Brakk!!!“Gracia!!!”Robert dan Joana yang pagi itu tengah melakukan sarapan terkejut mendengar teriakan Max yang memanggil Gracia. Meninggalkan sarapan, mereka langsung menghampirinya. “Max, ini ada apa?” Joana bertanya dengan nada bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam dirinya, saat melihat wajah putra sambungnya yang terlihat emosi.“Iya, Max. Ada apa? Pagi-pagi datang bukannya ucapin salam langsung dobrak pintu teriak-teriak begitu. Gak pantas tahu. Gak ada sopannya kamu tuh,” tegur Robert kemudian.Max menatap keduanya dengan bengis. “Berkunjung ke rumah seorang pembunuh itu tidak perlu mengucapkan salam apalagi dengan tingkah sopan santun. Seharusnya aku langsung melayangkan bidikan senjata tajam, itu lebih baik.”“Apa maksudmu, Max? Siapa yang jadi pembunuh!!” Joana semakin tidak mengerti. Menoleh ke arah sang suami penuh tanda tanya. “Di mana putrimu?!!” “Gracia.” Joana semakin ketar-ketir, hatinya diliputi tanda tanya, rasa gelisah yang berlebihan. Max datang mengataka
Max mengedarkan pandangannya menatap seluruh isi kamar Valerie yang begitu rapi, terutama meja rias. Ada peralatan make up dan skincare Valerie terlihat berjajar rapi di sana.Ranjang king size itu bahkan terlihat begitu rapi, tanpa ada jejak yang berserakan. Beralih ke walk in closed, ia menatap pakaian Valerie yang begitu rapi, tas-tas brand ternama tersusun rapi, begitu juga dengan aksesoris serta perhiasan mewah lainnya. Semua itu tidak memperlihatkan jika Valerie, akhirnya akan meninggalkan dirinya.Ia merasa sudah memperlakukan Valerie dengan begitu baik. Mencukupi segala kebutuhannya, tidak hanya sekedar nafkah lahir, bahkan nafkah batin pun ia berikan, meski pernikahan itu berawal dari rasa keterpaksaan. Tapi, ia mencoba menerima, menjalani rumah tangga seperti apa yang kerap sang asisten katakan. Tapi, kenapa Valerie memilih meninggalkan dirinya, meninggalkan semua apa yang telah ia berikan. Kenapa? Ada apa? Apa yang salah? Pertanyaan yang sama sekali tidak ia bisa ia temukan
Beberapa jam sebelumnya...“Informasi apa yang kau dapatkan tentang istriku?” tanya Max to the point saat Jerry datang menghadapnya.“Saya mendapatkan laporan jika Nona Valerie berada di kota S.”“Informasi dari siapa? Bisa kau pastikan jika informasi itu akurat.”Jerry mengangguk antusias. “Ya. Anda tidak mungkin meragukan detektif informan kita kan, Tuan.”Max langsung berdiri dari tempatnya, dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Wajahnya terlihat datar dengan sorot mata yang dingin. “Buat orang itu terus mengawasi pergerakan Valerie. Kau siapkan jet pribadi. Aku sendiri yang akan menyeretnya pulang!”“Baik, Tuan.”**“Kau merindukannya, Vale?” tanya Zenata pelan.“Siapa?” sahut Valerie bertanya balik, tenggorokannya terasa tercekat.“Jangan berpura-pura tidak tidak tahu apa yang aku maksud. Kau bahkan tidak pernah dekat dengan pria manapun, selain suamimu.” Zenata justru ikut duduk di sisi Valerie. Bukannya menjawab Valerie justru menangis menjatuhkan kepalanya di pu
Max memilih untuk tidak menanggapi ucapan Valerie. Matanya beralih menatap pengawal yang sejak tadi mengikutinya. “Katakan pada Jerry untuk memberi pelajaran pada Zenata karena telah berkomplot untuk menipu diriku. Berani sekali dia membantu istriku melarikan diri!”“Baik, Tuan.”“Max kau gila.”“Diamlah!” bentak Max.“Tapi, kau keterlaluan dia itu sahabatku satu-satunya. Aku yang memintanya untuk membantuku, untuk lepas dari iblis jahanam seperti dirimu,” kata Valerie dengan frontal. Max tidak peduli, tetap melangkahkan kakinya menuju mobil, Valerie terus meronta. “Lepaskan! Kau tidak boleh menyakiti sahabatku, Max.”“Maka menurutlah jika kau tidak ingin nyawa sahabatmu itu melayang!” kecam Max yang berhasil membuat Valerie diam. Memudahkan langkah Max membawanya masuk ke dalam mobil yang telah ia sewa dari penginapan. “Jalan!”“Tidak! Aku ingin keluar. Aku tidak mau pulang!” Valerie kembali memberontak memukul-mukul kaca mobil. “Aku mau bertemu Zenata.”“Pukulkan saja kepalamu di je
Max menatap wajah polos Valerie yang masih terpejam tenang usai kepergian dokter yang memeriksanya. Lagi-lagi tangan wanita itu tertancap jarum infus. Max menghela napas berat mengingat penuturan dokter.“Mengingat riwayatnya yang baru saja mengalami keguguran, sebenarnya kondisi fisiknya lemah. Ditambah tekanan batin yang cukup membuat Nona stress, hingga ia bisa jatuh pingsan."Max mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, mengingat serangkaian penjelasan dokter tadi. “Aku tidak peduli sekalipun kau tertekan. Bagiku apa yang sudah menjadi milikku tidak boleh pergi dan tidak akan pernah aku lepaskan. Akan aku pertahankan apapun caranya!!” desis Max menatap wajah polos Valerie dengan jengkel. Kemudian beranjak dari tempat duduknya keluar dari kamarnya. Matanya mendapati sahabat istrinya tengah duduk di sofa menatap dirinya dengan kesal. “Tuan Max. Kau apakan sahabatku?” tanyanya setengah menuding kesal.“Bukan urusanmu.”“Hei, Valerie itu sahabatku. Apapun yang menjadi masalahnya menja
Sepanjang perjalanan dari penginapan, bandara, hingga di dalam pesawat Valerie tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya diam sesekali memejamkan kedua matanya. Max pun hanya mendiamkan dirinya, sama sekali tidak ada niat mengajaknya bicara. Bahkan sejak tadi yang memberi arahan saat masuk ke dalam pesawat itu justru Jerry. Rasanya Valerie ingin menangis, tapi ia terlalu takut jika Max akan semakin murka padanya. Ia masih ingat jika perkataan Max yang tidak menyukai orang lemah.Ia membenci sikap arogan suaminya. Tapi, di satu sisi ia pun merindukannya. Ia ingin bertemu dan memeluk suaminya. Tapi, bukan dalam keadaan seperti ini. Ia membayangkan akan bertemu suaminya nanti lima tahun ke depan, saat ia sudah sukses, menjadi perempuan yang tangguh. Hingga Max tidak akan meremehkan dirinya. Seperti dalam sebuah novel yang sering ia baca, semua itu terasa indah. Tapi, kenyataannya tidak sesuai ekspektasi. Rencana hanyalah sebuah rencana. Max datang menggagalkan segalanya. Bahkan ia merasa Max ja
“Kau ini kenapa sih marah-marah terus. Pantas saja cepat tua!” seloroh Valerie membuat Max melotot ke arahnya. “Kau...”“Diamlah. Simpan omelanmu itu untuk nanti. Aku pusing mendengarkannya.” Valerie mengibaskan tangannya berlalu masuk masuk ke walk in closed, meninggalkan Max yang masih berdecak jengkel. Bisa-bisanya Valerie justru marah terhadapnya. Karena menurut dirinya di sana yang salah itu Valerie berani sekali kabur darinya. Tapi, kenapa sekarang posisinya jadi berbalik. Dengan dress berwarna toska Valerie kembali keluar dari walk in closed, masih dengan memegang handuk, ia melewati Max begitu saja, kemudian mengambil sisir untuk merapikan rambut basahnya. Tanpa disangka Max langsung menarik handuk di tangan Valerie dengan paksa.“Max kamu mau ngapain?” pekik Valerie terkejut. “Kamu mau mandi? Kan di dalam ada handuk lainnya. Yang masih kering, baru malah.”“Diamlah! Duduk di sini.” Max memaksa Valerie untuk duduk di kursi rias.“Max kamu...”“Diamlah, aku cuma mau mengerin
Valerie duduk tercenung selama makan malam berlangsung, ia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Ia nikmati makannya dalam diam, sesekali hanya mengaduk-aduknya. Hal itu tidak lepas dari tatapan Max dan juga Jerry. Jerry berpikir mungkin karena kondisi tubuh istri tuannya memang belum membaik, sementara Max menghela napas panjang karena mengetahui penyebab perubahan sikap istrinya. “Mana ponsel yang tadi aku minta?” tanya Max pada asistennya. Ini adalah kasus yang langka, biasanya tidak menyukai momen makanan malam yang berisik karena harus adu obrolan di meja makan. Tapi, melihat sikap istrinya ia merasa tidak tahan.“Oh iya sebentar.” Jerry beranjak dari tempatnya, membuat Valerie mengangkat wajahnya menatap suaminya sesaat, sebelum kemudian langsung membuang pandangannya saat tatapannya saling bertemu. ‘Dia ini kenapa sih. Semenjak pulang dari kaburnya jadi gampang ngambek. Kemarin waktu masih hamil tidak sampai seperti ini. Jangan-jangan dia mau balas dendam lagi.’Tak bersela