“Maaf, Max. Tadi Zenata sakit. Jadinya, aku...” Valerie menelan ludahnya tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat manik mata biru Max menatap dirinya dengan tajam penuh intimidasi. Ia benar-benar merasa gugup, Max benar-benar seperti tengah mengulitinya hidup-hidup. “Aku sudah memperingatkan dirimu agar tidak lupa waktu. Tapi, sepertinya kau lupa jalan pulang!” cibir Max.Valerie menghela napas berat, melangkah mendekati suaminya itu lalu memegang lengan Max dan menggoyangnya. “Ayolah, Max. Jangan terlalu berlebihan aku hanya berada di tempat Zenata tidak pergi kemanapun.”“Yakin tidak pergi kemanapun?” tanya Max mengangkat sebelah alisnya.Valerie menarik kembali tangannya, lalu meringis tak enak hati. “Emm... Aku cuma ke apotik dan ke supermarket sih.”Terdengar dengusan menyebalkan dari bibir Max. “Bersihkan dirimu aku tunggu di meja makan,” titahnya lalu berbalik meninggalkan Valerie begitu saja. ****Alex mengerjapkan kedua matanya, memijat kepalanya.
Uhuk! Uhuk!!Jerry yang sedang minum seketika langsung tersedak. “Maaf, Tuan...”Max hanya memberikan tatapan tajam padanya, sebelum kemudian beralih menoleh ke arah Valerie, tanpa berniat menjawab ucapannya. Ia kembali menikmati makanannya.“Jerry apakah di perusahaan ada lowongan?” tanya Valerie tiba-tiba membuat Jerry yang tengah mengunyah makanannya pun seketika terhenti dan menoleh ke arah Max yang terlihat kesal. “Emm... Itu ..” Jerry menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Max benar-benar kesal karena Valerie bisa setenang itu bertanya pada asistennya seakan menganggap dirinya tiada. “Aku membutuhkannya,” kata Valerie kemudian.“Itu Nona...”“Kau pikir itu perusahaan Jerry!” sela Max dengan raut wajah tak suka. “Lamar saja kau jadi tukang loundry pakaiannya,” selorohnya kemudian.“Max...”“Kau anggap suamimu ini patung ya?!” “Bukan, Max. Maksudku kan...”“Apa uang yang ku berikan padamu itu masih kurang? Hingga kau berpikir ingin bekerja?!” Rahang Max terlihat mengeras semaki
Ketika fajar telah menyingsing di pagi hari, Valerie telah membuka matanya. Matanya terkejut begitu menyadari ia tidur kepalanya di atas dada polos suaminya. Pelan ia menggeser kepalanya, dengan pandangan yang memindai wajah tampan suaminya yang masih terlelap. Max terlihat begitu nyenyak, tangannya bergerak menyusuri wajah tampan rupawan itu dengan pelan, terhenti di bibir lalu ia meneguk ludahnya secara susah. Tiba-tiba wajahnya merona malu, mengingat kejadian panas semalam. Ia langsung menarik tangannya dan membalikkan tubuhnya menjadi posisi memunggungi. ‘Ya Tuhan... Bisa-bisanya semalam aku seagresif itu. Memalukan.’ Ia menjerit dalam hati merasa malu dengan sikapnya. Ia tarik selimut yang membalut tubuh polosnya, lalu menyembunyikan wajahnya di sana. Tapi, tiba-tiba ia tersentak saat merasakan sesuatu yang berat menimpa perutnya. Menelan ludahnya, saat melihat tangan kekar suaminya kini merengkuh perutnya. Ia bisa merasakan hangatnya napas suaminya yang kini menempel pada pu
Zenata merasa pegal kakinya. Sudah beberapa menit yang lalu Jerry memeriksa CV miliknya, tapi tidak kunjung ada ucapan apapun. Bahkan pria itu juga tidak mempersilahkan ia duduk. Apakah harus sedetail itu cara perusahaan itu memeriksa CV calon karyawannya. “Tuan, saya ijin duduk ya,” ujar Zenata meminta ijin, tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik ruangan, ia menggeser kursi kemudian mendudukkan dirinya di sana.“Uh... Akhirnya...” Ia pun menghela napas lega.“Siapa yang menyuruh kamu duduk?!” tanya Jerry dengan dingin. Manik hazelnya menatap Zenata dengan sorot mata dingin, membuat perempuan itupun menelan ludahnya berkali-kali.“Emm... Tadi kan saya....”“Bangun!” titah Jerry datar.Zenata menggeram kesal, seandainya tidak berada di kantor. Ingin sekali ia memberikan pelajaran pada pria itu. Tapi, saat ini ia dalam posisi tidak berdaya. Akhirnya, sambil menahan kekesalannya ia pun kembali berdiri.“Duduk!” titahnya kemudian membuat bola mata Zenata melotot tidak percaya. Sejen
Prang...“Mama...”Berry baru pulang kerja, mendapati ruang tamu seperti kapal pecah, dengan pecahan botol minuman keras di atas meja, serta kulit kacang yang tersebar di mana-mana. Bantal-bantal sofa juga tidak berada di tempatnya. Sementara sang penghuni ruangan tampak duduk berselonjor di sisi meja dalam keadaan sayu dan kacau. Tangannya memegang gelas kaca yang berisi minuman alkohol yang memabukkan. Berjalan mendekat, Berry dengan cepat meraih gelas di tangan ibunya yang hendak diteguk. “Cukup, Ma.. cukup.."“Lepaskan, biar Mama minum Berry.”“Tidak!” Berry merebut paksa kemudian melemparkannya secara asal. “Sampai kapan Mama mau seperti ini?”Tidak ada jawaban, Martha tetap bungkam keadaannya begitu kacau. “Mama itu sudah sakit-sakitan seharusnya memperbaiki diri dengan cara menjalani kehidupan yang sehat. Jaga pola makan, bukan justru mabuk-mabukan. Mama ingin mempercepat usia?” cecar Berry.“Ya memang lebih baik Mama mati menyusul Papamu!” Martha berteriak kencang membuat Be
“Pergilah bersama Jerry untuk menyelesaikan pendaftaranmu. Setelah itu langsung pulang. Aku tidak bisa mengantarmu, ada janji meeting pagi ini.”Max berucap setelah mobilnya tiba di kampus. Di mana di sisinya bagian belakang ada mobil Jerry. Max berucap tanpa menoleh ke arah Valerie. “Baik.”Memutuskan untuk membuka seat beltnya, Valerie langsung keluar begitu saja dari mobil Max. Membuat pria itu berdecak jengkel, bisa-bisanya Valerie begitu cuek terhadapnya. Keluar tanpa pamit, sekedar basa-basi gitu.“Nona..”Langkah Valerie terhenti ketika Jerry memanggilnya. “Ada apa, Jerry?”Melalui dagunya Jerry menunjuk ke arah mobil Max yang belum juga beranjak dari tempatnya. “Adakah sesuatu yang Anda lupakan, hingga Tuan masih menunggu.”Valerie terdiam dengan pikirannya yang sedikit bingung, lalu menggeleng. “Aku rasa tidak ada,” katanya yakin. Jerry menghela napasnya panjang. “Saya berharap penuh pada Anda, Nona."“Apa maksudnya?” Mereka melanjutkan jalannya beriringan, meski Jerry menc
Valerie tengah terdiam membayangkan aktivitas yang ia lalui hari ini. Sudah lama ia tidak naik transportasi umum, hari ini kerinduannya terbalas. Naik kereta api, kemudian makan bersama di lesehan. Ia merasa begitu puas, seakan-akan bisa menghirup udara yang begitu bebas.“Tadi, pergi kemana saja?” Pertanyaan Max membuyarkan lamunan Valerie tentang aktivitas tadi, ia menoleh tanpa suara. “Tidak mungkin kau hanya keluar kampus hanya naik kereta kan. Kau pasti mampir-mampir,” lanjut Max penuh selidik.Valerie terdiam, bingung harus menjawab apa? Jika jujur ia khawatir Max marah, tapi jika tidak pun, Max akan dengan mudah mencari tahu kebenarannya. Ia benar-benar dilema. Memikirkannya sejenak sebelum kemudian ia pun berucap, “kenapa mesti bertanya? Bukankah sebenarnya kau pasti sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu itu?”“Jadi, kau tidak ingin jujur pada suamimu ini,” seru Max dingin. Nadanya terdengar kesal, terbukti jika sebenarnya Max sudah mengetahui semuanya.“Maaf.” Tak ada yang bis
“Bagaimana kehidupan rumah tanggamu? Kau bahagia, Vale?”Pertanyaan Jacob seketika membuat Valerie terdiam dengan pikiran berkelana entah kemana. Max memang tidak kasar, tidak pernah menyiksa dirinya. Tapi, ia tidak tahu bagaimana isi hati pria itu sebenarnya. Entahlah definisi rumah tangga apa yang kini tengah ia jalani. Yang ia ketahui Max hanya menginginkan anak darinya. Meski begitu, ia merasa sedikit beruntung karena pria itu bersikap baik, dan mau memberikan apapun yang ia butuhkan.“Jangan tanyakan kebahagiaan padaku, Jac. Kau tahu benar kehidupan ini tidak seindah dunia novel, ataupun dongeng yang selama ini kita dengar.”Jacob tersenyum tipis. “Aku mengerti. Tapi, kau perempuan yang baik dan kuat. Tuan Max pasti sangat beruntung memiliki istri seperti dirimu.”Valerie tersenyum getir. “Pernikahan kamu terjadi bukan dilandaskan cinta. Melainkan karena suatu keterpaksaan. Bukankah tidak ada perempuan baik yang hamil di luar pernikahan?”Jacob tertawa kecil, tawa yang membuat