Valerie membuka matanya, tersentak merasakan tangan kekar Max masih melingkar di perutnya. Ia tersenyum dengan wajah merona mengingat lagi cumbuan mesra pria itu semalam. Meski tidak sampai pada tahap inti, tetap mampu membuat rasa itu begitu melekat. Ia singkirkan tangan suaminya dengan pelan, penuh hati-hati kemudian tubuhnya berbalik ia tatap lekat wajah tampan suaminya. “Tampan sih. Tapi, kalau udah bangun galaknya macam singa,” katanya cekikikan sendiri mengingat betapa dingin dan galaknya suaminya itu. Pantas saja musuh-musuhnya begitu takut saat berhadapan dengan Max, nyatanya pria itu seperti memiliki racun yang mematikan.“Berani sekali kau menertawakanku!” desis Max yang tiba-tiba membuka matanya membuat ia terkejut. “A—aku cuma ... ”“Apa?!!”‘Tuh kan kumat lagi galaknya. Matanya melotot seperti mau lepas dari tempatnya. Mungkin aku harus mulai terbiasa dengan sifatnya itu.'”Tidak apa-apa. Aku mau mandi.” Valerie langsung buru-buru turun dan masuk ke kamar mandi, meningg
Hampir sebulan lebih Joana kerap mendatangi Valerie, bahan terkadang menghubunginya, demi mendesak agar Max mau membuka mulutnya. Tapi, tidak kunjung mendapatkan hasil. Bagi Valerie semua itu wajar, mengingat Gracia itu anak kandungnya. Bukankah sejatinya orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya, begitu juga dengan Joana. Dia ingin putrinya baik-baik saja, sayangnya langkah yang ditempuh Gracia teramat salah. Max baru saja tiba di rumah pada malam hari dengan wajah lelahnya. Begitu membuka pintu kamarnya terlihat istrinya baru selesai membersihkan diri. Valerie nampak terkejut melihat kedatangan suaminya.“Sudah pulang?” tanya Valerie santai.“Hem...” Max menjawab singkat membaca Valerie berdecak. Tapi, pria itu tidak peduli tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya. Duduk di meja rias Valerie mulai mengeringkan rambutnya dengan handuknya. “Max. Aku mau bicara please...”“Aku mandi dulu,” jawab Max berlalu pergi ke toilet. Valerie memilih mengganti pakaiannya lebih dul
Seorang gadis cantik berambut merah memandangi jendela kamarnya yang menghubungkan area persawahan yang terlihat begitu asri.“Mama, Papa... Aku rindu kalian,” lirihnya dengan tangis yang berderai, tubuhnya semakin kurus. Tangannya bergerak mengambil satu-satunya pigura yang ia punya berisi foto Joana dan Robert, ia usap bagian foto itu. Robert memang bukan Papa kandungnya, tapi kasih sayang pria itu bahkan melebihi Papa kandung. Seharusnya ia merasa beruntung memiliki keluarga lengkap, penuh kasih sayang, ia juga memiliki kakak yang begitu menyayanginya. Hanya karena obsesinya semuanya hancur. Ia berada di tempat yang jauh dari mereka. Hampir dua bulan di wilayah pedesaan yang minim listrik, tidak ada alat komunikasi membuat ia benar-benar tersiksa. Untuk bertahan hidup ia memanfaatkan tanaman yang berada di belakang rumah itu, juga untuk memasak ia harus mencari kayu bakar, karena tidak adanya kompor gas. Max benar-benar memberi pelajaran padanya. Pria itu tidak memandang bulu tid
Drama perdebatan antara Ayah dan ibu tirinya itu terus berlangsung, membuat Max terasa muak. Kenyataannya, Robert memang setergila-gila itu dengan Joana. Bahkan ia tidak ingat kapan terakhir Papa kandungnya itu mengunjungi makam mendiang ibunya. Ada setitik rasa cemburu dalam diri Max, tapi ia berusaha menepisnya. “Tidak perlu melakukan drama apapun. Putrimu baik-baik saja.” Max meletakkan kembali peralatan makannya. “Bagaimana bisa kau katakan baik-baik saja. Ayo Max, Tante hanya ingin tahu keberadaannya?”Max menoleh sekilas dengan wajah datarnya. “Kau tidak perlu tahu. Aku hanya tengah memberikan ia pelajaran. Sebentar lagi dia juga pasti kembali.” “Max...”“Aku mau ke ruang kerja dulu."“Max, beritahu dulu di mana Gracia?” Joana kian mendesak. Tapi, Max tidak peduli langsung berlalu begitu saja. Joana menatap kesal ke arah Velerie. “Kamu benar-benar tidak berguna, Valerie. Aku meminta dirimu untuk membujuk, Max. Tapi, tidak juga kau dapatkan informasi apapun.”“Jangan berani me
Valerie pergi menemui sahabatnya Zenata yang beberapa hari tidak ada kabar. Sampainya di sana ternyata sahabatnya itu tengah sakit.“Ze, ke rumah sakit yuk,” bujuk Valerie entah sudah yang keberapa kali.“Enggak mau.”“Tapi, badan kamu panas gini."“Aku cuma butuh istirahat.”“Ayolah, Ze. Aku benar-benar cemas, biar kamu segera ditangani terus cepat sembuh.”Zenata kekeh menggeleng. “Tidak, Vale. Aku tidak mau. Kamu kan tahu aku begitu takut jarum suntik.”“Ya ampun...” Valerie memijat kepalanya. “Jiwamu yang seperti preman masih saja takut dengan jarum suntik.” Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Dengan jarum suntik takut, tapi saat menghadapi Jerry sama sekali tidak ada rona ketakutan di wajahnya. Bahkan mungkin terkesan berani, karena Zenata berani menggigit lengan Jerry begitu saja. Melihat Zenata yang terlihat lemas sambil memegangi perutnya ia menjadi tidak tega. “Aku akan belikan kamu obat. Tapi, sebelum itu kamu harus makan dulu,” kata Valerie yang kemudian berlalu ma
Apartemen itu masih sama tidak ada yang berubah, berikut dengan isinya. Max tidak menggeledah apalagi membuangnya. Gracia tersenyum saat melihat beberapa barang berharga miliknya. Ada sebuah black card miliknya yang diberikan Max masih tersimpan di sana. Tapi, ia tidak mungkin menggunakannya, ia khawatir Max akan murka. Maka lebih baik ia memilih mengambil ATM yang berisi uang pribadi miliknya. “Mau ke mana?” tanya Alex yang saat itu tengah bersantai di ruang televisi saat melihat Gracia keluar dari kamarnya dalam keadaan sudah rapi.“Aku mencari makanan atau bahan makanan. Kulkas apartemen ini kosong.”“Biar aku antar.” Alex langsung sigap beranjak dari tempatnya. “Tidak perlu. Kau istirahatlah, aku juga hanya sebentar.” Gracia langsung berlalu pergi tanpa menghiraukan Alex begitu saja. Tidak lupa gadis itu pun menggunakan topi, kacamata dan masker di wajahnya. Usai mengambil uangnya, ia langsung bertolak ke supermarket terdekat. Membeli segala keperluannya, dari mulai makanan pok
“Maaf, Max. Tadi Zenata sakit. Jadinya, aku...” Valerie menelan ludahnya tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat manik mata biru Max menatap dirinya dengan tajam penuh intimidasi. Ia benar-benar merasa gugup, Max benar-benar seperti tengah mengulitinya hidup-hidup. “Aku sudah memperingatkan dirimu agar tidak lupa waktu. Tapi, sepertinya kau lupa jalan pulang!” cibir Max.Valerie menghela napas berat, melangkah mendekati suaminya itu lalu memegang lengan Max dan menggoyangnya. “Ayolah, Max. Jangan terlalu berlebihan aku hanya berada di tempat Zenata tidak pergi kemanapun.”“Yakin tidak pergi kemanapun?” tanya Max mengangkat sebelah alisnya.Valerie menarik kembali tangannya, lalu meringis tak enak hati. “Emm... Aku cuma ke apotik dan ke supermarket sih.”Terdengar dengusan menyebalkan dari bibir Max. “Bersihkan dirimu aku tunggu di meja makan,” titahnya lalu berbalik meninggalkan Valerie begitu saja. ****Alex mengerjapkan kedua matanya, memijat kepalanya.
Uhuk! Uhuk!!Jerry yang sedang minum seketika langsung tersedak. “Maaf, Tuan...”Max hanya memberikan tatapan tajam padanya, sebelum kemudian beralih menoleh ke arah Valerie, tanpa berniat menjawab ucapannya. Ia kembali menikmati makanannya.“Jerry apakah di perusahaan ada lowongan?” tanya Valerie tiba-tiba membuat Jerry yang tengah mengunyah makanannya pun seketika terhenti dan menoleh ke arah Max yang terlihat kesal. “Emm... Itu ..” Jerry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Max benar-benar kesal karena Valerie bisa setenang itu bertanya pada asistennya seakan menganggap dirinya tiada. “Aku membutuhkannya,” kata Valerie kemudian.“Itu Nona...”“Kau pikir itu perusahaan Jerry!” sela Max dengan raut wajah tak suka. “Lamar saja kau jadi tukang loundry pakaiannya,” selorohnya kemudian.“Max...”“Kau anggap suamimu ini patung ya?!” “Bukan, Max. Maksudku kan...”“Apa uang yang ku berikan padamu itu masih kurang? Hingga kau berpikir ingin bekerja?!” Rahang Max terlihat mengeras semaki