“Apa dia yang kalian maksud?” Seorang pria bertubuh tambun dan berkepala botak, sedang mengelus dagunya, menatap lurus gadis cantik di sana.
“Benar. Bagaimana? Apakah om tertarik? Aku jamin dia masih segel,” terang wanita dengan rambut coklat tergerai lurus, sambil tersenyum penuh kemenangan.Pria itu memindai tubuh molek gadis cantik bernama Valerie di sana, dengan tatapan lapar. Ia menelan ludah dan menjilat bibir, lalu menyunggingkan seulas seringai buas.“Oke, aku mau. Bawa dia ke kamarku. Aku akan memberikan bayaran setelah aku selesai dengannya.” Pria itu meletakkan kembali gelas di tangannya, dengan tatapan intens yang masih tidak lepas dari Valerie.Dua wanita cantik yang memiliki hubungan darah itu tersenyum puas. “Deal!”“Aku tunggu dia di kamarku. Tak sabar rasanya mengarungi kenikmatan bersamanya.”Sepeninggalan pria tua itu, keduanya mulai beraksi. Salah satunya mengambil bungkusan obat perangsang dari dalam tas kecil, mencampurkannya ke dalam salah satu gelas minuman. Sementara yang lainnya langsung menarik tangan Valerie yang saat itu tengah menata minuman di atas nampan.“Ikut aku!” teriak Berry sambil melebarkan kedua matanya.“Aku sedang bekerja, Kak!” protes Valerie saat dirinya dibawa keluar ruangan. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Berry, tetapi tenaga wanita yang dipanggil kakak itu, lebih mendominasi.“Minum ini!” Cherry pun membuka paksa mulut Valerie agar mau menelan minuman yang sudah dicampur obat perangsang, sedangkan Berry menahan kedua tangannya supaya tidak memberontak. Valerie yang tidak mengantisipasi hal itu, langsung tersedak dan berusaha memberontak. Namun, dua wanita yang memiliki keterikatan keluarga itu, seolah tidak peduli dan terus memaksa, hingga lebih dari separuh minuman keras itu berhasil masuk ke dalam tubuh Valerie.Cherry dan Berry menyeringai puas melihat Valerie tampak tidak berdaya.“Sekarang ikut kami!”“Aku harus bekerja! Lepaskan aku!”Valerie berusaha melepaskan diri saat tangannya ditarik paksa menuju lift.“Ini juga bagian dari kerjaanmu, Bodoh!” Dua wanita itu terus memaksa Valerie.Ketika lift berdenting terbuka, Valerie kembali memberontak dalam cengkeraman dua saudaranya. Gadis itu merasa ia harus pergi menjauh karena mereka pasti punya rencana jahat terhadapnya. Dengan sisa-sisa kesadaran, Valerie menginjak kaki keduanya lalu mendorong mereka dengan kuat hingga terjatuh.“Argh, gadis sialan!” Keduanya berteriak bersamaan dan Valerie berhasil berlari keluar dari lift.“Mau ke mana kamu sialan! Kemari!” Cherry terus berteriak memanggil Valerie yang terus berlari menyusuri lorong hotel yang sepi.“Ayo, Kak. Cepat kejar. Jangan sampai rencana kita berantakan. Atau kita tidak akan mendapatkan uang itu!” desak Berry.“Aku juga lagi berusaha, Bodoh!” sentak sang kakak sembari memukul kepala adiknya.Valerie terus berlari menyusuri lorong-lorong kamar mewah itu untuk mencari tempat persembunyian. Ia bahkan tidak tahu jelas berada di mana sekarang.Gadis itu merasakan tubuhnya memanas. Ada dorongan dari dalam dirinya yang membuat Valerie mendambakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Di tengah-tengah itu, ekor matanya menangkap bayangan kedua saudaranya yang masih terus mengejar dirinya. Semakin mendekat, ia merasa semakin terdesak.Panik, Valerie yang tak sengaja melihat sebuah kamar yang pintunya sedikit terbuka, langsung masuk ke dalamnya tanpa berpikir panjang.“Sialan! Ke mana dia?!”Valerie yang sudah mengunci pintu dengan rapat masih bisa mendengar makian Cherry di luar.Gadis itu mulai gelisah saat rasa panas itu semakin menjalar dan merenggut akal sehatnya.“Aduhh... ahh... kenapa rasanya panas sekali di sini.” Valerie meracau tak terkendali. Ia mengipasi wajahnya dengan tangan sambil berjalan sempoyongan mencari air. Mendadak ia merasa sangat haus.“Siapa kau berani-beraninya masuk ke kamarku?!”Valerie terkejut mendengar suara seorang pria yang tengah duduk di tepi kasur.“Pergi!” usir pria itu dengan suara serak. Ia tampak memejam sambil memijat pelipisnya. Keadaannya sama kacaunya dengan Valerie.Valerie tak bisa menahan diri saat gelombang hasrat itu semakin membara dalam dirinya.“Tu-tuan… tolong aku...” rintih Valerie sambil menggigit bibirnya untuk menahan lenguhan. Rasa panas yang tak tertahankan membuat Valerie bergerak melepaskan satu persatu kancing kemejanya.Pria itu menghela napas gusar. Wajahnya memerah dengan tatapan yang tidak fokus. Ia mencoba menekan hasrat liar yang perlahan mulai mencekiknya lehernya saat menatap tubuh molek Valerie yang terpampang nyata di hadapannya.Ia lantas menggeleng, berusaha berpikir jernih. “Pergi!” usirnya sekali lagi saat Valerie berjalan mendekat ke arahnya.“T-tuan… tolong sentuh aku....” Valerie kembali meracau, tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. “Panas sekali… aku tidak tahan lagi…” Valerie terus merengek dengan nada yang justru membangkitkan sisi kelelakian pria mabuk tersebut.Rintihan dan rengekan gadis asing itu terdengar seksi, semakin mengikis kewarasannya. Namun, ia berusaha tetap sadar. Pria itu berdiri, hendak mengusir Valerie dengan tangannya sendiri.Tanpa disangka, Valerie tiba-tiba menabrak tubuhnya dan mencium bibirnya.Pria itu terpaku sejenak, berperang dengan akal sehatnya. Namun, tubuhnya bereaksi sebaliknya. Dorongan hasrat dalam dirinya tak lagi terbendung, hingga akhirnya membuncah dalam bentuk lumatan panas. Ia membalas ciuman Valerie, lebih dalam, lebih liar dan lebih menuntut.Kini permainan panas itu beralih didominasi oleh pria itu.Suara erangan terputus-putus keluar dari bibir Valerie, membuat hasratnya semakin menggila, menuntutnya untuk mendorong tubuh perempuan itu ke atas ranjang, lalu dengan cepat ia menindihnya.“Kau yang memulai,” ujar pria tampan tersebut dengan suara dalam. Gairahnya sudah memuncak dan tak akan bisa dihentikan oleh siapapun.“Tolong…” rintih Valerie di tengah cumbuan yang memabukkan. “Aku ingin…”Suara gadis itu terdengar begitu seksi di telinganya. Tanpa membuang waktu, lelaki itu membuka seluruh pakaiannya dan membiarkannya berserakan di lantai. Ia merunduk dan mulai menikmati hidangan indah dan nikmat yang sudah tersaji di depan mata.Tak ada suara apapun selain desahan dan erangan yang keluar dari bibir Valerie saat lelaki itu bermain-main di puncak dadanya. Pria itu mendominasi seluruh tubuhnya, menjamah titik-titik sensitifnya, tak ada yang terlewat sedikitpun.Hasrat terus naik membabi buta, seolah membakar keduanya. Pria itu menghirup aroma tubuh Valerie pada ceruk lehernya, sambil memposisikan dirinya di tengah tubuh Valerie yang tampak sudah siap menerimanya.“Aaah.... sakit!” Valerie memekik kesakitan saat merasakan benda asing itu memasuki inti tubuhnya.Pria itu menghentikan gerakannya sejenak, merasakan punggungnya perih akibat cengkeraman Valerie. Ia menunggu sampai gadis itu mulai bisa menerima miliknya di bawah sana.Melihat sepasang mata Valerie yang berair membuat pria itu menunduk dan mempertemukan bibir mereka lagi, seolah tidak membiarkan Valerie tenggelam dalam rasa sakit.“Ngh…” Valerie mulai kembali melenguh. Rasa sakitnya mulai tergantikan nikmat akibat permainan lihai pria di atasnya.Pria bertubuh atletis itu terus bergerak, sampai akhirnya Valerie lupa akan rasa sakit dan tak nyaman yang tadi ia rasakan. Tubuhnya mulai rileks dan merespon gerakan sensual pria tersebut tak kalah bergairah.Keduanya terus bergerak seirama, menyatu dalam hasrat yang tak berkesudahan…***Sinar matahari membias melalui celah jendela yang sebagian tak tertutup gorden, mengganggu tidur Valerie.Gadis itu membuka mata dan mengerjap beberapa kali. Ia tampak kebingungan melihat kamar mewah yang terasa asing. Detik berikutnya, ia membulatkan kedua matanya saat mendapati sosok pria gagah tidur di sebelahnya.“Ya Tuhan... apa yang terjadi...” Valerie memekin tertahan, lalu menelan ludah gugup saat mengenali pria yang masih terlelap itu. “Tu-tuan Anderson...” lirihnya dengan suara gemetar.Pria ini adalah Max Anderson, pemilik acara jamuan bisnis mewah tempat ia bekerja semalam!Valerie mengubah posisinya menjadi duduk. Sepasang matanya bergerak menyapu sekitar. “Bagaimana aku bisa berada di sini?” gumamnya lalu melihat keadaan tubuhnya yang dipenuhi tanda cinta. “Apa yang sudah kulakukan?!”Pertanyaan itu membuat ia berusaha mengingat kejadian semalam. Namun, kepalanya terasa berdentam menyakitkan membuat ia tak bisa berpikir dengan jernih.Valerie gemetar ketakutan. Max Anderson adalah Presdir Anderson Corp. yang sangat disegani. Dia bukan orang sembarangan! Jika apa yang terjadi semalam terendus media, bisa dipastikan itu akan menjadi skandal besar yang menggemparkan. Apa kata publik jika seorang pria yang memiliki kekuasaan tertinggi menghabiskan malam dengan seorang pelayan rendahan?Bisa-bisa Valerie yang terkena imbasnya!Panik, gadis itu merasa harus segera pergi sebelum pria itu bangun. Ia hendak turun dari ranjang, namun pangkal pahanya terasa sangat nyeri.“Aww... sakit sekali…” Valerie menggigit bibir karena takut suaranya membangunkan pria itu. “Perih...” rintihnya ketika salah satu kakinya akhirnya berhasil menapak ke lantai.Tertatih-tatih, gadis itu memunguti baju yang berserakan di lantai dan memakainya dengan tergesa.Valerie harus pergi secepatnya! Dia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Max yang terkenal tidak mengampuni siapapun yang berbuat kesalahan.Saat Valerie berjingkat-jingkat menuju pintu keluar, suara bariton yang tajam tiba-tiba terdengar.“Mau ke mana kau?”“Mau ke mana kau?”Suara dingin Max membuat Valerie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia menelan ludah susah payah, berusaha mengabaikan Max dan melanjutkan niatnya untuk membuka pintu. Namun, ia tersentak saat tangan kekar Max menyambar lengannya dan membuat tubuhnya berbalik. Pria itu dengan cepat menghimpitnya ke daun pintu, lalu menguncinya di sana. “Siapa yang membayarmu?” tanya Max to the point. Matanya terlihat tajam seakan mampu menghunus jantung lawan bicaranya.“Ti-tidak ada, Tuan,” sahut Valerie, berusaha untuk terlihat tenang. “Tidak usah berlagak polos,” desis Max penuh penekanan. “Aku tahu kau datang ke kamarku karena ada yang menyuruhmu kan?” Pria yang kini hanya mengenakan kimono itu, kembali mengingat kejadian semalam saat ia meneguk minuman yang dibawa seorang pelayan, dan selanjutnya tubuhnya terasa memanas, bergairah tak terkendalikan. Beruntung ia bisa sampai dengan aman ke kamarnya tanpa membuat keributan. “Siapa yang menyuruhmu memasukkan obat si
Sebelum benar-benar pergi dari hotel itu, Valerie mengambil tasnya yang tertinggal di loker. Ketika sampai di lobi, ia sudah ditunggu oleh sopir Max. Dalam perjalanan, gadis itu mengambil cek yang tadi diberikan Max padanya. Matanya seketika membulat melihat nominal yang tertera di sana. ‘Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya...' gumam Valerie. Bagaimana Max memberinya uang sebanyak ini hanya karena kesalahan satu malam? Apakah baginya uang miliaran tidak ada artinya? Valerie menghela napas panjang. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ia tidak akan mengambil job paruh waktu di pesta jamuan bisnis Anderson Corp. Dengan begitu, Valerie pasti tidak akan berakhir di ranjang pria yang paling disegani di kota ini, dan tidak kehilangan kesuciannya. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Valerie hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. 'Aku harap tidak akan ada apapun yang terjadi ke depannya,’ gumamnya dalam hati. Valerie kembali menyandarkan kepalanya setelah memasukkan cek itu
Anderson Corp Brakkkkk!!!!!Max menggebrak mejanya setelah membaca dokumen di hadapannya, membuat Jerry terkejut. Tak hanya itu bahkan lelaki itu melemparkan dokumen itu tepat di bagian kepala divisi pemasaran. “Ampun Tuan... Saya benar-benar minta maaf.” Lelaki setengah baya itu meluruhkan tubuhnya di hadapan Max memohon ampun karena telah ketahuan melakukan korupsi. “Tidak ada ampun bagimu. Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak jujur!” Max melipatkan kedua tangannya di dada. Mengibaskan kakinya yang tengah dipeluk oleh lelaki itu. “Jerry pecat semua orang-orang yang terlibat di dalamnya, tanpa rasa terhormat. Blacklist nama mereka semua.”“Ampun Tuan... Saya mohon. Kasihani keluarga kami.”Sang pemilik mata biru itu memandang ke arah lelaki itu dengan bengis. “Saat kamu melakukan tindakan korupsi. Pernahkah kamu berpikir apa akibatnya? Bagaimana nasib perusahaan saya, serta karyawan-karyawan saya. Ingat setiap perbuatan pasti akan ada ganjarannya. Nikmati saja, karmamu. Masih
Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya. “Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan. “Vale, kenapa?” Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja. “Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gem
“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi. “Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya. “Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri. “Dia tengah mengandung
Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” sergah Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tangan
Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya den
Mobil Lexus hitam membelah jalan raya yang cukup padat Malam kian beranjak tapi pesta belum juga selesai. Ia yang merasa sudah bosan memilih pamit undur diri, pun ia merasa jengah dengan tingkah keagresifan sang pemilik pesta. Klakson mobil terdengar bingar mengesalkan, sekesal suasana hati Max saat ini.“Kau tahu apa yang dikatakan Monica di pesta tadi, Jerry.” Pria bertubuh kekar dalam balutan jas resmi itu membuka obrolan, membuat Jerry yang tengah mengemudikan mobilnya itu menatap ke arahnya dari balik spion mobilnya dengan penasaran.“Tidak tahu, Tuan.”Max mengendurkan dasinya, melepaskan satu kancing kemejanya, lalu menghela napas berat. “Dia melamarku,” katanya kemudian membuat Jerry cukup terkejut.“Luar biasa.” Sang asisten berdecak kagum sekaligus heran. Dengusan menyebalkan terdengar dari bibir Max. “Dia mengancamku akan melakukan apapun. Jika, aku tidak menerima lamarannya.”Pria yang sudah beberapa tahun bersama dengan Max itu bahkan sampai melongo mendengarnya, bahkan
Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M
Centro Rest Star adalah sebuah restoran bintang lima yang terkenal dengan keindahan dan kelezatan makanannya di kota itu. Zenata pernah sekali masuk kesana, saat ia masih bekerja di catering di mana tempatnya bekerja di sewa khusus di restoran tersebut. Ia masih tidak percaya jika akan kembali memasuki restoran mewah tersebut. Otaknya berpikir merencanakan makanan apa saja yang akan ia nikmati di dalam sana. Tapi, detik berikutnya ia pun menggelengkan kepalanya, mengenyahkan isi pikirannya. Bukankah niatnya masuk hanya menemani Jerry, kenapa ia jadi berpikir ingin ikut makan. Padahal sebelumnya ia sudah terlanjur menolak. Kalau tiba-tiba ia ikut makan, bisa-bisa jadi bahan ejekan Jerry. Sudahkah, lebih baik ia diam setidaknya ia bisa menikmati kemewahan hotel tersebut. Barangkali masih bisa ber-selfie untuk mengabadikan momen tersebut.Kejutan menanti begitu ia tiba di pintu restoran seorang sekuriti memberikan sekuntum bunga mawar putih. Dengan bingung ia pun menerimanya, tapi terny
Kedatangan Dante telah disambut antusias oleh penghuni rumah. Bahkan semua karyawan rumah Max dengan antusias telah menyiapkan kado untuk bayi mungil itu. “Aku ambil kursi roda dulu,” ujar Max menahan Valerie yang hendak turun dari mobil.“Buat apa?”“Buat kamulah.”Valerie melotot tidak percaya. “Aku bisa jalan.”“Enggak bisa. Aku sudah sediakan kursi roda buat kamu. Kamu kan baru lahirkan.”“Max aku hanya baru melahirkan bukan karena lumpuh. Aku masih bisa berjalan normal, kamu anggap aku lumpuh sampai diminta pakai kursi roda segala!” omel Valerie. “Ckk!! Udah diam. Kamu emang gak lumpuh tapi kan emang masih sakit habis melahirkan. Harusnya kamu itu bangga bukannya marah. Punya suami siaga begini,” sahut Max membuat Valerie memutar bola matanya jengah, lalu menurunkan kakinya berniat mengabaikan peringatan Max. Tapi, yang terjadi tiba-tiba tubuhnya melayang saat suaminya itu menggendongnya begitu saja.“Max. Lepasin..”“Gak!”“Turunkan aku. Aku masih jalan.”“Kamu keras kepala su
“Buruan, Jerry!!” “Iya, Tuan.”“Kamu itu bisa nyetir apa tidak sih. Istriku sudah kesakitan, dari tadi bawa mobil jalannya seperti keong!!” omel Max. Padahal yang terjadi Jerry sudah membawa mobil itu dengan kecepatan maksimal. Hanya saja Max saja yang berlebihan, menganggap seolah-olah jalan raya itu miliknya. Tahu gitu tadi ia sarankan saja pakai mobil ambulance. Karena hanya dengan mobil ambulance lah yang bisa menyerobot jalan dengan mudah. “Saya sudah membawanya dengan kecepatan maksimal, Tuan.”“Halah bohong buktinya tidak sampai-sampai.” Max bersungut marah. Pakaiannya yang terlihat rapi kini menjadi acak-acakan karena setiap kontraksi itu datang, Valerie akan menarik dirinya entah itu dasinya, jasnya atau bahkan lengannya. Tak terhitung sudah berapa banyak cubitan yang Valerie berikan. Seketika Max merasa sedikit teraniaya. Ah seandainya bukan karena istrinya mau melahirkan buah hatinya, Max pasti akan mengomeli Valerie habis-habisan. “Kau mau..."“Aaa... Diam! Kau berisi