenyataan yang baru saja terjadi, tetapi ia tidak memiliki bukti yang akurat. Bagaimanapun ia sadar, di sana ia hanya orang lain. Sedangkan Gracia adik Max, yang pasti pria itu akan lebih mempercayai adiknya.
Beberapa hari setelah kondisi Valerie membaik. Ia pun sudah diperbolehkan pulang. Valerie mengedarkan pandangannya ke sudut ruang seperti mencari seseorang. “Nona, kamarnya sudah siap. Mari saya antar.” Sarah mempersilahkan Valerie untuk beranjak. Namun, perempuan itu hanya bergeming di tempat. “Nona ada apa? Anda butuh sesuatu?” tambah Sarah kemudian.“Tuan Max di mana?” Valerie menoleh dan bertanya secara tiba-tiba. Entah kenapa ia begitu ingin melihat sosok dingin yang tiba-tiba melingkupi pikirannya itu. Dalam beberapa hari Max memang tidak pernah berkunjung ke rumah sakit, terakhir kali saat hari pertama ia masuk rumah sakit. Ia ingat tentang ciumannya yang berakhir gagal akibat kehadiran Jerry, hingga spontan mendorong tubuh pria itu hingga terjatuh. Ia bisa melihat kekesalan di wajah pria itu. Dan sejak hari itu ia pun tidak pernah lagi melihat sosok Max ke rumah sakit. Ia sampai berpikir mungkinkah Max marah dengannya? Ada dua bodyguard yang menjaganya, tetapi tidak sekali
Aktivitas Valerie tidak jauh-jauh dari tidur, menonton televisi, bermain ponsel dan makan. Semua ia lakukan hanya di sekitar rumah. Bahkan untuk mengecek bekas operasi saja, Max lebih memilih mendatangkan dokter pribadi. Ia benar-benar merasa bagai burung dalam sangkar. Sudah seminggu berlalu, dan lukanya pun sudah mengering. Dan selama itu pula ia jarang bertemu Max. Keduanya tinggal satu atap tapi seperti berbeda rumah. Kadang bertemu hanya saat makan malam berlangsung, dan itupun bisa dihitung dengan jari. Duduk di kursi, dengan satu kue nastar yang dibuat oleh koki khusus, ia dengan tenang membaca buku novel, entah ini sudah berapa kali ia lakukan. “Sarah, buatkan aku kopi.”Suara bariton terdengar, ia menurunkan bukunya dan menoleh mendapati Max berdiri di sampingnya. Samar-samar ia bisa mencium aroma parfum yang menggairahkan. Sejak aktivitasnya panasnya yang gagal itu hubungan keduanya semakin dingin. Ia yang merasa sungkan untuk menegur lebih dulu, dan juga Max yang seperti
18+ “Tidurlah aku akan menemanimu di sini.”Ucapan Max terdengar sangat dekat di telinga Valerie, membuatnya tidak berkutik. Tangan kekarnya merengkuh pinggangnya, hangat napas terdengar dari arah belakang lehernya. Jantungnya berdetak lebih kencang nyaris memekik telinganya. “Jantungmu berdetak lebih kencang.” Max kembali berkata membuat Valerie sama sekali tidak bisa bergerak leluasa. Entah apa yang terjadi dengan pria itu tiba-tiba. Rasa penasaran merenggut, tapi ia tidak berani untuk bersuara. “Kamu lembut dan wangi. Parfum yang kamu pakai masih sama seperti saat pertama kali kita bertemu, tidak ada yang berubah. Kau tidak mengganti apapun.”Valerie menahan napas merasakan suara Max terdengar sangat dekat, bahkan napasnya telah berhasil menyapu ceruk lehernya. “Emm rambutmu juga wangi. Ku rasa kalau ini yang sudah berubah aromanya.”“Ah.. i—itu Tu—tuan...”“Sstt... Jangan panggil aku Tuan,” protesnya membuat Valerie menelan ludahnya secara susah payah. “Aku suamimu!!” lanjutnya
Ketika fajar telah menyingsing di pagi hari. Valerie membuka kedua matanya tepat di pukul setengah sembilan pagi, dan ia hanya mendapati dirinya sendiri yang terbaring di ranjang, tanpa suaminya. Ia bahkan tidak tahu kapan pria itu keluar dari kamarnya. Bahkan suara jam Beker di atas nakas yang sejak tadi berbunyi pun tidak ia dengar. Pun demikian rasa mual yang setiap pagi berlangsung tidak juga ia rasakan. Ya, biasanya rutinitas setiap pagi saat bangun tidur ia akan langsung berlama-lama di kamar mandi demi memuntahkan cairan beningnya. Tapi, hari ini tidak ia justru merasa nyaman dan hangat dalam tidurnya. Valerie bahkan tidak pernah merasa senyenyak itu dalam tidurnya selama ini. Masih dalam kondisi berbaring, Valerie menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian semalam, seketika pipinya bersemu. Bagaimana ia begitu terbuai dalam permainan panas yang menggelora oleh Max. Kata-kata manis dan bujuk rayunya yang keluar dari bibir pria itu membuat ia mera
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi