“Kau ini kenapa sih marah-marah terus. Pantas saja cepat tua!” seloroh Valerie membuat Max melotot ke arahnya. “Kau...”“Diamlah. Simpan omelanmu itu untuk nanti. Aku pusing mendengarkannya.” Valerie mengibaskan tangannya berlalu masuk masuk ke walk in closed, meninggalkan Max yang masih berdecak jengkel. Bisa-bisanya Valerie justru marah terhadapnya. Karena menurut dirinya di sana yang salah itu Valerie berani sekali kabur darinya. Tapi, kenapa sekarang posisinya jadi berbalik. Dengan dress berwarna toska Valerie kembali keluar dari walk in closed, masih dengan memegang handuk, ia melewati Max begitu saja, kemudian mengambil sisir untuk merapikan rambut basahnya. Tanpa disangka Max langsung menarik handuk di tangan Valerie dengan paksa.“Max kamu mau ngapain?” pekik Valerie terkejut. “Kamu mau mandi? Kan di dalam ada handuk lainnya. Yang masih kering, baru malah.”“Diamlah! Duduk di sini.” Max memaksa Valerie untuk duduk di kursi rias.“Max kamu...”“Diamlah, aku cuma mau mengerin
Valerie duduk tercenung selama makan malam berlangsung, ia tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Ia nikmati makannya dalam diam, sesekali hanya mengaduk-aduknya. Hal itu tidak lepas dari tatapan Max dan juga Jerry. Jerry berpikir mungkin karena kondisi tubuh istri tuannya memang belum membaik, sementara Max menghela napas panjang karena mengetahui penyebab perubahan sikap istrinya. “Mana ponsel yang tadi aku minta?” tanya Max pada asistennya. Ini adalah kasus yang langka, biasanya tidak menyukai momen makanan malam yang berisik karena harus adu obrolan di meja makan. Tapi, melihat sikap istrinya ia merasa tidak tahan.“Oh iya sebentar.” Jerry beranjak dari tempatnya, membuat Valerie mengangkat wajahnya menatap suaminya sesaat, sebelum kemudian langsung membuang pandangannya saat tatapannya saling bertemu. ‘Dia ini kenapa sih. Semenjak pulang dari kaburnya jadi gampang ngambek. Kemarin waktu masih hamil tidak sampai seperti ini. Jangan-jangan dia mau balas dendam lagi.’Tak bersela
Keesokan harinya setelah Max berangkat ke kantor. Valerie memilih duduk santai di gazebo rumahnya sambil membaca buku. Sebenarnya ia bosan, tapi Max belum memperbolehkan dirinya untuk keluar dengan alasan kesehatan. Tumben sekali suaminya itu perhatian, dan lebih banyak bicara dari sebelumnya. Meski nada bicaranya tetap tegas, dingin dan menyebalkan. Tapi, sejauh ini ia pun mulai paham watak suaminya, yang dingin, keras dan tidak bisa suka di bantah. Max memang tidak bisa menunjukkan sikap bucinnya seperti kebanyakan pasangan pada umumnya. Tapi, sejauh ini ia mengerti dan memahami perhatiannya. Contohnya saja tentang ponsel miliknya yang telah dirusak. Max langsung menggantinya, tanpa mengubah isinya. “Nona...” Seorang pelayan datang menghampiri dirinya, membuat Valerie pun gegas menutup bukunya. “Ada apa?”“Di ruang ada Nyonya Joana berkunjung. Dia ingin bertemu dengan Anda.”“Sama siapa?”“Sendiri, Nona.”“Baik. Aku akan kesana.” Valerie beranjak dari tempat duduknya dengan peras
Max mengusap wajahnya dengan gerakan kasar pada perubahan sikap Valerie yang sekarang terkesan berani bahkan menyebalkan. Contohnya sekarang saja tiba-tiba mengancam akan kabur jika tidak diijinkan ke kantornya. Entah ada urusan apa perempuan itu. Kadang ia berpikir apakah dokter telah salah memasukan obat saat istrinya itu menjalani kuret pasca keguguran. “Istriku akan datang. Telpon receptionis untuk mengantarkannya langsung ke ruanganku,” titah Max pada sekretarisnya — EsterPerempuan berpakaian mini yang ketat itu pun mengangguk. “Baik, Tuan.”“Ayo Jerry.” Max langsung beranjak menuju ruangan meeting.‘Seperti apa sih wajah istrinya sampai Tuan Max itu tahan banget iman. Lihat aku yang super seksi ini bahkan tidak dilirik,’ gerutu Ester penasaran.**Dengan menenteng tas miliknya dan juga kotak makan siang bento yang ia bawa dari rumah. Valerie turun dari dalam mobil tepat di depan lobi, usai dibukakan pintu oleh penjaga. Ia sengaja datang menjelang makan siang, dan membawanya da
“Dasar sombong!” Meski menggerutu kesal akhirnya Valerie pun kembali menyuapi suaminya. Terlihat Max begitu lahap, sesekali mencuri pandang pada wajah istrinya yang polos tanpa make up tapi tetap terlihat cantik. “Kamu lapar apa doyan? Lahap banget makannya. Apa seenak itu masakanku ya.”“Ck!” Max berdecak mengambil tisu di atas meja, membersihkan sisa noda di bibirnya. “Makanan apaan kaya gitu. Biasa saja.”Valerie langsung cemberut, menutup kembali kotak makan itu. “Biasa saja, tapi habis juga.” Max tidak peduli. Pria dingin yang memiliki tingkat gengsi sembilan puluh persen itu memang susah untuk memuji lawan bicaranya. Sekalipun itu istrinya.“Kamu bisa masak juga ternyata?” tanya Max pada akhirnya.Valerie menghela napas berat. “Kamu lupa ya kalau dulu aku itu babu.”“Bukannya seorang pelayan dan kasir minimarket?”“Iya kalau di luar. Kalau di rumah aku itu jadi babu mama tiri dan saudaraku.” Valerie mengingat lagi sosok saudaranya itu. “Kira-kira bagaimana ya kabar mereka?” tan
Max terus menekan intercome meminta bantuan. Sementara Valerie merasa dadanya terasa sesak, bulir keringat dingin mulai membasahi keningnya. “Aku takut.... Aku takut...” Ia terus bergumam lirih dengan tubuh yang gemetar.“Please, Valerie. Tenanglah...” Max meraba ponselnya berniat mencari bantuan dengan menelpon Jerry. Tapi, sayangnya sinyalnya pun ikut lenyap di dalam sana. “Sial!”“Gelap...” Valerie panik ketakutan, hingga bayangan kematian terlintas di depan mata, ia pun mulai menangis, membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Napasnya terasa tercekat. “Aku akan mati... Aku mau mati...”“Omong kosong apa yang kau katakan!” bentak Max dengan keras. Tangannya sudah menyalakan cahaya dari ponselnya. Berharap akan meredakan ketakutan Valerie terhadap kegelapan.“Max kalau aku mati, tolong ikhlaskan aku ya. Meskipun aku belum bisa memberikan kamu anak, tolong ikhlaskan agar aku bisa tenang.”“Diamlah!” bentak Max kesal sekaligus khawatir ucapan Valerie semakin melantur tidak jelas. “K
Max menatap wajah polos Valerie yang masih terbaring ringkih di ranjang. Wajahnya pucat masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia memijat kepalanya, berpikir entah sudah keberapa kali Valerie keluar masuk rumah sakit selama menjadi istrinya.“Maaf karena telah membawamu ke dalam peliknya masalah hidupku ini. Bersamaku terus dalam keadaan bahaya.” Max bergumam lirih. Rentetan ungkapan isi hati Valerie saat masih terjebak dalam lift tadi pun terlintas, seolah menari-nari dalam otaknya. Ia merasa hatinya mencelos, teriris dengan pisau yang teramat tajam.‘Aku senang dengan menikah denganmu karena akhirnya aku bisa lepas dari ibu tiriku. Tapi, terkadang aku pun tertekan berada di dekatmu.’‘Inikah akibat yang harus aku terima karena terlahir dari rahim seorang perempuan penggoda.’‘Aku tidak punya kenangan yang indah. Hidupku terlalu menyedihkan, Max..’“Bangunlah, jika memang tidak ada suatu momen indah selama hidupmu sampai detik ini. Maka biarkan aku menciptakan momen itu. Ayo kita c
“Pak, sepertinya mobil itu memang sengaja mau buat kita celaka.” Breto nampak ketakutan begitu juga dengan Arthur. Mobil Max kembali berputar, lampu mobil itu kembali menyala menyoroti keduanya. Kemudian kembali melaju dengan kencang.“Kan... Kan beneran, Pak.”“Ah sial! Ayo kita lari!" Mereka kembali berlari menuju mobilnya yang terparkir di sana. “Mana kuncinya!”Dengan gemetar Breto menyerahkan kuncinya. Mereka berhasil masuk, saat ingin memasukkan anak kuncinya. Tapi, tiba-tiba mobil mereka dihantam oleh mobil Max dari depan, hingga membuat kuncinya jatuh. “Ahh sialan! Pakai jatuh segala lagi,” makinya. Ia berusaha mengambil kunci mobilnya. Tapi, tubuhnya kembali terbentur ketika mobil Max kembali menghantamnya.Entah berapa kali Max mengulangi kejadian itu. “Breto coba deh kamu keluar dan hampiri mobil itu. Kamu tanyakan apa maunya?”“Tapi, Pak...”“Buruan!!”Dengan tubuh gemetar Breto pun akhirnya keluar dari mobilnya. Sementara Max berdecak melihat yang keluar adalah asistenn