“Dasar sombong!” Meski menggerutu kesal akhirnya Valerie pun kembali menyuapi suaminya. Terlihat Max begitu lahap, sesekali mencuri pandang pada wajah istrinya yang polos tanpa make up tapi tetap terlihat cantik. “Kamu lapar apa doyan? Lahap banget makannya. Apa seenak itu masakanku ya.”“Ck!” Max berdecak mengambil tisu di atas meja, membersihkan sisa noda di bibirnya. “Makanan apaan kaya gitu. Biasa saja.”Valerie langsung cemberut, menutup kembali kotak makan itu. “Biasa saja, tapi habis juga.” Max tidak peduli. Pria dingin yang memiliki tingkat gengsi sembilan puluh persen itu memang susah untuk memuji lawan bicaranya. Sekalipun itu istrinya.“Kamu bisa masak juga ternyata?” tanya Max pada akhirnya.Valerie menghela napas berat. “Kamu lupa ya kalau dulu aku itu babu.”“Bukannya seorang pelayan dan kasir minimarket?”“Iya kalau di luar. Kalau di rumah aku itu jadi babu mama tiri dan saudaraku.” Valerie mengingat lagi sosok saudaranya itu. “Kira-kira bagaimana ya kabar mereka?” tan
Max terus menekan intercome meminta bantuan. Sementara Valerie merasa dadanya terasa sesak, bulir keringat dingin mulai membasahi keningnya. “Aku takut.... Aku takut...” Ia terus bergumam lirih dengan tubuh yang gemetar.“Please, Valerie. Tenanglah...” Max meraba ponselnya berniat mencari bantuan dengan menelpon Jerry. Tapi, sayangnya sinyalnya pun ikut lenyap di dalam sana. “Sial!”“Gelap...” Valerie panik ketakutan, hingga bayangan kematian terlintas di depan mata, ia pun mulai menangis, membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Napasnya terasa tercekat. “Aku akan mati... Aku mau mati...”“Omong kosong apa yang kau katakan!” bentak Max dengan keras. Tangannya sudah menyalakan cahaya dari ponselnya. Berharap akan meredakan ketakutan Valerie terhadap kegelapan.“Max kalau aku mati, tolong ikhlaskan aku ya. Meskipun aku belum bisa memberikan kamu anak, tolong ikhlaskan agar aku bisa tenang.”“Diamlah!” bentak Max kesal sekaligus khawatir ucapan Valerie semakin melantur tidak jelas. “K
Max menatap wajah polos Valerie yang masih terbaring ringkih di ranjang. Wajahnya pucat masih dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia memijat kepalanya, berpikir entah sudah keberapa kali Valerie keluar masuk rumah sakit selama menjadi istrinya.“Maaf karena telah membawamu ke dalam peliknya masalah hidupku ini. Bersamaku terus dalam keadaan bahaya.” Max bergumam lirih. Rentetan ungkapan isi hati Valerie saat masih terjebak dalam lift tadi pun terlintas, seolah menari-nari dalam otaknya. Ia merasa hatinya mencelos, teriris dengan pisau yang teramat tajam.‘Aku senang dengan menikah denganmu karena akhirnya aku bisa lepas dari ibu tiriku. Tapi, terkadang aku pun tertekan berada di dekatmu.’‘Inikah akibat yang harus aku terima karena terlahir dari rahim seorang perempuan penggoda.’‘Aku tidak punya kenangan yang indah. Hidupku terlalu menyedihkan, Max..’“Bangunlah, jika memang tidak ada suatu momen indah selama hidupmu sampai detik ini. Maka biarkan aku menciptakan momen itu. Ayo kita c
“Pak, sepertinya mobil itu memang sengaja mau buat kita celaka.” Breto nampak ketakutan begitu juga dengan Arthur. Mobil Max kembali berputar, lampu mobil itu kembali menyala menyoroti keduanya. Kemudian kembali melaju dengan kencang.“Kan... Kan beneran, Pak.”“Ah sial! Ayo kita lari!" Mereka kembali berlari menuju mobilnya yang terparkir di sana. “Mana kuncinya!”Dengan gemetar Breto menyerahkan kuncinya. Mereka berhasil masuk, saat ingin memasukkan anak kuncinya. Tapi, tiba-tiba mobil mereka dihantam oleh mobil Max dari depan, hingga membuat kuncinya jatuh. “Ahh sialan! Pakai jatuh segala lagi,” makinya. Ia berusaha mengambil kunci mobilnya. Tapi, tubuhnya kembali terbentur ketika mobil Max kembali menghantamnya.Entah berapa kali Max mengulangi kejadian itu. “Breto coba deh kamu keluar dan hampiri mobil itu. Kamu tanyakan apa maunya?”“Tapi, Pak...”“Buruan!!”Dengan tubuh gemetar Breto pun akhirnya keluar dari mobilnya. Sementara Max berdecak melihat yang keluar adalah asistenn
Keadaan di rumah sakit seketika kacau. Orang-orang berteriak histeris. Rumah sakit itu diacak-acak. Tepatnya di lantai tempat Valerie di rawat. Max panik tidak mendapati istrinya di sana, melainkan hanya ada penjaga dan pelayannya, tapi keadaan mereka semua pingsan.“Brengsek!!” maki Max begitu tiba di sana. Pikirannya seketika kalut. Ia menendang barang apapun yang berada di dekatnya. “Siapa yang berani menculik istriku!!”“Penjagaan rumah sakit ini benar-benar tidak becus. Akan ku tutup ijin operasi rumah sakit ini!! Biar ditutup selamanya!!”Orang-orang yang mendengar suara kemarahan Max ketakutan, tubuhnya bergetar, seolah merasakan aura kematian di sana. Siapapun tahu watak sikap Max. Pria yang paling kejam, akan menyiksa dan membunuh siapapun tanpa pandang bulu, sekalipun itu orang terdekatnya.Kabar tentang Max yang mengasingkan Gracia — adik tirinya yang kini entah berada di mana pun sempat mencuat ke publik. Tapi, Max tidak peduli sekalipun karena hal itu, kini hubungan ia da
“Saya sudah menemukan keberadaan Nona Valerie, Tuan.” Jerry menunjukkan di mana letak GPS itu kini. “Nona berada di seberang dermaga. Letaknya cukup, jauh karena itu juga daerah yang terpencil, Tuan.”“Kita langsung berangkat kesana, tidak perlu membuang waktu. Atau penculik itu akan semakin melakukan sesuatu pada istriku!” Max tergesa-gesa masuk ke dalam jet pribadi miliknya, yang diikuti oleh Jerry yang masih betah mengutak-atik iPad di tangannya.“Benar dugaan Anda, Tuan. Jika yang menculik Nona itu, Victor!”“Brengsek!!” maki Max dengan wajah memerah, rahangnya mengeras serta kedua tangannya mengepal. ”Ku habisi dia!!”**Tubuh Valerie gemetar ketakutan, ia kembali berbalik beringsut menjauh.“Jangan mendekat!!” teriak Valerie di sisa kekuatannya. Sungguh kondisi tubuhnya belum sepenuhnya pulih, bahkan ia merasakan pening yang amat dalam, tapi keadaan memaksa ia harus melindungi diri. ”Ayolah, sayang. Kita nikmati malam ini penuh keindahan yang menggelora. Aku jamin permainanku t
Brakkk!!!“Brengsek!! Sini kamu!!!” Seseorang tiba menarik tubuhnya lalu menghempasnya ke lantai dengan kasar. “Max...” Valerie terkejut bercampur rasa haru dan lega. Firasatnya tidak salah jika suaminya pasti akan datang menyelamatkan dirinya. Max kembali meraih tubuh Victor. “Dasar binatang kamu!!”Bugh! Bugh!! Entah berapa kali Max melayangkan pukulan seluruh tubu Victor, bahkan seakan ia tidak memberikan celah bagi Victor untuk melawan. ”Sangat menjijikan,” umpatnya. Kemarahannya tidak lagi terbendung, bayangan bagaimana pria itu tengah melecehkan istrinya membuat ia begitu kalap. Wajah Victor sudah babak belur bersimbah darah, akibat Max menendang, memukul bahkan menginjak perutnya. “Aku sudah memberikan peringatan kecil padamu. Tapi, nyatanya nyalimu besar. Kau menantang maut padaku!!” “Kenapa kau marah? Lihatlah istrimu bahkan terlihat menikmati!!” Max langsung menoleh ke arah istrinya. Terlihat Valerie menggeleng ketakutan. Geram itu yang ia rasakan, dengan cepat ia lang
Valerie membuka matanya, tersentak merasakan tangan kekar Max masih melingkar di perutnya. Ia tersenyum dengan wajah merona mengingat lagi cumbuan mesra pria itu semalam. Meski tidak sampai pada tahap inti, tetap mampu membuat rasa itu begitu melekat. Ia singkirkan tangan suaminya dengan pelan, penuh hati-hati kemudian tubuhnya berbalik ia tatap lekat wajah tampan suaminya. “Tampan sih. Tapi, kalau udah bangun galaknya macam singa,” katanya cekikikan sendiri mengingat betapa dingin dan galaknya suaminya itu. Pantas saja musuh-musuhnya begitu takut saat berhadapan dengan Max, nyatanya pria itu seperti memiliki racun yang mematikan.“Berani sekali kau menertawakanku!” desis Max yang tiba-tiba membuka matanya membuat ia terkejut. “A—aku cuma ... ”“Apa?!!”‘Tuh kan kumat lagi galaknya. Matanya melotot seperti mau lepas dari tempatnya. Mungkin aku harus mulai terbiasa dengan sifatnya itu.'”Tidak apa-apa. Aku mau mandi.” Valerie langsung buru-buru turun dan masuk ke kamar mandi, meningg