Zenata merasa pegal kakinya. Sudah beberapa menit yang lalu Jerry memeriksa CV miliknya, tapi tidak kunjung ada ucapan apapun. Bahkan pria itu juga tidak mempersilahkan ia duduk. Apakah harus sedetail itu cara perusahaan itu memeriksa CV calon karyawannya. “Tuan, saya ijin duduk ya,” ujar Zenata meminta ijin, tanpa menunggu persetujuan dari sang pemilik ruangan, ia menggeser kursi kemudian mendudukkan dirinya di sana.“Uh... Akhirnya...” Ia pun menghela napas lega.“Siapa yang menyuruh kamu duduk?!” tanya Jerry dengan dingin. Manik hazelnya menatap Zenata dengan sorot mata dingin, membuat perempuan itupun menelan ludahnya berkali-kali.“Emm... Tadi kan saya....”“Bangun!” titah Jerry datar.Zenata menggeram kesal, seandainya tidak berada di kantor. Ingin sekali ia memberikan pelajaran pada pria itu. Tapi, saat ini ia dalam posisi tidak berdaya. Akhirnya, sambil menahan kekesalannya ia pun kembali berdiri.“Duduk!” titahnya kemudian membuat bola mata Zenata melotot tidak percaya. Sejen
Prang...“Mama...”Berry baru pulang kerja, mendapati ruang tamu seperti kapal pecah, dengan pecahan botol minuman keras di atas meja, serta kulit kacang yang tersebar di mana-mana. Bantal-bantal sofa juga tidak berada di tempatnya. Sementara sang penghuni ruangan tampak duduk berselonjor di sisi meja dalam keadaan sayu dan kacau. Tangannya memegang gelas kaca yang berisi minuman alkohol yang memabukkan. Berjalan mendekat, Berry dengan cepat meraih gelas di tangan ibunya yang hendak diteguk. “Cukup, Ma.. cukup.."“Lepaskan, biar Mama minum Berry.”“Tidak!” Berry merebut paksa kemudian melemparkannya secara asal. “Sampai kapan Mama mau seperti ini?”Tidak ada jawaban, Martha tetap bungkam keadaannya begitu kacau. “Mama itu sudah sakit-sakitan seharusnya memperbaiki diri dengan cara menjalani kehidupan yang sehat. Jaga pola makan, bukan justru mabuk-mabukan. Mama ingin mempercepat usia?” cecar Berry.“Ya memang lebih baik Mama mati menyusul Papamu!” Martha berteriak kencang membuat Be
“Pergilah bersama Jerry untuk menyelesaikan pendaftaranmu. Setelah itu langsung pulang. Aku tidak bisa mengantarmu, ada janji meeting pagi ini.”Max berucap setelah mobilnya tiba di kampus. Di mana di sisinya bagian belakang ada mobil Jerry. Max berucap tanpa menoleh ke arah Valerie. “Baik.”Memutuskan untuk membuka seat beltnya, Valerie langsung keluar begitu saja dari mobil Max. Membuat pria itu berdecak jengkel, bisa-bisanya Valerie begitu cuek terhadapnya. Keluar tanpa pamit, sekedar basa-basi gitu.“Nona..”Langkah Valerie terhenti ketika Jerry memanggilnya. “Ada apa, Jerry?”Melalui dagunya Jerry menunjuk ke arah mobil Max yang belum juga beranjak dari tempatnya. “Adakah sesuatu yang Anda lupakan, hingga Tuan masih menunggu.”Valerie terdiam dengan pikirannya yang sedikit bingung, lalu menggeleng. “Aku rasa tidak ada,” katanya yakin. Jerry menghela napasnya panjang. “Saya berharap penuh pada Anda, Nona."“Apa maksudnya?” Mereka melanjutkan jalannya beriringan, meski Jerry menc
Valerie tengah terdiam membayangkan aktivitas yang ia lalui hari ini. Sudah lama ia tidak naik transportasi umum, hari ini kerinduannya terbalas. Naik kereta api, kemudian makan bersama di lesehan. Ia merasa begitu puas, seakan-akan bisa menghirup udara yang begitu bebas.“Tadi, pergi kemana saja?” Pertanyaan Max membuyarkan lamunan Valerie tentang aktivitas tadi, ia menoleh tanpa suara. “Tidak mungkin kau hanya keluar kampus hanya naik kereta kan. Kau pasti mampir-mampir,” lanjut Max penuh selidik.Valerie terdiam, bingung harus menjawab apa? Jika jujur ia khawatir Max marah, tapi jika tidak pun, Max akan dengan mudah mencari tahu kebenarannya. Ia benar-benar dilema. Memikirkannya sejenak sebelum kemudian ia pun berucap, “kenapa mesti bertanya? Bukankah sebenarnya kau pasti sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu itu?”“Jadi, kau tidak ingin jujur pada suamimu ini,” seru Max dingin. Nadanya terdengar kesal, terbukti jika sebenarnya Max sudah mengetahui semuanya.“Maaf.” Tak ada yang bis
“Bagaimana kehidupan rumah tanggamu? Kau bahagia, Vale?”Pertanyaan Jacob seketika membuat Valerie terdiam dengan pikiran berkelana entah kemana. Max memang tidak kasar, tidak pernah menyiksa dirinya. Tapi, ia tidak tahu bagaimana isi hati pria itu sebenarnya. Entahlah definisi rumah tangga apa yang kini tengah ia jalani. Yang ia ketahui Max hanya menginginkan anak darinya. Meski begitu, ia merasa sedikit beruntung karena pria itu bersikap baik, dan mau memberikan apapun yang ia butuhkan.“Jangan tanyakan kebahagiaan padaku, Jac. Kau tahu benar kehidupan ini tidak seindah dunia novel, ataupun dongeng yang selama ini kita dengar.”Jacob tersenyum tipis. “Aku mengerti. Tapi, kau perempuan yang baik dan kuat. Tuan Max pasti sangat beruntung memiliki istri seperti dirimu.”Valerie tersenyum getir. “Pernikahan kamu terjadi bukan dilandaskan cinta. Melainkan karena suatu keterpaksaan. Bukankah tidak ada perempuan baik yang hamil di luar pernikahan?”Jacob tertawa kecil, tawa yang membuat
“Masuk!”“Terima kasih, Tuan. Tapi, itu tidak perlu.”“Aku bilang cepat masuk!” desak Jerry semakin menjadi. “Aku tidak mau merepotkan, Anda. Aku bisa naik taksi.” “Tidak akan ada taksi di sini.”“Tapi, di depan sana ada. Aku masih bisa berjalan sampai di sana.”Zenata tetap melenggang pergi membuka Jerry berdecak jengkel, jika tidak mengingat siapa gadis itu bagi istri tuannya mungkin akan ia tinggalkan, tidak akan ia bujuk-bujuk sedemikian rupa. Dengan raut dinginnya, Jerry pun membuka pintu mobilku melangkah lebih cepat dan ia langsung menarik pergelangan tangan Zenata.“Lepas... Lepas...” Zenata berusaha memberontak saat Jerry terus menyeret tangannya paksa. “Kamu apa-apaan sih!!”“Aku bilang masuk.” Jerry membuka pintu lalu mendorong tubuh Zenata masuk. Membuat perempuan itu menggerutu kesal sepanjang perjalanan. Tidakkah Jerry tahu bahwa dalam waktu delapan jam lebih bertemu dengan pria itu dalam lingkup kantor saja sudah membuat Zenata kesal. Dan ini pulang masih saja harus
Gracia benar-benar merasa kelelahan menunggu panggilan kerja dari beberapa cv yang telah ia kirimkan. Sementara tabungannya semakin menipis, ia tidak mungkin pulang lalu meminta uang pada Mama dan Papa tirinya. Ia tidak ingin Mamanya mengalami kesulitan karena berhubungan dengannya. Ia ingat bagaimana penderitaan Mamanya dulu, dan ia tidak ingin Mamanya kembali merasakan hal yang serupa. Cukup sudah segala penderitaannya.“Kau mau kemana?” tegur Alex saat melihat ia beranjak dari tempat duduknya.“Aku mau keluar sebentar.”Alex terdiam sejenak menatap Gracia lebih intens hingga pandangannya tertuju pada barang dalam genggaman gadis itu. “Itu apa?” tunjuknya.“Oh ini surat cv. Aku berniat melamar pekerjaan, sejak kemarin aku sudah menunggu panggilan dari lamaran yang aku kirim lewat email tapi belum juga berhasil. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi.” Gracia terkekeh kecil, membuat Alex menaikan sebelah alisnya. “Sepertinya menjadi penjaga toko juga tidak masalah.”Terdenga
Setelah Max mendengar istrinya mengigau beberapa hari yang lalu. Max semakin terlihat waspada. Ia tidak mengira jika Valerie ternyata nekat menemui ibu tirinya yang kini menjadi seorang tempramen dan penjudi. Pantas saja kata-kata yang dilontarkan pun terdengar buruk.“Jangan pernah berniat menemui ibu tirimu lagi,” ujar Max. Saat ini mereka tengah sarapan bersama. Max yang sebentar lagi harus ke kantor, sedangkan Valerie harus ke kampus. “Tidak.”“Aku tahu mereka itu keluargamu. Tapi, sampai kapanpun orang-orang seperti mereka tidak akan berubah, akan selalu menganggap dirimu itu rendah, Valerie. Jangan nekat, atau kau akan kembali melihat sisi lain dariku lagi.” Max menatap tajam istrinya membuat Valerie yang tengah berusaha menelan makanannya terasa susah berhenti di tengah tenggorokan. “Dokter mengatakan kau tidak boleh stres, agar bisa secepatnya hamil,” lanjutnya membuat Valerie semakin merasa kehilangan selera makannya.**Zenata benar-benar merasa lelah, semalam ia lembur sam