“Jangan...”Suara seorang perempuan yang baru tiba dengan napas terengah-engah membuat mereka yang berada di sana menoleh. Gadis cantik dengan gaun pesta berwarna pink itu menatap ke arah mereka secara bergantian. “Biar saya yang menjadi pendonornya.”“Kamu siapa?” tanya Monica dengan nada sinis tidak suka. Karena kehadirannya akan mengacaukan rencananya. Begitu juga dengan kedua orang tua Max yang tampak menatapnya dengan pandangan bingung. Max terdiam seperti berusaha mengingat sesuatu. “Saya Zenata, sahabatnya Valerie.” Ia menatap ke arah Max. “Tuan biarkan saya mendonorkan darah padanya. Kebetulan golongan darah saya itu sama dengan Valerie.”“Hei, kau pikir kau siapa? Lancang sekali!” sergah Monica marah. “Saya sahabatnya Valerie. Dan dia merupakan istri Tuan Max. Anda pikir saya tidak tahu jalan pikiran Anda. Dengan Anda memaksa Tuan Max untuk menerima donor darah dari Anda. Karena Anda mau menyingkirkan sahabat saya, kan? Itu tidak akan saya biarkan. Saya tidak biarkan siapap
“Kita langsung ke rumah sakit!” titah Max tanpa menoleh ke arah Jerry. “Tapi, Tuan. Pakaian anda begitu berantakan, tidakkah anda ingin membersihkan diri lebih dulu,” ujar Jerry memberi saran seketika mendapatkan tatapan tajam tuannya. Seketika pria itu langsung menunduk. “Maaf, Tuan. Saya mengerti apa yang harus saya lakukan. Saya akan mengirimkan pakaian pada anda nanti.”“Aku hampir berpikir otakmu tertinggal di rumah si brengsek itu. Sampai-sampai pikiranmu pun tidak jalan!!” dengus Max memandang ke arah luar jendela. Pikirannya masih mengembara pada kejadian yang menggemparkan publik hari ini. “Tolong juga tangani media manapun yang meliput berita pernikahanku hari ini. Aku malas menanggapi wartawan yang banyak ocehannya. Hentikan berita itu, karena setelah Valerie bisa di bawa pulang. Aku tidak ingin membuat ia merasa tidak nyaman jika kembali melihat tragedi itu.”“Baik, Tuan.” Dan diam-diam Jerry menahan senyumnya. Ada kebahagiaan yang membuncah melihat setitik perhatian yang
“Ada apa ini?” Suara bariton itu terdengar masuk membuat ketiganya menoleh."Mati aku!’ rutuk Gracia dalam hati. Wajahnya memucat, tapi sebisa mungkin ia berusaha mengendalikan diri mencari cara agar Max percaya padanya. “Kenapa kalian semua diam?” tanya Max lagi matanya bergerak melihat satu persatu wajah di sana. Lalu terhenti pada istrinya yang masih berbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. ”Dia belum sadar?” “Belum, Max. Dokter mengatakan obat biusnya masih beraksi. Tapi, kondisinya sudah stabil kok.”“Bagaimana dengan janin dalam kandungannya?”“Semua baik-baik saja, Max. Beruntung ada Zenata yang mendonorkan darahnya.” Joana melirik ke arah Zenata. Terlihat perempuan itu tersenyum tipis. Ia melemparkan pandangannya pada Gracia, rasanya mulutnya ingin berbicara tentang kenyataan yang baru saja terjadi, tetapi ia tidak memiliki bukti yang akurat. Bagaimanapun ia sadar, di sana ia hanya orang lain. Sedangkan Gracia adik Max, yang pasti pria itu akan lebih mempercayai adiknya.
Beberapa hari setelah kondisi Valerie membaik. Ia pun sudah diperbolehkan pulang. Valerie mengedarkan pandangannya ke sudut ruang seperti mencari seseorang. “Nona, kamarnya sudah siap. Mari saya antar.” Sarah mempersilahkan Valerie untuk beranjak. Namun, perempuan itu hanya bergeming di tempat. “Nona ada apa? Anda butuh sesuatu?” tambah Sarah kemudian.“Tuan Max di mana?” Valerie menoleh dan bertanya secara tiba-tiba. Entah kenapa ia begitu ingin melihat sosok dingin yang tiba-tiba melingkupi pikirannya itu. Dalam beberapa hari Max memang tidak pernah berkunjung ke rumah sakit, terakhir kali saat hari pertama ia masuk rumah sakit. Ia ingat tentang ciumannya yang berakhir gagal akibat kehadiran Jerry, hingga spontan mendorong tubuh pria itu hingga terjatuh. Ia bisa melihat kekesalan di wajah pria itu. Dan sejak hari itu ia pun tidak pernah lagi melihat sosok Max ke rumah sakit. Ia sampai berpikir mungkinkah Max marah dengannya? Ada dua bodyguard yang menjaganya, tetapi tidak sekali
Aktivitas Valerie tidak jauh-jauh dari tidur, menonton televisi, bermain ponsel dan makan. Semua ia lakukan hanya di sekitar rumah. Bahkan untuk mengecek bekas operasi saja, Max lebih memilih mendatangkan dokter pribadi. Ia benar-benar merasa bagai burung dalam sangkar. Sudah seminggu berlalu, dan lukanya pun sudah mengering. Dan selama itu pula ia jarang bertemu Max. Keduanya tinggal satu atap tapi seperti berbeda rumah. Kadang bertemu hanya saat makan malam berlangsung, dan itupun bisa dihitung dengan jari. Duduk di kursi, dengan satu kue nastar yang dibuat oleh koki khusus, ia dengan tenang membaca buku novel, entah ini sudah berapa kali ia lakukan. “Sarah, buatkan aku kopi.”Suara bariton terdengar, ia menurunkan bukunya dan menoleh mendapati Max berdiri di sampingnya. Samar-samar ia bisa mencium aroma parfum yang menggairahkan. Sejak aktivitasnya panasnya yang gagal itu hubungan keduanya semakin dingin. Ia yang merasa sungkan untuk menegur lebih dulu, dan juga Max yang seperti
18+ “Tidurlah aku akan menemanimu di sini.”Ucapan Max terdengar sangat dekat di telinga Valerie, membuatnya tidak berkutik. Tangan kekarnya merengkuh pinggangnya, hangat napas terdengar dari arah belakang lehernya. Jantungnya berdetak lebih kencang nyaris memekik telinganya. “Jantungmu berdetak lebih kencang.” Max kembali berkata membuat Valerie sama sekali tidak bisa bergerak leluasa. Entah apa yang terjadi dengan pria itu tiba-tiba. Rasa penasaran merenggut, tapi ia tidak berani untuk bersuara. “Kamu lembut dan wangi. Parfum yang kamu pakai masih sama seperti saat pertama kali kita bertemu, tidak ada yang berubah. Kau tidak mengganti apapun.”Valerie menahan napas merasakan suara Max terdengar sangat dekat, bahkan napasnya telah berhasil menyapu ceruk lehernya. “Emm rambutmu juga wangi. Ku rasa kalau ini yang sudah berubah aromanya.”“Ah.. i—itu Tu—tuan...”“Sstt... Jangan panggil aku Tuan,” protesnya membuat Valerie menelan ludahnya secara susah payah. “Aku suamimu!!” lanjutnya
Ketika fajar telah menyingsing di pagi hari. Valerie membuka kedua matanya tepat di pukul setengah sembilan pagi, dan ia hanya mendapati dirinya sendiri yang terbaring di ranjang, tanpa suaminya. Ia bahkan tidak tahu kapan pria itu keluar dari kamarnya. Bahkan suara jam Beker di atas nakas yang sejak tadi berbunyi pun tidak ia dengar. Pun demikian rasa mual yang setiap pagi berlangsung tidak juga ia rasakan. Ya, biasanya rutinitas setiap pagi saat bangun tidur ia akan langsung berlama-lama di kamar mandi demi memuntahkan cairan beningnya. Tapi, hari ini tidak ia justru merasa nyaman dan hangat dalam tidurnya. Valerie bahkan tidak pernah merasa senyenyak itu dalam tidurnya selama ini. Masih dalam kondisi berbaring, Valerie menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang pada kejadian semalam, seketika pipinya bersemu. Bagaimana ia begitu terbuai dalam permainan panas yang menggelora oleh Max. Kata-kata manis dan bujuk rayunya yang keluar dari bibir pria itu membuat ia mera
“Kau benar-benar payah! Kau bilang kau akan menaklukkan Max dengan mudah. Mana buktinya dia bahkan tiba-tiba menikah!!” Johnson menatap sang putri dengan kesal.“Aku sudah berusaha, Pa. Tapi, menarik simpati Max itu tidak semudah menarik simpati lain,” keluh Monica tidak terima di salahkan. “Jika saja Papa mengijinkan dengan kejahatan. Mungkin lebih baik musnahkan saja Valerie,” sambungnya kemudian.“Jangan bodoh. Jika kau menggunakan kejahatan sampai titik liang lahat pun pasti akan Max gali.” Jhonson terdiam sejenak seolah tengah mencari ide lain. “Apalagi, Pa.” Monica menghentakkan kakinya dengan kesal. “Aku bahkan kemarin sudah rela datang ke rumah sakit menawarkan bantuan. Setidaknya untuk menarik simpati Max. Tapi, apa yang aku dapatkan. Dia menghinaku, Pa. Dia bilang darahku banyak virus. Hingga akhirnya kedatangan teman Valerie mengacaukan segalanya,” lanjutnya kemudian kedua tangannya mengepal seolah tidak terima. Pesonanya bisa dikalahkan seorang Valerie, perempuan yang bah